Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Masa Jabatan 27 April 1951 – 3 April 1952
Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Mr. Wongsonegoro merupakan nama lengkap Mr. Wongsonegoro, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) pada Kabinet Sukiman
Suwirjo. Gelar yang melekat di depan namanya jelas menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga
yang asal muasalnya bukan dari kalangan rakyat biasa. Ayahnya, Raden Ngabehi (R.Ng.) Gitodiprojo,
seorang abdi dalem panewu Sri Susuhunan Pakubuwana X, Surakarta; sedangkan ibunya, Raden Ayu
(RA) Soenartinah, merupakan cucu buyut Mangkunegara II. Dari pasangan R.Ng. Gitodiprojo dengan
RA Soenartinah lahir I 0 orang anak, lima anak laki-laki dan lima anak perempuan. Wongsonegoro
merupakan anak tertua yang lahir pada tanggal 20 April 1897. Nama yang diberikan oleh kedua orang
tuanya Soenardi, yang kemudian dilekatkan gelar kebangsawanan Raden Mas (RM), sehingga sewaktu
remaja dia dikenal dengan nama RM Soenardi. Angka tahun kelahirannya menunjukkan bahwa Soenardi lahir pada masa Surakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya masih berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda bernama Hindia Belanda.
Pada waktu itu kedudukan para priyayi, termasuk ayah Soenardi, menjadi bagian kekuasaan dan
pemerintahan Surakarta yang nota bene menjadi “abdi pemerintahan” Hindia Belanda, atau dengan
kata lain telah berkompromi dengan pemerintahan kolonial Belanda. Meskipun demikian, para priyayi
luhur, Raja Jawa dan keluarganya, masih tetap menjadi yang dipertuan di negerinya sendiri. Demikian
pula Gitoprojo sebagai bagian dari dinasti (wangsa) priyayi luhur juga memiliki kekuasaan menjadi
pemimpin masyarakat.
Umumnya kaum priyayi luhur di Surakarta menyerahkan pengasuhan anaknya yang masih kecil kepada
pembantu atau keluarga tertentu yang menjadi abdi-nya. Merekalah yang mengasuh dan memberi
tuntunan serta mengajarkan adat istiadat, perilaku, norma-norma, dan nilai-nilai sesuai dengan adat
istiadat yang berlaku dalam lingkungan keluarga bangsawan Surakarta. Adapun yang terkait dengan
pendidikan tetap menjadi tanggung jawab langsung kedua orang tuanya. Kebudayaan Jawa yang diserap Soenardi dari lingkungan, terutama dari para abdi yang mengasuhnya, yang kemudian dipraktikan sejak
umur belia ternyata cukup kuat mempengaruhi perilakunya. Setelah menjadi seorang pemuda dan kemudian menjadi lebih dewasa, kecintaannya kepada budaya dan seni semakin tampak. Ia menyenangi seni karawitan dan seni olah kanuragan ‘ilmu bela diri’ seperti pencak silat. Ia mahir pula olah seni tari seperti ringgit purwa (wayang kulit). Kedua orang tuanya yang membesarkannya rupanya memahami dan menyadari “hobi” anaknya itu. Dengan susah payah mereka membelikan atau menyediakan seperangkat gamelan di rumahnya. Hal itu mereka lakukan karena anaknya, Soenardi, sering menghimpun para pemuda temannya at~u tetangganya berlatih karawitan.
Kegiatan tersebut sering dilakukan sejak tahun 1911 sewatu masih duduk di Meer Uit Gebreid Leger
Onderwijs (MULO). Kebudayaan Jawa lain yang ditekuninya sampai akhir hayat adalah dunia kebatinan. Bagi kalangan njero ‘dalam’ keraton Sal a khususnya dan masyarakat Jawa pad a umumnya budaya spriritual seperti kebatinan merupakan kebudayaan yang tak bisa diu bah begitu saja oleh budaya-budaya lain, termasuk oleh budaya besar seperti agama Islam dan Kristen. Beberapa penelitian akademik sudah membuktikan adanya agama Kristen Jawa atau Islam abangan atau Islam priyayi seperti yang disampaikan Clifford Geertz.
Baca juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia
Sejak kecil Soenardi tertarik pada dunia kebatinan yang diperkenalkan dan diajarkan oleh kedua orang tuanya. Ia sering melakukan paso, tapa brata, tirakat, serta melakukan perjalanan spiritual, terutama ketika memperingati hari-hari penting atau manakala ada masalah penting, seperti hari kelahiran atau menghadapi ujian sekolah. Ia pernah melakukan tirakat di makam leluhurnya yang berada di Desa Mayang dan Tirip di Kecamatan Getak yang berjarak 20 km dari tempat tinggalnya. Ia sengaja datang ke dua desa itu dengan berjalan kaki. Kecintaan terhadap dunia kebatinan itu diwujudkan pula dengan keikutsertaannya membentuk organisasi kebatinan Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI). Setelah namanya berganti menjadi Wongsonegoro, ia juga memperjuangkan masalah kebatinan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dengan kata lain kebudayaan dan peradaban Jawa sudah menjadi bagian dari hidupnya. Wongsonegoro menikah dengan BRA Soewarni, putri Pangeran Koesoemodiningrat, seorang bangsawan terkemuka dari Kasunanan Surakarta. Dari pernikahan itu Wongsonegoro dikaruniai tujuh orang anak, yaitu RA Soenarni, RA Soenarsi, RM Soenarso, RA Sri Danarti, RA Endang Soetanti, RM Tripomo, dan RM Djoko Soedibjo.
Pada tahun 1917, setelah menamatkan pendidikan di Rechts School, Wongso bekerja di Pengadilan
Negeri (Landraad) Surakarta. Setelah berhenti dari Pengadilan Negeri Surakarta, ia bekerja di Kantor
Kepatihan dengan pangkat Panewu. Pada tahun 1921 ia diangkat menjadi jaksa, berkedudukan sebagai
Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung (RT) Djaksanegoro. Tak lama kemudian ia mendapat
tugas (beasiswa) dari Kasunanan untuk melanjutkan belajar di Sekolah Tinggi Hukum (Recths Hooge
School). Pada tahun 1924 ia pun lulus dan mendapat gelar Meester in de Rechten (Mr./S.H.).
MASA BERSEKOLAH DAN PENGABDIAN 01 KASUNANAN SURAKARTA
Umumnya rakyat Indonesia yang disebut pribumi (inlander) pada masa kolonial sangat sulit untuk
memperoleh pendidikan formal, bukan saja karena jumlah sekolah yang sangat terbatas tetapi karena
penguasa kolonial memang membiarkan kebodohan menjadi bagian tak terpisahkan dari kaum pribumi.
Keberadaan sekolah-sekolah formal di suatu daerah pada dasarnya terkait erat dengan kebutuhan
pemerintah dan pengusaha kolonial, dan bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena yang
dibutuhkan adalah tenaga-tenaga pribumi terampil yang mampu membaca dan berhitung, maka sekolah
yang didirikan juga sekolah-sekolah yang hanya melatih keterampilan dengan waktu hanya tiga atau lima
tahun. Sekolah yang disebutan terakhir itu, di Surakarta, dikenal dengan nama Sekolah Angka Lora
(Sekolah Desa kelas II).
Anak-anak para priyayi , termasuk Soenardi, mendapat keistimewaan karena “disamakan” dengan anak
anak Belanda sehingga boleh masuk sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak orang Belanda. Pada
masa belia, Soenardi dimasukkan ke Taman Kanak-kanak Belanda (TK-Forbel School). Setelah tamat
TK tahun 1905, ia masuk Europeeshe Lagere School (Sekolah dasar untuk orang-orang Eropa). Soenardi
tidak mengalami kesulitan selama menimba ilmu di ELS dan dapat menyelesaikan pendidikannya dengan
baik dan tepat waktu. Setamat dari ELS ia masuk Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO/Pendidikan
Menengah Pertama).
Seperti halnya di ELS, Soenardi berhasil menyelesaikan pendidikannya di MULO pada tahun 1914 dengan baik dan tanpa kendala. Setamat dari MULO ia terpaksa harus meninggalkan kota Surakarta dan pergi mengembara ke Batavia karena sekolah lanjutan-Rechts School (RH/Sekolah Hukum Menengah)-yang diminatinya tidak tersedia di kotanya dan hanya ada di Batavia. Tanpa tawar menawar ia pun pergi ke Batavia. Kemauan yang kuat dan dipadu dengan kecerdasan bawaan membuat Soenardi menyelesaikan pendidikan hukum pada tahun 1917 dengan baik dan sesuai dengan jadwal; padahal-di samping belajar di RH-ia pun aktif sebagai pengurus organisasi pemuda Tri Koro Darmo. Setelah memperoleh sertifikat kelulusan dari Rechts School, Soenardi kembali ke Sala dan mulai merintis karier di dunia hukum. Ia bekerja pada Pengadilan Negeri (Landraad) Surakarta. Ia tidak lama bekerja di lembaga pengadilan itu, hanya sekitar satu tahun, lalu mengundurkan diri. Ia tidak puas dengan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang sering mencampuri urusan dalam pemerintahan tradisional Kasunanan Surakarta, yang secara tidak langsung sangat merugikan pihak Karaton Surakarta.
Dengan pengalaman sebagai aktivis gerakan pemuda, ia bertekad ikut membenahi sistem pemerintahan
Kasunanan Surakarta, agar tidak ada lagi alasan bagi pemerintah Hindia Belanda mencampurinya.
Meskipun dia termasuk kawula atau warga dalam Kasunanan, namun untuk bekerja di lingkungan
keraton ia tetap harus melalui masa yang disebut magang lebih dahulu. Sekitar dua tahun ia menjalani
kerja magang sampai akhirnya diterima secara resmi sebagai pegawai Kasunanan. Pada tahun 1920 ia
diangkat menjadi pegawai Kantor Kepatihan dengan pangkat Panewu dengan gelar “Sastrosoewignyo”.
Pengalamannya sebagai pengurus Tri Koro Darmo ternyata sangat membantu melaksanakan pekerjaan
sebagai abdi Kasunanan, sehingga ia mampu memperbaiki struktur administrasi dan kinerja pemerintah
Kasunanan. Oleh karena itu di samping pekerjaan utamanya ia diberi kepercayaan memimpin
perkumpulan Krida Wacono.
Karena prestasinya itu pada tahun 1921 ia diangkat menjadi jaksa dengan kedudukan sebagai Bupati
Anom dan dianugerahi gelar RM Tumenggung Djaksodipura. Jabatan ini diemban sampai tahun 1924
karena pada tahun tersebut ia mendapat tugas belajar ke Jakarta dari Kasunanan Surakarta pada
jenjang pendidikan ilmu hukum yang lebih tinggi, yaitu pada Rechts Hooge School (RHS/Sekolah Tinggi
Hukum).
Karena kecerdasan yang disertai kedisiplinannya dalam membagi waktu belajar maka ia pun berhasil menyelesaikan masa studi tepat waktu. Pada tahun 1929 ia meraih gelar Meester in de Rechten
(Mr.) sehingga nama lengkapnya menjadi Mr. RMT Soenardi Djaksodipuro. Selama menjalani tugas belajar di RHS Jakarta ia masih tetap memelihara hubungan dengan pihak keraton, bahkan pada bulan Februari 1926 ia diminta sebagai pembicara dalam pertemuan Narpo Wandowo. Pada kesempatan itu Soenardi, yang di kalangan Keraton Surakarta waktu itu disebut RMT Djaksadipuro, dikenal sebagai tangan kanan Wurjaningrat, menyampaikan pidato berisi kritikan dan setengah gugatan terhadap dominasi Pemerintah Hindia Belanda atas struktur pemerintahan Kasunanan. Pidatonya mendapat tepukan meriah dari para hadirin.
Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara
Setelah meraih gelar Meester in de Rechten, Soenardi kembali mengabdikan diri di Kantor Kepatihan
Surakarta. Pada tahun 1930 dia diangkat menjadi Bupati Ngayoko Sewu yang menangani Pangreh Praja
atau pemegang kebijakan di Kantor Kepatihan merangkap sebagai pemegang roda pengadilan keluarga
Sri Susuhunan Paku Buwono. Pada tahun itu ia dianugrahi gelar Kangjeng Raden Mas Tumenggung
oleh pemerintah Kasunanan sehingga namanya menjadi KRMT Mr. Wongsonegoro, yang lambat laun
“mengubur” nama Soenardi.
TERJUN KE DUNIA POLITIK
Soenardi alias Wongsonegoro mengenal dunia politik sewaktu masih menjadi pelajar Rechts School di
Jakarta. Ia sangat berperhatian terhadap para pemuda STOVIA yang telah menginspirasi banyak pemuda
lain dengan mendirikan Budi Utomo. Sebagai seorang pemuda pelajar yang tumbuh dan mencari atau
memperkuat jati dirinya, ia merasa kecewa melihat perkembangan Budi Utomo yang lebih banyak
dikuasai kaum tua dan kurang memperhatikan aspirasi kaum muda. Oleh karena itu, ia sepakat dengan
para pemuda lain untuk mendirikan kembali organisasi yang dapat mewakili suara dan aspirasi kaum
muda. Sebenarnya bukan hanya Soenardi dan teman-temannya yang kecewa melihat perkembangan
Budi Utomo, bahkan para pendirinya-seperti Cipto Mangunkusumo dan Sutomo-juga kecewa, yang
akhirnya mengundurkan diri dari organisasi tersebut dan membentuk organisasi baru. Pada waktu itu,
Budi Utomo yang didominasi para priyayi Jawa lebih berorientasi pada kepentingan Belanda dan sangat
kooperatif, di samping tetap memelihara tujuan semula menghidupkan kembali Kejayaan Jawa Raya
atau Nasion Jawa. Pada tanggal 7 Maret 1915 Soenardi, dr. R. Satiman Wiryosanjoyo, dan Kadarman beserta beberapa pemuda lain berkumpul di Jakarta. Mereka sepakat membentuk organisasi pemuda baru yang diberi nama Tri Koro Dharmo. Mereka sepakat pula bahwa yang akan diterima menjadi anggotanya hanyalah anak-anak sekolah yang berasal dari Pulau Jawa dan Madura. Pada tahun awal pendiriannya, tercatat ada sekitar 50 orang pelajar yang bergabung ke dalam Tri Koro Dharmo. Pada tahun 1915 pula Tri Koro Dharmo cabang Surabaya didirikan. Organisasi ini menerbitkan majalah yang diberi nama sama dengan nama organisasinya, yaitu Tri Koro Dharmo, yang mulai terbit pada tanggal 10 November 1915.
Pada tahun awal Tri Koro Dharmo berdiri, Sunardi dipercaya menjadi wakil ketua mendampingi Ketua
Satiman Wiryosanjoyo. Namun ia tidak terlalu lama aktif sebagai Wakil Ketua Tri Koro Dharmo
Jakarta. Hal ini terlihat dari keputusannya kembali ke Surakarta setelah menyelesesaikan pendidikan
pada Rechts School. Selanjutnya, ia menjadi pegawai Kasunanan Surakarta. Yang patut dipertanyakan
adalah setelah menjadi kawula karaton apakah ia memutuskan hubungan dengan Tri Koro Dharmo.
Yang pasti, pada tahun 1918 Tri Koro Dharmo berubah nama menjadi Jong Java akibat ada semacam
“tekanan” para anggotanya yang berasal dari etnis Sunda dan Madura karena menilai organisasi terlalu
menonjolkan kejawaannya.
Kecintaan dan perhatian Soenardi terhadap dunia kepemudaan dan pergerakan kebangsaan tidak
berubah. Hanya frekuensinya disesuaikan dengan tugas dan kewajiban sebagai pegawai pemerintahan
Kasunanan Surakarta. Apalagi dia bukan satu-satunya bangsawan Surakarta yang terlibat dalam dunia
pergerakan politik kebangsaan. Sebagai contoh Pangeran Hangabei sejak tahun 1912 diketahui menjabat
Ketua Sarekat Islam Surakarta. Selain itu ada RM Wuryaningrat yang menjabat sebagai Ketua Budi
Utomo cabang Sala lalu menjadi aktivis Partai Nasional lndonesia (PNI).
Adapun Soenardi yang pada waktu itu sudah bergelar RT Djaksodipuro masih memelihara hubungan
dengan Jong Java. Pada Kongres Jong Java kedelapanbelas, tanggal 29 Desember sampai 2 Januari 1926,
ia terpilih menjadi ketua Jong Java. Kemudian setelah Kongres Pemuda II ia terpilih menjadi anggota
Komisi Besar yang mendapat tugas membentuk “Indonesia Muda”. Untuk mewujudkan tugasnya itu
Komisi Besar yang diketuai oleh R.K. Purbopranoto menyelenggarakan kongres pada 28 Desember
1930-2 Januari 1931 di Jakarta.
Wongsonegoro kemudian bergabung ke dalam Partai Indonesia Raya (Parindra), yang merupakan hasil
fusi Persatuan Bangsa Indonesia dengan Budi Utomo dan beberapa organisasi pemuda etnik lain yang
diselenggarakan pada tanggal 24 Desember 1935 di Gedung Habi Proyo Surakarta. Dr. Sutomo dan
RM Wuryaningrat masing-masing terpilih sebagai ketua dan wakil ketua. Baru pada tahun berikutnya Wongsonegoro menjadi Komisaris Pusat Parindra. Pada awalnya Parindra dikenal sebagai organisasi
pergerakan yang memilih jalan koperatif terhadap kebijakan pemerintah dan juga dianggap sebagai
partai “aliran kanan”, namun dalam perjalanan kemudian-terutama setelah ketua beralih ke tangan
Muhammad Husni Thamrin-pemerintah Hindia Belanda menilai Parindra sudah bergeser menjadi
radikal, bahkan dianggap sebagai “agen” Jepang. Karena itulah Thamrin yang sedang sakit pun ditangkap.
Sebagai bupati nayaka, Soenardi alias Wongsonegoro dianggap berhasil menyelesaikan berbagai kasus
hukum dengan adil baik di lingkungan keraton maupun di luar keraton, bahkan ia dianggap berhasil
pula menyatukan para bangsawan istana. Karena keberhasilannya itu ia diangkat menjadi Bupati Sragen
sejak bulan Agustus 1939.
Kepemimpinan Wongsonegoro sebagai Bupati Sragen juga dinilai berhasil dalam menjalankan tugas,
terutama dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat melalui beberapa kebijakan, antara lain
mengenalkan mina padi, yaitu memelihara ikan di persawahan saat padinya masih berumur 1-3 bulan
dan masih digenangi air untuk menunjang pertumbuhan. Dengan demikian para petani mendapat nilai
tambah dari tanah sawahnya. Di samping itu dilakukan pembuatan sumur di ladang serta membuat
waduk atau bendungan guna mengatur irigasi agar sawah menjadi lebih baik dan lebih luas. Ia juga
berupaya memberantas keyakinan-keyakinan yang menyesatkan dan merugikan petani.
Sebagai seorang pecinta budaya, Bupati Wongsonegoro berupaya membina kebudayaan setempat,
antara lain mendirikan perkumpulan kesenian pada awal tahun 1942 yang diberi nama Mardi
Budaya. Perkumpulan ini bertugas, antara lain, menginventarisasi berbagai kesenian yang ada serta
menyelenggarakan berbagai kegiatan kesenian, seperti seni karawitan, seni tari, dan seni pencak silat.
Kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan tidak semata-mata agar eksistensi seni budaya itu diakui oleh
masyarakat, tetapi juga dimaksudkan sebagai media komunikasi para pejabat dengan para seniman
dan pemuda, terutama terkait dengan pembinaan dan kesetiakawanan, sekaligus menumbuhkan rasa
bangga terhadap seni budaya sendiri. Ketika tentara pendudukan Jepang memasuki wilayah Sragen,
karier Wongsonegoro sebagai Bupati Sragen berakhir. Ia ditangkap dan dipenjara, namun beberapa
waktu kemudian dibebaskan; bahkan menurut Maskan-penulis buku Tokoh Wongsonegoro
Wongsonegoro kemudian diangkat menjadi Wakil Residen Semarang, namun tidak menjelaskan
sampai kapan jabatan itu berakhir. Sebab, sewaktu dibentuk Panitia Perancang Undang-undang Dasar
dengan lr. Soekarno sebagai ketuanya, Wongsonegoro masuk sebagai salah satu anggotanya. Kepada
panitia inilah segala persoalan undang-undang dasar diserahkan.
Panita Perancang ini kemudian membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai oleh Prof. Dr. Supomo dengan para anggota Wongsonegoro, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Singgih, Agus Salim, dan Sukiman. Sebagai penghayat kebatinan, Wongsonegoro tidak menyia-nyiakan keanggotaannya dalam Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar. Ia melihat pasal 29 ayat 2 yang berpotensi mengingkari atau mengabaikan keberadaan aliran kebatinan atau aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ayat itu disebutkan tentang kewajiban bagi orang Islam untuk menjalankan syariat Islam, yang dapat ditafsirkan bahwa negara berhak memaksa orang Islam menjalankan syari’atnya. Oleh karenanya, ayat tersebut perlu ditambah kata-kata “dan kepercayaannya” yang diletakkan antara kata-kata “agamanya masing-masing”.
Pada tanggal 13 Oktober 1945, Mr. Wongsonegoro diangkat menjadi Gubernur Jawa Tengah menggantikan Raden Pandji Soeroso. Oleh karena itu ia memboyong keluarganya ke Semarang yang
telah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah. Tugas pertamanya sebagai Gubernur Jawa
Tengah ternyata tidak ringan, sebab yang harus dibenahi bukan masalah administratif semata. Sebagai
negara yang baru beberapa bulan merdeka, selain harus melakukan “pemindahan kekuasaan” dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, Republik Indonesia (RI) harus pula menyesuaikan diri dengan situasi
politik yang semakin memanas sebagai dampak perpindahan kekuasaan tersebut.
Pada waktu itu berbagai kelompok pemuda menuntut agar pemerintah sesegera mungkin meminta
pihak Jepang menyerahkan persenjataannya kepada pihak Indonesia sebelum pasukan Sekutu yang
akan melucuti pasukan Jepang tiba di Semarang. Sebagai catatan, di Semarang terdapat batalion
elit pimpinan mayor Kido dan dikenal dengan sebutan Kido Butai. Wongsonegoro meminta Mayor
Kido agar menyerahkan persenjataan batalionnya/pasukannya kepada pemerintah Rl dengan jaminan
persenjataan itu tidak akan digunakan untuk melawan Jepang. Ia berpikir positif bahwa Mayor Kido
akan dengan sukarela mengabulkan permintaannya karena sebelumnya ia telah berunding dengan
Jenderal Nakamura di Magelang dan memperoleh banyak senjata. Memang benar Mayor Kido
mengabulkan permintaan seperti yang diharapkannya, namun setelah diperiksa ternyata senjata
senjata yang diserahkan itu adalah senjata-senjata usang. Hal ini menimbulkan kemarahan para pemuda
yang tergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan lasykar-lasykar perjuangan. Mereka pun
melakukan aksi perampasan senjata dan kendaraan Jepang secara paksa.
Kondisi semakin panas dan konflik dengan pasukan Kido Butai tidak dapat dihindari, yang dipicu oleh
larinya beberapa tawanan Jepang yang sedang dikawal para pemuda menuju penjara Bulu. Para tawanan
yang lari itu kemudian bergabung dengan pasukan Kido Butai di Jatilangeh. Pada tanggal IS Oktober
1945 pasukan Kido bergerak ke dalam kota Semarang sehingga berkobar pertempuran, antara lain
di Simpang Lima dan Hotel Du Pavilion. Pasukan Kido membunuh siapa saja yang mereka jumpai,
bahkan para pemuda yang menyerah atau telah menjadi tawanan mereka. Pasukan Kido juga berhasil
menangkap Gubernur Wongsonegoro di kantor gubernurannya.
Sebagai balasannya para pemuda membunuh orang-orang Jepang yang ditahan di penjara Bulu.
Pada 17 Oktober 1945 resmi diadakan perundingan di markas polisi militer Jepang. Perundingan
tersebut menghasilkan kesepakatan gencatan senjata di antara kedua belah pihak, tetapi perdamaian
sulit terjangkau karen a pihak Jepang memaksakan satu opsi yang sulit dipenuhi oleh pihak Rl (republikein), yakni pihak republikein menyerahan semua senjatanya ke pihak Jepang. Akibatnya pertempuran antara kedua belah pihak kembali pecah. Dalam peperangan tersebut, pihak Jepang mendapat tekanan sehingga Jenderal Nomura meminta gencatan senjata. Ia mengancam akan mengebom kota Semarang bila permintaannya tidak dipenuhi pada keesokan harinya.
Bagi Wongsonegoro, selaku penguasa tertinggi di Jawa Tengah yang mempunyai kewajiban melindungi
warganya, situasi seperti itu dirasa sangat menyedihkan. Ia yakin tuntutan pihak Jepang yang meminta
penyerahan kembali senjata Jepang tidak akan berhasil; sedangkan kalau perundingan tidak berhasil,
keesokan harinya, tepat pad a pukul I 0.00 pagi, kota Semarang akan dibom oleh Jepang. Ia me rasa
cemas, apalagi sudah banyak laporan yang menyebutkan banyaknya korban yang jatuh di pihak
Indonesia. Dalam pertempuran di Semarang yang berlangsung sampai dengan tanggal 19 Oktober
1945 (lima hari) sekitar 2.000 orang republiken meninggal dunia, sedangkan dari pihak Jepang sekitar
500 orang meninggal dunia.
Dalam situasi kritis itu, pada pukul 07.45 tanggal 19 Oktober 1945 di pelabuhan Semarang berlabuh
kapal perang HMS Glenroy yang mengangkut tentara Sekutu dari Brigade Gurkha ke-49 di bawah
pimpinan Brigadir Jenderal Bethell. Mereka tiba di Semarang untuk menjalankan tugas melucuti tentara
Jepang dan mengembalikan ke negara asalnya. Kedatangan pasukan Sekutu secara tidak langsung
menyelamatkan kota Semarang dari kemungkinan pemboman pesawat tempur Jepang.
Pada awalnya kedatangan Bethell dan pasukannya disambut oleh pihak Rl. Mr. Wongsonegoro
selaku Gubernur Jawa Tengah menyetujui dan menyepakati permintaan Brigjen Bethell agar pihak Rl
membantu tugasnya dalam proses rekapitulasi tentara Jepang serta membebaskan tahanan Jepang yang ada di Jawa Tengah. Termasuk dalam kesepakatan itu pihak Rl akan menyediakan bahan makanan yang
diperlukan oleh pihak lnggris selama menjalankan tugas tersebut. Sebaliknya, pihak lnggris berjanji
tidak akan mengganggu kedaulatan Rl serta akan segera meninggalkan wilayah Jawa Tengah setelah
masalah rekapitulasi tentara Jepang serta masalah tahanan selesai.
Pada dasarnya pihak lnggris datang ke Indonesia dengan dua agenda: I) menunaikan tugas sebagai
pasukan Sekutu (AFNEI), yaitu melakukan rekapitulasi tentara Jepang dan 2) membantu memulihkan
kembali kekuasaan Belanda di kepulauan Indonesia sesuai kesepakatan antara Belanda dan lnggris pada
bulan Agustus 1945 di London. Oleh karena itu , setelah berhasil membebaskan para tahanan, yang
umumnya para mantan KNIL, pasukan lnggris kemudian mempersenjatai bekas tahanan tersebut. Di
Magelang, pasukan lnggris bahkan bertindak lebih jauh dengan mengambil alih kekuasaan serta melucuti
TKR. Hal ini secara langsung menimbulkan kemarahan pihak Indonesia, terutama para pemuda anggota
TKR dan lasykar-lasykar perjuangan lain , sehingga terjadi konflik antara pihak pemuda dan pasukan
lnggris. Menurut suatu sumber, pihak lnggris marah terhadap Gubernur Jawa Tengah karena seorang
perwiranya terbunuh dalam konflik itu. Oleh karena itu, pada tanggal 22 November 1945, pasukan
lnggris datang mengepung rumah kediaman Gubernur Wongsonegoro dengan menembakkan beberapa
senjata (mungkin semacam gertakan kepada gubernur). Sebaliknya, Gubernur Wongsonegoro tetap
tenang dan mengajukan saran kepada Jenderal Bethell agar menghentikan pertempuran di Semarang.
Pihak lnggris menolaknya. Sebelum terjadi pengepungan, Wongsonegoro menerima kedatangan Dr. Soebandrio dan Mr. Sudjarwo yang menyarankan agar Gubernur Wongsonegoro segera meninggalkan Semarang, namun sebagai kepala daerah ia tidak dapat meninggalkan kantor pemerintahannya begitu saja. Sementara itu konflik bersenjata semakin sering terjadi dan dinilai semakin mengganggu pemerintahan. Oleh karena itu, Wongsonegoro mengungsi ke Demak setelah sebelumnya mengungsikan anak dan istrinya ke luar dari kota Semarang. Karena Demak terlalu dekat dengan Semarang, para pembantunya menyarankan agar Wongsonegoro meninggalkan Demak dan pergi ke Purwodadi. Saran itu pun diterimanya. Ia ke Purwodadi sekaligus memindahkan pemerintahan Jawa Tengah ke sana.
Sementara itu, pertempuran TKR melawan pasukan lnggris yang dimulai dari Magelang terus meluas.
Resimen TKR Magelang di bawah pimpinan Letnan Kolonel (Letkol) M. Sarbini berhasil mengepung
tentara lnggris dari segala penjuru, namun mereka berhasil lolos dari kekalahan yang menyakitkan
karena Brigjen Bethel berhasil meminta bantuan Presiden Soekarno untuk menenangkan suasana.
Pasukan Sekutu kemudian secara diam-diam meninggalkan Magelang menuju ke benteng Ambarawa.
Setelah mengetahui bahwa pasukan lnggris telah ditarik ke Ambarawa, Letkol Sarbini memerintahkan
pasukannya mengejar mereka. Gerakan mundur tentara lnggris ke Ambarawa tertahan di Desa Jambu
karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni yang diperkuat oleh pasukan
gabungan dari Ambarawa, Suruh, dan Surakarta.
Pada saat penarikan mundur, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa.
Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. lsdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut.
Dalam gerakan pembebasan itu Letkol lsdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol. lsdiman, Komandan
Divisi V Banyumas Kolonel Soedirman turun langsung ke lapangan memimpin pertempuran.
Kehadirannya ternyata mampu meningkatkan semangat para pejuang, khususnya para anggota TKR.
Kolonel Soedirman kemudian mengadakan koordinasi di antara para komandan sektor pengepungan.
Strategi yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus
mengalir dari Yogyakarta, Sala, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan sebagainya.
Pertempuran yang menentukan antara tentara lnggris dan pihak Rl terjadi di Ambarawa berlangsung
selama empat hari empat malam. Pasukan lnggris berusaha keras memecahkan kepungan itu dan menyerang balik dengan keunggulan persenjataannya. Mereka berupaya memukul balik dengan
menggunakan artileri berat angkatan darat, serangan udara dengan skuadron Thunderbolt, dan
tembakan meriam dari kapal penjelajah HMS Sussex. Akhirnya pasukan lnggris mundur ke perbukitan
Ungaran, Semarang. Sejak tanggal IS Desember 1945 seluruh wilayah Jawa Tengah, kecuali Semarang,
sepenuhnya berada dalam kontrol TKR.
Pada akhir bulan Desember Wongsonegoro mendapat kawat dari pimpinan TKR Kolonel Soedirman
yang menyarankan agar segera datang ke Yogyakarta. Di sana ia bertemu dengan Kolonel Soedirman
yang ternyata menyarankan agar pusat pemerintahan Jawa Tengah dipindahkan ke Magelang. Pada awal
Januari 1946, Mr. Wongsonegoro selaku Gubernur Jawa Tengah memindahkan kantor pemerintahannya
ke Magelang. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda, Wongsonegoro ikut bergerilya bersama para pejuang
republikein. Menurut Jenderal A.H. Nasution, Wongsonegoro merupakan gubernur sipil satu-satunya
yang terus-menerus ikut bergerilya bersama tentara dan rakyat melawan kekuatan kolonialis Belanda.
Satu hal yang menarik untuk disebutkan bahwa selama memimpin Jawa Tengah di tengah perang
kemerdekaan, selaku gubernur Jawa Tengah ia masih mampu menyelenggarakan Kongres Kebudayaan
di kompleks Borobudur pada bulanjuni 1948. Sebelum kongres diselenggarakan, ia menghimbau kepada
badan-badan kebudayaan, seperti perkumpulan kesenian, perkumpulan sastrawan, dan aliran-aliran
kebatinan untuk mendukung penyelenggaraan kongres tersebut. Berbagai cara dilakukan oleh para
seniman untuk menyukseskan acara tersebut, antara lain dengan menyelenggarakan pertunjukan serta
sosialisasi kepada masyarakat. Pada bulan Agustus 1949 Wongsonegoro mengakhiri masa baktinya
sebagai Gubernur Jawa Tengah.
Setelah tidak menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, Wongsonegoro aktif dalam dunia spiritualisme.
Pada 1950 ia mempopulerkan aliran kepercayaan dengan istilah kebatinan. Ia juga menggagas
pembentukan forum tingkat nasional untuk mendiskusikan lebih dalam mengenai dunia kebatinan.
Dalam kerangka itu ia kembali menjalin komunikasi dengan rekan-rekan lamanya, baik sewaktu aktif di
BU, T ri Koro Darmo, maupun Jong Java. Dengan kata lain ia kembali ke pentas politik nasional melalui
politik kebudayaan atau kebatinan.
PENGABDIAN SEBAGAI MENTERI
Berhenti sebagai gubernur rupanya tidak sepenuhnya membuat kegiatan Wongsonegoro terpusat
pada dunia kebatinan. Ia diminta Mohammad Hatta untuk menjabat Menteri Dalam Negeri dalam
Kabinet Hatta II yang dibentuk pada tanggal 4 Agustus 1949. Pembentukan kabinet ini terjadi setelah
dicapai kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda untuk mengakhiri
konflik lndonesia-Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Hatta
membentuk kabinet setelah sebelumnya menerima kembali kekuasaan dari Ketua Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mr. Sjafruddin Prawira Negara. Pembentukan kabinet ini
sekaligus mempersiapkan delegasi Rl ke KMB, termasuk mempersiapkan konsitusi untuk Republik
Indonesia Serikat (RIS). Seperti sudah banyak diungkapkan dalam berbagai tulisan, ketua delegasi
KMB adalah Mohammad Hatta, sedangkan Wongsonegoro ditunjuk sebagai ketua delegasi dalam
bidang gencatan senjata.
Kedudukan Wongsonegoro sebagai Menteri Dalam Negeri berakhir dengan terbentuknya RIS
dengan Hatta yang sebelumnya menjadi Perdana Menteri Rl diangkat menjadi Perdana Menteri RIS.
Wongsonegoro kembali menjadi Menteri dalam Kabinet Natsir sesudah pembubaran RIS. Dalam
Kabinet Natsir ia duduk sebagai Menteri Kehakiman. Ia menjadi Menteri Kehakiman sejak 6 Sptember
1950 sampai dengan 27 April 1951 bersamaan dengan jatuhnya Kabinet Natsir karena muncul mosi
tidak percaya. Dalam rentang waktu yang demikian singkat ia masih sempat membuat tim penyusunan “Rancangan Undang-undang Pemilihan Anggota Konstituante” yang kemudian disahkan menjadi
Undang-undang Pemilihan Anggota Konstituante.
Pada kabinet berikutnya, yaitu Kabinet Sukiman-Suwiryo, Wongsonegoro terpilih sebagai Menteri
Pendidikan dan Pengajaran (PP&K) sejak tanggal 27 April 1951. Sebelumnya jabatan Menteri PP&K
dipercayakan kepada Dr. Bahder Djohan. Beberapa kebijakan yang masih relevan dan sejalan dengan
program Kabinet Sukiman tetap dipertahankan Wongsonegoro, antara lain mengadakan kerjasama
dengan Kementrian Agama yang telah dirintis oleh Bahder Djohan dalam masalah pelajaran agama di
sekolah dasar sampai sekolah menengah.
Kesepakatan antara Kementrian PP&K dan Kementrian Agama tertuang dalam Peraturan Nomor
1432/Kab tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan) dan Nomor Kl/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama)
tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-Sekolah. lsinya antara lain sebagai berikut:
Pasal I: Di tiap-tiap sekolah rendah pendidikan agama dimulai pada kelas 4, sebanyak dua jam
dalam satu minggu.
Pasal 2: Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama dimulai pada kelas I, dan jamnya dapat
ditambah menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi empat jam seminggu, dengan ketentuan
bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi
dibandingkan dengan sekolah-sekolah di lain-lain lingkungan.
Pasal 3: Di sekolah-sekolah lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas, baik sekolah-sekolah
umum maupun sekolah-sekolah kejuruan diberikan pendidikan agama 2 jam dalam tiap-tiap
minggu.
Pasal 4: ayat (I) Pendidikan agama diberikan menurut agama murid masing-masing; ayat (2)
Pendidikan agama baru diberikan pada suatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya
10 orang, yang menganut suatu macam agama; ayat (3) Murid dalam satu kelas yang memeluk
agama lain daripada agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu, boleh meninggalkan
kelasnya selama pelajaran itu .
Undang-undang tanggal 20 Januari 1951 itu kemudian disempurnakan melalui Peraturan Bersama
Menteri PP&K dan Menteri Agama No. 17678/Kab tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) Nomor Kl/9180
tanggal 16 Juli 1951 (Agama) tentang Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-Sekolah Negeri. Peraturan
Bersama ini ditandatangani oleh Mr. Wongsonegoro selaku Menteri PP&K dan Kyai Haji Wahid Hasjim
selaku Menteri Agama. Jika dilihat secara seksama tidak ada perubahan yang cukup signifikan, kecuali
untuk point khusus. lsi peraturan dimaksud antara lain sebagai berikut:
Pasal I: Di tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan vak) diberi pelajaran agama.
Pasal 2: ayat (I) Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama dimulai di kelas 4, banyaknya 2 (dua)
jam pelajaran dalam I (satu)minggu; ayat (2) Di lingkungan yang istimewa pendidikan agama
dapat dimulai di kelas I dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan tetapi tidak melebihi
4 jam seminggu dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah
rendah itu tidak boleh dikurangi dibandingkan dengan sekolah-sekolah rendah lainnya.
Pasal
3: Di sekolah-sekolah lanjutan tingkatan pertama dan tingkatan atas baik- sekolah-sekolah
umum, maupun sekolah-sekolah vak diberi pendidikan agama 2 (dua) jam pelajaran dalam
tiap-tiap minggu.
Pasal 4: Ayat (I) Pendidikan agama diberikan menurut agama murid masing-masing; ayat (2)
Pendidikan agama baru diberikan kepada sesuatu kelas yang mempunyai murid sekurang
kurangnya sepuluh orang, yang menganut suatu macam agama; ayat (3) Murid dalam suatu
kelas yang memeluk agama lain daripada agama yang sedang diajarkan pada sesuatu waktu,
dan murid-murid yang meskipun memeluk agama yang sedang diajarkan tetapi tidak mendapat
izin dari orang tuanya untuk mengikuti pelajaran itu, boleh meninggalkan kelasnya selama jam
pelajaran agama itu.
Pasal 7: Dalam menjalankan kewajibannya sebagai guru, maka guru agama dilarang mengajarkan
segala sesuatu yang mungkin dapat menyinggung perasaan orang yang memeluk agama atau
memegang kepercayaan lain .
Kabinet Sukiman, seperti kabinet pendahulunya, ternyata tidak mampu menyelesaikan semua program
kerjanya karena terganjal oleh munculnya mosi tidak percaya dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Yang menjadi dasar munculnya mosi itu adalah penandatanganan persetujuan bantuan ekonomi dengan
Amerika Serikat dalam kerangka Mutual Security Act (MSA). Dengan persetujuan bantuan itu Kabinet
Sukiman dinilai telah melanggar politik luar negeri “bebas aktif” Indonesia. Sebab, bantuan atas dasar
MSA hanya diberikan oleh Amerika Serikat kepada negara-negara yang dianggap sebagai sekutunya
(Biok Barat).
MENJADI WAKIL PERDANA MENTERI
Setelah Kabinet Sukiman jatuh, Mr. Wongsonegoro mendapat kesempatan membentuk kabinet baru
Bersama Mr. Ali Sastroamidjojo dari PNI berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 132 tanggal 30
Juli 1953. Ali Sastroamidjojo duduk sebagai Perdana Menteri, sedangkan Wongsonegoro sebagai Wakil
Perdana Menteri. Menteri PP&K diserahkan kepada Mr. Muhammad Yamin. Ketika kabinet dibentuk Mr. Ali Satroamidjojo sedang berada di Washington DC sehingga penyusunan kabinet sepenuhnya
dilakukan oleh Wongsonegoro.
Dalam Kabinet Ali I tidak ada menteri yang berasal dari Masyumi. Sebagai gantinya masuk tiga orang
dari Nahdlatul Ulama (NU). Dengan sendirinya kabinet ini tidak mendapat dukungan dari Masyumi
dan juga kehilangan Partai Politik Kristen, tetapi sebaliknya mendapat simpati dari Partai Komunis
Indonesia (PKI) di bawah pimpinan D.N. Aidit.
Sejak tanggal 29 September 1953 Wongsonegoro merangkap jabatan sebagai Menteri Urusan
Kesejahteraan Negara. Kedua jabatan itu ia pegang sampai tanggal 23 Oktober 1954, karena pada
tanggal tersebut secara resmi ia mengundurkan dari kedua jabatan itu. Ia pun mengajukan pensiun
kepada Presiden Soekarno. Setelah pensiun sebagai pegawai negeri, Wongsonegoro mencurahkan perhatian pada kegiatan sosial dan kebudayaan, termasuk di dalamnya dunia kebatinan; bahkan ia terpilih menjadi Ketua Umum Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI). Jabatan Ketua Umum BKKI ia pegang sejak tahun 1955 sampai tahun 1970. Pada tahun 1970 BKKI berubah nama menjadi Sekretariat Kerjasama Kepercayaan.
Semasa menjadi Ketua Umum BKKI ia berusaha agar aliran kepercayaan diakui sejajar dengan agama
agama Islam , Protestan, Hindu, dan Katholik. Akhirnya aliran kepercayaan berubah nama menjadi
Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diakui keberadaannya, meskipun tidak diletakkan di
bawah Departemen Agama melainkan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jabatan
Ketua Umum Sekretariat Kerjasama Kepercayaan masih tetap dipegang oleh Wongsonegoro. Selain itu ia menjabat sebagai Ketua Umum lkatan Pencak Silat Indonesia (sampai dengan tahun 1973), angggota Presidium Persatuan Pensiunan Seluruh Indonesia (sampai tahun 1968), anggota kehormatan PWRI (sampai tahun 1965), Dewan kurator Perguruan Tinggi llmu Kepolisian , dan Dewan Penasihat Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Pada masa Orde Baru Wongsonegoro diangkat sebagai penasihat Sekretariat Bersama Golongan
Karya. Pada tahun 1971 ia terpilih menjadi anggota DPR-RI untuk periode 1971-1977 mewakili daerah
pemilihan Provinsi Jawa Tengah dari Golongan Karya (Golkar). KRMT Wongsonegoro meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tangga14 Maret 1978, menyusul istrinya yang meninggal lebih dahulu pada tanggal 26 Maret 1971. Jenazah Wongsonegoro dimakamkan di makam keluarga Astana Kandaran
di desa Tirip, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Atas jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara Wongsonegoro dianugerahi beberapa tanda jasa,
seperti Bintang Gerilya, Perintis Kemerdekaan, Setya Lencana Perang Kemerdekaan, Lencana
Perang Kemerdekaan I, Setya Lencana Perang Kemerdekaan II , Bintang Bhayangkara untuk Kemajuan
dan Pembangunan Kepolisian , Penghargaan sebagai Pembinaan Olah Raga Pencak Silat , dan Setya
Lencana Kebudayaan.
Filosofi hidup Mr. Wongsonegoro diabadikan pada monumen makamnya di Astana Kandaran, yaitu
“Janma Luwih Hambuka Tunggal”, yang berarti ‘orang yang mempunyai kemampuan lebih akan selalu
mendekatkan diri kepada sang Pencipta’. Di sana tertulis pula kalimat “Haruming Sabda Haruming
Budi”, yang berarti ‘orang yang selalu bertutur kata baik dalam arti yang benar, menggambarkan pribadi
orang yang berbudi luhur’.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Wongsonegoro (27 April 1951 – 3 April 1952) […]