Menteri Pendidikan Masa Jabatan 21 Februari – 18 Maret 1966
RIWAYAT SINGKAT
Soemardjo lahir dan pernah tinggal di Yogyakarta, namun tidak banyak yang diketahui tentang latar
belakang pendidikannya. Sejak usia remaja dan masa muda ia aktif dalam berbagai kegiatan organisasi.
Ia melanjutkan pendidikan di bidang sejarah dan lulus B2 Sejarah di Yogyakarta. Setelah menjadi sarjana
ia menjadi anggota Himpunan Sarjana Indonesia (Asvi Warman Adam, tt.: 118). Disinyalir ia membantu
Soekarno menuliskan beberapa pidato kepresidenan, terutama yang berkaitan dengan sejarah (Rith
Me Vey, 1979). ·Selama menjadi mahasiswa ia aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang beraliran nasionalis.
Ia juga aktif di berbagai kegiatan akademik, sosial, dan budaya, sehingga de kat dengan berbagai
kalangan yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan dan sosial budaya lainnya. Ia dekat dengan
tokoh-tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), seperti Nyoto, dan menurut kesaksian sahabatnya
ia selalu hadir dalam setiap diskusi yang diselenggarakan oleh Lekra tentang seni dan budaya sekalipun
ia bukan anggota resmi (Hersri Setiawan, 20 18). Ia menulis beberapa artikel tentang kebudayaan yang
diterbitkan dalam beberapa surat kabar dan majalah. Ia pun pernah bekerja di Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Rl hingga kemudian ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan pada
Kabinet Dwikora II.
ANGGOTA KABINET DWIKORA II
Soemardjo ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dalam Kabinet Dwikora II atau
Kabinet yang Disempurnakan. Kabinet Dwikora II dibentuk untuk menggantikan Kabinet Dwikora I yang
dianggap tidak dapat menyelesaikan berbagai persoalan bangsa saat itu . Masa kerja Kabinet Dwikora I
dari 27 Agustus 1964 sampai dengan 22 Februari 1966. Nama Dwikora merupakan kependekan dari
Dwi Komando Rakyat, yakni komando Presiden Soekarno ketika melancarkan konfrontasi bersenjata
terhadap Malaysia untuk menghalangi berdirinya negara Malaysia. Komando ini dikeluarkan dalam
pidato Presiden Soekarno di depan apel besar sukarelawan di Jakarta tanggal 3 Mei 1964, berisi dua
perintah, yaitu
I) perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan 2) bantu perjuangan revolusioner rakyat
Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei. Lahirnya Dwikora tidak lepas dari peran PKI dalam
pemerintahan, yang pengaruhnya mengarahkan politik bebas aktif Indonesia condong ke Republik
Rakyat China (RRC) dan memunculkan apa yang disebut Pores Jakarta-Beijing. Kabinet Dwikora II diumumkan pada tanggal 21 Februari 1966 dan anggota kabinet dilantik pada tanggal 24 Februari 1966. Kabinet ini juga dikenal dengan nama Kabinet Seratus Menteri karena jumlah anggota kabinetnya lebih dari 100 menteri. Dalam Kabinet ini Soekarno sebagai Presiden merangkap Panglima Tertinggi dan Perdana Menteri dengan didampingi lima Wakil Perdana Menteri.
Di samping itu ada dua menteri pendidikan: yang pertama Soemardjo sebagai Menteri Pendidikan
Dasar dan Kebudayaan dan yang kedua Leimena sebagai Menteri Pendidikan/Perguruan Tinggi dan
llmu Pengetahuan. Jumlah menteri yang banyak merupakan upaya Soekarno untuk meyakinkan rakyat bahwa pemerintah akan segera melakukan tindakan-tindakan serius untuk mengatasi masalah kebangsaan. Namun kabinet dibentuk pada masa yang sangat genting, saat rakyat sedang melakukan demonstrasi menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa besar 30 September 1965 (G 30 S/PKI) yang menyebabkan tewasnya beberapa perwira tinggi TNI. Oleh karena peristiwa politik yang cepat berubah itu Kabinet Dwikora II tidak berumur panjang. Beberapa menteri bahkan belum melakukan langkah nyata dalam posisinya sebagai menteri. Kabinet ini dibubarkan pada tanggal 27 Maret 1966 dan limabelas anggota kabinet, termasuk Soemardjo, ditahan.
PENAHANAN SOEMARDJO
Pada saat berlangsung sidang kabinet pada bulan Maret 1966 dengan dipimpin oleh Presiden Soekarno,
Panglima Pasukan Pengawal Presiden (Tjakrabirawa) Brigadir Jenderal (Brigjen) Sabur melaporkan
bahwa banyak “pasukan liar” atau “pasukan tak dikenal”-yang belakangan diketahui adalah Pasukan
Kostrad di bawah pimpinan Mayor Jenderal (Mayjen) Kemal ldris yang bertugas menahan orang
orang dalam kabinet karena diduga terlibat G 30 S/PKI-di antaranya Wakil Perdana Menteri (PM)
I Soebandrio. Mendapat laporan tersebut Presiden Soekarno bersama Wakil PM I Soebandrio dan
Wakil PM Ill Chaerul Saleh berangkat ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayjen Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat, yang menggantikan
Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI. Mayjen Soeharto saat
itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. Ia kemudian memerintahkan tiga orang perwira tinggi
Angkatan Darat (AD) menemui Presiden Soekarno di lstana Bogar. Mereka itu adalah Brigjen M.
Jusuf, Brigjen Amirmachmud, dan Brigjen Basuki Rahmat. Pada malam harinya, setiba di lstana Bogar,
ketiga perwira tinggi AD itu berbicara dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi. Ketiga
perwira itu juga menyatakan bahwa Mayjen Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan
keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk
mengambil tindakan. Presiden Soekarno menyetujui dan dibuatlah surat perintah yang ditujukan kepada
Mayjen Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu dalam rangka
memulihkan keamanan dan ketertiban. Surat yang ditandatangani pada tanggal II Maret itu kemudian
dikenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang sampai di tangan Mayjen Soeharto
tanggal 12 Maret 1966 dini hari (A. Pambudi, 2016).
Sebagai pengemban Supersemar Mayjen Soeharto segera mengambil tindakan untuk menata kembali
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar
(UUD) 1945. Pada tanggal 12 Maret 1966 ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran
dan larangan PKI beserta ormas-ormasnya yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya
beraktivitas dan hidup di seluruh wilayah Indonesia. Keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan
Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS No. l/311966 tanggal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran
PKI beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan dari seluruh rakyat, karena sesuai dengan perjuangan Angkatan 66 melalui aksi mewujudkan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yakni (I)
bubarkan PKI, (2) turunkan harga, dan (3) reshuffle kabinet. Upaya reshuffle Kabinet Dwikora pada
21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat
menganggap di dalam kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang dianggap terlibat dalam peristiwa
G 30 S/PKI. Pada tanggal 18 Maret 1966 Soeharto “mengamankan” IS orang menteri yang dinilai tersangkut G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya (Nina Herlina, 20 II: 61). Mereka itu sebagai berikut.
- Dr. Subandrio (Wakil PM I, Menteri Departemen Luar Negeri, Menteri Luar Negeri/Hubungan Ekonomi Luar Negeri)
- Dr. Chaerul Saleh (Wakil PM Ill, Ketua MPRS)
- lr. Setiadi Reksoprodjo (Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan)
- Sumardjo (Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan)
- Oei Tju Tat, S.H. (Menteri Negara diperbantukan kepada presidium kabinet)
- lr. Surachman (Menteri Pengairan dan Pembangunan Desa)
- Jusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank Sentral, Gubernur Bank Negara Indonesia)
- Armunanto (Menteri Pertambangan)
- Sutomo Martopradoto (Menteri Perburuhan)
- A. Astrawinata, S.H. (Menteri Kehakiman)
- II . Mayjen Achmadi (Menteri Penerangan di bawah presidium cabinet)
- Drs. Moh. Achadi (Menteri Transmigrasi dan Koperasi)
- Letkol. Imam Sjafei (Menteri Khusus Urusan Pengamanan)
- J.K . Tumakaka (Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional)
- Mayjen Dr. Soemarno (Menteri/Gubernur Jakarta Raya)
PEMIKIRAN TENTANG KEBUDAYAAN
Tidak ada keterangan jelas dari pemerintah tentang penahanan Soemardjo, namun-menurut Asvi Warman Adam (20 II: 118)-ia dituduh menyusun kurikulum pendidikan dan “menyesatkanMeskipun Soemardjo belum sempat menjalankan tugasnya sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan secara maksimal karena situasi politik yang mengakhiri jabatannya secara paksa, namun ia memiliki beberapa rencana penting dalam pembangunan kebudayaan Indonesia dan telah disampaikannya kepada Presiden Soekarno. Barangkali karena pemikiran-pemikiran itu ia ditunjuk oleh Presiden
Soekarno sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Bersama beberapa tokoh lain
yang aktif di Lekra, khususnya Nyoto, Soemardjo diminta Presiden Soekarno merumuskan kebijakan
tentang kebudayaan nasional Indonesia. Pemikiran-pemikiran yang dipaparkan berikut tentu pemikiran
kolektif, namun tidak dapat dimungkiri bahwa Soemardjo memiliki sumbangan besar dalam gagasan
Kebudayaan Nasional Indonesia (wawancara dengan Hersri Setiawan, 20 18). Rumusan pemikiran
tentang kebudayaan yang disampaikan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 12 Oktober 1959 melalui
sekretaris Joebar Ajoeb (BPLEKRA, 1960: 71-75) itu meliputi lima unsur pokok untuk membendung
kebudayaan imperialis Barat dan membantu para pekerja kebudayaan nasional Indonesia secara
demokratis dan kerakyatan, yaitu (I) lapangan film, (2) lapangan musik, (3) perkembangan taman-taman
kebudayaan, (4) pendidikan kebudayaan, dan (5) kesusastraan. Pada kelima lapangan inilah, menurut
Soemardjo, dominasi kebudayaan imperialis sangat menekan perkembangan kebudayaan nasional kita
dan sangat merusak moral revolusi yang seharusnya tumbuh berkembang pada pemuda dan pelajar
serta sebagian masyarakat di kota besar.
BIDANG FILM
Soemardjo mengemukakan beberapa gagasan dalam bidang industri dan seni film nasional antara lain
sebagai berikut:
- Penggunaan Program Nasional Film yang dihasilkan oleh Musyawarah Film Nasional ke-1 sebagai bahan pokok bagi kebijaksanaan pemerintah di lapangan film.
- Mengatur impor film, di samping sebagai suplesi produksi nasional, juga dengan dasar-dasar kultural sesuai dengan kepentingan pendidikan massa rakyat dalam periode penyelesaian Revolusi Agustus 1945.
- Memusatkan distribusi film dan menguasai penggunaan seluruh gedung bioskop di bawah suatu badan nasional yang dibimbing oleh pemerintah.
- Membentuk suatu badan khusus pemerintah yang membimbing perkembangan industri dan seni film nasional. Jika pemerintah berpendapat bahwa badan untuk ini adalah Dewan Film
- Pemerintah yang sekarang sudah ada, diusulkan agar badan itu dirombak atau ditambah personalianya dengan para wakil dari kalangan seniman dan industri film nasional, sebab mereka itulah yang akan melaksanakan program nasional Indonesia di lapangan film.
BIDANG MUSIK
Soemarjo mengusulkan empat aspek dalam pengembangan musik sebagai berikut:
- Supaya impor piringan hitam yang sekarang ini liar dibimbing oleh pemerintah atau suatu badan yang ditunjuk untuk itu. lmpor piringan hitam hendaknya mempunyai suatu dasar kultural yang sesuai dengan kepentingan penyelesaian Revolusi Agustus dan perkembangan apresiasi musik yang sehat dari masyarakat bangsa Indonesia.
- Supaya pemerintah mendirikan suatu pusat lembaga musik di mana musik rakyat dan daerah
kitadiolah dan dikembangkan secara ilmiah dan kerakyatan. - Supaya Radio Republik Indonesia (RRI) dan/atau Departemen Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan secara konkrit membantu perkembangan ansambel paduan-paduan suara yang
sekarang sudah mulai tumbuh. - Supaya pemerintah memberikan tugas dan fasilitas kerja kepada komponis-komponis
Indonesia.
PEMBANGUNAN TAMAN-TAMAN KEBUDAYAAN
Somardjo menyambut baik keputusan De parte men Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang hendak membangun Taman-taman Kebudayaan pada beberapa kota besar sebagai permulaan. Keputusan itu sudah nyata, namun masih belum direalisasi. Oleh karena itu diusulkan kepada pemerintah supaya tingkat pertama membangun sebuah Taman Kebudayaan di Jakarta dengan menggunakan Taman Raden Saleh dan semua gedung peninggalan almarhum Raden Saleh.
Di samping di beberapa kota yang sudah mempunyai tempat untuk Taman-taman Kebudayaan, pembangunannya perlu sesegera mungkin dimulai dalam waktu yang singkat manakalah syarat
syarat pembangunannya sudah bisa disediakan oleh pemerintah. Menurut Soemardjo tidak ada
salahnya jika pemerintah dalam hal membangun Taman-taman Kebudayaan mengajak organisasi
organisasi kebudayaan dan organisasi masyarakat lainnya, sehingga rencana atau putusan-putusan itu
tidak dingin di dalam arsip pemerintah saja. Lebih lanjut Soemarjo mengusulkan agar Taman-taman
Kebudayaan ini dapat berfungsi (I) sebagai forum bagi perkembangan dan kegiatan-kegiatan kesenian
dan kebudayaan rakyat dan (2) menjadi taman rekreasi dan entertainment bagi rakyat. Soemardjo berpendapat bahwa Taman-taman Kebudayaan ini bisa menjadi benteng kita dalam melawan segala macam subversi kebudayaan imperialis dan oleh karena itu harus dibangun dan diselenggarakan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
BIDANG KESUSASTRAAN
Situasi kesusastraan Indonesia sampai akhir tahun 1950an, menurut Soemardjo, belumlah
menggembirakan. Artinya, belum cukup mempunyai peran nyata bagi kehidupan dan perkembangan
spiritual bangsa Indonesia yang tengah menyelesaikan revolusi nasionalnya. Walaupun harus diakui
bahwa ada karya sastra-karya sastra baru yang baik dan berguna dan daya cipta para sastrawan
Indonesia tidaklah menyerah kalah kepada segala macam kesukaran yang menimpanya. Mengingat
keadaan objektif peralatan kesusastraan Indonesia dewasa ini , seperti penerbit dan perpustakaan
perpustakaan, Someardjo mengusulkan kepada pemerintah agar:
- Memberikan tugas dan tanggung jawab serta fasilitas kepada para sastrawan untuk lebih
langsung mengenal masalah kehidupan Rakyat Indonesia bagi penggubahan karya sastra
karya sastra mereka. - Memberikan tugas dan tanggung jawab serta fasilitas kerja pada sastrawan Indonesia untuk
melakukan penyelidikan ilmu dan menggubah karya sastra-karya sastra yang bersifat sejarah
perjuangan Rakyat Indonesia. - Menerbitkan hasil karya mereka dan menyebarkannya secara baik.
Tindakan-tindakan ini sangat penting untuk membimbing dan memberikan syarat-syarat perkembangan bagi kesusastraan Indonesia yang berakar pada masalah-masalah kehidupan dan perjuangan Rakyat Indonesia sendiri dan dengan begitu kesusastraan Indonesia bukan hanya berakar dan tumbuh pada massa rakyat Indonesia, tetapi juga menjadi juru bicara kemanusiaan, keadilan, dan keindaha perjuangan serta cita-cita rakyat.
BIDANG PENDIDIKAN KEBUDAYAAN
Di samping memperbaiki semua lembaga pendidikan dan pengajaran pemerintahan di lapangan seni,
satra, dan filsafat, Soemardjo berpendapat bahwa sangat perlu dan mendesak menyelenggarakan suatu
pendidikan kebudayaan pada sekolah rakyat, sekolah menengah, dan universitas karena pemuda dan
pelajar/mahasiswa lndonesialah yang sangat diganggu atau sangat dirusak perkembangannya dalam
hal kebudayaan dan moral revolusinya oleh “musik-musik histeris, lektur cabul, dan film dekaden
kebudayaan imperialis”. Oleh karena itu diharapkan sekolah-sekolah tersebut menyelenggarakan secara meluas dan terpimpin pendidikan dan kegiatan-kegiatan senirupa dan atau kerajinan tangan, seni
drama (untuk sekolah menengah ke atas), paduan suara, serta tari dan musik dengan instrumen
musik rakyat.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Soemardjo (21 Februari – 18 Maret 1966) […]