Menteri Pendidikan Masa Jabatan 14 November 1945 – 12 Maret 1946
Pendidikan
Dr. Todung Sutan Gunung Mulia Harahap-sering akrab disapa Mulia-lahir di Padang Sidempuan,
Sumatera Utara, pada tanggal 21 Januari 1896, yang secara silsilah keluarga masih memiliki hubungan
darah dengan Amir Sjarifuddin Harahap. Ia seorang bangwasan Batak dan beragama Kristen, sehingga
selain mempelajari pengetahuan umum ia juga mempelajari agaman Kristen dengan sungguhÂ
sungguh. Masa kecilnya dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satu contoh tantangan tersebut
adalah ketika ia menganut agama Kristen sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena
itu ia berseberangan dengan keluarganya yang bermarga Harahap dan mayoritas beragama Islam,
salah satunya Amir Sjariffuddin, padahal saat itu di Padang Sidempuan Pemerintah Kolonial Belanda
menerapkan politik adu domba dengan menonjolkan stratifikasi sosial melalui agama.
Dalam hal pengetahuan umum ia tergolong orang yang pandai dan bahkan fasih berbahasa Belanda. Ia
mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan
ke jurusan hukum Universitas Leiden, Belanda. Selama kuliah di Leiden ia aktif bersosialisasi, terutama
dengan para aktivis Kristen. Ia berkenalan dengan Hendrik Kraemer, seorang misiolog, teolog awam,
dan tokoh ekumenis Hervormd. Mereka berdua sering membicarakan gerakan Kristen pada masa yang
akan datang. Persahabatan mereka terus berlanjut setelah Mulia kembali ke Hindia Belanda dan kelak
mereka mendirikan gereja di berbagai daerah sebagai bentuk perjuangan gerakan Kristen yang mereka
rintis sebelumnya.
Sepulangnya dari Belanda pada tahun 1919 Mulia menjadi guru. Hanya berselang setahun ia diangkat
menjadi kepala sekolah di Hollandsch-lndlandsche School (HIS) di Kotanopan, Mandailing Natal,
Sumatera Utara. Walaupun telah menjadi seorang kepala sekolah namun ia tetap giat membangun
hubungan yang kuat antaraktivis gereja di Sumatera. Ia juga pernah mengajar kursus Hoofdacte
di Bandung.Sebagai seorang pendidik yang cerdas dan religius Mulia juga terjun dalam pergerakan nasional. Memasuki tahun 1920-an ia bergabung dengan Jong Sumatranen Bond (JSB) dan menjadi aktivis muda bersama Sanusi Pane dan Amir Sjarifuddin. Akan tetapi baru beberapa tahun Mulia bergabung JSB mengalami kemunduran. Oleh karena itu ia bersama tokoh Batak lain, di antaranya Sanusi Pane, membentuk Jong Batak. Selain aktif dalam organisasi pemuda pada tahun 1922 ia mewakili suku Batak dalam Volksraad. Ia menjadi anggota sidang Volksraad dalam periode cukup lama, yaitu 1922-1927 dan 1935-1942. Mulia juga menunjukkan ketertarikan pada dunia jurnalistik. Dengan ilmu agama Kristen
yang dimilikinya ia menerbitkan majalah mingguan bernama Zaman Baroe, yang memuat pemikiran dan
gagasan para aktivis dan orang-orang Kristen. Pada tahun 1928 Mulia mengikuti Konferensi Pengkabaran lnjil Sedunia di Yerusalem. Di konferensi ini ia bertemu dengan sahabat lama sekaligus gurunya, Hendrik Kraemer. Setelah konferensi mereka bertukar pikiran dan bertukar gagasan untuk memperluas jaringan pendidikan, keagamaan, dan politik guna menampung suara umat Kristen. Perbincangan mereka menghasilkan partai politik Kristen bernama Christelijk Etische Partij (CEP) yang selanjutnya berganti nama dan dikenal dengan nama Christelijk Staatkundige Partij (CSP), padahal sebelumnya CSP merupakan bagian dari CEP. Perubahan itu terjadi karena perbedaan pendapat di dalam CEP tentang gagasan perwalian bahwa Tuhan memberi kewajiban terhadap Belanda untuk membimbing rakyat pribumi. Mulia dan kalangan progresif Kristen pribumi lain yang tidak setuju dengan pemikiran CEP ini kemudian memisahkan diri dan mendirikan CSP. Walaupun sibuk dengan urusan organisasi politik, Mulia dan Kraemer secara bersama menerjemahkan Alkitab untuk kemudian disebarluaskan ke seluruh wilayah di Hindia Belanda. Pada tahun 1932 Mulia terlibat dalam konferensi pemuda Kristen Batak di Padalarang. Konferensi tersebut menghasilkan wadah bagi para pemuda Batak yang dikenal dengan Naposobulung Kristen Batak (NKB). Sesudah kemerdekaan Indonesia, Mulia melanjutkan karier politiknya. Pada tanggal I 0 November 1945 ia bersama para tokoh Kristen mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Hanya berselang empat hari setelah pembentukan Parkindo ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno menggantikan
Ki Hadjar Dewantara sebagai Menteri Pengajaran. Saat itu kondisi pendidikan di Indonesia kacau
karena perbedaan sistem pendidikan yang digunakan di Hindia Belanda dan yang diterapkan oleh Jepang
selama masa pendudukan. Pemerintah Hindia Belanda memfokuskan pendidikan agar “bisa dinikmati”
secara luas sesuai dengan Politik Etis, walaupun pada praktiknya pendidikan diberikan dengan tujuan
mencetak ambtenar ‘tenaga pemerintahan’ untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda. Berbeda
halnya dengan Jepang. Sesuai dengan Osamu Sirei No. I dan maklumat lain tentang penyelenggaraan
pendidikan Jepang lebih memfokuskan pendidikan dengan indoktrinisasi propaganda Jepang.

Keadaan ini merupakan tantangan baru bagi Mulia sebagai orang yang giat pada dunia pendidikan.
Ketika menjabat sebagai menteri, Mulia melakukan beberapa kebijakan . Pertama, mengubah kurikulum
agar sesuai dengan wawasan kebangsaan sebagai kelanjutan kurikulum yang dilakukan oleh menteri
sebelumnya. Kedua, memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, seperti renovasi fasilitas pendidikan
dan penambahan tenaga pengajar. Ketiga, memperluas lembaga pendidikan yang ada agar tidak terfokus
pada pendidikan umum saja namun juga pendidikan berlatar belakang agama. Kebijakan nomer tiga
kemudian direvisi dengan keluarnya Penetapan Pemerintah Tahun 1945 No. 3/S.D yang menyatakan
bahwa urusan keagamaan yang semula menjadi bagian dari Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan
Kebudayaan berubah menjadi urusan Departemen Dalam Negeri. Mulia hanya menjabat selama satu tahun, dari 14 November 1945 hingga 2 Oktober 1946, sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Meskipun demikian waktu satu tahun tersebut meninggalkan kebijakan yang khas, yaitu menghidupkan kembali pendidikan yang berorientasi dan berlatar belakang keagamaan, terutama agama Kristen. Karena kebijakannyalah masyarakat Kristen dapat membangun jaringan pendidikan Kristen secara kuat.
Setelah berhenti sebagai menteri, Mulia tetap mengabdikan diri pada dunia pendidikan. Pada tahun
1951 ia menjadi Guru Besar Universtias Darurat Indonesia dan Universitas Indonesia. Sebelumnya,
pada tahun 1950, ia bersama dengan Mr. Yap Thiam Hien dan Benjamin Thomas Philip Sigar mendirikan
Universitas Kristen Indonesia. Pada tahun yang sama ia turut mendirikan dan menjadi ketua pertama Dewan Gereja-Gereja Indonesia periode 1950 hingga 1960. Pada tahun 1955 Mulia bersama Prof.
K.A.H. Hidding menjadi pemimpin Redaksi Ensiklopedia Indonesia, yang merupakan ensiklopedia
pertama yang menggunakan bahasa Indonesia, terdiri dari tiga volume, dan disusun menggunakan
ejaan Soewandi.
Ia memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu theologia dari Vrije Universiteit, Amsterdam, pada tanggal 20 Oktober 1966. Di samping itu ia mengarang buku dengan
judul India, yang berisi sejarah politik dan pergerakan kebangsaan India, yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka pada tahun 1959. Pada tanggal II November 1966 Mulia meninggal di Amsterdam dan dimakamkan di Jakarta.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Todung Sutan Gunung Mulia (14 November 1945 – 12 Maret 1946) […]