Menteri Pendidikan Masa Jabatan 4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949
PENDIDIKAN
Ki Sarmidi Mangunsarkoro lahir pada tanggal 23 Mei 1904 di Desa Banyuanyar, Colomadu, Surakarta, Jawa Tengah. Nama aslinya Sarmidi, sedangkanbMangunsarkoro merupakan nama ayahnya. Sarmidi berasal dari keluarga priyayi rendah. Ayahnya seorang abdi da/em Keraton Surakarta dengan gelar “rangga”, sehingga namanya menjadi Rangga Mangunsarkoro. Gelar tersebut diperoleh Mangunsarkoro sebagai pejabat yang memimpin suatu daerah setingkat desa untuk mengelola tanah dan hasil buminya kemudian disetorkan ke keraton. Nama Mangunsarkoro terdiri dari dua kata, yaitu mangun yang berarti ‘ mengelola’ dan sarkoro yang berarti ‘gula’. Dengan demikian jelas bahwa Desa Banyuanyar di Colomadu merupakan salah satu wilayah penghasil gula. Tugas dan nama demikian diberikan langsung dari Keraton Surakarta. Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pegawai keraton Surakarta, Sarmidi mengetahui suasana tradisi dan lingkungan feodal yang dicerminkan oleh perbedaan besar dalam kemakmuran antara kaum bangsawan dan orang kebanyakan dari kalangan rakyat. Dengan jabatan yang
dimiliki ayahnya, Sarmidi memiliki nasib yang lebih baik daripada anak-anak lain di desanya. Pada umur 10 tahun ia masuk ke Sekolah Angka Loro di Sawahan, Surakarta. Setelah tamat Sekolah Angka Loro 2 pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Teknik Prinses Juliana School Yogyakarta. Meski mengenyam pendidikan di sekolah teknik, namun ia cenderung mempelajari
ilmu di luar bidang teknik tersebut, seperti pendidikan dan psikologi. Hal ini terlihat dari bergabungnya Sarmidi ke dalam Islam Studie Club di sekolah tersebut. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Prinses Juliana School,
ia merantau ke Batavia dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Arjuna. Kepindahannya ke Batavia membuat dirinya dekat dengan kegiatan pergerakan. Sebelumnya ia telah bergabung dengan Jong Java pada tahun 1922 dan memimpin majalah terbitan Jong Java, Soeara Afdeling Djogja ; bahkan
pada tahun 1926 ia terpilih menjadi Ketua Jong Java .
TAMAN SISWA
Setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Guru Arjuna pada tahun 1926 Sarmidi kembali ke Yogyakarta dan menjadi guru di Taman Muda Perguruan Taman Siswa. Gelar ” Ki ” didapatkannya ketika ia mengajar di sana. Sarmidi menghabiskan waktunya menjadi guru di Taman Siswa selama tiga tahun
sebelum akhirnya pindah ke Jakarta pada tahun 1929. Di Jakarta, Sarmidi diangkat sebagai kepala sekolah HIS Budi Utomo dan kemudian juga menjadi kepala sekolah HIS Marsudi Rukun. Pada tahun 929 tersebut Sarmidi bersama teman-temannya menggabungkan HIS Budi Utomo dan Marsudi Rukun
yang menjadi cikal bakal berdirinya sekolah Taman Siswa Jakarta. Satu tahun kemudian ia bersama Angron Sudirjo dan Basirum mendirikan Perguruan Taman Siswa pertama di Jakarta atas permintaan penduduk Kemayoran dan direstui
oleh Ki Hadjar Dewantara. Adapun modal pertama sebesar Rp 500,00. Sejak Perguruan Taman Siswa Jakarta berdiri ia mengabdikan diri dalam perguruan ini, baik sebagai guru maupun pengurus Majelis Luhur Taman Siswa. Pada upacara Penutupan Kongres atau Rapat Besar Umum Taman Siswa pertama di Yogyakarta pada 13 Agustus 1930, Ki Sarmidi bersama Ki Sadikin, Ki S. Djojoprajitno, Ki Poeger, Ki Kadiroen, dan Ki Safioedin Soerjopoetro atas nama Persatuan Taman Siswaseluruh Indonesia menandatangani Keterangan Penerimaan Penyerahan “Piagam Persatuan Perjanjian Pendirian” dari tangan Ki Hadjar Dewantara,Ki Tjokrodirjo, dan Ki Pronowidigdo untuk mewujudkan usaha pendidikan yang beralaskan hidup dan penghidupan bangsa dengan nama Taman Siswa yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Sebagai salah satu orang yang terpilih oleh Ki Hadjar Dewantara untuk memajukan, menggalakkan,serta memodernisasikan Taman Siswa berdasar rasa cinta tanah air serta berjiwa nasional, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mempunyai beberapa pemikiran demi terlaksananya cita-cita pendidikan Taman Siswa. Melalui pendidikan ia bercita-cita membentuk kebudayaan baru Indonesia. Hal ini berarti Taman Siswa Jakarta dengan sadar menerima dan mengikuti perkembangan dan pergantian Bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan nasional.
Pada tahun 1931 Sarmidi ditugasi menyusun Rencana Pelajaran Baru dan pada tahun 1932 disahkan
sebagai “Daftar Pelajaran Mangunsarkoro”. Atas dasar tugas tersebut pada tahun 1932 ia menulis
buku Pengantar Guru Nasional. Buku tersebut mengalami cetak ulang pada tahun 1935. Dalam “Daftar
Pelajaran Mangunsarkoro” yang mencerminkan cita-cita Taman Siswa dan Pengantar Guru Nasional itu
di dalam arus pergerakan nasional di Indonesia khususnya dan Asia pada umumnya dapat disimpulkan
pemikiran Sarmidi mewakili aspek kebangunan nasionalisme, yaitu “aspek kebudayaan”, “aspek sosial
ekonomis”, dan “aspek politik”. Aspek kebudayaan pada hakikatnya merupakan usaha menguji hukumÂ
hukum kesusilaan dan mengajarkan berbagai pembaharuan sesuai dengan alam dan zaman, aspek sosial
ekonomis adalah usaha meningkatkan derajat rakyat dengan menumbangkan cengkeraman ekonomi
bangsa-bangsa Eropa Barat, sedangkan aspek politik adalah usaha merebut kekuasaan politik dari
tangan Pemerintah Kolonialisme Belanda.
Pada awalnya Taman Siswa Jakarta menempati sebuah gedung di Jalan Garuda No. 34 Jakarta. Di
bawah pimpinan Sarmidi Taman Siswa Jakarta tumbuh dan berkembang baik secara horizontal maupun
secara vertikal. Taman Siswa Jakarta terdiri atas Taman Kanak-Kanak (Taman lndria) dan Taman
Muda, kemudian pada tahun 1931 dibuka pula Taman Dewasa (Sekolah Menengah Pertama) dan
pada tahun 1933 dibuka Taman Dewasa, yang kemudian berkembang menjadi Taman Dewasa Raya
(Sekolah Menengah Lima Tahun), setingkat Hoogere Burgerschool (HBS), dengan semboyan “Menuju
Masyarakat dan Sekolah Tinggi Nasional” sekaligus sebagai persiapan Perguruan Tinggi Kebangsaan.
Taman Dewasa Raya mempunyai program “Literrir Ekonomis”, yang timbul karena ada anggapan bahwa
tanpa pengetahuan ekonomi bangsa Indonesia tidak akan bertahan dalam perputaran dunia. Tujuan
Literrir Ekonomis adalah mendidik pekerja-pekerja dalam bergaul agar selalu berjiwa cinta pada tanah
air dan bangsa. Taman Siswa Jakarta yang pada awalnya kecil akhirnya kebanjiran murid, baik di Taman Kanak-Kanak, Taman Muda, Taman Dewasa, maupun di Taman Dewasa Raya sebagai persiapan perguruan tinggi kebangsaan. Sarmidi memang sangat pandai mendekati rakyat. Meskipun demikian usaha Sarmidi
tidak mudah. Ada saja hambatan yang menghampirinya. Sebagai contoh, pada tahun 1934 terjadi
“pemberontakan” di lingkungan Taman Siswa Jakarta. Sarmidi mengambill angkah untuk menyelamatkan
Taman Siswa terhadap tindakan Armijn Pane dan kawan-kawan, yang oleh Majelis Luhur Taman Siswa
dianggap oentoe/aatbaar ‘dilarang keras’. Duapuluh dua orang guru menyatakan tidak setuju terhadap
kebijaksanaan Sarmidi yang mereka sebut diktator. Akibatnya Sarmidi sempat mengundurkan diri,
tetapi Majelis Luhur campur tangan dan berpihak pada Sarmidi. Sarmidi dilantik kembali, tetapi dari
22 orang guru yang memberontak 17 orang menyatakan keluar dari Taman Siswa, di antaranya Mr.
Sumanang, Armijn Pane, Yusupadi, dan Nona Burdah. Beberapa Perguruan Taman Siswa melepaskan
diri, sedangkan Taman Siswa Cabang Jakarta-yaitu Kemayoran dan Jatinegara-tetap berada di
bawah kepemimpinan Sarmidi.
Sarmidi mempunyai pendirian kuat, tidak mudah terpengaruh oleh siapa pun, ulet, dan mempunyai
keyakinan kuat. Walapun zaman berubah, Sarmidi Mangunsarkoro tetap seperti gunung yang tegar
menghadapi segala cuaca. Sifat-sifat ini, misalnya, tampak saat berselisih pendapat dengan Muhammad
Said. Para guru muda yang berdarah panas dan penuh emosional mengecam Sarmidi sebagai orang yang
kurang rasa sosial dalam segala tindakan. Perselisihan ini berakhir dengan mundurnya Sarmidi sebagai
Ketua Cabang Taman Siswa, yang kemudian digantikan oleh Sukanto.
Sarmidi menulis buku yang berisi bagaimana pentingnya pendidikan bagi bangsa dan anak-anak
Indonesia. Buku itu, di antaranya, mengatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional bertujuan
agar anak-anak kelak menjadi manusia yang berjiwa nasionalis, dalam arti pembawa cita-cita nasional.
Dengan demikian hal itu berarti mengganti masyarakat lama dan telah rusak menjadi masyarakat baru,
masyarakat nasional yang dapat menjamin kebahagiaan untuk rakyat sebanyak-banyaknya. Pada waktu itu pergerakan nasional semakin berkembang meskipun mengalami hambatan dari pemerintahan
kolonial serta perpecahan di dalam organisasi mereka sendiri. Sesuai dengan keadaan tersebut, semakin dalamlah kesadaran Sarmidi bahwa mengetahui warisan kebudayaan bangsa sendiri merupakan suatu keharusan bagi keberhasilan pergerakan nasional. Tentang peran dan kedudukan budaya sendiri
di dalam pergerakan nasional terdapat dua pendapat. Pendapat pertama berasal dari kaum politik nasional: bahwa hal-hal kenegaraan yang lebih luas harus ada lebih dulu, karena kehidupan kebudayaan baru terjamin jika pergerakan politik sudah cukup kuat dan berpengaruh. Adapun pendapat kedua
berasal dari kaum budaya nasionalis: bahwa lebih dahulu meningkatkan kebudayaan sendiri, yang berarti mempermudah kebebasan politik, sehingga rakyat lebih maju dan dapat menanggung resiko yang dibebankan dalam alam merdeka. Dalam hal ini Taman Siswa menitikberatkan usaha sesuai dengan pendapat yang kedua, meskipun tidak dapat disangkal bahwa sewaktu-waktu Taman Siswa dapat memberikan dorongan berpolitik yang nyata seperti ketika menolak politik pengajaran gubernur dan ketika menghadapi Onderwijs Ordonantie Sekolah Partikelir (Undang-Undang Sekolah Liar).
Pada tahun 1937 Ki Sarmidi Mangunsarkoro menulis “Het Nationalisme in de Taman SiswaBeweging
(Nasionalisme Dalam Pergerakan Taman Siswa) yang dimuat dalam Nationale Studien No.2 Tahun 1937.
Berdasarkan pengertiannya tentang kebudayaan, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mengadakan penelitian
tentang nasionalisme di dalam Taman Siswa yang dikaitkan dengan usaha mewujudkan pendidikan
nasional. Usaha tersebut ingin dicapai melalui “rencana pelajaran” berdasarkan unsur-unsur kebudayaan
sendiri dengan prioritas bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Selanjutnya ia menunjukkan segiÂ
segi religi dalam nasionalisme Taman Siswa dan bahwa nasionalisme itu bertujuan untuk mencapai
tingkat yang lebih tinggi bagi manusia, yakni kemanusiaan. Dalam tulisan itu ia menjawab pertanyaan
apakah nasionalisme dalam Taman Siswa juga bersifat politik. Ia mengungkapkan pendapat Ki Hadjar
Dewantara pada tahun 1933, yang menggambarkan hubungan Taman Siswa dengan pergerakan
politik ibarat ladang atau sawah-tempat yang ditanam dan yang dibutuhkan untuk mempertahankan
kehidupan-dengan pergerakan politik nasional sebagai pagarnya. Guru Taman Siswa boleh menjadi
anggota partai politik, tetapi dilarang keras membawa politik ke ruang sekolah. Setiap guru Taman Siswa
harus berjanji memperhatikan dan menaruh kepentingan sekolah di atas segala-galanya dan-sesuai
dengan azas perguruan-guru harus menganggap pekerjaan mendidik merupakan tugas hidupnya.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro juga menjelaskan bagaimana Taman Siswa melihat hubungan nasionalisme
dalam lingkungan internasional. Dalam hal ini ia mengemukakan “asas konsentrisitas” atau “teori
trikon”. Melalui teori trikon ia mengemukakan asas-asas utama pendidikan dalam satu tritunggal, yaitu
konfergensi dari bakat dan pendidikan, kontinuitas dalam perkembangan, serta konsentrisitas dalam
pendirian tentang masyarakat. Ia menjelaskan bahwa konsentrisitas bersangkut paut dengan masingÂ
masing pribadi memiliki beberapa posisi dalam lingkungan masyarakatnya, yang digambarkannya
sebagai lingkaran konsentris. Lingkaran pertama adalah keluarga, lingkaran kedua suku atau keturunan,
lingkaran ketiga negara, dan lingkaran keempat seluruh umat manusia. Jumlah lingkaran dapat saja
ditambah, tetapi pendirian tidak akan berubah. Setiap orang mempunyai kewajiban dan hak terhadap
semua lingkungan kemasyarakatan itu dengan cara sedemikian rupa; bahwa sekarang lingkungan yang
satu dan kemudian yang lain lebih banyak menonjol, tergantung pada perkembangan harmonis secara
keseluruhannya. Dengan demikian nasionalisme Taman Siswa pada dasarnya tidak pernah bermusuhan terhadap nasionalisme yang lain atau terhadap asas internasional, tetapi dengan syarat bahwa semua
nasionalisme harus saling menghormati. Dengan demikian Taman Siswa berusaha mengabdi pada bangsa
sendiri dan juga dunia. Dengan meninjau sistem among, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mengambil dua asas
Taman Siswa sebagai pangkal tinjau, yaitu asas kedua dan asas keempat. Asas kedua Taman Siswa
berbunyi: “Dalam sistem ini maka pengajaran berarti mendidik anak menjadi manusia yang merdeka
batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tangannya”. Jadi dalam sistem in i pendidikan ke arah
kepribadian merupakan tugas utama. Akan tetapi kepribadian masyarakat seperti yang dikehendaki
oleh asas keempat, yakni mengakui pribadi-pribadi kuat sebagai pendorong perkembangan negara.
“Kekuatan negeri itu jumlahnya kekuatan orang-orangnya”, demikianlah asas keempat.
Pada masa pendudukan Jepang, Sarmidi bekerja sebagai Kepala Bagian Penerangan Djawa Hokokai.
Pada kurun waktu 1943-1945 ia bertugas sebagai Kepala Bagian Kebudayaan dan Pendidikan Kantor
Pusat Djawa Hokokai dan sebagai pemimpin redaksi majalah Djawa Hokokai, yaitu Majalah Indonesia
Merdeka. Pada zaman pendudukan Jepang, Taman Siswa mengalami hambatan karena Pemerintah
Pendudukan Jepang mengeluarkan peraturan tentang “Sekolah Partikelir”. Peraturan ini berisi bahwa
sekolah-sekolah yang dikelola partikelir hanya diperbolehkan membuka sekolah kejuruan dan tidak
boleh mengelola sekolah guru. Dengan adanya peraturan “Sekolah Partikelir” maka pada tanggal 18
Maret 1944 Taman Dewasa diubah menjadi Taman Tani , sedangkan Taman Madya dan Taman Guru
dibubarkan. Murid-murid yang pindah ke sekolah pemerintah akan diterima. Demikian juga guruÂ
gurunya yang berkeinginan menjadi pegawai negeri akan diterima dan masa kerjanya akan dihargai.
Dengan pembubaran Taman Madya dan Taman Guru berarti jumlah sekolah yang dikelola oleh Taman
Siswa menjadi berkurang. Demikian juga dengan pengubahan Taman Dewasa menjadi Taman Tani
mengurangi jumlah siswa karena Pemerintah Pendudukan jepang mengadakan pembatasan jumlah
siswa. Pemerintah Jepang takut pada perkembangan sekolah-sekolah yang dikelola Taman Siswa yang
berdasarkan kebangsaan. Berhubung Ki Hadjar Dewantara diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi
Naimubu Bunkyokyuku Sanjo, Majelis Luhur menyelenggarakan Rapat Besar ke VIII pada tanggal 24-26 Desember 1944 di Yogyakarta. Rapat Besar ini membicarakan masalah tugas-tugas Majelis Luhur
setelah Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Naimubu Bunkyokyuku Sanjo sehingga jabatan sebagai
Pemimpin Umum dilepas, meskipun sebagai bapak keluarga Taman Siswa tetap berlaku. Dengan
demikian susunan Majelis Luhur juga berubah. Dalam susunan Majelis Luhur yang baru Ki Sarmidi
Mangunsarkoro duduk sebagai Majelis Pertimbangan Pemeliharaan Organisasi.
Pada bulan Agustus 1946, Taman Siswa mengadakan Rapat Besar yang ke IX di Yogyakarta, membicarakan beberapa masalah yang berkait dengan suasana baru dalam alam kemerdekaan. Rapat Besar
ini bertujuan membentuk panitia yang bertugas merumuskan kembali ” Keterangan Asas” yang
ditulis dan diresmikan dalam protokol pendirian Taman Siswa 1922. Panitia dipimpin oleh Ki Sarmidi
Mangunsarkoro, yang lebih dikenal dengan sebutan Panitia Mangunsarkoro.
Hasil kesimpulan Panitia Mangunsarkoro sebagai berikut:
- Adanya rumusan baru yang merupakan Keterangan Dasar-dasar Taman Siswa tahun 1947,
yang isinya diambil dari Keterangan Asas 1922. - Sebagian Asas 1922 tidak digunakan lagi karena perjuangan sudah berbeda dengan saat Taman
Siswa berdiri pada tahun 1922. - Dasar-dasar Taman Siswa 1947 yang disahkan oleh Rapat Besar Umum tahun 1947 mengandung
pengertian dasar yang dikenal dengan Ponca Dharma, yaitu kodrat alam, kemerdekaan,
kebudayaan, kemanusiaan, dan kemanusiaan. - Bahwa Taman Siswa adalah lanjutan cita-cita Suwardi Suryaningrat dan kawan-kawan yang
tergabung dalam kelompok Selasa Kliwon. Suwardi Suryaningrat adalah ahli pendidik dan
tenaga kreatif revolusioner yang dapat menghimpun cita-cita, kemasyarakatan, dan pendidikan
gerombolan Selasa Kliwon .
KEHIDUPAN BERKELUARGA
Tahun 1929 merupakan tahun penting bagi Sarmidi. Ia menemukan jodoh dan menikah dengan Sri
Wulandari yang juga merupakan salah satu pamong di Perguruan Taman Siswa. Pernikahannya menjadi
istimewa karena Ki Hadjar Dewantara berkenan menjadi salah satu wali nikah. Dalam mengarungi
bahtera rumah tangga, keluarga Sarmidi mengalami suka dan duka. Suka apabila segala apa yang dicitaÂ
citakan kedua pasangan hidup ini tentang organisasi Taman Siswa berjalan sesuai dengan yang dicitaÂ
citakan Ki Hadjar Dewantara, sedang duka apabila melihat dan mendengar bahwa rasa nasionalisme
dalam pendidikan menurun. Keluarga Sarmidi memang keluarga yang memiliki intelektual tinggi,
meskipun demikian Sarmidi juga menunjukkan keinginan terhadap soal-soal kebatinan dan kejiwaan
pada umumnya dan khususnya pendidikan budi pekerti. Dari pernikahannya itu ia memiliki delapan
orang anak. Sarmidi memiliki sikap tersendiri mengenai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ia percaya adanya kodrat dari Yang Maha Besar sebagai pusat kesatuan seluruh alam. Manusia wajib menghadapi segala sesuatu di dunia ini dengan ikhlas, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, yang baik maupun yang buruk. Bukankah semua itu ada karena kodrat alam dan oleh sebab itu juga terikat oleh hukum evolusi , hukum yang berkembang sesuai dengan dasar dan kekuatan yang terkandung di dalamnya. lnilah sikap nrima yang menjadi dasar hidupnya. Sikap demikian dilakukannya dengan gembira, hidup bersahaja dalam suasana pengorbanan dengan keikhlasan. Gembira karena kepuasan batin karena gelora hatinya suci mendapat jalan dan irama yang sama. Dirasakannya bahwa bunga melati yang putih bersih di dalam taman jiwannya dapat berkembang dan memberi keharuman di sekitarnya, serta ada kemungkinan cita-cita kawula-gusti akan terwujud sebagai sumber bahagia yang tiada bandingannya. Sumber bahagia keluar dalam bentuk pengabdian mutlak terhadap Yang Maha Kuasa.
Dalam mencapai cita-cita kawula-gusti setiap agama menjadi penunjuk jalan bagi pemeluknya dalam melaksanakan kehidupan sehari- hari. Agama yang dirasakan paling cocok dengan hati nuraninya
itulah yang dapat menjadi petunjuk yang paling dapat diterima jiwanya. Setiap agama mempunyai dasar
jiwa tertentu. ltulah sebabnya agama dipaksakan harus diterima oleh seseorang. Meski demikian satu hal
yang tidak boleh dilupakan, yakni bahwa setiap agama menghendaki kesempurnaan kemajuan manusia.
Oleh karena itu barang siapa memberikan hidupnya untuk kepentingan kesempurnaan kemajuan umat
manusia dan berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, maka manusia tersebut akan
mendapat kehormatan berada di sisi Yang Maha Kuasa.
POLITIK DAN MASA PERGERAKAN
Sarmidi selalu menganjurkan paham Indonesia bersatu. Ternyata anjurannya menjadi kenyataan. Dalam kongres Jong Java di Sala tahun 1926 tujuan Jong Java berubah menjadi berusaha memajukan rasa persatuan para anggota dengan semua golongan bangsa Indonesia, akan bekerjasama dengan
perkumpulan-perkumpulan pemuda Indonesia lain, dan ikut serta menyebarkan dan memperkuat
paham Indonesia bersatu. Setahun setelah pengangkatannya sebagai Ketua Jong Java pada tahun 1926
ia diangkat menjadi Ketua Jong Theosofien Yogyakarta. Ia semakin serius mendalami ilmu pendidikan
di Dreijarige Normaalcursus Djogjakarta pada tahun 1927. Pada saat menjadi anggota Pengurus Besar Pemuda Indonesia ia sangat tertarik pada Partai Nasional Indonesia (PNI) karena cita-cita politik persatuan dalam PNI tidak disembunyikan dan dapat dikatakan berterus terang. Atas dasar itulah pada tahun 1928 Sarmidi secara resmi masuk menjadi anggota PNI dan sejak itu pula ia aktif berjuang di bidang politik melalui PNI. Nasionalisme melalui persatuan rakyat yang selalu ditekankan oleh PNI tidak hanya terungkap dengan terbentuknya Pemufakatan Perhimpunan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), tetapi juga berpengaruh pada organisasi-organisasi pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Sebagaimana dicatat bahwa Sumpah Pemuda atau Kongres Pemuda Indonesia II pada hari Minggu tanggal 27-28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop, Jakarta, yang dipimpin
oleh Sugondo Joyopuspito itu dihadiri oleh utusan organisasi-organisasi pemuda, termasuk Pemuda
Indonesia. Sarmidi juga hadir dalam kongres tersebut. Sebagai salah satu wakil Pemuda Indonesia ia menyampaikan pidato dengan judul “Pentingnya Pendidikan Kebangsaan Bagi Pemuda”. Kongres juga memperkenalkan lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman dan bendera Merah Putih yang dianggap sebagai bendera pusaka Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan salah satu puncak pergerakan nasional, sehingga peristiwa bersejarah tersebut setiap tahun diperingati sebagai hari besar nasional.
Di samping perjuangan dalam pergerakan nasional dan keteguhan hati dalam menciptakan persatuan bangsa yang tinggi, di sisi lain Ki Sarmidi Mangunsarkoro mempunyai kepribadian yang unik, terutama dalam hal berpakaian. Ia selalu memakai peci hitam, kemeja schiller putih, bersarung Samarinda, sepasang sendal, dan berkumis tebal. Semula ia senang mengenakan celana panjang, berdasi, dan
tidak berpeci; tetapi sejak peci menjadi tanda kaum pergerakan ia menyesuaikan diri dengan mengenakan peci. Ia selalu bersarung untuk menunjukkan sifat berani: berani tampil beda di hadapan orang lain, berani menjadi pusat perhatian pada acara resepsi yang semua tamu mengenakan celana panjang.
Setelah PNI dibubarkan dan berubah menjadi Partindo, Sarmidi aktif menjadi Ketua Badan Pendidikan,
dan ketika aktif di Gerindo ia aktif menulis di majalah bulanan Sin Tit Po, Surabaya. Pada tahun 1940 Ki Sarmidi Mangunsarkoro dipercaya menjadi anggota pengurus Perhimpunan untuk Memajukan Ekonomi Rakyat (POMER). Dalam hal ini ia menganjurkan perluasan pendidikan perekonomian di Perguruan Nasional Taman Siswa. Di samping itu ia menjadi pemimpin redaksi dan menulis sejumlah karya dalam Kebudayaan dan Masyarakat, majalah bulanan berdasar kebangsaan dan beralamat di Vliegveldlaan 34, Batavia Centrum. Ki Hadjar Dewantara menjadi anggota kehormatan dengan anggota-anggota Susilowati, R. Atmowirogo, Mr. Hindromartono, Dr. Murjani, Mr. Samsudin, dan W. Suryokusumo. Kebudayaan dan Masyarakat terbit setiap satu bulan sekali, memuat masalah masalah sosial, politik, dan kebudayaan. Majalah ini bubar pada bulan Desember 1941 karena meletus perang Asia Timur Raya. Pada tahun 1941 itu juga Ki Sarmidi Mangunsarkoro mendirikan sekolah dagang kecil, “Taman Masyarakat Dagang”, di Jakarta.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Letnan Jenderal Terpoten dan Gubernur Jenderal Tjarda Van Starkenborg Stachouwer menyerah tanpa syarat kepada Letnan Jenderal Hitoshi Imamura di lapangan terbang Kalijati , Bandung. Dengan penyerahan tersebut, maka berakhirlah penjajahan Belanda atas Indonesia dan diganti kekuasaan Kemaharajaan Jepang. Rakyat Indonesia yang sama sekali tidak dipersiapkan untuk menentukan nasibnya sendiri dilempar begitu saja oleh pihak Belanda pada kekejaman penguasa Jepang. Dengan demikian secara moril pihak Belanda telah kehilangan hak atas Indonesia.
Baca Juga : Sejarah Kurikulum Indonesia
MASA KEMERDEKAAN
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu. Pada waktu itu di Indonesia sedang
dalam keadaan vacum of power ‘kekosongan kekuasaan’, yang kemudian dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh para pemimpin bangsa untuk memproklamasikan kemerdekaan. Menjelang akhir perang Asia
Timur Raya semangat nasionalisme bangsa Indonesia dalam posisi kuat, sehingga mampu melaksanakan
proklamasi kemerdekaan dan membentuk kabinet untuk melancarkan roda pemerintahan. Panitia
Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan 12 kementerian di lingkungan pemerintah. Namun demikian, pembentukan kabinet Negara Republik Indonesia yang pertama baru dapat terlaksana pada tanggal 2 September 1945. Kabinet pertama ini merupakan kabinet presidensial. Presiden memiliki dua fungsi dan kedudukan, yaitu sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Oleh sebab itu kabinet pertama ini dipimpin oleh presiden, sesuai dengan sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945. Kabinet ini berlangsung hingga pergantian kabinet pada tanggal 14 November 1945.
Setelah Indonesia merdeka Ki Sarmidi Mangunsarkoro menjadi sekretaris Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP). KNIP bersidang untuk pertama kalinya pada tanggal 29 Agustus 1945, dipimpin oleh Mr.
Kasman Singodimejo sebagai Ketua. Atas dasar Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober
1945 KNIP memiliki wewenang tambahan dalam urusan legislatif. Pada bulan Oktober 1945 kelompok
sosialis di dalam KNIP mendorong pembentukan Badan Pekerja Kamite Nasionallndonesia Pusat (BPÂ
KNIP), sehingga pada tanggal 29 Oktober 1945 dibentuklah BP-KNIP dan Ki Sarmidi beserta istrinya
menjadi anggota.
Ki Sarmidi pernah ditunjuk sebagai Ketua Partai Serikat Rakyat Indonesia (Serindo), suatu partai yang
didirikan pada tanggal 4 Desember 1945 di Jakarta oleh beberapa mantan anggota PNI , Perindo, dan
Gerindo. Tujuan Serindo meneruskan cita-cita ketiga partai tersebut, tetapi dalam suasana kemerdekaan
yang belum stabil cita-cita itu harus diperjuangkan dengan segala taktik. Para pemimpin Serindo di
mana pun berada berjuang sekuat tenaga, baik di bidang politik maupun di bidang militer. Sementara itu ibukota Republik Indonesia untuk sementara dipindahkan ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946
akibat pertempuran yang dahsyat melawan Belanda dan sekutunya. Serindo tetap mengambil bagian
aktif di dalam perjuangan. Setelah diadakan perudingan dengan beberapa partai politik lain yang sama
asas dan tujuan-antara lain PNI di Pati, Madiun, Palembang, dan Sulawesi; Partai Republik Indonesia di
Madiun; Gerakan Republik Indonesia; dan beberapa partai lain-diselenggarakanlah kongres Serindo
di Kediri pada tanggal 29-31 Januari 1946. Semua partai tersebut berfusi menjadi satu partai, yaitu
PNI. Ki Sarmidi Mangunsarkoro terpilih sebagai ketua dan sejak saat itu PNI mengawali perjuangan
mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan. Dalam Anggaran Dasar Pasal 2 ditetapkan bahwa PNI
berasas sosio nasional demokrasi (kebangsaan, kerakyatan, sama rata sama rasa), yang tercermin
dalam lambang PNI: segitiga dengan kepala banteng di dalamnya. Lambang ini menggambarkan sintesis
nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme.
Pada tanggal 10 sampai dengan 15 November 1946 di kota kecil Linggarjati, dekat Cirebon,
dilangsungkan perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killern.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh Schermerhorn.
Perundingan Linggarjati menghasilkan persetujuan yang diparaf oleh kedua belah pihak pada tanggal
15 November 1945. Setelah persetujuan diparaf oleh kedua belah pihak, masih diperlukan pengesahan
dari parlemen masing-masing negara. Oleh karena itu pada tanggal 25 Februari-6 Maret 1947 KNIP
mengadakan sidang di Malang membicarakan naskah hasil perundingan Linggarjati. Dalam sidang itu
Ki Sarmidi Mangunsarkoro menentang isi persetujuan Linggarjati karena tidak mengandung pengakuan
terhadap Republik Indonesia secara de jure dan hanya pengakuan samar-samar de facto. Ki Sarmidi
Mangunsarkoro sangat keberatan dengan konsepsi Uni lndonesia-Belanda yang dikepalai oleh Ratu
Belanda. Meskipun demikian sidang plene KNIP menerima hasil Perundingan Linggarjati setelah melalui
perdebatan sengit: 284 orang setuju melawan 2 orang yang tidak setuju; satu di antara yang tidak
setuju adalah Ki Sarmidi Mangunsarkoro. Penandatanganan naskah Perundingan Linggarjati diadakan
di Jakarta pada tanggal 25 Maret 1947. Kemudian pada tanggal 31 Maret 1947 pemerintah lnggris
mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera.
Pada sidang KNIP di Malang para penyokong Perundingan Linggarjati sangat jengkel melihat dan
mendengar serangan-serangan Ki Sarmidi Mangunsarkoro. Mereka yang tidak suka mengatakan bahwa
Ki Sarmidi Mangunsarkoro keras kepala, tetapi ternyata kemudian banyak di antara mereka tidak
mengakui Perundingan Linggarjati meskipun awalnya menerima. Ki Sarmidi Mangunsarkoro memang
pandai berdebat. Salah satu sifatnya yang mungkin memanaskan hati lawan berdebatnya ialah bahwa ia
tetap tenang meskipun diserang habis-habisan, tetapi pada saat yang tepat ia ganti menyerang habisÂ
habisan. Dengan tenang ia mendengarkan segala serangan dari pihak lawan, kemudian setelah lawan
bicaranya berhenti ia meminta waktu bicara. lsi perundingan Linggarjati menimbulkan berbagai macam tanggapan dalam masyarakat. Ada yang setuju dan ada yang menentang. Golongan yang setuju ialah partai-partai politik pemerintah, yaitu golongan sosialis yang tergabung dalam sayap kiri; sedangkan yang menentang di antaranya PNI, Masyumi, Partai Wanita Rakyat, dan Partai Rakyat Indonesia yang tergabung dalam Benteng Republik Indonesia. Meskipun ada golongan dalam masyarakat yang menentang hasil Perundingan Linggarjati, namun pemerintah tetap pada garis politiknya: menaati dan melaksanakannya, karena pemerintah menilai Perundingan Linggarjati hanya sekedar jembatan untuk mencari jalan baru bagi perjuangan bangsa Indonesia pada masa kemudian.
Pada tanggal 1 Oktober 1947 BP-KNIP mengadakan sidang untuk membicarakan laporan anggota
BP-KNIP yang ditugaskan memeriksa keadaan di berbagai front. Ki Sarmidi Mangunsarkoro, yang
merupakan salah satu pembicara, mangatakan bahwa baik-buruk segala sesuatu dapat dilihat dari
anasir militer, politik, sosial, ekonomi, keamanan, dan penerangan. Hubungan antara pemimpin militer dan sipil kurang baik akibat beberapa sikap prajurit. Di beberapa tempat mereka tidak mendapatkan
simpati rakyat, padahal simpati itu sangat penting jika kita hendak mengadakan pertahanan bergerilya.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro juga melaporkan bahwa bantuan kepada kaum pengungsi kurang. Banyak
juga yang menggugat sebelum waktunya, yang diakibatkan oleh fluistercompagne musuh. Hal semacam
ini harus diberantas. Politik dalam negeri harus ditujukan pada pembulatan tekad seluruh rakyat, yaitu
memelihara semangat pembelaan, meniadakan pertikaian politik sesama kita, dan pengawasan atas
inflitrasi musuh. Tentang pepolit dan TNI Bagian Masyarakat, Ki Sarmidi Mangunsarkoro berpendapat
bahwa badan-badan itu merupakan aliran politik. Ia mengusulkan supaya pimpinannya yang 80%-100% di tangan sayap kiri diubah, sehingga seluruh tenaga dan kekuatan organisasi rakyat ikut ambil bagian . Dengan demikian seluruh kekuatan rakyat dapat ditujukan ke arah perjuangan dan dapat tecipta perjuangan demokrasi.
Sebelum pemerintah dapat mengeluarkan rencana anggaran Ki Sarmidi Mangunsarkoro meminta supaya dibuat perhitungan tentang pengeluaran ulang atas perhitungan yang sudah dilakukan. Jika tidak mungkin, hendaknya Badan Keuangan Negara yang mengusahakan lebih baik mengenai Kementerian Pertahanan karena setiap bulan Kementrian Pertahanan memerlukan 80% dari pengeluaran pemerintah secara keseluruhan. Mengenai pengangkatan Wikana-tokoh kiri yang bukan militer-sebagai Gubernur Militer Surakarta, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mengharapkan agar Gubernur Militer Surakarta itu menunjukkan sikap dan usaha yang membuktikan bahwa pengangkatan atas dirinya sudah tepat.
Pada tanggal 8 Desember 1947 dibentuk Komisi Tiga Negara (KTN) setelah Perjanjian Renville .
Delegasi Indonesia diketuai oleh Dr. Leimena dan Ki Sarmidi Mangunsarkoro menjadi salah satu
anggota. Dengan tegas PNI menolak hasil perundingan karena menganggap membahayakan kedaulatan
Rl sebagaimana dipaparkan oleh Ki Sarmidi Mangunsarkoro dalam sidang BP-KNIP pada tanggal 17
Februari 1948, bahwa perjanjian gencatan senjata yang berlaku sebelum tercapai persetujuan politik
yang akan menetapkan status republik merugikan republik. Namun naskah Perjanjian Renville yang telah
ditandatangani merupakan kenyataan politik yang tidak dapat diabaikan dalam perjuangan selanjutnya.
Dalam menghadapi perundingan tersebut sebenarnya posisi Rl kuat karena pada tanggal 20 Desember
1947 BP-KNIP telah menerima mosi percaya yang diajukan oleh Ki Sarmidi Mangunsarkoro selaku
ketua fraksi PNI , “kepercayaan penuh atas politik pemerintah dalam membela kemerdekaan negara.”
Mosi kepercayaan itu diterima karena politik yang dijalankan pemerintah dianggap berdasarkan
pembelaan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Syarat pertama untuk mencapai itu
adalah menuntut pengakuan de jure pihak Belanda atas daerah-daerah Republik Indonesia yang
secara de facto telah diakui oleh negara-negara lain dan akan diadakan plebisit yang bebas di daerah-daerah Indonesia lainnya. Ki Sarmidi Mangunsarkoro menegaskan bahwa titik berat mosinya adalah
perjuangan menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara karena kemerdekaan merupakan satuÂ
satunya pegangan bagi Bangsa Indonesia dalam menghadapi semua masalah. Ia juga menjelaskan bahwa
kedaulatan Republik Indonesia sudah diakui di luar. Oleh sebab itu kekuatan internal harus dipelihara
untuk mendukung perjuangan ke luar dan dalam hal ini berdasar kebulatan tekad. Harus ada dasar yang
nyata, yang bersumber pada persatuan pendapat dan strategi perjuangan.
Hasil Perundingan Renville merugikan Rl dan menguntungkan Belanda. Meskipun demikian Belanda yang sudah kalap dan bernafsu menguasai dan menjajah Indonesia kembali merasa tidak puas mengenai hasil perundingan tersebut, sehingga Perundingan Renville pun diingkari oleh pihak Belanda yang kemudian melancarkan Agresi Militer Belanda II. Pada masa Agresi Belanda II ini Sarmidi ditangkap dan ditahan di Penjara Wirogunan dan baru bebas kembali setelah diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia
MENJADI MENTERI
Dalam Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949-14 Desember 1949) Ki Sarmidi Mangunsarkoro diangkat
sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) . Tidak seperti menteri lain yang
segera pindah ke rumah dinas , keluarga Ki Sarmidi Mangunsarkoro tetap tinggal di rumahnya yang
sangat sederhana, rumah kuna model ” Bale Malang”: separuh bagian bawah berupa tembok batu dan
separuh bagian atas terbuat dari dinding bambu. Ki Sarmidi Mangunsarkoro mempunyai pendapat
bahwa apabila nanti kabinet jatuh dan tidak dipilih kembali sebagai menteri tidak perlu memindahkan
barang-barang rumah tangganya dari rumah dinas ke rumah pribadi kembali.
Sebagai Menteri PP dan K, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mempunyai pendirian dan prinsip teguh: tidak
mau bekerjasama dengan Belanda. Ia berpendapat bahwa kebudayaan universal, tidak memandang
bangsa, dan kerjasama merupakan hal yang baik; tetapi kejadian-kejadian sebelumnya menunjukkan
bahwa pihak Belanda sering menggunakan kebudayaan untuk maksud lain yang merugikan bangsa
Indonesia. ltulah sebabnya ia menolak kerjasama dengan Belanda. Pernah pihak Belanda menawarkan
buku-buku untuk
Perpustakaan Negara kepada Ki Sarmidi Mangunsarkoro selaku Menteri PP dan K, tetapi ia menjawab tegas bahwa pihaknya akan menerima dengan catatan tanpa ada ikatan . Demikian pun apabila pihak Belanda memerlukan buku-buku dari Rl akan diberi juga. Salah satu prestasi Ki Sarmidi selaku Menteri PP dan K adalah keberhasilan membuat Undang-undang (UU) Pendidikan dan Pengajaran. Ia juga meletakkan dasar-dasar atas kelahiran Universitas Gadjah Mada (UGM), terutama pada saat anggota dari The United Nations Technical Assistance Commissions (Dr. Hatta Akrawi) mengusulkan supaya
Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Farmasi dipindah dan digabungkan dengan Fakultas Kedokteran di Jakarta, dengan alasan Yogyakarta kekurangan dosen. Akan tetapi pihak
Senat di bawah pimpinan Dr. Sardjito-yang didukung oleh Presiden Rl (saat itu) Mr. Asaat dan Menteri
PP dan K Ki Sarmidi Mangunsarkoro-menolak dan tetap mempertahankan ketiga fakultas tersebut. Akhirnya UGM lahir dengan Surat Keputusan yang ditandatangani Menteri PP dan K
Ki Sarmidi Mangunsarkoro dan Presiden Mr. Asaat. Di samping itu Ki Sarmidi Mangunsarkoro juga
mendirikan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dan Konservatori Karawitan Surakarta.
Pada tahun 1952 Ki Sarmidi diangkat sebagai Ketua Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
(BMKN). Pada tahun itu juga ia diangkat sebagai Ketua Badan Pertimbangan Kebudayaan Nasional
Pemerintah Republik Indonesia. Sebagai Ketua BMKN ia menganjurkan berkembangnya kebudayaan
rakyat. Kemudian pada tahun 1954 ia menjadi Ketua Panitia Penyantunan ASRI untuk menentukan apa
yang akan dilaksanakan ASRI. Pada tahun 1955, dalam Kongres Kebudayaan di Sala, ia dipaksa oleh
sekelompok pemuda agar memberi kekuasaan kepada mereka dalam BMKN yang akan datang. Namun
ia menolak dan tetap pada pendiriannya. Akhirnya rencana para pemuda tersebut menguasai BMKN gagal. Dalam kedudukannya sebagai ketua BMKN ia pernah memipin delegasi kebudayaan ke Thailand.
Pada tahun 1955 pula ia menjadi anggota Dewan Penyantun UGM dan ASRI.
Pada tahun 1954 Ki Sarmidi ditunjuk menjadi anggota DPR sebagai wakil PNI. Dalam Kongres PNI
ke-7 di Bandung tanggal 15-22 Desember 1954 ia duduk sebagai Wakil Ketua Umum I. Setelah Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terbentuk ia dipercaya
lagi menjadi wakil PNI di DPR. Di samping itu ia juga diangkat sebagai wakil PNI di Konstituante. Dalam
lembaga perwakilan rakyat tersebut, baik di DPR maupun Konstituante, ia dipercaya sebagai Ketua
Fraksi PNI. Jabatan sebagai Ketua Fraksi PNI di DPR, Konstituante, dan Wakil Ketua Umum I PNI
dipangkunya sampai ia meninggal dunia pada tanggal 8 Juli 1957. Kepergian Ki Sarmidi Mangunsarkoro
merupakan pukulan berat bagi PNI, karena sangat besar jasanya terhadap partai, bangsa, dan negara.
Ia meninggalkan nama baik dan nama harum. Seperti bunyi pepatah “gajah mati meninggalkan gading,
harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama”. Sarmidi meninggal karena
sakit pada hari Sabtu, 8 Juni 1957 Pukul 10.10 WIB di Rumah Sakit CBS Jakarta.
Begitu banyak sumbangan Ki Sarmidi Mangunsarkoro dalam bidang pendidikan dan kebudayaan yang
sangat berguna bagi bangsa lndoensia.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Baca Juga : Ki Sarmidi Mangunsarkoro […]
[…] Ki Sarmidi Mangunsarkoro (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949) […]
[…] Baca Juga : Ki Sarmidi Mangunsarkoro […]