Teuku Mohammad Syarif Thayeb

Menteri Pendidikan Masa Jabatan 22 Januari 1974 – 29 Maret 1978

MASA KECIL DAN PENDIDIKAN
Teuku Mohammad Syarif Thayeb kelahiran Peureulak, Aceh, tanggal 7 Agustus 1920, dari keluarga bangsawan dan memperoleh gelar “teuku” dari ayahnya, Teuku Cik Muhammad Thayeb, seorang
uleebalang ‘hulubalang’ di Peureulak. Sebagaimana diketahui bahwa, dalam lembaran sejarah Aceh, kawasan kelahiran Syarif Thayeb merupakan bekas kerajaan yang pernah jaya sebelum kedatangan
kolonialis Belanda. Catatan mengenai masa pendidikannya hanya tercatat ketika ia belajar di Geneeskundige Hogeschool di Aceh tahun 1933. Pendidikan di sekolah lanjutan kedokteran masa kolonial Belanda itu ia selesaikan pada tahun 1938. Sejak sekolah di Geneeskundige Hogeschool, ia aktif dalam gerakan politik untuk
Indonesia merdeka, namun masih secara sembunyi-sembunyi (gerakan bawah tanah). Hal ini sangat dimungkinkan karena Aceh pada masa itu merupakan ladang yang subur bagi tumbuhnya gerakan penentangan terhadap kolonialis Belanda. Oleh karena saat itu penjajah menjalankan politik opresif dan polisi mata-matanya (Politieke lnlichtingen Dienst-PID) bertebaran di mana-mana, maka kegiatan politik secara tidak nyata merupakan upaya yang paling mungkin dilakukan Syarif Thayeb muda.
Beralihnya kekuasaan Hindia Belanda ke tangan tentara pendudukan Jepang tahun 1942 tidak membuat Syarif Thayeb mundur dari dunia pergerakan. Ia tetap aktif mengupayakan kebebasan Indonesia dari
penjajah sehingga beberapa kali ditangkap militer Jepang. Tuduhan yang ditujukan kepadanya adalah ia dianggap berbahaya dan menyebar ujaran kebencian terhadap Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, Syarif Thayeb melanjutkan pendidikan di lka Dai Gaku Jakarta (Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta). Karena tidak puas dengan pendidikannya, Syarif Thayeb melanjutkan studi di Harvard Medical School, Amerika Serikat, tahun 1955. Pendidikan di perguruan tinggi bergengsi di Boston itu dirampungkannya pada tahun 1957. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Pediatrics School of
Medicine di Philadelphia.
Pengakuan terhadap kiprah ilmu dan minat akademisnya tidak hanya diperoleh di ujung kuliah yang dijalaninya, tetapi juga diperoleh setelah aktif mendarmabaktikan ilmunya di perguruan tinggi dan
sebagai pejabat publik. Setamat kuliah dan setelah kembali aktif di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai Kepala Bank dan Laboratorium Darah Angkatan Darat, Syarif Thayeb dipercayai menjadi Kepala Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Cipto Mangunkusumo di Jakarta. Ia pun menjadi dosen pada Fakultas Kedokteran Bagian Anak Universitas Indonesia (UI) dan kemudian
menjadi presiden universitas tersebut, dan setelah itu menjadi Menteri Perguruan Tinggi dan llmu Pengetahuan (PTIP). Minat dan pengabdiannya yang tinggi pada dunia akademis khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya mengantarnya menjadi penerima
Doktor Honoris Causa (Dr. HC.) untuk bidang pendidikan yang dianugerahkan oleh Mindanao University Filipina tahun 1967. Delapan tahun kemudian ia kembali memperoleh Doktor Honoris Causa dari The Philipines Womens University Manila. Tidak hanya menyibukkan diri dalam pendidikan umum yang berhubungan dengan dunia kedokteran, ia juga tercatat pernah mengikuti pendidikan dalam bidang kemiliteran, yakni pada Sekolah
Staf Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung tahun 1970.

KARIER
Dunia militer memang menjadi bagian dari sejarah hidup SyarifThayeb. Kegiatannya dalam gerakan bawah tanah guna pembebasan Indonesia dari cengkeraman kolonialis (Belanda dan Jepang) menyebabkan ia memilih masuk dunia militer pada awal kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Ia memasuki kancah dunia militer melalui jalur Tentara Keamaan Rakyat (TKR). Latar belakang pendidikan kedokteran membawa dirinya ditempatkan sebagai tim medis sejak keterlibatannya dalam perang mempertahankan kemerdekaan. Medan perjuangannya sebagai dokter militer ini menempatkannya di Front Surabaya. Ia juga ikut dalam penumpasan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun tahun 1948 dan penumpasan upaya pendirian Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1951 . Sesudah pengakuan kedaulatan hingga tahun 1955 ia ditugaskan sebagai dokter militer di Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKB-DR) Divisi Siliwangi. Seperti disebut di atas, tahun 1955 Syarif Thayeb melanjutkan pendidikan ke Am erika Serikat. Berturut­ turut ia mengecap pendidikan di Sekolah Kesehatan Harvard University di Boston (1955-1957) dan Pediatrics School of Medicine Temple University di California (1957-1959). Setamat dari Pediatrics School of Medicine ia kembali ke tanah air dan bekerja kembali di lingkungan militer. Ia diangkat sebagai Kepala Bank dan Laboratorium Darah Angkatan Darat di Jakarta tahun sejak 1959 hingga 1961. Pada tahun yang sama Syarif Thayeb menjabat Kepala Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Cipto Mangunkusumo sekaligus dosen senior di Fakultas Kedokteran bagian Anak Ul. Kariernya terus meroket. Pada tahun 1962 dia ditunjuk menjadi Presiden Ul dan pada akhir tahun 1964, ketika Bung Karno membentuk Kabinet Dwikora, ia diangkat sebagai Menteri PTIP hingga tahun 1966. Memasuki masa transisi dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru, ia terpilih sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) tahun 1966-1971. Setelah melepas kesibukannya di DPRGR ia ditunjuk sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat dan Brazil yang berkedudukan di Washington dari tahun 1971 sampai tahun 1974. Karier SyarifThayeb di dunia birokrasi terus berlanjut ketika Presiden Soeharto melantiknya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) tanggal 22 Januari 1974 menggantikan Soemantri Brodjonegoro. Sejak tahun 1976 sampai 1988, setelah selesai menjabat Menteri P dan K, beberapa kali ia memegang jabatan tertentu, antara lain sebagai anggota Badan Pelaksana UNESCO tahun 1976-1980, Chairman of SEAMEC Conference tahun 1977-1978, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) tahun 1978-1983 dan 1983-1988.

PEMIKIRAN UNTUK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Semasa menjabat Menteri Pendidikan Tinggi dan llmu Pengetahuan pada masa akhir Demokrasi Terpimpin, Syarif Thayeb menjadi salah seorang sponsor berdirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Sejak demonstrasi besar-besaran tahun 1966 ia bersuara lantang tentang kebebasan kampus. Ia mendefinisikan kebebasan akademis adalah kebebasan berpendapat serta penyampaian ilmu pengetahuan dan teknologi baik secara lisan maupun tertulis dalam beberapa forum yang biasa berlaku di Perguruan Tinggi.

Ketika mengemban jabatan sebagai Menteri P dan K Syarif Thayeb berhadapan dengan sejumlah persoalan mendasar dalam dunia pendidikan Indonesia. Persoalan ini terjadi pada tingkat pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi. Tiga dari sejumlah persoalan itu yang langsung berhubungan dengan tingkat pendidikan dasar dan menengah, yakni perluasan dan pemerataan kesempatan belajar, biaya pendidikan/pembebasan uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), dan mutu pendidikan. Saat itu masih banyak anak usia sekolah, yakni anak umur 7 hingga 12 tahun, yang tidak sempat menikmati pendidikan. Kalaupun bisa bersekolah, banyak di antara mereka yang kemudian tidak mampu menyelesaikan pendidikan dan terpaksa drop out ‘ keluar sekolah’ sebelum memperoleh ijazah. Menurut data yang tersedia saat itu, dari I 00 siswa yang masuk kelas I hanya sekitar 25 % yang mampu bertahan hingga kelas 6 dan lulus. Ada banyak latar belakang yang menyebabkan pendidikan mereka terputus; tiga di antaranya adalah kurang ketersediaan sekolah tempat belajar (kalapun ada berada di tempat yang jauh dari rumah atau tempat tinggal dan akses jalan menuju sekolah sangat jelek); keadaan ekonomi orang tua yang tidak memungkinkan mereka bersekolah, apalagi bersekolah di lokasi di luar tempat tinggal mereka; dan mereka diajak atau dipaksa membantu orang tua bekerja, dengan kata lain alasan ketiga ini berkait erat dengan kurangnya dukungan orang tua. Hal terakhir berhubungan dengan kenyataan lain yang melilit dunia pendidikan saat itu, yakni masih banyak orang dewasa yang belum pernah mengecap pendidikan. Salah satu kebijakan yang dijalankan Syarif Thayeb untuk mengatasi kekurangan sekolah adalah membangun gedung-gedung sekolah baru yang didanai dengan anggaran yang dialokasikan berdasarkan lntruksi Presiden (lnpres), yang dikenal dengan nama Sekolah Dasar lntruksi Presiden (SD lnpres). Pembangunan gedung ini lengkap dengan mebelnya, kamar kecil, pompa air, dan sumur. Hingga dua tahun kepemimpinan Syarif Thayeb (1976) telah dibangun 16.000 gedung dengan 96.000 ruang kelas.Sesuai dengan tujuan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan gedung pendidikan, SD In pres dibangun di tempat-tempat yang sebelumnya belum memiliki sekolah dan umumnya di kawasan pinggiran dan pelosok. Di samping membangun SD lnpres, pemerintah juga memberikan bantuan untuk memperbaiki SD Negeri dan swasta serta Madrasah lbtidaiyah. Masalah ekonomi yang melilit sebagian besar siswa disebabkan oleh adanya kewajiban siswa membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). SPP dikenakan kepada seluruh peserta didik, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Masa kepemimpinan Syarif Thayeb mewarisi sistem yang secarayuridis diperkenalkan oleh pemerintah sejak tahun 1968. Pada kenyataannya, dalam proses belajar mengajar, peserta didik sesungguhnya tidak hanya membayar SPP semata, tetapi juga sejumlah biaya lain , seperti bahan pelajaran (buku dan alat tulis) dan biaya ekstra kurikuler. Di samping itu keadaan ekonomi negara yang masih belum stabil pascaperalihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru juga membuat biaya hidup menjadi sangat tinggi . Syarif Thayeb menyikapi persoalan ini dengan mengeluarkan Keputusan Bersama antara Menteri P dan K, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan. Tidak tanggung-tanggung, saat itu dikeluarkan tiga Surat Keputusan sekaligus, yaitu SK Bersama No. 0257/K/1974, No. 221 tahun 1974, dan No. 1606/ MK/1/11/1974 Tentang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Ada tiga pokok pikiran yang paling penting dari ketiga SK tersebut. Pertama, SPP merupakan satu-satunya sumbangan yang dibenarkan untuk dipungut oleh sekolah atau perguruan tinggi. Kedua, keringanan yang dapat diberikan atau pembebasan dari kewajiban membayar SPP berdasarkan persetujuan Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Ketiga, untuk perguruan tinggi, pembebasan atau keringanan diberikan atas usul pimpinan fakultas berdasarkan pertimbangan senat perguruan tinggi bersangkutan.

Di samping itu pemerintah juga menyediakan beasiswa kepada peserta didik yang berprestasi namun kurang beruntung secara ekonomi. Dalam kurun waktu 1974-1975 telah diberikan beasiswa kepada 3.046 siswa sekolah dasar, sekolah lanjutan, dan perguruan tinggi dengan jumlah dana sebesar Rp 20.523 .000,00. Pada tahun 1975-1976 beasiswa diberikan kepada 7.757 peserta didik dengan
jumlah dana sebesar Rp 52.799.000,00. Terlihat peningkatan yang siginifikan dalam jumlah penerima beasiswa serta jumlah dana yang dialokasikan oleh pemerintah dalam dua tahun ajaran bersangkutan.
Berdasar data yang tersaji terlihat bahwa penerima beasiswa terbesar adalah siswa Sekolah Dasar (SD) . Pada tahun ajaran 1974-1975 jumlah yang menerima beasiswa sebanyak 1.269 orang dan tahun
ajaran 1975-1976 meningkat menjadi 3.247 orang. Siswa SD yang mendapat beasiswa, terutama, untuk siswa kelas siswa kelas V dan kelas VI. Di samping siswa SD, beasiswa juga diberikan kepada siswa
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), Sekolah Teknik (ST), Sekolah Kesejahteraan Keluarga Pertama (SKKP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Teknik Menengah
(STM), Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA), Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Sekolah Pendidikan Olah Raga Atas (SMOA), SPSA, SPIK, serta perguruan tinggi (universitas dan institut keguruan).
Pembangunan gedung sekolah baru, khususnya SD lnpres, terdampak pada peningkatan peserta didik. Pada era Syarif Thayeb pemerintah memperkirakan akan terjadi lonjakan peserta didik pad a jenjang SD sebanyak 7,5 juta orang. Peningkatan jumlah siswa dan pembangunan gedung sekolah membutuhkan ketersediaan guru
yang akan mengajar. Setelah diperhitungkan antara jumlah sekolah yang dibangun dan peningkatan jumlah peserta didik didapat angka kebutuhan guru sebanyak 525.000 orang. Hal itu berarti terdapat kekurangan guru sebanyak I 00.000 orang karena jumlah guru SD saat itu lebih kurang 425.000. Angka I00.000 orang belum termasuk adanya guru yang pensiun dan meninggal yang jumlah diperkirakan mencapai 89.000. Oleh karena itu Syarif Thayeb mengupayakan penambahan jumlah guru SD setidaknya sebanyak 38.000 orang setiap tahun. Penambahan ini diupayakan melalui jalur SPG.
Sehubungan dengan hal itu jumlah SPG ditambah dengan peningkatan daya tampung dan pembangunan gedung baru dan direncanakan akan dikembangkan sebanyak 66 SPG. Pengembangan SPG dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan tenaga guru karena hanya akan mampu menghasilkan 13.000 lulusan.
Oleh karena itulah diadakan berbagai paket pendidikan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan guru. Di samping itu juga dibangun satu Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB). Memang, pada era Syarif Thayeb, perhatian terhadap anak usia sekolah berkebutuhan khusus semakin meningkat, sehingga direncanakan pembangunan lembaga pendidikan yang khusus mendidik calon guru untuk sekolah dengan peserta harus mendapat perhatian dan dididik secara istimewa. Untuk anak-anak yang putus sekolah dan tidak mampu-atau tidak ingin bersekolah secara resmi
lagi-disediakan pendidikan luar sekolah, yang dilaksanakan dalam berbagai paket kursus kilat dan pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan. Lembaga yang khusus diserahi tanggung
jawab menyelenggarakan pendidikan ini Pusat Pelatihan Pendidikan Masyarakat (PPLM). Tujuan utama pendidikan corak ini adalah memberikan berbagai keterampilan yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk terjun ke tengah masyarakat. Kegiatan ini terbuka bagi setiap anggota masyarakat yang ingin menambah keterampilan atau kepada mereka yang belum pernah mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal.
Kebijakan lain yang dijalankan SyarifThayeb adalah penyempurnaan Kurikulum 1968 dengan Kurikulum 1975, karena Kurikulum 1968 dirasa tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman akibat berbagai
perubahan yang terjadi akibatnya lajunya pembangunan nasional. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh setidaknya lima faktor utama, yakni I) selama Pelita I, yang dimulai pada tahun 1969, telah timbul banyak
gagasan baru tentang pelaksanaan sistem pendidikan nasional; 2) adanya kebijaksanaan pemerintah di bidang pendidikan
nasional yang digariskan dalam GBHN yang an tara lain berbunyi “Mengejar ketinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mempercepat lajunya pembangunan”; 3) adanya hasil
analisis dan penilaian pendidikan nasional oleh Departemen P dan K yang mendorong pemerintah meninjau kebijaksanaan pendidikan
nasional; 4) adanya inovasi dalam sistem belajar-mengajar yang
dianggap lebih efisien dan efektif; 5) keluhan masyarakat tentang mutu lulusan pendidikan.
Prinsip pelaksanaan Kurikulum 1975 antara lain berorientasi pada tujuan, menganut pendekatan integratif dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki makna dan peran yang menunjang pada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif, menekankan pada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu, serta menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem lnstruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah pada tercapainya tujuan yang spesifik dapat diukur
dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa, dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan pada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill). Pembelajaran lebih
banyak menggunaan teori behaviorisme, yakni memandang keberhasilan dalam belajar ditentukan oleh lingkungan
dengan stimulus dari luar, dalam hal ini sekolah dan guru.
Ada sembilan mata pelajaran yang ditentukan dalam kurikulum ini, yaitu I) Pendidikan agama, 2) Pendidikan Moral Pancasila, 3) Bahasa Indonesia, 4) llmu Pengetahuan Sosial (IPS); 5) Matematika; 6)
llmu Pengetahuan Alam (IPA); 7) Olah raga dan kesehatan; 8) Kesenian; 9) Keterampilan khusus. Untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 1975 maka pada tahun ajaran 1975/1976 pemerintah
menyiapkan (mencetak) sebanyak 318.250 buku dan untuk tahun ajaran 1977/1978 disediakan 30.000 naskah dengan jumlah halaman dalam kisaran 180 halaman tiap buku. Tidak hanya dalam pendidikan dasar dan menengah (lanjutan), Syarif Thayeb juga menaruh perhatian besar bagi pendidikan tinggi. Sehubungan dengan itu, sekitar satu tahun setelah dilantik menjadi menteri, Syarif Thayeb membentuk Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di kementeriannya. Tugas pokok lembaga yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri P dan K Nomor 0140/U/1975 tanggal 12 Juli 1975 ini adalah menangani dan membina bidang akademik, penelitian dan pengabdian padamasyarakat, perguruan tinggi negeri dan swasta, serta kemahasiswaan. Seperti disebut pada bagian
lain buku ini, sejak tahun 1961 pengelolaan pendidikan tinggi diurus oleh suatu kementerian khusus yang dinamakan Departemen Perguruan tinggi dan llmu Pengetahuan (Departemen PTIP). Keberadaan Departemen PTIP menyebabkan penanganan pendidikan tinggi terpisah dengan urusan pendidikan dasar
dan menengah, namun memasuki tahun 1974 pengelolaan pendidikan tinggi menyatu kembali dalam Departemen P dan K dan pada tahun 1975 berdasarkan keputusan Mendikbud dibentuk secara
resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti).

Pada tahun yang sama ( 1975), berdasarkan Keputusan Menteri P dan K ditetapkan Pelaksanaan Pola Kebijaksanaan Dasar Pengembangan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Konsep pemikiran yang mendasari
pengembangan pendidikan tinggi tersebut antara lain I) pembinaan serta pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia harus berdasarkan kepada UUD 1945 dan Tap MPR serta 2) asas-asas Tridharma Perguruan Tinggi dalam hikmat kebebasan akademik yang bertanggung jawab. Di samping itu juga perlu diperhatikan hasil yang telah dicapai oleh penyelenggaraan pendidikan; harapan keluarga, masyarakat, dan pemerintahah terhadap pendidikan sebagai suatu keseluruhan dan terhadap pendidikan tinggi khususnya; implikasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; serta dinamika dan perspektif perkembangan kebudayaan nasional. Dengan kata lain pengembangan pendidikan tinggi ditujukan pada suatu sistem
pendidikan yang menyeluruh dan meliputi seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Kebijakan lain adalah pembentukan Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU) yang
berkaitan dengan sistem penerimaan mahasiswa baru yang dilaksanakan pad a tahun 1976. Dalam sistem ini lima universitas ternama di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia (Jakarta), lnstitut Teknologi Bandung (Bandung), lnstitut Pertanian Boger (Boger), Universitas Gajah Mada (Yogyakara), dan Universitas
Airlangga (Surabaya), menyelenggarakan ujian masuk secara bersama. Melalui ujian bersama ini para calon tidak perlu melakukan perjalanan jauh mendatangi perguruan tinggi untuk mengikuti seleksi
masuk di berbagai universitas atau institut yang akan dituju. Sistem ini jelas menghemat biaya dan waku bagi calon mahasiswa, walaupun disadari pula sistem ini menghambat kesempatan calon mahasiswa
untuk memilih lebih dari satu perguruan tinggi. Pada saat pertama kali pemberlakuan sistem SKALU calon mahasiswa diberi kesempatan memilih nama perguruan tinggi yang diminati saja, sehingga pemilihannya masih sangat umum. Namun pada tahun 1977 sistem ini disempurnakan dengan mewajibkan calon mahasiswa memilih program studi (fakultas) yang ingin dimasuki.
Berkenaan dengan dunia mahasiswa Syarif Thayeb melakukan pembenahan lembaga kemahasiswaan, baik Dewan Mahasiswa di tingkat universitas maupun Senat Mahasiswa di tingkat
fakultas. Fungsi lembaga kemahasiswaan ini diarahkan untuk melayani kebutuhan mahasiswa. Dalam bahasa politik saat

Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia

itu, keberadaan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa “perlu dibina” untuk berperan lebih besar bagi pembangunan nasional. Di samping itu Syarif Thayeb melakukan gerakan pembinaan generasi
muda melalui pengenalan warisan budaya yang bersifat Bhinneka Tunggal lka, penghayatan nilai budaya bangsa, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru.
Strategi lain yang bisa dilakukan dalam pengenalan budaya adalah meningkatkan daya adaptasi, inovasi, dan kreasi generasi muda terhadap tantangan perkembangan masyarakat serta unsur kebudayaan dari luar negeri. Output kegiatan ini adalah pewarisan nilai -nilai budaya pada generasi berikutnya. Untuk mewujudkan pewarisan nilai budaya, terutama untuk anak didik, pembinaan berada di tangan guru. Bila guru gagal mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, masa depan negara dan bangsa­
dalam kacamata Syarif Thayeb-berada dalam jurang kehancuran. Oleh karena itu pada masa akhir kepemimpinan Bung Karno tersebut ia menginginkan pendidikan di Indonesia mampu menjamin masa
depan generasi muda yang gemilang. Syarif Thayeb juga menggalakkan kembali pengenalan tut wuri handayani. Di samping itu ia melakukan empat kebijakan penting untuk mengatasi masalah pendidikan. Pertama, meningkatkan daya tampung anak sekolah untuk semua jenjang pendidikan. Kedua, membebaskan SPP untuk Sekolah Dasar, khusus untuk kelas I sampai Ill; sedangkan untuk perguruan tinggi Menteri P dan K memperbanyak jenis beasiswa
untuk kalangan mahasiswa yang tidak mampu. Ketiga, peningkatan mutu pendidikan digarap secara sistematis pada semua tingkatan pendidikan dengan menyelenggarakan penataran untuk dosen dan guru serta penyempurnaan fasilitas pendidikan dengan pemikiran dan pendekatan inovatif. Keempat, mendirikan sekolah kejuruan STM Pembangunan Politeknik dan menyempurnakan kurikulum
Fakultas Keguruan llmu Teknik (FKIT) sebagai usaha peningkatan relevansi pendidikan. Khusus untuk pelajar dan mahasiswa yang belajar di luar negeri, SyarifThayeb dan Menteri Luar Negeri
Adam Malik mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang isinya sebagai berikut. I . Mereka yang akan belajar di luar negeri, khususnya ditentukan Menteri P dan K setelah memperoleh
pertimbangan dari Dirjen Dikdasmen dan Tim Pembantu Pelaksana Asimilasi di bidang Pendidikan dan Pengaturan Pendidikan Asing di Indonesia, dengan mengutamakan mereka yang memerlukan pendidikan luar biasa dan belum dapat diperoleh di Indonesia. Mereka yang belajar di luar negeri akan dibina secara intensif dalam rangka pembinaan kesadaran nasional dan pelaksanaan program asimilasi. Pembinaan pelajar diserahkan kepada perwakilan Rl setempat. Pelajar Indonesia yang berada di luar negeri harus diusahakan segera pulang ke Tanah Air untuk mengikuti sistem pendidikan nasional. Sebelum berangkat ke luar negeri, setiap siswa harus belajar Santiaji Pancasila. Aturan tersebut dimaksudkan untuk menjaga seluruh mahasiswa yang berangkat ke luar negeri jangan sampai terpengaruh ideologi terlarang dan tidak sesuai dengan keindonesiaan. Selain itu SKB bertujuan untuk membina pelajar Indonesia di luar negeri dengan tujuan agar lulusan itu masuk dalam koridor sistem pendidikan nasional. Selain menjadi menteri, Syarif Thayeb memiliki banyak kegiatan lain , di antaranya Ketua Konferensi
Pediatrics Asia Afrika, Ketua Pendidikan Tinggi Asia Tenggara
(ASA IHL), Anggota lkatan Dokter Indonesia (IDI), dan Ketua Pembangunan Provinsi Aceh.

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018

One thought on “Teuku Mohammad Syarif Thayeb”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *