Kurikulum 1974-1985 – Pada bulan Maret 1973, dalam Kabinet Pembangunan II Menteri Mashuri, yang merintis berbagai pembaharuan seperti ditiadakannya ujian sekolah, diperkenalkannya Matematika Modern, diperkenankannya ide Sekolah Pembangunan “Comprehensive High School”, dan ditetapkannya pendekatan penelitian dan pengembangan dalam pembaharuan pendidikan nasional, diganti
oleh Prof. DR. IR. Soemantri Brodjonegoro.
Menteri Prof. DR. IR. Soemantri Brodjonegoro yang wafat bulan Desember 1973, dalam waktu yang singkat menegaskan pentingnya pendekatan penelitian dan pengembangan yang maknanya adalah inovasi baru dalam pendidikan, seperti ide sekolah pembangunan, sebelum diterapkan secara nasional perlu dilakukan uji coba melalui pilot projek yang secara cermat harus dinilai terus menerus. Karena
itu ide Sekolah Pembangunan tidak jadi diterapkan secara nasional melainkan perlu diuji cobakan terlebih dahulu. Pada bulan januari 1974 dengan wafatnya Prof. DR. IR. Soemantri Brodjonegoro, Presiden Soeharto mengangkat Letjen TNI DR. T. Syarif Thayeb menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Bersamaan dengan itu BPP dirubah namanya menjadi Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (BP3K) dan Lembaga-Lembaga yang ada didalamnya dirubah namanya menjadi Pusat. Lembaga Pengembangan Kurikulum berubah menjadi Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan (Pusbangkuradik). Apa yang dilakukan Pusbangkuradik dari 1974-1981, bagian- bagian berikut akan menguraikannya.
Baca Juga Kurikulum 1974-1985 : Kurikulum 1994 Pendidikan Menengah
A. KURIKULUM 1975, PERENCANAAN DAN PENGEMBANGANNYA
Dalam merencanakan struktur program kurikulum yang meliputi pengelompokanbprogram kurikulum, perbandingan bobot antara bidang studi (nama penggantibmata pelajaran) untuk setiap jenjang, dan penataurutan penyajian program studivdari tahun pertama sampai tahun terakhir (untuk SD kelas I sampai Kelas VI, untuk SLTP dari kelas I sampai kelas III, dan untuk Sekolah Menengah dari Kelas
I sampai kelas III), Puskur berangkat dari Prinsip-prinsip berikut:
- Prinsip Fleksibilitas Program
- Penyelenggaraan Pendidikan Keterampilan, misalnya harus mengingat faktor- faktor ekosistem dan kemampuan untuk menyediakan fasilitas bagi berlangsungnya program tersebut.
- Prinsip Efesiensi dan Efektifitas
- Waktu sekolah adalah sebagian kecil dari waktu kehidupan murid yang berlangsung selama 24 jam. Dari duapuluh empat jam tersebut hanya sekitar enam jam mereka ada di sekolah. Karena itu kalau waktu yang terbatas ini tidak kita manfaatkan bagi kegiatan-kegiatan yang seterusnya dilakukan para murid di luar lingkungan hubungan murid guru dan fasilitas pendidikan, berarti akan terjadi pemborosan yang merupakan gejala inefisiensi. Sering kita melihat bahwa waktu dua jam pelajaran digunakan mencatat pelajaran yang mungkin dapat dilakukan oleh murid di luar jam sekolahmemperbanyak bahan tersebut, kalau di toko buku bahan yang tidak ada.
- Cara memanfaatkan waktu seperti kami kemukakan di atas adalah bentukin efisiensi penggunaan waktu; Efesiensi tidak hanya menyangkut penggunaan waktu secara tepat, melainkan juga menyangkut masalah pendayagunaan tenaga secara optimal.
- Kami beranggapan, bahwa tenaga manusia tidak dimanfaatkan secara optimal kalau dia harus belajar dan bekerja tanpa minat dan perhatian yang penuh. Murid-murid adalah manusia-manusia yang mengenal kelelahan dan batas perhatian. Kalau kita memaksakan murid untuk belajar di luar perhatian dan kemampuan tenaganya, akan berakibat penghamburan tenga dan waktu. Karena itu di dalam menetapkan jumlah jam dan lamanya setiap pelajaran yang diberikan, harus diukur dari sudut tingkat kemampuan, tenaga, luas dan lama perhatian yang diharapkan dari seorang murid. Melupakan kedua prinsip efisiensi tersebut akan mengakibatkan hasil belajar anak kurang memuaskan. Dengan kata lain proses belajar yang dilakukan murid tidak berjalan secara efisien dan efektif.
- Atas dasar prinsip efisiensi dan efektivitas inilah kurikulum 1975 memilih jumlah jam pelajaran selama seminggu 36 jam dan 42 jam, karena pertimbangan bahwa para murid dapat dituntut untuk bekerja lebih keras pada setiap jam yang tersedia, dengan tetap memberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih santai pada saat-saat tertentu. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan belajar yang sifatnya wajib dan akademis ditekankan pada hari Senin sampai dengan Jumat sedangkan kegiatan-kegiatan pada hari Sabtu sifatnya pilihan wajib, ekspresif dan rekreatif. Atas dasar prinsip ini juga disarankan agar setiap pelajaran hendaknya tidak diberikan dalam 1 jam pelajaran saja untuk satu minggu, melainkan antara 2 jam dan sebanyak-banyaknya 3 jam pada setiap pertemuan. Sistem catur wulan masih tetap digunakan tetapi dengan suatu pengertian yang akan menuntut guru secara sistematis dan berencana mengatur kegiatan-kegiatan mengajar dalam satuan-satuan catur wulan secara bulat. Bentuk usaha yang dilaksanakan adalah agar waktu yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal oleh murid dan guru bagi kegiatan belajar mengajar yang efisien dan efektif. Prinsip ini juga akan mempengaruhi penyusunan jadwal pelajaran setiap minggunya.
- Prinsip Berorientasi dan Tujuan
- Seperti telah kami singgung diatas waktu para murid berada dalam lingkungan sekolah hanyalah sekitar seperempat dari waktu yang dimiliki anak selama 24 jam. Ini berarti bahwa proses perkembangan murid ke arah kedewasaannya tidak dapat sepenuhnya digantungkan kepada sekolah semata-mata. Namun demikian kami menyadari bahwa sekolah adalah tempat yang paling strategis untuk pembinaan nilai dan sikap, keterampilan dan kecerdasan yang berguna bagi masyarakat, negara dan bangsa.
- Atas dasar pertimbangan di atas waktu yang terbatas tersebut harus benar-benar dimanfaatkan bagi pembinaan murid untuk hal-hal tersebut di atas, terutama untuk kegiatan-kegiatan belajar mengajar yang tidak mungkin dilakukan dan diperoleh di luar sekolah. Dalam konteks yang demikian kami melihat kenyataan bahwa bahan-bahan pelajaran tiap tahun makin bertambah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan masyarakat. Karena itu memilih kegiatan-kegiatan dan pengalaman-pengalaman belajar yang fungsionil dan efektif akan memerlukan kriteria yang jelas. Untuk itulah kami menggunakan suatu prinsip kerja atau pendekatan dengan berorientasi pada tujuan. Ini berarti bahwa sebelum menentukan jam dan bahan pelajaran terlebih dahulu akan ditetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh para murid dengan jalan mempelajari sesuatu bidang pelajaran (studi). Proses identifikasi dan perumusan tujuan ini berlangsung dari tingkatan yang paling umum, seperti tertulis dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam bentuk tujuan-tujuan institusionil, sampai kepada tujuan-tujuan instruksionil khusus yang akan memberi arah kepada pemilihan bahan dan kegiatan belajar untuk setiap satuan pelajaran yang terkecil. Dengan prinsip ini dimaksudkan agar setiap jam dan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh murid dan guru benar-benar terarah kepada tercapainya tujuan-tujuan pendidikan.
- Prinsip Kontinuitas
- Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah (Pertama dan Atas) adalah sekolah-sekolah umum, yang masing-masing fungsinya dinyatakan dalam tujuan-tujuan institusionil. Namun satu dengan yang lain berhubungan secara hirarkis. Karena itu dalam menyusun kurikulum, ketiga sekolah tersebut selalu diingatkan hubungan hirarkis yang fungsionil Pendidikan Dasar disusun agar lulusannya, disamping siap untuk berkembang menjadi anggota masyarakat, juga siap untuk mengikuti Pendidikan Menengah Tingkat Pertama, demikian juga dengan Sekolah Menengah Tingkat Pertama di samping memiliki bekal keterampilan untuk memasuki masyarakat kerja, juga harus siap memasuki pendidikan yang lebih tinggi. Hubungan fungsionil hirarkis ini, harus diingat dalam menyusun program-program pengajaran dari ketiga sekolah tersebut. Kalau tidak, dapat terjadi pengulangan yang membosankan atau pemberian pelajaran yang sukar ditangkap dan dikunyah oleh para murid karena mereka tidak memiliki dasar yang kokoh.
- Bagi suatu bidang pelajaran yang menganut pendekatan spiral, seperti pelajaran sejarah atau kewargaan negara, perluasan dan pendalaman sesuatu pokok bahasan dari tingkat pendidikan satu ke tingkat berikutnya harus disusun secara berencana dan sistematis. Garis-garis besar program pengajaran yang disusun untuk setiap bidang studi dikerjakan secara integral dengan maksud agar jelas perbedaan antara pokok bahasan, yang kelihatannya sama, yang diberikan di SD dengan di SMP. Para pelaksana (terutama guru) diharapkan untuk memahami hubungan yang fungsionil hirarkis antara pelajaran yang diberikan di SD dengan SMP, antara caturwulan dengan caturwulan berikutnya, dan bahkan antara satuan pelajaran untuk satu bulan dengan bulan berikutnya. Pelaksanaan prinsip ini mengharuskan kita untuk memahami hubungan secara hirarkis antara satuan-satuan pelajaran.
- Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
- Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menganut pendidikan prinsip pendidikan seumur hidup. Ini berarti bahwa setiap manusia Indonesia diharapkan untuk selalu berkembang sepanjang hidupnya dan di lain pihak masyarakat dan pemerintah diharapkan untuk dapat menciptakan situasi yang menantang untuk belajar. Prinsip ini mengandung makna, bahwa masa sekolah bukan satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, melainkan hanya sebagian dari waktu belajar yang akan berlangsung sepanjang hidup. Namun demikian kita menyadari bahwa sekolah adalah tempat dan saat yang sangat strategis, bagi pemerintah dan masyarakat untuk membina generasi muda dalam menghadapi masa depannya.
Young dari Brithis Council, Prof. Dr. R. Murray Thomas dari Universitas California Prof. Dr. H. Postelthwhite dari Universitas Hamburg, Dr. Wyn Harlen dan HughHawes, Roy Gardner, dan Sheldon Sheafer dari The Ford Foundation. Untuk menjamin agar kurikulum 1975 dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan serangkaian pedoman penerapan kurikulum dikembangkan. Salah satu yang dilakukan adalah dengan memasyarakatkan Program Pengembang Sistem Instruksional (PPSI), suatu model pengembangan kurikulum yang harus dilakukan guru dalam menterjemahkan kurikulum menjadi program belajar mengajar untuk diikuti peserta didik. Dengan menerapkan PPSI, guru sebelum memilih proses pembelajaran suatu pokok bahasan harus merencanakan program pembelajaran dalam bentuk satuan pelajaran yang langkahnya meliputi :
(1) Merumuskan tujuan instruksional yang harus dicapai.
(2) Menguraikan materi pembelajaran yang harus dipelajari.
(3) Memilih dan menetapkan sumber – sumber belajar.
(4) Merancang media belajar yang harus disiapkan.
(5) Menetapkan proses pembelajaran yang harus diikuti peserta didik.
(6) Menyusun alat evaluasi untuk mengukur ketercapaian tujuan instruksional yang telah ditetapkan.
Di samping merancang dan mengusulkan penetapan Kurikulum 1975 sebagai kurikulum transasional dan melaksanakan PPSP, Pusat Pengembangan Kurikulum melaksanakan proyek percontohan Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Bantuan Profesional bagi Guru Guru Sekolah Dasar yang dikenal sebagai
PROYEK CIANJUR (1980 -1986)
Kurikulum 1974-1985 Baca juga : Sejarah Kurikulum Indonesia
PENGEMBANGAN SISTEM PEMBINAAN PROFESIONAL CIANJUR
Sesuai dengan rekomendasi seminar, Pusat Pembangan Kurikulum, BP3K dengan bantuan konsultan dari British Council menyelenggarakan kegiatan penelitian tindakan (“Action Project”) Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar melalui Bantuan Profesional kepada Guru di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Uji coba tsb dilandasi oleh Keputusan Bersama Kepala BP3K dan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No 897/G3/I/80 dan No 087/C Kep/80 tanggal 31 Mei tahun 1980.
Tujuan Umum
Pengembangan Proyek Cianjur secara umum bertujuan untuk menemutunjukkan berbagai cara untuk meningkatkan mutu pengajaran melalui peningkatan mutu pembinaan professional bagi guru serta pelaksana lainnya di lapangan
Pelaksanaan Kegiatan Cianjur
Pengembangan model/percontohan dilaksanakan di Kota Cianjur (daerahperkotaan) Kecamatan Cugenang (daerah pedesaan) dan Kecamatan Pagelaran (daerahbterpencil), dengan kegiatan awal mencakup 75 SD.
Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan mencakup pengembangan: model penataran, model supervisi/bantuan profesional, dan model belajar mengajar “Cara Belajar Siswa Aktif” ( CBSA) .
Kurikulum 1974-1985 Baca juga : Model Pembelajaran
MODEL PEMBELAJARAN SISWA AKTIF di Kurikulum 1974-1985
Mengapa Siswa Aktif?
Perkembangan IPTEK di dunia modern semakin lama semakin cepat. Dulu diperlukan beberapa abad sebelum ilmu pengetahuan berkembang menjadi 2 x lipat.Sekarang ini beberapa cabang ilmu seperti computer dan nano teknologi berkembang 2 x lipat dalam waktu kurang dari 5 tahun. Tentu saja guru tidak bisa lagi menjadi satu satunya sumber belajar bagi siswa. Kata Mendikbud siswa perlu diberi bekal kail, bukan ikan. Pendekatan Belajar aktif bukan sesuatu yang baru. Dasar pikiran yang dianut adalah bahwa belajar akan bermanfaat bila diperoleh melalui pengalaman langsung oleh anak sendiri atau kegiatan belajar mengajar yang menuntut siswa harus aktif dalam proses pendidikan. Pandangan ini dianut oleh para ahli filsafat, ahli pendidikan, serta psikologi perkembangan antara lain Whiehead, 1932,
Dewey, 1938, Piaget, 1968, Brunner 1968,
Pepatah Cina 2 ribu tahun y.l. juga mengatakan “Saya dengar …saya lupa dst” Peranan belajar mengajar bergeser dari “teacher centered” ke “student centered” (Brandest, Ginnis,1988). Pendekatan Sistem Pembinaan Profesional-CBSA (SPP-CBSA) sangat relevan dengan pendekatan”systemic” (Romizwski,1984) yang selama ini telah dianut dalam perkembangan kurikulum di Indonesia.
Prinsip Belajar aktif di Kurikulum 1974-1985
Belajar aktif bukan semata mata aktif secara fisik, tetapi lebih menekankan kepada mental yang aktif, berpikir aktif, berfikir kritis dan mampu memecahkan masalah.
Prinsip dasar yang dianut dalam pendekatan belajar aktif:
- Mengerti tujuan dan fungsi belajar. Para guru memahami konsep dasar belajar: Buku pelajaran baru merupakan salah satu sumber belajar. Pengalaman siswa, lingkungan merupakan bahan kajian dan sumber belajar yang berharga.
- Melayani perbedaan individual, minat dan kemampuan khusus siswa serta membantu kesulitan dalam belajar
- Memanfaatkan berbagai organisasi kelas sesuai dengan kegiatan belajar mengajar yang diinginkan (belajar mandiri/perorangan, berpasangan, kelompok kecildan kelompok besar/klasikal)
- Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis dan memecahkan masalah secara mandiri atau kelompok
- Ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang baik (pajangan hasil karya anak,peta,diagram, model, perpustakaan kelas)
- Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar (alam, sosial, budaya)
- Umpan balik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Hasil Belajar Siswa Aktif
Hasil belajar siswa aktif tidak dapat segera terlihat misalnya dengan meningkatnya nilai (NEM) hasil ujian pada akhir tahun. Menurut hasil “longitudinal study” di Inggeris, dampak siswa akif mulai terlihat 15 -20 tahun kemudian. Salah seorang konsultan Pusat Pengujian, pakar evaluasi dari Cambridge University mengatakan “Orang orang kadang terlalu terobsesi dengan skor hasil tes. Kalau Anda yakin bahwa proses pembelajarannya lebih baik, kalian harus percaya bahwa hasilnya juga akan lebih baik.”
Kurikulum 1974-1985
Sejarah_kurikulumSumber Kurikulum 1974-1985 : Kemdikbud Kurikulum 1974-1985