Menteri Pendidikan Masa Jabatan 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956
R. M. Soewandi Notokoesoemo lahir pad a tangga125 Desember 1904.1a lulusan Techinsche Hoogeschool (THS) Bandung pada tahun 1936. Pada masa pendudukan Jepang ia sempat bekerja sebagai pengajar di Bandoeng Kogyo Daigaku (Technische Hoogeschoolte Bandoeng) dengan mengampu mata kuliah llmu Bangunan.
Sesudah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, disusul kemudian dengan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para mahasiswa Bandoeng Kogyo Daigaku
bertindak cepat melucuti dosen-dosen berkebangsaan Jepang dan menahan mereka di rumah
masing-masing. Praktis sejak itu urusan Bandoeng Kogyo Daigaku, yang namanya kemudian diubah
menjadi Sekolah Tinggi Teknik Bandung, dipegang oleh pada dosen dan tenaga kependidikan bangsa
Indonesia. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa di lnstitut Teknologi
Bandung (ITB) pada tanggal 25 Maret 1977 ia menyebutkan bahwa pada 27 Agustus 1945 di ruang
Aula Bandoeng Kogyo Daigaku (Aula Barat ITB) terjadi serah terima Bandoeng Kogyo Daigaku dari
bala tentara Jepang kepada Pemerintah Republik Indonesia (RI) . Satu kelompok insinyur Indonesia
yang mempunyai cita-cita Indonesia merdeka, seperti Soenaryo, Soewandi, Abidin dan Rooseno
berinisiatif mengambil alih perguruan itu yang praktis baru berdiri satu minggu untuk kemudian
diserahkan kepada Pemerintah Rl.
Baca juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia
Tak lama setelah itu kegiatan Bandoeng Kogyo Daigaku dibuka kembali namun dengan nama yang
telah diindonesiakan, yaitu Sekolah Tinggi Teknik Bandung (STT Bandung), di bawah pimpinan
Prof. lr. Roosseno Soerjohadikoesoemo dengan dibantu oleh lr. R. Goenarso, lr. R.M. Soewandi
Notokoesoemo, lr. Soenarjo, dan Sutan Muchtar Abidin. Menurut Prof. Rooseno, “Modal kerja pada
saat itu hanya nasionalisme yang berkobar-kobar, antusiasme, devotion, untuk memulai pendidikan
teknik di Indonesia. Suatu tugas berat di atas pundak para insinyur. Pada saat itu hanya ada 170 insinyur
di Indonesia. Apa mungkin 170 gelintir insinyur mengurus pekerjaan teknik dalam negara Rl yang
berdaulat dengan penduduk 90 juta?” Apa yang disampaikan oleh Prof. Rooseno memang tidak berlebihan. Dalam situasi politik yang tidak kondusif berikut sarana dan prasarana pendidikan yang sangat terbatas, para insinyur sebagaimana disebutkan oleh Prof. Roosseno itu berani membuka tiga program studi, yaitu Bagian Bangunan Jalan dan Air, Bagian Kimia, serta Bagian Mesin dan Teknik Elektro dengan lama pendidikan empat tahun.
Jumlah program studi itu sama persis dengan yang ditawarkan oleh Techinishe Hoogeschool pada
zaman Kolonial Belanda dan Bandoeng Kogyo Daigaku zaman Pendudukan Jepang.
Ada satu hal yang menarik dari para mahasiswa STT Bandung, yaitu acara ” lkrar Bersama” di hadapan dua orang anggota Komite Nasionallndonesia Pusat (KNIP), Otto lskandardinata dan lr. M.P. Soerachman
Tjokrohadisoerio (yang kemudian menjadi Presiden Universitas Indonesia yang pertama), sebelum
berangkat ke Jakarta untuk menghadiri rapat Pleno KNIP pertama tanggal 16-17 Oktober 1945 di
Balai Muslimin Jakarta. Dalam ikrar itu para mahasiswa bertekad tidak sudi kembali ke kampus selama
kemerdekaan penuh bangsa Indonesia belum tercapai. Mereka bersedia dan rela mengorbankan jiwa
dan raga bagi kemerdekaan bangsa.
Sekitar dua bulan kemudian ternyata situasi politik memaksa para mahasiswa harus meninggalkan
kampus. Mulai bulan November 1945 kegiatan perkuliahan terpaksa dibubarkan, meskipun kegiatan
kantor administrasi di bawah Sutan Muchtar Abidin dan Soenarjo tetap berjalan. Situasi dalam kota
Bandung sudah tidak aman bagi para civitas akademika STT Bandung karena NICA dengan para
serdadunya masuk ke kota Bandung. Pada tanggal 6 Januari 1946 akhirnya kantor STT Bandung dipindahkan ke Yogyakarta di bawah pimpinan Prof. lr. Roosseno, lr. R.M . Soewandi Notokoesoemo,
dan lr. Soenarjo
Di Yogyakarta Prof. Roosseno dan timnya menghubungi Panitia Pendirian Yayasan Balai Perguruan
Tinggi Gadjah Mada sesuai dengan permohonan Menteri Pendidikan Rl. Pada suatu rapat dengan panitia
tersebut muncul perbedaan pendapat antara Prof. Roosseno dan kawan-kawan dengan panitia. Pihak
panitia menghendaki yang didirikan adalah perguruan tinggi swasta, sedangkan Prof. Roosseno dan
kawan-kawan yang telah mendapat pesan dari Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
menghendaki perguruan tinggi yang didirikan adalah perguruan tinggi negeri. Oleh karena itu pada
17 Februari 1946, STT Bandung di Yogyakarta mulai dibuka dengan memanfaatkan Gedung Sekolah
Menengah Tinggi B Negeri Yogyakarta di kawasan Kota Baru (kini SMA Negeri 3 Yogyakarta). Kegiatan
perkuliahan diselenggarakan pada sore hari.
Pada awalnya pimpinan STT Bandung di Yogya dipegang oleh Prof. lr. Roosseno. Kedudukan ini
kemudian digantikan oleh lr. Wreksodiningrat Notodiningrat pada tanggal I Maret 1947. Sebagai catatan
Notodiningrat adalah insinyur sipil pertama Indonesia lulusan Technishe Hoogeschool Delft tahun 1916 Setelah Pemerintah Rl mendirikan Universitas Negeri Gadjah Mada, STT Bandung digabungkan
ke dalamnya menjadi Fakultas Tehnik dengan lr. Wreksodiningrt sebagai dekan (1947-1951) dan pada
tahun 1949 dikukuhkan sebagai Guru Besar UGM.
Demikian pula lr. Soewandi Notokoesoemo dan hampir semua dosen STT Bandung di Yogyakarta ikut
bergabung menjadi salah staf dosen Fakultas Teknik. Pada tanggal 19 September 1954 Soewandi diangkat
menjadi Guru Besar Fakultas Teknik UGM pada bidang llmu Konstruksi Baja. Ia menyampaikan pidato
pengukuhannya sebagai guru besar pada 19 September 1954 dengan judul “Perkembangan di dalam
Pemakaian Bahan Logam untuk Konstruksi Djembatan dan Faktor-faktor jang Mempengaruhinja”.
Beberapa dosen asal STT Bandung yang menjadi guru besar UGM adalah lr. Soenarjo yang diangkat
menjadi Guru Besar UGM pada tahun 1950, lr. Ali Djojoadinoto menjadi Guru Besar llmu Ukur Tanah
pada tahun 1960, serta Herman Johannes menjadi Guru Besar UGM serta kemudian menjadi Dekan
Fakultas Teknik UGM (1951-1956) dan Rektor UGM untuk periode 1961-1966 Sesudah perang kemerdekaan lr. R.M. Soewandi Notokoesoemo memilih jalan berkarya di dunia perguruan tinggi. Seperti
telah disinggung di atas, ia menjadi salah satu guru besar di Fakultas Teknik sejak September 1954 Namun setahun setelah menjadi guru besar ia menerima tawaran menjadi menteri. Sejak
tanggal 12 Agustus 1955 hingga 3 Maret 1956 ia menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan (PP dan K) pada Kabinet Burhanuddin Harahap. Pada masa kepemimpinannya dapat
dikatakan tidak ada satu kebijakan baru terkait dengan pendidikan, pengajaran, dan bidang kebudayaan
di Kementerian PP dan K. Apalagi program kabinet Burhanuddin Harahap hampir tersita oleh persiapan
pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) yang akan dilaksanakan pada akhir tahun 1955. Setelah Pemilu
selesai dengan kemenangan berada dalam genggaman Partai Nasional Indonesia (PNI), formatur
pembentukan kabinet baru diserahkan kembali ke Mr. Alisastroamidjojo. Dalam susunan Kabinet Ali
ini Suwandi Notokoesoemo tidak terpilih menjadi Menteri PP dan K. Ia pun kembali ke pekerjaan
sebelumnya, yaitu menjadi Guru Besar UGM. Empat tahun kemudian, tepatnya pada 25 Desember
1960, Prof. lr. R.M . Suwandi Notokoesoemo meninggal dunia dalam usia 56 tahun.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Soewandi Notokoesoemo (12 Agustus 1955 -24 Maret 1956) […]