Wardiman Djojonegoro

Menteri Pendidikan Masa Jabatan 17 Maret 1993 – 16 Maret 1998

MASA KECIL DAN PENDIDIKAN

Nama lengkapnya Wardiman Djojonegoro. Ia lahir di Pamekasan, Madura, pada tanggal 22 Juni 1934;
anak ketiga dari sebelas bersaudara. Ayahnya seorang Kepala Sekolah Hollandsch lnlandsche School (HIS), sehingga meskipun banyak saudara tidak sulit bagi Wardiman dan saudara-saudaranya bersekolah karena secara ekonomi dan sosial ayahnya termasuk orang mampu dan terpandang. Sebagai kepala sekolah, ayah Wardiman sering pindah tugas, yang hanya sekitar dua tahun penempatan di suatu daerah. Oleh karena itu Wardiman dan saudara-saudaranya mesti pindah setiap dua tahun sekali ke kota berbeda.
Wardiman mengatakan bahwa ia menempuh pendidikan sekolah dasar dan menengah di sejumlah kota,
mulai dari Pemalang (Jawa Tengah), Samarinda dan Balikpapan (Kalimantan), Pamekasan (Madura),
sampai Malang dan Surabaya (Jawa Timur). Perasaan Wardiman yang selalu mengikuti tugas ayahnya
di beberapa daerah berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan kepribadiannya, yakni menjadi
sosok yang terbuka. Wardiman menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 1953 di Surabaya. Setamat SMA, pada bulan September 1953, ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teknik Mesin Universiteit Indonesia di Bandung (sekarang lnstitut Teknologi Bandung). Ia diterima tanpa tes masuk (karena memang tidak ada tes masuk), bahkan mendapat beasiswa Rp 250,00 per bulan. Pada bulan Mei 1954, ia menyelesaikan ujian tingkat pertama (propodeuse 1/PI) dengan hasil sangat memuaskan, lulus untuk II mata ujian yang diikutinya. Keberhasilan tersebut dianggap luar biasa karena saat itu jarang sekali
mahasiswa dapat menyelesaikan P-1 dalam waktu sembilan bulan. Pada tahun 1955 ia melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda dengan beasiswa Bank lndustri Indonesia (BIN). Menurut Wardiman, ide menimba ilmu di luar negeri muncul setelah mendengar B.J . Habibie mengatakan ingin belajar di luar negeri. Di Belanda, Wardiman menuntut ilmu di Technische Hogeschool Delft (TH Delft) pada Jurusan Arsitektur Perkapalan.
Pada saat itu konflik lndonesia-Belanda berkait Irian Barat (Papua) tengah menghangat, yang mengakibatkan pemerintah Indonesia menarik pulang semua mahasiswa Indonesia yang tengah belajar
di negeri kincir angin itu. Wardiman pun harus meninggalkan Delft pada tahun 1958. Semangat untuk
bel ajar di luar negeri mengantarkan Wardiman ke Jerman Barat. Ia melanjutkan pendidikan di Rheinish­
Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, dan memperoleh gelar Diplom lngenieur (Dilp. lng.)
pada bidang teknik mesin pada tahun 1962. Beberapa tahun kemudian Wardiman kembali ke TH Delft dan pada tahun 1985 berhasil mempertahankan disertasi dengan judul Shipping As A Decisive Paramater In Indonesia’s Energy Source Development “Policies For The Shipbuilding Industry”. Setelah menamatkan pendidikan di Delft ia kembali ke Indonesia.

Baca Juga : Agung Wicaksono, S.Pd. M.Pd


KEBIJAKAN BIDANG PENDIDIKAN
Pengalaman kerja Wardiman dimulai di Bank Bapindo (1963-1967) dan kemudian bergabung dengan
Pemerintah Daerah DKI Jakarta tahun 1966-1979. Tidak lama setelah Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi dibentuk, Wardiman diangkat menjadi Asisten Menteri I Riset dan Teknologi ( 1979-1988).
Tugas ini melibatkannya pada tugas-tugas di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai
Direktur Analisa Sistem ( 1981-1982) dan sebagai Deputi Ketua BPPT untuk Bidang Administrasi (1982-
1993). Pada tahun 1993 ia diangkat Presiden Soeharto menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) pada Kabinet Pembangunan VI. Dalam memoarnya Wardiman menulis, “Seandainya ada suatu hari yang paling berkesan dalam seluruh kehidupan, hari itu adalah ketika untuk pertama kalinya saya menerima telepon dari Bapak Presiden, yaitu mendapat penugasan untuk memimpin suatu departemen yang besar di Republik tercinta ini.” Penunjukan terse but membuat hatinya bergetar.
Beberapa saat setelah menerima tugas sebagai Mendikbud muncul perasaan haru, terhormat, bangga,
serta beruntung. Ia mulai masuk kantor sehari setelah dilantik dan pada hari kedua mulai melakukan
orientasi. Saat itu ia sadar bahwa departemen yang dipimpinnya merupakan sebuah lembaga yang
sangat besar dan kompleks. Oleh karena itu , sebagaimana tertulis dalam otobiografinya, ia menyebut
Depdikbud ibarat “gajah dengan tujuh kaki”. Gajah berjalan lambat karena masing-masing kaki berjalan
sendiri-sendiri.
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan ia memiliki penilaian tersebut. Pertama, Depdikbud memiliki jalur birokrasi yang kompleks dan rumit, baik secara horizontal, vertikal, maupun spasial, sehingga permasalahannya pun sangat luas dan relatif berat. Kedua, Depdikbud memiliki pakar dan ahli yang sangat banyak jumlahnya sehingga kesulitan besar yang akan ditemuinya adalah menyelaraskan gagasannya dengan pemikiran bawahannya. Dibandingkan dengan para pendahulunya yang berlatar belakang pendidikan eksakta, Wardiman Djojonegoro memiliki pemahanan yang cukup unik, terutama menyelaraskan kemampuan peserta didik dalam menghadapi tantangan globalisasi. Wardiman banyak belajar dari jejak para pendahulunya dan memahami kebijakan mereka, terutama dari awal kebangkitan Orde Baru. Dengan kata lain, kebijakan di Depdikbud tidaklah harus dimulai dari nol karena menteri-menteri terdahulu telah meletakkan filosofinya.
Segala kekuatan pemikiran yang dimilikinya dan bersinergi dengan kebijakan sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah yang masih ada dengan gagasan-gagasan yang perlu diperbaharui. Ia pun memahami bahwa menerapkan gagasan yang lebih akurat dalam membangun pendidikan di masa depan memerlukan penelusuran pengalaman ke belakang sejauh mungkin. Situasi politik, ekonomi, budaya, dan teknologi terus berkembang sejalan dengan perubahan aspirasi, cita-cita, dan harapan sehingga melahirkan tantangan-tantangan yang juga terus berkembang seolah tanpa batas.
Wardiman menu lis Fifty Years Development of Indonesian Education, yang merupakan penelusuran sejarah pendidikan di Indonesia. Dalam karya tersebut Wardiman menyebut bahwa pendidikan pada awal
kemerdekaan ( 1945-1968) diselenggarakan sesuai dengan kondisi pad a waktu itu, yaitu perjuangan
bangsa mempertahankan dan pengisian kemerdekaan, sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 sampai
tahun 1968.
Pada periode itu sistem pendidikan masih sangat bervariasi serta ditandai oleh keragaman sistem dan tujuan pendidikan dari berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Wardiman menyatakan bahwa pada periode tersebut tidak banyak yang dapat dipelajari dari pengalaman dalam membangun pendidikan dan kebudayaan karena upaya pembangunan nasional yang sistematis boleh dikatakan belum dimulai secara utuh. Meskipun demikian ada satu hal yang dapat dipelajari dari kurun waktu tersebut, yakni pembangunan sistem pendidikan dan kebudayaan yang dipengaruhi oleh situasi politik yang belum stabil menyebabkan pembangunan pendidikan tidak mungkin berjalan lancar. Pendidikan periode berikutnya adalah Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I) tahun 1969/1970-1993/1994, yakni periode keemasan pembangunan pendidikan di tanah air. Kesempatan belajar pada setiap jenis dan jenjang pendidikan terus diperluas. Jumlah sekolah dasar (SD) tumbuh hampir I 0 kali lipat dari 17.848 pada tahun 1940 menjadi sekitar 173 .000 pada tahun 1993/1994 dengan angka partisipasi sebesar 109 persen. Sementara jumlah sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) tumbuh 84 kali lipat dari 322 pada tahun 1945 menjadi 269.000 pada tahun 1993/1994 dengan angka partisipasi sebesar 55 persen.
Adapun untuk sekolah menengah atas (SMA) bertambah 400 kali lipat dari 27 buah pada tahun 1940
menjadi 79 buah pada tahun 1945 dan 107.000 buah pada tahun 1993/1994 dengan angka partisipasi
sebesar 43 persen. Sejak tahun 1945 jumlah perguruan tinggi tumbuh dari 38 menjadi 1.228 perguruan tinggi negeri dan swasta, dengan jumlah mahasiswa lebih dari 2 juta orang pada tahun 1993/1994 dan
angka partisipasi sebesar 9,5 persen.
Pada lima tahun masa kerjanya, terdapat tiga pokok program dan kebijakan yang dilakukan oleh
Wardiman Djojonegoro. Pertama, aspek perluasan kesempatan belajar sebagai suatu proses yang sistematis dan berkesinambungan yang dilakukan sejak awal PJP I. Perluasan kesempatan belajar dilakukan dengan cara meningkatkan wajib belajar sembilan tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun),
sesuai dengan amanat UU Nomor 2 Tahun 1989 yang mengonsepsikan pendidikan dasar bukan
hanya SD 6 tahun tetapi ditambah dengan SLTP 3 tahun. Kedua, untuk melanjutkan kerangka
landasan yang telah dibangun oleh menteri-menteri terdahulu dalam upaya meningkatkan mutu,
beberapa program kelanjutan diperkenalkan oleh Wardiman, seperti pembinaan sekolah unggulan,
peningkatan sarana dan prasarana yang lebih memadai, pengembangan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK), dan peningkatan kualifikasi pendidikan guru. Program pascasarjana
serta kegiatan penelitian dan pengembangan juga dikembangkan di perguruan tinggi dalam rangka
menunjang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, sebagai implementasi dari konsep relevansi
pendidikan, diterapkan konsep link and match, yakni konsep yang menyelaraskan antara dunia
pendidikan dan dunia industri.
Dari ketiga program tersebut konsep pendidikan link and match (kesesuaian dan keterpaduan) menjadi
program utama yang dijalankan oleh Wardiman. Konsep ini sebenarnya tidak lahir dari pemikiran
Wardiman sendiri, tetapi diadaptasi dari pendidikan di Amerika Serikat. Adalah Prof. Karl Willenbrock,
pakar pendidikan dari Harvard University, Amerika Serikat, yang mengusulkan gagasan perlunya
perusahaan menjadi “bapak angkat” bagi perguruan tinggi. Gagasan ini awalnya berangkat dari kerisauan Wardiman tentang banyaknya lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, baik dari tingkat Keterampilan maupun dari jenis keterampilan yang dibutuhkan. Dunia pendidikan dan dunia kerja
seringkali berjalan sendiri-sendiri. Menu rut penuturan Wardiman, konsep link and match berangkat dari keadaan nyata masyarakat. Tenaga kerja yang dibutuhkan sepanjang masa adalah tenaga kerja terampil serta lulusan yang memiliki keterampilan memadai (sesuai). Wardiman mengakui bahwa lembaga pendidikan sejak kemerdekaan belum mampu memenuhi kedua tuntutan tersebut. Dengan kata lain kebijakan link and match merupakan kebijakan Depdikbud yang dikembangkan untuk meningkatkan relevansi pendidikan, yaitu relevansi dengan kebutuhan pembangunan umumnya dan dengan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha, dan dunia industri. Dengan demikian esensi dari relevansi adalah upaya menciptakan keterkaitan dan kesepadanan antara pendidikan dan pembangunan.Dalam kesempatan lain Wardiman menyebut link and match semakin penting karena beberapa kecenderungan.
Pertama, sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional semakin meningkat pula tingginya tuntutan dunia kerja terhadap tenaga kerja yang bermutu baik secara kualitas maupun kuantitas.
Kedua, perubahan struktur dan persyaratan dunia kerja yang semakin kompetitif dan mengandalkan
keahlian dalam bidang tertentu tanpa mengabaikan wawasan dan pengetahuan secara interdisipliner.
Ketiga, pandangan yang cenderung menganggap tujuan pendidikan hanyalah untuk pengembangan
kepribadian sudah bergeser menjadi cara berpikir yang memandang bahwa pendidikan semestinya
menyiapkan peserta didik secara utuh, meliputi pengetahuan, sikap, kemauan, dan keterampilan fungsional bagi kehidupan pribadi, warga negara, dan warga masyarakat, serta upaya mencari nafkah. Keempat, semakin populernya konsep pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang mendapatkan prioritas tinggi. Dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai upaya pengembangan SDM yang berkualitas. Konsep pengembangan SDM mengimplikasikan bahwa pendidikan merupakan wahana untuk pembangunan dan perubahan sosial dan pendidikan merupakan investasi untuk masa depan.
lmplementasi link and match bisa ditelusuri dalam Kurikulum 1994. Ketentuan- ketentuan yang ada
dalam Kurikulum 1994 adalah (I) bersifat objective based curriculum , (2) nama SMP diganti mejadi SLTP
(Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum), (3) mata
pelajaran PSPB dihapus, (4) program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran, (5)
program pengajaran SMU disusun dalam 10 mata pelajaran, serta (6) penjurusan SMA dilakukan di kelas
II dalam program IPA, program IPS , dan program Bahasa. Selain berisi pokok-pokok perubahan di atas
Kurikulum 1994 juga menekankan pada pengembangan pendidikan kejuruan melalui jalur Pendidikan
Sistem Ganda (PSG) di sekolah-sekolah kejuruan (SMK).
Pendidikan Sistem Ganda merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang
memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dengan program penguasaan
keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja atau praktik langsung di dunia kerja. Melalui PSG
pendidikan dapat lebih terarah untuk mencapai tingkat keterampilan atau keahlian profesional tertentu.
Adapun tujuan PSG antara lain (I) menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional, (2)
memperkokoh link and match antara sekolah dan dunia kerja, (3) meningkatkan kesangkilan proses
pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang berkualitas, dan (4) memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian dari proses pendidikan.
Link secara harfiah berarti ‘adanya pertautan, keterkaitan, atau hubungan interaktif’; sedang match
berarti ‘cocok, padan’. Pada dasarnya link and match merupakan keterkaitan dan kecocokan antara proses dan produk pendidikan dengan kebutuhan (needs, demands). Kebutuhan ini bersifat sangat luas,
multidimensional, dan multisektoral, mulai dari kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, kebutuhan
masyarakat dan negara, serta kebutuhan pembangunan, termasuk kebutuhan dunia kerja.
Pada jenjang pendidikan dasar, link and match ditujukan untuk pembentukan pribadi yang berbudi pekerti luhur, beriman dan bertaqwa, berkemampuan, dan mempunyai keterampilan dasar untuk pendidikan selanjutnya di tingkat menengah dan untuk bekal hidup. Penekan terakhir ditujukan untuk memperoleh keterampilan dasar sebagai bekal hidup yang belum sepenuhnya mengarah pada bidang kejuruan atau pekerjaan tertentu, tetapi merupakan keterampilan dasar untuk belajar yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Dengan konsep link and match lulusan pendidikan dasar adalah mereka yang mampu belajar tetapi tidak seharusnya dianggap memiliki keterampilan kerja dan siap untuk bekerja. Tenaga terampil harus dihasilkan dari lulusan pendidikan dasar (SD dan SLTP) yang dilengkapi dengan kursus dan pelatihan yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan luar sekolah.
Pada jenjang pendidikan menengah, link and match ditujukan untuk membekali pengetahuan dan
keterampilan pada peserta didik agar memiliki kemampuan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
tinggi atau kemampuan untuk bekerja. Konsep link and match pada pendidikan menengah kejuruan
lebih diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang diproyeksikan menjadi tenaga kerja tingkat menengah
yang terampil. Mereka diharapkan mampu mengisi kebutuhan berbagai jenis lapangan kerja sesuai
dengan tingkatannya serta belajar menyesuaikan keterampilanya dengan perkembangan. Untuk tujuan tersebut, penerapan link and match lebih ditujukan pada pelaksanaan PSG. Konsep link and match
pada pendidikan tinggi lebih diarahkan pada peningkatan perguruan tinggi dalam menghasilkan
lulusan sesuai dengan kebutuhan industri, baik dari segi jumlah, komposisi menurut keahlian, maupun
mutu keahlian yang dimiliki. Pendidikan tinggi juga harus mampu menghasilkan lulusan yang seimbang,
baik dilihat dari kemampuan profesional maupun kemampuan akademik. Kemampuan akademik
menekankan pada kemampuan penguasaan dan pengembangan ilmu, sedang kemampuan profesional
menekankan pada kemampuan dan keterampilan kerja.
Dalam perkembangannya penerapan kebijakan link and match menuai banyak kritik dan kontroversi
serta menyimpan dilema tersendiri. Link and match menjadi dilema karena di satu sisi kebijakan ini
ditujukan untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia, yang dengan demikian mampu
bersaing dalam dunia kerja (usaha). Masih hangat dalam ingatan kita, sampai kini masyarakat masih
berbondong-bondong memasukkan anaknya untuk bersekolah di jenjang pendidikan kejuruan dengan satu harapan mereka dapat Iekas bekerja. Di sisi lain kenyataan tak selamanya sepadan dengan harapan,
sebab secara kualitas lulusan pendidikan kejuruan tidak selamanya match dengan kebutuhan dunia
usaha yang semakin kompleks dan kompetitif. Banyak pengalaman siswa lulusan SMK Teknik Mesin,
misalnya, justru bekerja sebagai staf administasi kantor atau buruh pabrik. Sebaliknya lulusan SMK
Akutansi justru menjadi montir di bengkel mobil.
Realisasi praktik di lapangan juga sering kali bertolak belakang dari rencana yang diterapkan oleh
pemerintah. Sebagai contoh, janji dan kerja sama antara pemerintah dan dunia bisnis (usaha) seringkali
hanya manis di atas kertas. Alhasil, kesempatan kerja lulusan pendidikan kejuruan menjadi sangat
terbatas atau bahkan nihil sama sekali. Kritik mendasar pada konsep link and match adalah konsep
ini terkesan hanya berorientasi ekonomis serta meminggirkan substansi pendidikan sebagai wahana
pencerdasan, ruang aktualisasi diri, proses pencarian dan penemuan jati diri, serta proses pemerdekaan
(pembebasan) anak didik sesuai naluri dan keinginan mereka. Kritik ini sangat beralasan, sebab dalam
naungan konsep link and match anak didik dituntut mengerjakan segala sesuatu yang berdaya jangka
pendek dan berorientasi target. Kita juga dapat menambahkan bahwa biaya pendidikan yang dikeluarkan
untuk memenuhi serangkaian konsep link and match juga tidak sedikit.
Kebijakan Wardiman yang juga menjadi torehan sejarah adalah perubahan sistem semester menjadi
caturwulan serta penggantian penamaan Sekolah Menengah Pertama (SMP) menjadi Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP). Perubahan nama didasari alasan bahwa dalam konsep wajib belajar sembilan
tahun SMP bukan bagian dari sekolah menengah, tetapi masuk kategori pendidikan dasar. Pada kategori
sekolah menengah hanya ada dua kelompok sekolah, yakni Sekolah Menengah Umum (SMU) dan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sekolah yang masuk kelompok SMU hanya satu, yakni Sekolah
Menengah Atas (SMA); sedangkan sekolah yang masuk kelompok SMK terdiri dari Sekolah Teknik
Menengah (STM), Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), SMKK (Sekolah Menengah Kesejahteraan
Keluarga), Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), Sekolah
Menengah lndustri Kerajian (SMIK), dan sebagainya.
Kebijakan lain yang tertuju pada pendidikan tinggi tetapi sesungguhnya didasarkan kondisi pada pendidikan dasar dan menengah adalah memperluas I KIP menjadi universitas. Dasar gagasan ini adalah
kenyataan bahwa IKIP cenderung diberi tugas menghasilkan guru sebanyak-banyaknya·, sehingga fokus
pembangunan hanya pada jumlah dan kuantitasguru. Kompetensi dan kualitas kurang diperhatikan, antara lain dibuktikan dengan banyaknya keluhan tentang mutu guru yang masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itulah Wardiman menggagas peran IKIP menentukan isi kurikulum pembelajaran, memberikan perhatian yang besar pada jurusan yang kekurangan pengajar, serta menyusun program pelatihan besar­ besaran untuk guru SD. Berkait dengan hal itu Wardiman mengusulkan agar I KIP digabungkan dengan cabang ilmu lain agar ada “darah baru” pada lembaga tersebut. Dengan penggabungan itu format lembaga juga akan berubah dari institut menjadi universitas. Wardiman menegaskan bahwa perubahan IKIP menjadi universitas bukan untuk menggantikan atau membubarkan lembaga pendidikan keguruan yang sudah ada, tetapi untuk memberdayakannya.
Gagasan itu menimbulkan pro dan kontra, baik di kalangan Depdikbud maupun IKIP. Namun Wardiman tetap dengan idenya. Dari 10 IKIP yang ada di Indonesia, ada empat I KIP negeri yang menyetujui gagasan tersebut. Keempat I KIP tersebut adalah I KIP Yogyakarta, Bandung, Malang, dan Padang, yang masing-masing lembaga tersebut mengubah namanya menjadi Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas
Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Malang, dan Universitas Negeri Padang.
Wardiman juga memberikan perhatian yang besar terhadap karier guru dan kesejahteraan guru. Ia
membuat kebijakan bahwa hanya guru yang bisa menjadi pengawas sekolah dan jabatan kepala sekolah
(SD,SLTP, SLTA, dan SMK) dibatasi menjadi dua kali masa jabatan (dua kali empat tahun). Kebijakan
tersebut memberi peluang kepada semua guru untuk bisa menduduki posisi pengawas sekolah dan
kepala sekolah. Wardiman menyadari gaji guru relatif rendah. Oleh karena itu ia mengupayakan ada kebijakan khusus untuk guru. Upaya itu membuahkan hasil ketika Menteri Penertiban Aparatur Negara (Menpan) mengeluarkan keputusan (Kepmenpan) No. 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Inti keputusan itu adalah guru diberi kemudahan naik pangkat. Dengan aturan itu
guru dimungkinkan naik pangkat setiap dua tahun dan pola naik pangkat seperti ini berlaku hingga
guru bersangkutan mencapai pangkat Pembina/Golongan IV/a. Untuk naik ke golongan selanjutnya
guru harus mengumpulkan angka kredit, yang dapat diperoleh dari produktivitas mereka membuat
karya ilmiah atau karya inovatif lain. Kebijakan ini berhasil mengantarkan sejumlah besar guru ke
golongan IV/a. Sayangnya “prestasi” mereka mentok pada golongan itu dan sangat sedikit, hanya sekitar
4 %, dari mereka yang berhasil melewati golongan tersebut. Artinya, kebijakan tersebut tidak mampu
meningkatkan produktivitas guru agar melahirkan karya ilmiah dan karya inovatif lain.

Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia


KEBIJAKAN KEBUDAYAAN
Bila kebudayaan dipahami dalam arti yang lebih luas, Wardiman termasuk salah satu Mendikbud yang
melahirkan sejumlah kebijakan yang berkesan dalam bidang kebudayaan. Wardiman menyebut bahwa gagasan untuk “memperhatikan budaya” telah tumbuh dan ada dalam dirinya sejak lama, setidaknya semenjak ia bertugas di bawah Ali Sadikin di pemerintahan DKI Jakarta Raya pada awal tahun 1970-an.
Wardiman mempunyai peran besar dalam penggunaan bahasa Indonesia di kalangan para pengusaha,
industri, pengembang, dan perbankan. Dengan kata lain, Wardiman adalah tokoh terdepan dalam
kampanye pemasyarakatan bahasa Indonesia di wilayah perkotaan. Perubahan penamaan gedung,
nama perumahan, bank, iklan, dan sebagainya dari semula sarat dengan bahasa lnggris menjadi bahasa
Indonesia sesudah tahun 1995 tidak bisa dipisahkan dari ikhtiar Wardiman. Sebagaimana diakui Taufik Ismail, Wardiman mempunyai peran besar dalam pengajaran sastra dan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kepada peserta didik. Dalam kegiatan yang diinisiasi oleh Taufik Ismail itu program yang dinamakan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) para sastrawan berbagi pengalaman dan kisah kreatif mereka dengan para guru. Melalui pertemuan dan berbagai pengalaman tersebut diharapkan guru dapat meraup ilmu dan pengalaman para sastrawan besar tanah air. Walaupun semasa Mendikbud Wardiman program ini belum terlaksanana, tetapi pada masa berikutnya bisa dilaksanakan. Persetujuan Wardiman adalah pemantik utama terselenggaranya program ini.
Budaya baca di kalangan anak bangsa yang masih rendah juga menjadi perhatian Wardiman. Dalam
rangka menumbuhkan budaya baca Wardiman mencanangkan Bulan Buku Nasional (bulan Mei) dan
Bulan Gemar Membaca (bulan September). Wardiman menggagas Hari Kunjungan Perpustakaan
tanggal 14 September. Tidak tanggung-tanggung, Wardiman melibatkan Presiden Soeharto dalam
upaya tersebut. Hari Kunjungan Perpustakaan dicanangkan langsung oleh Presiden Soeharto. Upaya
menggairahkan minat budaya baca dilakukan dengan merangkul lkatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
yang menyelenggarakan pameran buku tiap tahun. Tidak hanya kalangan penerbit, masyarakat juga
diikutsertakan dalam gerakan ini. Jimly Assidiqie, yang didukung oleh sejumlah kalangan, misalnya,
memelopori pembentukan Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM).
Dalam upaya memberi penghargaan terhadap kreativitas seniman, Wardiman menggagas adanya
“industri budaya”, dengan maksud seni dan budaya dikelola dan diperlakukan selayaknya industri.
Kesenian dilihat sebagai bagian dari “industri budaya”. Apresiasi dan penghargaan dalam bentuk uang
memiliki arti penting dalam pengembangan produk seni. Hasil seni yang bermutu bisa dinikmati,
dikagumi dan dihargai oleh masyarakat; untuk itu produk seni yang hebat mesti “dijual” dan untuk
menikmatinya harus “dibeli”. Dengan demikian ada dana yang mengalir dan ada dana yang tersedia.
Tore han sejarah lain yang tidak bisa dipisahkan dari nama Wardiman adalah renovasi atau pembangunan
kembali Museum Nasional. Wardiman menyebut ingin mengubah Museum Nasional yang humble menjadi Museum Nasional yang “berkelas internasional”.
Dia juga mengatakan bahwa pemugaran dan perluasan Museum Nasional sebagai prioritasnya sebagai Mendikbud. Pemugaran dan perluasan, atau menurut istilah Wardiman “Membuat Wajah Baru Museum Nasional”, merupakan suatu pekerjaan besar, membutuhkan dana besar, serta upaya dan semangat yang gigih. Wardiman menempuh berbagai macam cara, melobi ke Bapenas, Menteri Keuangan, Pemerintah daerah DKI Jaya, membujuk masyarakat yang rumah atau tempat usaha mereka akan tergusur,
dan sebagainya. Upaya Wardiman tidak sia-sia. Walaupun ia tidak ikut-serta dalam acara peresmiannya, pembangunan Museum Nasional sebagai sebuah pusat aktivitas budaya yang menarik, menyenangkan, dan berstandar internasional akhirnya bisa dituntaskan. Peran Wardiman dalam pemugaran dan peningkatan gedung tua dapat dilihat pada Proyek Galeri Nasional. Proyek ini juga merupakan pekerjaan besar. Banyak kendala yang dihadapi; tidak hanya masalah dana, tetapi juga persoalan non-teknis, seperti pengosongan lokasi dari para penghuni lama. Dengan berbagai pendekatan persoalan bisa dituntaskan dan dengan dukungan dana serta bantuan non-material lain dari berbagai pihak dan instansi, proyek ini bisa dituntaskan, yang diresmikan pada masa kepemimpinan Wardiman.

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *