Pembelajaran Berbasis Bahasa Ibu di Kelas Awal Kebijakan, Implementasi, dan Dampaknya
Pendidikan bagi semua telah menjadi agenda nasional maupun global untuk memastikan bahwa pemenuhan hak anak untuk pendidikan bisa dinikmati oleh semua anak tanpa terkecuali. Tujuan menyediakan pendidikan bagi semua termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Pasal 31 dan Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sementara itu agenda global pendidikan inklusif dan berkualitas bagi semua dicanangkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) ke-4, yaitu Quality Education. 1 Implikasi dari pemenuhan hak anak atas pendidikan
adalah bahwa pemangku kepentingan memiliki kewajiban untuk memenuhi hak tersebut tanpa menunggu tuntutan atau permintaan dari pemilik hak.2 Dengan demikian kesetaraan
untuk menikmati hak ini tidak seharusnya dibatasi oleh faktor-faktor yang melekat pada individu maupun kelompok anak. Pada kenyataannya kesenjangan akses bersekolah dan mutu pembelajaran masih terjadi. Meskipun partisipasi pendidikan di tingkat sekolah dasar sudah mendekati universal, partisipasi di jenjang yang lebih tinggi belum merata. Di tahun 2020, angka partisipasi kasar 3 di tingkat sekolah dasar dan
madrasah ibtidaiyah sudah melebihi 100% dan persentase tersebut secara gradual menurun di jenjang sekolah menengah (BPS, n.d.). Data BPS (BPS, n.d.) menunjukkan kesenjangan di bidang pendidikan ini yang bisa dililhat dari perbedaan tingkat penyelesaian pendidikan di jenjang SD, SMP, SMA, dan yang sederajat, antara wilayah perkotaan dan perdesaan,antar provinsi dan antara siswa laki-laki dan perempuan. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2018 – 2020), tingkat penyelesaian pendidikan di wilayah perdesaan selalu lebih rendah dari wilayah perkotaan. 4 Berdasarkan jenis kelamin, tingkat penyelesaian konsisten lebih rendah pada kelompok anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. 5
Baca juga : Peningkatan Literasi Dasar Siswa di Kelas Awal
Sementara itu keluarga dengan tingkat pengeluaran paling rendah juga konsisten memiliki tingkat penyelesaian pendidikan yang paling rendah, dibandingkan keluarga dengan tingkat pengeluaran yang lebih tinggi.6 Disparitas pada sektor pendidikan di Indonesia melatarbelakangi dilahirkannya
Program Indonesia Pintar (Puslitjak, 2018). Sementara itu disparitas kualitas pendidikan antar provinsi dan kesenjanganbpartisipasi, terutama di wilayah terpencil, ditemukan dalam studi Bernede dan Ward (2014).
Beberapa faktor yang berpengaruh pada adanya kesenjangan akses pendidikan di antaranya adalah faktor sosial ekonomi keluarga, keterpencilan wilayah, status disabilitas, dan jenis kelamin. Faktor sosial ekonomi mencakup elemen yang luas seperti penghasilan keluarga, latar belakang pendidikan orang tua maupun keluarga, dan kesadaran akan pentingnya pendidikan. Faktor sosial bisa terkait dengan
budaya dan tradisi yang bisa jadi menghalangi peluang anak meraih pendidikan. Jenis kelamin misalnya, di mana masih terdapat praktik yang menempatkan anak laki-laki lebih lebih penting daripada anak perempuan, memaksa keluarga dengan sumber daya terbatas untuk memprioritaskan anak laki-laki
melanjutkan pendidikannya. Anak-anak dari kelompok etnik tertentu menghadapi tantangan spesifik, seperti misalnya Suku Anak Dalam atau Orang Rimba di Jambi (Medco Foundation, n.d.), anak dari kasta tertentu di wilayah Sumba (INOVASI,2019), dan anak-anak Suku Tengger yang tinggal di wilayah
terpencil di Jawa Timur (Riski, 2018). Roy Morgan Research (2013) menyimpulkan bahwa banyak faktor penyebab anak tidak sekolah. Meskipun faktor ekonomi adalah faktor yang tidak terbantahkan sebagai salah satu sebab utama, ada banyak faktor lain yang berakar pada elemen sosial budaya, pandangan
keluarga dan masyarakat terhadap peran yang diharapkan dari anak-anak mereka, dan juga bagaimana manfaat dan nilai pendidikan di mata mereka. Jelas kiranya bahwa layanan pendidikan mainstream yang ada tak selalu bisa memenuhi kebutuhan khusus dari anak-anak ini. Termasuk di antaranya adalah kondisi khusus yang dihadapi anak-anak yang bahasa utamanya atau bahasa ibunya adalah bahasa daerah. 7 Di wilayah-wilayah tertentu, kondisi ini berarti juga bahwa mereka tidak menguasai bahasa Indonesia.
Sementara di wilayah lainnya, bisa jadi bahasa daerah adalah bahasa ibu dan menjadi bahasa utama, namun anak-anak tetap menguasai bahasa Indonesia.
Sumber : kemdikbud.go.id