Menteri Pendidikan Pertama Republik Indonesia (19 Agustus 1945 – 14 November 1945)
Masa Kecil dan Pendidikan
Profil Ki Hajar Dewantara — Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, putra bangsawan Pakualaman Gusti Pangeran Harjo Soerjaningrat dan cucu Sri Paku Alam. Sebagai bangsawan Jawa Soewardi Soerjaningrat berhak mendapat kesempatan menempuh pendidikan seperti anak-anak bangsa Eropa. Oleh karena itu sekolahnya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS), yakni sekolah rendah untuk anak Eropa. Pengiriman Soewardi dan kerabat Paku Alam ke sekolah Belanda tidak merusak pendidikan kejawaan, sebab di istana Paku Alam-seperti halnya di istana raja-raja Jawa lainnya-selalu disediakan guru untuk mengajar sejarah, kesusastraan, dan kesenian dalam arti luas.
Di kalangan keluarga dekat Soewardi dipanggil dengan poraban ‘julukan’ Denmas Jemblung. Nama itu selengkapnya Jemblung Joyo Trunogati. Nama ini diberikan oleh sahabat ayahnya, Kyai Soleman, yang mendapat firasat bahwa dari tangis bayi yang lembut itu kelak suaranya akan didengar orang diseluruh negeri. Perutnya yang jemb/ung ‘ buncit’ memberi firasat bahwa bayi itu kelak akan menelan dan
mencerna ilmu yang banyak dan sesudah memasuki masa dewasa akan menjadi pemuda yang penting.
Masa kecil dan remaja Suwardi dikelilingi oleh budaya Jawa bercampur dengan Islam. Walaupun begitu sejak kecil Soewardi dikenal sebagai orang yang berjiwa merdeka dan penentang. Hal ini membuatnya tidak suka pada tradisi yang diterapkan di keraton, seperti adat ndhodhok sembah, yang mengharuskan
seseorang berjalan jongkok sambil menyembah jika ingin bertemu dengan raja.
Soewardi berkepribadian sangat sederhana dan sangat dekat dengan kawula ‘rakyat’. Jiwanya menyatu lewat pendidikan dan budaya lokal (Jawa) guna menanggapi kesetaraan sosial dan politik dalam masyarakat kolonial. Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi dasar Soewardi dalam memperjuangkan kesatuan dan persamaan lewat nasionalisme kultural sampai dengan nasionalisme publik.
Di lingkungan keluarganya ia merupakan orang yang tekun berolah sastra. Selain itu adanya langgar dan mesjid di dekat rumahnya mempertebal keyakinan agamanya. Setiap hari Jumat ayah Soewardi sholat di mesjid bersama ulama-ulama lain. Dari ayahnya, Pangeran Soeryaningrat, yang tinggi keagamaannya,
Soewardi menerima ajaran Islam. Ayahnya memegang prinsip, “Syariat tanpa hakikat adalah kosong, hakikat tanpa syariat adalah batal“. Selain agama, Soewardi juga mendapat pelajaran adat lama yang dipengaruhi oleh filsafat Hindu yang tersurat dalam ceritera wayang. Pun seni sastra, gendhing, dan seni suara
dipelajari secara mendalam. Karena sejak kecil dididik dalam suasana religius dan dilatih mendalami soal-soal sastra dan kesenian lain, maka ketika dewasa ia sangat menyukai dan mahir dalam bidang-bidang tersebut. Pada waktu tinggal di Negeri Belanda sebagai orang buangan, misalnya, ia dikenal sebagai ahli sastra Jawa. Ia mendapat undangan Panitia Kongres Pengajaran Kolonial I di Den Haag untuk ikut serta dalam kongres tersebut (1916) dan diminta menyampaikan prasaran. Soewardi Soerjaningrat selalu berpendapat bahwa pendidikan kesenian sangat penting, karena pendidikan kesenian-yang disebut pula sebagai pendidikan estetis-dimaksudkan untuk menghaluskan perasaan terhadap segala bentuk lahir yang bersifat indah. Pendidikan estetis ini melengkapi pendidikan etis atau
pendidikan moral, yang bertujuan menghaluskan hidup kebatinan anak. Dengan pendidikan etis anak anak dapat mengembangkan berjenis-jenis perasaan, seperti religius, sosial, dan individual.
Sesudah tamat sekolah dasar pada tahun 1904, timbul masalah dalam diri Soewardi, yakni ke mana akan meneruskan sekolah. Akhirnya Soewardi masuk Kwekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta. Tidak lama kemudian datang dokter Wahidin Soediro Hoesodo di Pura Paku Alaman dan menawarkan siapa yang mau masuk School tot Opleiding voor lndiesche Artsen (STOVIA, biasa disebut Sekolah
dokter Jawa) di Jakarta dengan bea siswa. Soewardi menerima tawaran tersebut
dan mendapat kesempatan belajar di STOVIA (1905-1910), tetapi bea siswanya dicabut karena tidak naik kelas akibat sakit selama empat bulan. Ia terpaksa meninggalkan sekolah. Dari direktur sekolahnya ia mendapat surat keterangan istimewa atas kepandaiannya dalam bahasa Belanda. Sesungguhnya ada alasan lain yang lebih politis Soewardi dikeluarkan dari STOVIA. Pada suatu pertemuan ia membaca sebuah sajak dengan penuh penghayatan yang menggambarkan keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo. Tentu saja Direktur STOVIA tidak senang pada tindakan Soewardi.
Walaupun tidak dapat menyelesaikan studi di STOVIA, tetapi ia memperoleh banyak pengalaman baru. Sebagai mahasiswa STOVIA ia harus masuk asrama. Jumlah anak yang tinggal di asrama tersebut sebanyak 200 orang dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan agama berbeda-beda. Bagi Soewardi tempat tinggal yang baru itu berbeda sekali dengan tempat asalnya. Suasana feodal
yang dialami di rumah orang tuanya di Yogyakarta tidak terdapat di kota besar Jakarta. Oleh karena itu ia harus menyesuaikan diri. Seperti asrama pada umumnya, di asrama STOVIA juga berlaku peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh penghuninya, misalnya pada malam ldul Fitri penghuni asrama dilarang merayakannya dengan membunyikan petasan; padahal ldul Fitri bagi rakyat Indonesia mempunyai sifat nasional, sehingga yang merayakan bukan hanya orang-orang yang beragama Islam saja dan dengan kebiasaan membunyikan petasan. Oleh sebab itu Soewardi bersama dengan teman temannya membunyikan beberapa puluh mercon. Akibatnya pemimpin asrama marah dan Soewardi
bersama kawan-kawannya dimasukkan ke dalam kamar tertutup sebagai hukuman.

DUNIA PERGERAKAN
Setelah keluar dari STOVIA, Soewardi sempat bekerja sebagai analis di laboratorium Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, sebelum akhirnya kembali ke Yogyakarta dan bekerja di sebuah apotik. Ia tidak terlalu lama tinggal di Yogyakarta karena kemudian pindah ke Bandung pada tahun 1912. Ketertarikannya terhadap pers mengantarkannya bekerja sebagai anggota redaksi harian De Express
pimpinan E.F.E . Douwes Dekker dan ikut membantu Oetosan Hindia pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Selain di kedua harian tersebut, Soewardi juga aktif di beberapa surat kabar, seperti Sedjatama, harian Kaoem Moeda, Midden java, 5.1. Soerabaija, Tjahaja Timoer (Malang), dan Het Tijdschrift (Bandung). Selain jurnalistik Soewardi juga aktif dalam organisasi politik, bahkan sejak tahun 1908 ia menjadi anggota Boedi Oetomo. Ia juga menjadi Ketua Sarekat Islam (SI) cabang Bandung. Perkenalan pertama kali Soewardi Soerjaningrat dengan Douwes Dekker berlangsung sekitar tahun 1908. Pada waktu itu Douwes Dekker menjadi redaktur Bataviasche Nieuwsblad yang dipimpin oleh Zaalberg. Douwes Dekker, nama lengkapnya Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, adalah seorang jurnalis yang cakap. Pada tahun 1902, ketika kembali ke Indonesia dari tempat pembuangannya di Sailan (ia diasingkan oleh lnggris karena ikut Perang Burdi Afrika Selatan melawan lnggris) ia diterima menjadi koresponden surat kabar De Locomotief. Ia Kemudian pindah ke Harian Soerabaijasch Handelsblad dan sesudah itu pindah ke harian Bataviasche Nieuwsblad. Douwes Dekker dan Zaalberg sama-sama orang
indo, tetapi sikap mereka terhadap bangsa Indonesia sangat berbeda. Zaalberg merendahkan bangsa Indonesia, sedangkan Douwes Dekker membela kepentingan bangsa Indonesia. Sebagai redaktur yang mempunyai wibawa
terhadap atasannya, Zaalberg, Douwes Dekker dapat memasukkan beberapa
pembantu dari bangsa Indonesia, di antaranya Suryopranoto, Cokrodirjo, Cipto Mangunkusumo, dan Gunawan Mangunkusumo. Dengan demikian harian tersebut sering memuat tulisan-tulisan yang mempropagandakan cita-cita kebangsaan, yang pada waktu itu sedang tumbuh dengan hebat. Soewardi menyebut bahwa “infiltrasi” yang amat efektif ini berkat jasa pertama kawannya, Douwes Dekker,
sebagai “pelopor” pergerakan nasional.
Dalam waktu satu tahun kemudian tersiarlah cita-cita kebangsaan bangsa Indonesia di kalangan orang orang Belanda yang terkemuka baik di lingkungan pemerintah maupun masyarakat Hindia Belanda. Karena dianggap berbahaya untuk keamanan orang-orang Belanda, direksi memecat Douwes Dekker
dari jabatannya sebagai redaktur Bataviaasch Nieuwesblad. Meskipun demikian Douwes Dekker tidak berhenti bekerja untuk mencapai cita-citanya. Ia menerbitkan majalah Het Tijdschrif, yang cukup tersiar dan terbaca oleh kaum cendekiawan bangsa Indonesia. Soewardi yang pada waktu itu menjadi Ketua Sl cabang Bandung sangat tertarik pada kegiatan Douwes Dekker. Bersama pemimpin-pemimpin lain yang berjiwa nasionalis dan revolusioner ia menjadi pembantu tetap majalah tersebut. Kemudian ia ikut mengasuh Harian De Express, sedang dr. Cipto Mangunkusumo menjadi anggota sidang pengarang. Soewardi, yang kemudian bergabung dalam kelompok Douwes Dekker, menambah kekuatan untuk mencapai cita-cita. Douwes Dekker merasa mendapat keuntungan besar karena kawan-kawannya yang baru tersebut berotak tajam, serta teguh pendirian dan keyakinan. Dalam gelanggang perjuangan tiga pimpinan itu, yaitu
Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, dan dr. Cipto mangunkusumo, bekerja
bahu-membahu. Mereka juga disebut jan get kinate/on ‘tiga serangkai’. Sesudah aliran nasionalisme dan revolusioner disiarkan melalui Het Tijdschrift dan De Expres serta dapat memasuki alam pikiran dan perasaan bangsa Indonesia, maka pada tanggal 6 September 1912 didirikanlah lndiesche Partij (IP).
Sejak lahir partai ini secara langsung memperkenalkan diri sebagai “partai politik” yang berhaluan kebangsaan, kerakyatan, dan kemerdekaan. Dalam memperjuangkan cita-citanya, yakni Indonesia Merdeka Berdaulat, ketiga pemimpin tersebut bersemboyan rowe-rowe rantas, malang-malang putung. Keanggotaan IP tidak memedulikan kebangsaan. Asal mengakui Indonesia sebagai negara dan tanah air, orang dapat masuk menjadi anggota IP. Dasar pemersatu bagi IP adalah penderitaan bersama di bawah kolonial. Manuver IP mengkhawatirkan pemerintah kolonial Belanda karena tujuan IP mencapai kemerdekaan Hindia BeIanda dari BeIanda. Oleh karena itu pada tanggal 31 Maret 1913 pucuk pimpinan IP mengambil keputusan untuk menyelamatkan anggota-anggotanya dengan membubarkan IP dan menganjurkan agar seluruh anggotanya pindah ke lnsulinde pimpinan Douwe Dekker. Dengan jalan demikian IP tetap ada, tetapi dengan pakaian lain . Sementara itu Douwes Dekker berpendapat dibutuhkan organisasi nasional yang harus berjuang untuk mencapai persamaan derajat bagi seluruh bangsa Hindia Belanda dan persiapan-persiapan yang nyata untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air.
Pada awal Juli 1913 Cipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat mendirikan Komite Boemiputera sebagai tandingan Komite Perayaan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda, yang dimaksudkan untuk menampung isi hati rakyat yang memprotes penyelenggaraan perayaan memperingati satu abad kemerdekaan Kerajaan Belanda. Peringatan akan dirayakan baik di Negeri Belanda maupun di tanah
jajahan dan puncaknya akan dilangsungkan pada tanggal IS November 1913 . Brosur pertama yang dikeluarkan oleh Komite berupa karangan Soewardi Soerjaningrat berjudul “A/s lk een Nederlander was” (Seandainya Saya Orang Belanda). Pada bagian akhir tulisan tersebut Soewardi memberi gambaran
segi-segi negatif tindakan ikut merayakan hari Kemerdekaan Belanda bagi Bangsa Indonesia. Ia menulis bahwa perayaan itu sedikit pun tidak ada manfaatnya bagi bangsa lndonesia. Bahwa niat perayaan itu mengingatkan kepada rakyat: selama ldenburg menjabat sebagai wali negara, Negeri Belanda tidak akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Hajat perayaan itu memberi pengajaran kepada kita, bahwa tiap-tiap orang wajib memperingati hari pernyataan kemerdekaan rakyatnya dengan sekhitmad-khitmadnya. Soewardi juga menulis kritik melalui artikel “Een voor Allen, Maar ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua tetapi juga Semua untuk Satu) yang dimuat di harian De Express edisi bulan Juli 1913 . Soewardi menganjurkan pembentukan “Panitia Nasional” untuk bangsa Indonesia dengan maksud agar pada hari perayaan Kemerdekaan Nederland itu panitia mengirim telegram pernyataan selamat kepada Ratu Belanda dengan disertai permohonan agar artikel Ill Peraturan Pemerintah dibatalkan
dan segera dibentuk parlemen. Dalam membela rakyatnya Soewardi menulis “bukan saja tidak adil, tetapi sangat tidak patut, apabila penduduk bumiputera disuruh menyumbang uang untuk membelanjai perayaan itu. Tidak hanya diminta untuk ikut berpesta, tetapi juga hendak dikosongkan kantongnya”. Menurut Soewardi sungguh suatu penghinaan lahir dan batin. Sementara itu Tjipto
Mangoenkoesoemo menulis artikel “Kracht of Vrees?” (Kekuatan atau Ketakutan?).
Akibat kritik tajam itu Soewardi dan Tjipto Mangoenkoesoemo diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Soewardi ditahan di Bangka, sedang Tjipto Mangoenkoesoemo ditahan di Banda Neira.
Sementara itu Douwes Dekker diasingkan ke Kupang sesuai dengan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 2a tanggal 18 Agustus 1913 . Douwes Dekker ditahan karena memuji tulisan teman temannya melalui artikel “Onze Heiden, Tjipto Mangoenkoesoemo en R.M. Soewardi Soerjaningrat”
(Pahlawan-pahlawan kita, Tjipto Mangunkusumo dan R.M. Soewardi Soerjaningrat). Akhirnya mereka dipindahkan ke Belanda. Pada saat sidang pengadilan dan vonis dijatuhkan, Soerjaningrat hadir. Begitu sidang ditutup, Soewardi
menghampiri ayahandanya. Sesaat Soerjaningrat mengulurkan tangannya seraya berkata, “Aku bangga atas perjuanganmu. Terimalah doa dan restu Bapak. lngat, seorang kesatria tidak akan menjilat ludahnya kembali”
Pada saat itu Soewardi pengantin baru; meskipun sudah menikah, tetapi belum diresmikan di depan masyarakat. Peresmian terpaksa tidak dilaksanakan karena Soewardi dan istri harus segera meninggalkan tanah air. Pada malam hari sebelum mereka berangkat diadakan pergelaran wayang kulit untuk menghormati keberangkatan pemimpin-pemimpin tersebut bersama dengan keluarganya di
Negeri Belanda, tempat pengasingan mereka. Bapak Muhammadiyah Kiai Haji Dahlan bersama istri hadir pada malam itu. Keduanya sangat terharu Soewardi berangkat ke Belanda bersama istrinya naik kapal Bungalow milik maskapai pelayaran Jerman pada pada tanggal 6 September 1913.
Setibanya di tanah pengasingan yang harus dilakukan pertama-tama oleh Soewardi dan istrinya adalah menyesuaikan diri dengan iklim dan lingkungan tempat tinggal baru. Di daerah tropis orang pada umumnya tidak memusingkan pakaian untuk musim panas atau musim hujan. Tidak demikian
halnya di negeri dingin . Setiap orang harus memiliki baju, mantel, dan alat perlengkapan, seperti sepatu, sarung tangan, topi, dan kain leher khusus untuk musim dingin . Selain itu juga harus tersedia beberapa selimut tebal untuk keperluan tidur, di samping alat pemanas di rumah. Cara mengatur rumah juga
harus disesuaikan dengan lingkungan dan keadaan baru.
Di tanah pengasingan Soewardi dan dua orang kawan seperjuangannya hidup dengan biaya yang sangat terbatas. Pemerintah Belanda memberi bantuan namun sangat terbatas karena mereka menolak keputusan sebelumnya. Bantuan lain diterima dari Indonesia yang dikirim oleh ” Dana TADO”, yakni dana dari perkumpulan Nationaal lndiesche Partij (NIP), partai baru yang menampung bekas anggota IP. Pengumpulan dana tersebut dimaksudkan untuk menunjang perjuangan menuju kemerdekaan. Soewardi dan istri mendapat kiriman f ISO per
bulan. Demikian pula Cipto Mangunkusumo dan istri. Adapun Douwes Dekker dan istri dengan dua orang anakknya mendapat kiriman f 250 per bulan. Walaupun dengan keuangan sangat terbatas Soewardi selalu memegang teguh prinsip berdiri di atas kaki sendiri. Ia menolak bantuan yang sekiranya akan mengikat
agar tidak kehilangan kebebasan. Di Negeri Belanda Soewardi bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di berbagai universitas di negeri tersebut, di antaranya Sartono, Soebardjo, Laoh, dan Samsi.
Soewardi sering mengadakan pertemuan dengan mereka untuk bertukar pikiran. Pertemuan biasanya dilangsungkan di tempat kediaman Soewardi sambil menikmati masakan Indonesia. Keluarga Soewardi sering membeli hati ayam, ampela, iso, babad, dan sejenisnya karena harganya sangat murah. Orang
Belanda tidak mau makan jeroan ‘bagian dalam’ ayam dan bagian lain , seperti, sayap, leher, kepala, dan kaki. Berhubung Soewardi sering membeli jeroan ayam dalam jumlah besar, suatu ketika bertanyalah si penjual, ” Berapakah anjing tuan di rumah?”. Perlu diketahui bahwa di Barat jeroan dan sejenisnya menjadi makanan anjing. Untuk mencukupi biaya hidup yang tinggi, Soewardi mengirim artikel atau karangan lain ke surat kabar atau majalah di Negeri Belanda. Ia juga tetap membantu menulis untuk surat kabar Oetoesan Hindia yang diasuh oleh Cokroaminoto. Sebagai imbalannya ia menerima uang f 50 setiap bulan. Dari sahabat sahabatnya orang Indonesia yang telah lebih lama tinggal di Negeri Belanda, Soewardi mendapat bantuan barang dan bahan makanan. Mr. Gondowinoto, misalnya, memberi bantuan alat-alat rumah
tangga, beras, dan pakaian. Dari bekas gurunya di STOVIA, Dr. Koolemans Beymen, yang pada waktu itu menjadi profesor di Universitas Den Haag, dan keluarganya ia menerima banyak bantuan untuk keperluan kesehatan.
Ia juga bersahabat dengan seorang bangsawan yang mengikuti zaman, seorang
putra raja yang mempunyai dasar demokratis dan banyak memikirkan kepentingan rakyat. Nama bangsawan itu RMA Suryo Pranoto, putra Mangkunegaran. Betapa gembira Soewardi ketika mendengar berita bahwa RMA Suryo Pranoto dinobatkan menjadi Mangkunegara VII pada tahun 1916. Besar harapannya bahwa sahabatnya yang berpikiran modern itu-yang kemudian mempunyai kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya-dapat bekerja sesuai dengan gagasannya yang demokratis. Soewardi menilai raja baru tersebut sebagai orang yang berpendirian kuat dan telah melalui beberapa percobaan dalam hidup sehingga mencapai kematangan pribadi. Pada waktu masih belajar di Negeri Belanda Suryo Pranoto terkenal sebagai tokoh yang sangat simpatik dan pandai bergaul dengan orang-orang
muda ataupun orang tua. Ia seorang pemuda yang selalu gembira dan disebut oleh kawan-kawannya
“lebah yang selalu menyanyi”. Keluarga Soewardi sangat senang apabila ia tiba-tiba muncul di rumah
mereka pada malam-malam yang dingin. Kedatangannya selalui disertai kebiasaan bersenandung laguÂ
lagu
JawaY
Soewardi sangat bangga terhadap pangeran tersebut, seorang yang meninggalkan kehidupan mewah,
bekerja sebagai pembantu juru tulis yang pada waktu itu disebut dengan istilah magang, kemudian
menjadi
mantri di kabupaten, dan sebagian pendapatannya ditabung untuk membiayai berbagai kursus
guna menambah pengetahuan. Karena mempunyai kepandaian yang cukup dalam Bahasa Belanda
dan Bahasa Jawa, Suryo Pranoto diangkat menjadi penerjemah di Surakarta, dan kemudian pergi ke
Negeri Belanda untuk memperdalam pengetahuan mengenai bahasa-bahasa di Nusantara dan bahasa
Belanda. Selama berada di negeri dingin itu Suryo Pranoto tetap mengikuti kejadian-kejadian di tanah
air. Perhatiannya terhadap pergerakan Jawa Muda sangat besar. Oleh sebab itu ketika kembali ke tanah
air Suryo Pranoto mendapat penghargaan dari bangsanya, diangkat menjadi ketua Boedi Oetomo.
Hubungan erat Soewardi dengan Suryo Pranoto berlanjut hingga Soewardi Soerjaningrat dikenal
dengan nama Ki Hadjar Dewantara. KGPAA Mangkunegara VII itu memberi perhatian dan bantuan
yang besar bagi lembaga Taman Siswa yang didirikan Soewardi, di antaranya meminjamkan gedung milik
Mangkunegaran untuk Taman Siswa Cabang Sala. KGPAA Mangkunegara VII juga memberi bantuan
berupa uang untuk membangun penginapan di komplek Pendapa Agung Yogyakarta bagi tamu putri
dari India yang belajar tari serimpi di Taman Siswa.
Di Belanda Soewardi dan kawan-kawannya bergabung dalam Indonesia Vereeniging ‘Perhimpunan
Indonesia’. Soewardi aktif menulis di De lndier (majalah Het lndonesische Verbond van Studerenden)
dan Hindia Poetera (majalah Perhimpunan lndonesia). Selain itu Soewardi juga mendapat kesempatan menimba ilmu selama di pengasingan. Sementara itu pada tahun 1914 dr. Cipto Mangoenkoesoemo
diizinkan pulang kembali ke Hindia Belanda karena menderita sakit. Pada tahun 1916 Soewardi berhasil
mendapat ijazah guru Eropa dalam bidang paedagogie Atas anjuran perkumpulan “Aigemeen
Nederlandsch Verbond”, “Oost en West”, dan “Sociaal Democraties Arbeiders Party” Soewardi berkeliling memberi ceramah dan penerangan dengan menggunakan film. Ia menerangkan keadaan sebenarnya mengenai Indonesia, keinginan rakyat, serta menyanggah cerita-cerita bohong yangndisebarkan oleh Pemerintah Belanda tentang keadaan lndonesia. Selain menulis di De lndier dan Hindia Poetera Soewardi juga menulis di Het Volk dan De Groene Amsterdammer. Salah satu tulisannya yang di muat di Het Volk adalah “Terug naar het front” (Kembali ke Medan Perjuangan). Ia juga memimpin pertunjukan kesenian dalam peringatan ulang tahun kesepuluh Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1918 serta turut menerbitkan buku kenang-kenangan Sumbangsih bersama Drs. Sosrokartono dan RM Notosuroto. Pada bulan September 1918 ia mendirikan kantor berita lndonesische Persbuereau di Belanda. Kantor berita ini merupakan kantor berita pertama yang menggunakan nama “Indonesia” dan digunakan di suratkabar negeri Belanda. Melalui berbagai tulisan kantor berita ini melakukan perlawanan terhadap rencana pemerintah kolonial Belanda membentuk Koloniale Raad. Kantor berita tersebut juga menjadi tempat berkumpul orang-orang Indonesia yang menuntut ilmu di Belanda dan menjadi pusat propaganda bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun yang sama Dr. E.F.E. Douwes Dekker kembali ke Hindia Belanda menyusul dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo. Soewardi Soerjaningrat sebenarnya sudah bebas dari masa hukuman sejak tanggal
17 Agustus 1917, namun karena pada saat itu perang dunia sedang berkecamuk di Eropa Soewardi
belum bisa kembali ke Hindia Belanda. Selain itu masalah keuangan juga membuatnya kesulitan untuk
mendapatkan tiket pulang. Sebenarnya Mr. Van Deventer dan kawan-kawan sempat menawarkan
bantuan, tetapi ia menolak dengan sopan. Keputusan Pemerintah Belanada mengakhiri pengasingan membuat Soewardi dan keluarganya merasa keluar sebagai pemenang dari segala duka derita.B Ia kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1919 bersama istri dan kedua putranya yang lahir Belanda, Astri Wandansari dan Subroto Ario Mataram (nama anak kedua merupakan pemberian dr. Douwes Dekker, ternan senasib dan seperjuangan Soewardi). Setibanya di Hindia Belanda ia diangkat sebagai Ketua Pengurus Besar Nasional IP dan sebagai pembina De Express, De Beweging, dan Persatoean Hindia yang berkedudukan di Semarang.
Namun tak lama kemudia ia menjadi jurnalis pertama Indonesia yang terkena ranjau delict pers atas pidato dan tulisannya yang pedas. Ia dikenai hukuman penjara di Semarang pada tanggal 5 Agustus 1920. Pada bulan November 1920 untuk kedua kalinya ia terkena delik pers dan
dituduh menghina Sri Baginda Ratu Wilhelmina, Badan Pengadilan, Pangreh Praja, dan menghasut
untuk merobohkan Pemerintah Hindia Belanda. Akibat kasus ini ia ditahan di Semarang selama tiga
bulan sebelum akhirnya dipindahkan ke Pekalongan.
TAMAN SISWA
Pada akhirnya terjadi perubahan dalam diri Soewardi dalam memandang pergerakan. Ia yang semula
berminat pada dunia politik berubah menjadi orang yang ingin mengabdikan diri pada pendidikan.
Pandangannya terhadap keadaan sosial di Hindia Belanda tidak berubah, akan tetapi ia berpendapat
bahwa pemikiran tentang bangsa yang merdeka harus ditanamkan sejak dini ke masyarakat melalui
pendidikan. Sejak tahun 1921 Soewardi mulai menitikberatkan perhatian pada dunia pendidikan.
Ia menjadi guru di Adhi Darmo, sekolah yang didirikan oleh kakaknya, Raden Mas Soerjopranoto.
Pada tanggal 3 Juli 1922 ia mendirikan sekolah dengan nama Nationaal Onderwijs lnstituut
Taman Siswa-lebih dikenal dengan nama Taman Siswa-bertempat di Jalan Tanjung, Pakualaman, Yogyakarta. Dalam hal ini ia mendapat bantuan beberapa anggota perkumpulan “sarasehan Selasa Kliwonan”, yang beranggotakan tokoh-tokoh politik, kebudayaan, dan kebatinan,
antara lain RM Sutatmo Suryokusumo, Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, RM Gondoatmojo, BRM Subono, RMH Suryo Putro (paman Soewardi), dan Ki Ageng Suryomataram.
Sistem pendidikan yang diterapkan di Taman Siswa disebut among, yang dijiwai prinsip-prinsip ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di samping itu pada tanggal 7 Juli 1924 ia juga mendirikan Mula Kweekshool, setingkat SMP dengan pendidikan guru empat tahun sesudah pendidikan dasar.
Sekitar empat tahun kemudian, tepatnya tanggal 3 Februari 1928, Soewardi Soerjaningrat mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Menurut Ki Utomo Darmadi, hadjar memilik arti ‘pendidik’, dewan memiliki arti ‘utusan’, dan tara memiliki arti ‘tak tertandingi’, sehingga dapat disimpulkan bahwa makna Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidik utusan rakyat yang tak tertandingi dalam menghadapi
kolonialisme. Pada Kongres Perkumpulan Partai-partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) yang dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 1928 di Surabaya, Ki Hadjar Dewantara memberi prasaran tentang pendidikan nasional dan penyelenggaraan atau pembinaan perguruan nasional. Pada tahun yang sama, ia aktif menebitkan majalah, di antaranya Wasita, Poe sara ( 1931 ), Keluarga, dan Keluarga Putera ( 1936). Di samping aktif di dunia jurnalisitik dan pendidikan, Ki Had jar Dewantara juga aktif dalam bidang kesenian. Selama pengasingan di Belanda ia belajar seni drama pada Herman Kloppers. Ia bahkan mengarang buku
metode atau notasi nyanyian daerah Jawa, Sari Swara, yang diterbitkan tahun 1930 oleh JB Wolters.
Yang menarik, dari royalti yang didapat dari buku tersebut Ki Hadjar Dewantara dapat membeli sebuah
mobil sedan Chevrolet. Meskipun demikian pada akhirnya Ki Hadjar Dewantara tetap mengutamakan pendidikan sebagai tujuan hidupnya. Sekolah yang didirikannya, Taman Siswa, mendapat banyak tentangan baik dari masyarakat pribumi maupun pemerintah kolonial. Peraturan tentang Ordonansi Sekolah Liar yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1932, misalnya, sempat menyulitkan Taman Siswa dan sekolah swasta lainnya. Ordonansi tersebut sesuai dengan isi Staatsblad 1932 No. 494 yang mulai berlaku pada I Oktober 1932. Tentu saja Ki Hadjar Dewantara tidak tinggal
diam. Ia mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal di Bogor yang isinya menentang pengesahan
peraturan tersebut. Dengan berbagai dukungan yang diterimanya Ki Hadjar Dewantara berhasil
menunda pengesahan peraturan tersebut. Walaupun begitu Ordonansi Sekolah Liar tetap diterbitkan
sesuai dengan Staatsblad No. 66 tanggal 21 Februari 1933. Perjuangan Ki Hadjar Dewantara
mempertahankan Taman Siswa tidak sampai di situ. Pada tahun 1935 pemerintah Hindia Belanda
melakukan provokasi: jika mendaftarkan anaknya ke Taman Siswa vrijbijljet atau kartu gratis pegawai
kereta api akan dicabut. Sementara itu untuk pegawai negeri yang mendaftarkan anaknya di Taman
Siswa kindertoelage atau tunjangan anak dicabut dan disusul loon belasting atau pajak upah juga ikut
dicabut.
Ki Hadjar Dewantara melawan kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut dengan tetap menerapkan sistem kekeluargaan di lingkungan Taman Siswa, sehingga akhirnya pada tanggal IS Juli 1940 pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengakui aturan di lingkungan Taman Siswa dan pajak upah pun dibebaskan. Dengan berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi , Taman Siswa dianggap sebagai
cikal bakal landasan sistem pendidikan nasional. Jepang berhasil menduduki Hindia Belanda. Ki Hadjar Dewantara ditunjuk oleh pemerintahan militer Jepang memimpin Putera (Pusat Tenaga Rakyat) besama dengan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Kiai H. Mansyur.
Setelah Putera dibubarkan tahun 1944, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi anggota Naimuhu Bunkyokyoku Sanyo ‘Kantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan’.
MASA KEMERDEKAAN
Setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi menteri
pengajaran pada kabinet pertama Indonesia. Pada malam hari setelah pelantikannya sebagai menteri ia
menyempatkan diri hendak makan malam bersama keluarganya, tetapi pada pagi harinya terjadi insiden
di Gondangdia yang mengakibatkan kekurangan bahan untuk lauk pauk. Dewantara, anak Ki Hadjar
Dewantara, berinisiatif membeli bakmi. Pada malam itu Ki Hadjar Dewantara menghabiskan waktu
bersama keluarganya sambil menyantap bakmi dan bercerita. Pada tahun 1946 Ki Hadjar Dewantara diberi tugas menjadi Ketua Panitia Penyelidik Pengajaran dan pada tahun 1948 diberi tugas menjadi Ketua Badan Penasihat Pembentukan Undang-undang dengan menempatkan dasar-dasar bagi pendidikan dan pengajaran dalam undang-undang tersebut. Hasil usaha tersebut tertuang dalam UU No. 4 Tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Atas jasa-jasanya Ki Hadjar Dewantara dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra. Ia juga memperoleh gelar Doctor Honoriscausa dalam bidang kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada.
Sejak pemerintah Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta Ki Hadjar Dewantara menduduki beberapa
jabatan, antara lain sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sesudah penandatanganan perjanjian
Konferensi Meja Bundar (KMB), yang disusul berdirinya Republik Indonesia serikat (RIS), secara
pribadi Bung Karno meminta agar Ki Hadjar Dewantara bersedia menjadi anggota parelemen RIS
dengan alasan untuk memperkuat kubu kaum republikan. Sebagai anggota DPA sudah selayaknya Ki
Hadjar Dewantara masuk keanggotaan parlemen RIS, namun Ki Hadjar Dewantara secara kukuh dan
konsisten menolak kompromi Indonesia dengan Belanda sejak perundingan Renville, Linggarjati, sampai
KMB. Oleh sebab itu Presiden Soekarno menganggap perlu melakukan pendekatan secara pribadi pada
Ki Hadjar Dewantara. Maka terjadilah kesepakatan antara Ki Had jar Dewantara dan Presiden Soekarno.
Ki Hadjar Dewantara akan berada di parlemen RIS sampai kaum republikan berhasil membatalkan
perjanjian KMB serta bentuk dan kedaulatan negara pulih menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berkonstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan berasas Pancasila.
Demikianlah kesepakatan yang terjadi di balik pentas politik. Seperti apa yang sudah dilaporkan,
Ki Hadjar Dewantara berada di pos ini sampai tanggal I April 1954. Beberapa saat sesudah perjanjian
KMB batal RIS dilikuidasi dan parlemen RIS dirombak menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Sementara
(DPRS Rl). Kemudian Ki Hadjar Dewantara mengundurkan diri dari parlemen atas dasar permintaannya sendiri. Adapun alasan yang resmi ialah demi regenerasi, di samping kesehatan jasmani tidak mengizinkannya lagi. Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959. Jenazahnya dimakamkan pada tanggal 29 April 1959 dengan upacara militer yang dipimpin lnspektur Upacara Kolonel Soeharto di makam Taman Wijaya Brata, Celeban, Yogyakarta. Tanggal kelahirannya ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari pendidikan nasional. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, kiprahnya dalam dunia pers juga diakui. Hal ini ditandai dengan diangkatnya Ki Hadjar Dewantara menjadi Ketua Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1959; bahkan pada tahun 1976 juga mendapatkan gelar Perintis Pers Indonesia yang diberikan langsung oleh Pemerintah Republik lndonesia.
Sementara itu atas inisiatif Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 20 Mei 1948 diperingati sebagai tanggal lahir Boedi Oetomo yang ke-40 untuk pertama kalinya dan diperingati di ibukota negara saat itu, yaitu Yogyakarta. Ki Hadjar Dewantara yang menjadi Ketua Panitia menyatakan lahirnya Boedi Oetomo sebagai Hari Kebangunan Nasional, yang oleh Presiden Soekarno istilah Kebangunan Nasional kemudian diganti menjadi Hari Kebangkitan Nasional
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Ki Hadjar Dewantara (Masa Jabatan 19 Agustus 1945 – 14 November 1945) […]
[…] 1947). Suwandimembentuk Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia (PPPRI) yang diketuai olehKi Hadjar Dewantara, yang bertugas meletakkan dasar-dasar dan susunan ejaan baru.Pada masa Soewandi inilah diberlakukan […]
[…] juga : Profil Ki Hajar DewantaraGoenarso diangkat menjadi Menteri Muda Pengajaran dalam Kabinet Sjahrir Ill (2 Oktober1946-27 Juni […]
[…] Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]
[…] Baca juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]
[…] Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]
[…] Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]
[…] Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]
[…] Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]
[…] Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]
[…] Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]
[…] Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]
[…] Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]
[…] Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara […]