Teuku Moehammad Hasan

Menteri Pendidikan Masa Jabatan 1948 – 1949

MASA KECIL

Profil Teuku Moehammad Hasan – Mr. Teuku Muhammad Hasan (TM Hasan) dilahirkan pada tanggal 4 April 1906 di Gampong Peukan Sot, sebuah kampung yang terletak kira-kira 2,5 km dari kota Sigli yang sekarang menjadi ibukota Daerah Tingkat II Kabupaten Pidie, Provinsi Daerah lstimewa Aceh. Ayahnya bernama Teuku Bintara Pineung (TBP) Ibrahim bin TBP Poltam bin TBP Sigee, seorang uleebalang kenegrian Pineueng dan Raja Peukan Baro, sebuah kota pelabuhan di perairan Selat Malaka yang ramai disinggahi kapal-kapal asing sebelum pelabuhan Sigli dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke-20. lbunya bernama Cut Manyak binti Teuku Muhammad (Teungku di Bubue).
Pada waktu lahir TM Hasan diberi nama Teuku Sarung. Keadaan fisik Teuku Sarung kecil dari hari ke hari tidak bertambah baik, kesehatannya selalu terganggu, sedang badannya kelihatan kurus. Ada kepercayaan dalam masyarakat Aceh umumnya bahwa keadaan anak yang demikian terutama
disebabkan oleh pemberian nama yang tidak sesuai. Oleh karena itu beberapa tahun kemudian nama Teuku Sarung diganti dengan nama baru, yaitu Teuku Muhammad Hasan.
Setelah penggantian nama TM Hasan menjadi lebih sehat dan kelihatan semakin gemuk. TM Hasan kecil tidak lama tinggal di Gampong Peukan Sot. Ia dipindahkan ayahnya ke Gampong Sukon. Rumah tempat tinggalnya yang baru
dikenal oleh masyarakat sekeliling dengan nama rumoh buluko, dekat dengan rumoh (rumah) geudong, yaitu rumah TBP Ibrahim yang lain yang ditempati oleh saudara-saudara TM Hasan lain ibu bersama dengan ibu mereka.
Ada alasan tertentu yang menyebabkan TM Hasan bersama ibunya pindah ke rumoh buluko di Gampong Sukon. Alasan utama adalah rumah itu terletak dalam lingkungan masjid , sehingga suasana keagamaan akan lebih terasa pada diri TM Hasan kecil. lni penting artinya bagi pembentukan watak anak-anak,
khususnya bagi pembentukan nilai-nilai keagamaan, apalagi jika anak itu diharapkan menjadi orang yang saleh di kemudian hari. Alasan lain adalah agar TM Hasan lebih mengenal dan dapat bergaul dengan saudara-saudaranya lain ibu serta dapat mengenal lingkungan yang lebih luas daripada di Peukan Sot. Sehubungan dengan yang disebut terakhir akan lebih tampak setelah beberapa tahun kemudian ketika TM Hasan bersama dengan ibu serta adik-adiknya pindah lagi ke rumah yang baru di Keude Baro, Lampoh Saka, masih di daerah wilayah Uleebalang Pineung. Jika sebelumnya TM Hasan tinggal di dekat pantai di Peukan Sot dan Sukon sehingga dapat merasakan suasana kehidupan para nelayan, sekarang dapat mengenal lingkungan kehidupan para petani dengan segala keluh kesahnya setelah tinggal di tempat yang baru di daerah Selatan yang hawanya sejuk dan segar. Sebagai anak seorang uleebalang TM Hasan diasuh dan dididik agar pada saatnya nanti dapat menjadi seorang uleebalang pengganti ayahnya yang berwibawa dan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyat di daerahnya. Sehubungan dengan itu pula TM Hasan diberi kesempatan seluas-luasnya bergaul dan bermain dengan anak-anak sebayanya, yang tidak hanya berasal dari kalangan keluarga uleebalang, tetapi juga dari kalangan rakyat biasa agar dapat lebih mengenal lingkungan kehidupan dan aspirasi rakyat kecil yang kelak dipimpinnya. Karena itu tidak mengherankan apabila setiap saat ia bermain dengan gembira bersama anak-anak orang biasa di sepanjang pinggir jalan ataupun berenang di Sungai Krueng Beurebo ketika tinggal di rumah buluko Gampong Sukon. Setelah pindah ke Rumah Sagoe di Keudee Baro ia juga bermain dengan teman-teman sebayanya di kali kecil di tengah sawah di antara para petani yang sedang membajak sawah.
Setelah meningkat remaja ia bersama dengan para pemuda di kampungnya sering berburu binatang di hutan pinggir kampung, sehingga kebiasaan berburu itu menjadi salah satu hobinya sampai dewasa. Ia sering menembak babi dan elang yang selalu mengganggu tanaman dan binatang peliharaan penduduk kampung. Dalam hal berburu ia memperoleh pelatihan ayahnya, bahkan juga belajar membuat peluru sendiri, karena berburu merupakan tradisi kaum bangsawan Aceh pada zaman itu. Demikian pula ia sering diajak berjalan kaki ayahnya ke sawah untuk mengawasi pengairan, terutama dalam pembagian air sawah agar merata bagi setiap petani; bahkan ia juga ikut bertanam tembakau di sawah atau memangkas tembakau di perkebunannya di antara para petani sekampungnya.
Sejak kecil Hasan dipupuk dengan jiwa keagamaan (Islam), sebab- menurut pendapat orang tuanyaĀ­
bagaimanapun cakap dan terampil seorang pemimpin kalau tidak dilandasi dengan jiwa keagamaan
yang kuat kepemimpinannya dapat dipastikan akan sumbang dan tidak pernah sempurna. Orang yang
teguh berpegang pada prinsip agama dengan sendirinya nilai-nilai keanusiaan pun akan terpateri kuat di
dadanya. Oleh karena itu sejak awal TM Hasan diajarkan mengerjakan sembahyang dan tidak pernah
meninggalkan sembahyang lima waktu. Pengaruh pendidikan keagamaan keluarganya sangat kuat
sehingga ketika melanjutkan pendidikan ke Belanda sekalipun ia selalu taat beribadat. Pelajaran agama
TM Hasan setahap demi setahap meningkat, dari membaca ayat-ayat suci AI-Quran hingga ilmu fiqih,
tafsir, dan hadist tingkat mula. Hasan masuk ke sekolah Belanda Volkschool (Sekolah Rakyat) sebagai layaknya seorang anak uleebalang pada masa itu yang berhak bersekolah di sekolah Belanda di Lampoih Saka, ibukota Kecamatan Peukan Baro sekarang, pada tahun 1914 ketika umurnya menginjak 8 tahun. Beberapa bulan kemudian ia meninggalkan sekolah itu dan baru pad a tahun 1915 orang tuanya mengantarkannya kembali ke sekolah tersebut. Sejak itu ia belajar dengan tekun. Ia cepat menguasai pelajaran, terutama pelajaran berhitung, salah satu pelajaran yang dianggap cukup penting pada masa itu. Selain itu pelajaran huruf Arab bahasa Melayu-dalam bahasa Aceh sering disebut huruf Jawi atau
Jawoe-juga bukan mata pelajaran yang sukar baginya, sebab ia sudah belajar sejak masa kanak-kanak pada guru agama, terutama pada neneknya sendiri, Cut Halimah.
Suatu ketika pada saat di Sekolah Rakyat TM Hasan mendapat hukuman gurunya karena datang
terlambat. Tangannya dipukul dengan rotan. Gurunya tidak tahu bahwa ia anak seorang u/eebalang.
Setelah mengetahui bahwa murid yang dihukum itu anak U/eebalang Pineuguru guru tersebut bergegas
menemuinya dan memohon maaf. TM Hasan berkata pada gurunya bahwa hukuman itu sudah wajar
baginya karena datang terlambat.
TM Hasan hanya dua tahun bersekolah di Volkschool karena ayahnya memindahkannya ke sekolah
Belanda, Europeesche Lagere School (ELS). di Sigli . ELS merupakan sekolah anak raja (uleebalang),
anak bangsawan, dan anak orang terkemuka. Anak Belanda yang bersekolah di ELS hanya dua orang,
yakni anak asisten residen dan anak Kontrolir Sigli . Ada beberapa orang anak Indo, anak orang
Manado, serta anak orang Ambon berpangkat tinggi dalam ketentaraan Belanda. Semasa di sekolah
ELS Hasan belajar mengaji pada seorang ulama terkemuka zaman itu, Tengku Alibasyah, Wakil Kadhi
Landschap Pineung.
Setelah tujuh tahun bersekolah di ELS (1917-1924) Hasan ditawari ikut ujian masuk Koningen Wilhelmnia
School (KWS) di Batavia. Ia menerima tawaran tersebut, meskipun seandainya tidak mengikuti ujian
di Batavia ia dapat melanjutkan sekolah Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Kutaraja tanpa
perlu mengikuti ujian . Pada tahun 1924 Hasan meninggalkan kampung halamannya pergi ke Batavia,
tetapi sebelum pergi ia dinikahkan dengan sepupunya, Pocut Hijo, anak pamannya, Teuku Manyak atau
dikenal dengan Teuku di Tiba. TM Hasan dan Pocut Hijo menikah di Kuta Tuha, di rumah kediaman
pamannya. Penduduk desa meramalkan bahwa barangsiapa menikah di Kuta Tuha kelak akan menjadi
orang besar dan ternama. Pada saat mendengar ramalan penduduk desa tersebut TM Hasan hanya
mengucapkan “Amin”.
Meskipun telah berkeluarga bukan berarti sekolahnya terlantar; bahkan sebaliknya ia semakin tekun
belajar. Dari pihak istrinya ia memperoleh dorongan moral untuk terus memperdalam ilmu pengetahuan. Hal ini tampak setelah ia meneruskan pelajaran ke Batavia (Jakarta) dan kemudian ke Negeri Belanda.
lstrinya, Pocut Hijo, rela ditinggal di kampung halaman. Di Batavia TM Hasan mengikuti ujian masuk
KWS dengan mengambil jurusan sipil basah, jurusan membuat jembatan, dan semacamnya. Ia lulus dan
mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Sekali atau dua kali dalam seminggu ia mengenakan pakaian
kerja hijau untuk praktek. TM Hasan tinggal di asrama lnternaat Jan Pieterszoon Coen Stichting (J PC)
di Jl. Guntur, dekat Pasar Manggis. Sebagai seorang anak uleebalang yang terpandang di Aceh ia dengan
mudah dapat diterima di asrama tersebut. Di sana tinggal tidak kurang ISO orang pelajar yang umumnya
terdiri dari anak-anak para bangsawan dan Indo yang berasal dari seluruh Indonesia. Mereka ada yang
sedang belajar di MULO, Algemeene Middelbare School (AMS), Hoogere Burgerschool (HBS), KWS,
dan lain-lain. Hal ini sangat menguntungkan TM Hasan, sebab di samping dapat berkenalan dengan
teman-teman sebangsa yang berasal dari seluruh Indonesia ia juga dapat menambah pengetahuan dari
mereka yang sudah lebih tinggi tingkat pendidikannya.
Selama bersekolah di KWS dan bertempat tinggal di asramaJPC TM Hasan benar-benar menggunakan
waktu sebaik mungkin. Ia sangat tekun belajar, sehingga Pasar Manggis yang letaknya sangat dekat
dengan asrama hampir tidak pernah dikunjungi kecuali kalau ada keperluan mendesak. Sebagian
besar waktu di asrama digunakan untuk membaca buku, baik yang dipinjam dari sekolah maupun
yang dibelinya. Waktu senggang pada umumnya digunakan untuk belajar biola dari guru khusus yang
didatangkan ke asrama. Asrama JPC mempunyai peraturan ketat, baik mengenai waktu belajar dan istirahat, kewajiban pembayaran uang iuran asrama, maupun ketentuan-ketentuan lain, misalnya dalam pergaulan sehariĀ­ hari di asrama diharuskan menggunakan Bahasa Belanda. Dalam hal ini tentu tidak terlepas dari politik kolonial Belanda, khususnya di bidang kebudayaan. Mereka yang akan keluar asrama ini kelak diharapkan memiliki sikap kebelandaan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Setiap penghuni asrama dikenakan uang iuran sebanyak 50 gulden tiap bulan dan. TM Hasan senang karena tidak diajarkan bahasa asing lain di sekolah itu selain bahasa Belanda yang juga digunakan sebagai bahasa pengantar. Hal ini berlainan dengan di MULO, HBS, dan AMS, yang selain terdapat Bahasa Belanda sebagai mata pelajaran juga diajarkan bahasa-bahasa lnggris, Jerman, dan Prancis. Meski demikian karena sangat berminat memahami dan dapat berbicara bahasa asing tersebut, terutama Bahasa lnggris, ia mengambil inisiatif sendiri. Caranya, melalui teman-temannya yang belajar di MULO, AMS, ataupun HBS. Dari teman-temannya itulah TM Hasan memperoleh buku-buku pelajaran bahasa lnggris, Jerman, dan Prancis dan yang kemudian dipelajarinya dengan tekun. Teman-temannya juga berjasa besar bagi TM Hasan dalam pembelajaran ketiga bahasa tersebut, terutama dalam kaitan cara mengucapkan huruf dan kata.
Agar keterampilan berbahasa dikuasai sebaik mungkin diperlukan latihan baik secara lisan maupun
secara tertulis. TM Hasan menempuh cara yang patut dipuji, yaitu dengan cara pekerjaan rumah temanĀ­
temannya selalu dijadikan bahan latihan dan diselesaikannya dengan tekun. Untuk mengoreksinya ia
menggunakan jawaban teman-temannya yang telah diperiksa dan diperbaiki oleh guru mereka di sekolah. Dengan cara demikian secara bertahap TM Hasan berhasil menguasai bahasa-bahasa lnggris, Jerman, dan Prancis kendatipun yang disebut terakhir tidak sebaik bahasa lnggris dan Jerman. Selain itu ia berminat menempuh ujian MULO dan AMS karena ingin masuk perguruan tinggi. Sementara itu lulusan KWS tidak bisa langsung masuk ke perguruan tinggi, tetapi wajib bekerja terlebih dahulu. Oleh sebab ia tidak terdaftar pada MULO dan AMS, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah melalui ujian ekstranei, yang rupanya tiap tahun ajaran baru selalu dibuka untuk memberi kesempatan bagi mereka yang berminat.
Setelah tiga tahun menjadi penghuni asrama JPC TM Hasan meminta izin Kepala Asrama JPC untuk
mengikuti ujian ekstra MULO. Kepala asrama pun menyampaikan keinginan TM Hasan kepada Direktur
KWS. TM Hasan diberi izin oleh Direktur KWS karena prestasinya di KWS sangat memuaskan. Waktu itu
sedang tidak ada ujian MULO di Batavia. Yang ada ada di Bandung, di MULO Douwes Dekker. TM Hasan
diizinkan pergi ujian extranei MULO Bandung. Pada waktu itu terdapat 13 orang peserta ujian dan TM Hasan satu-satunya peserta dari Batavia. Ia berada di Bandung selama tiga hari untuk ujian sekaligus menunggu pengumuman hasil ujian . Ketika hasil ujian diumumkan hanya peserta dari Batavia saja yang lulus, yaitu TM Hasan. Ia segera memberi khabar Kepala Asrama JPC dan Kepala Asrama JPC pun meneruskan khabar tersebut kepada Direktur KWS. Direktur KWS sangat senang. Ketika TM Hasan tiba di Batavia Direktur KWS membuat pesta makan malam untuk merayakan keberhasilan TM Hasan lulus ujian MULO.
Berkat semangat belajar yang tidak kenai menyerah TM Hasan berhasil mewujudkan cita-citanya.
Pada tahun 1927 ia berhasil meraih ijazah MULO melalui ujian ekstranei di Bandung, ijazah KWSĀ­
tempat ia terdaftar secara resmi sejak kelas satu-diperolehnya pada tahun 1928, dan pada tahun
1929 ia mengikuti ujian ekstranei AMS di Batavia dengan hasil memuaskan. Dengan demikian selama
lima tahun TM Hasan berhasil memperoleh tiga ijazah sekolah menengah; suatu prestasi yang sangat
membanggakan. Dengan ijazah yang dimilikinya sudah tentu tidak mengalami kesulitan bagi TM Hasan memasuki salah satu sekolah tinggi. Masalahnya ialah bidang studi apa yang harus dipilih sesuai dengan bakat dan citaĀ­ citanya. Setelah dipertimbangkan masak-masak, terutama dikaitkan dengan tugas-tugas kepemimpinan di masa depan, akhirnya ia memilih memperdalam ilmu di bidang hukum. Maka pada tahun ajaran 1929/1930 ia mendaftarkan diri pada Rechtshoogeschool ‘ Sekolah Tinggi Hukum’ di Batavia. Seperti ketika belajar di sekolah menengah, ia tidak menemui kesulitan berarti dalam mengikuti kuliah. Dengan mudah ia dapat mengikuti semua mata pelajaran yang diharuskan selesai pada tingkat pertama. Pada tahun 1930 ia lulus tingkat Candidaat I ‘ ijazah tingkat persiapan’. Demikian pula pada kuliah tingkat
berikutnya. Tahun 1931 ia lulus Candidaat II ‘sarjana muda’. Setelah berhasil meraih gelar sarjana muda
di Rechthoogeschool ia berhasrat melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda, pada tingkat doktoral
(sarjana hukum) di Rijks Universiteit Leiden. Oleh karena itu ia pulang ke kampung halaman untuk
musyawarah dengan orang tuanyan di samping menjenguk keluarganya yang sudah lama ditinggalkan,
meskipun tidak berarti selama tujuh tahun di Batavia ia tidak pernah pulang karena ada masa libur yang
merupakan kesempatan untuk pulang kampung.
Berhubung ada rencana ke Negeri Belanda sudah tentu TM Hasan tidak lama tinggal di kampung
halamannya. Namun demikian dalam waktu yang singkat itu, sambil mengunjungi sanak keluarganya
di sekitar Kenegrian Pineung, ia sempat bertani menanam kacang bersama penduduk di kampung istrinya, Kuta Tuha. Hal ini sangat mengesankan rakyat Kenegrian Pineung, sebab TM Hasan yang
diperkirakan kelak akan menjadi U/eebalang Kenegrian Pineung menggantikan ayahnya benar-benar
seorang pemimpin yang mengerti dan menghayati keluh-kesah kehidupan petani. Dalam pandangan
rakyat, anak seorang uleebalang yang sarjana muda hukum mau turun ke sawah menanam kacang
bersama rakyat kecil merupakan kejadian luar biasa dan tidak masuk akal.
Sesuai rencana pada bulan September 1931 TM Hasan meninggalkan kampung halamannya dengan
diantar oleh sanak keluarga. Ia ke Kutaraja untuk seterusnya naik kapal di Pelabuhan Sabang. Ia
menumpang kapal Willem Ryus dari maskapai pelayaran Belanda. Di atas kapal ia berjumpa dengan
Teuku Tahir, anak Teuku Chuk Muhammad Thayeb, Uleebalang Pereulak, bekas anggota Vo/ksraad dan
seorang tokoh pergerakan yang disegani dan ditakuti oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Teuku Tahir
akan melanjutkan pendidikan ke Fakultas Teknik Delft, Negeri Belanda.
Tak beberapa lama berselang setelah tiba di Negeri Belanda TM Hasan mendaftarkan diri sebagai
mahasiswa bidang lndische Recht Fakultas Hukum Rijks Universiteit Leiden. Adapun mata kuliah yang
wajib diikuti sehubungan dengan bidangnya itu meliputi Hukum Adat, Hukum Perdata, Hukum Dagang,
Hukum Acara Perdata, Sejarah Islam , Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, Bahasa Arab, Tafsir AI-Quran,
dan Tafsir Surat kabar. Semua mata kuliah tersebut diperlukan untuk menempuh ujian sarjana guna
memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.). Selain itu ia masih mengikuti beberapa mata kuliah yang
sebenarnya hanya sekadar menambah atau memperluas pengetahuan saja, yaitu Hukum Antar Bangsa,
Filsafat, llmu Kepolisian, dan Parapsikologi. Mata kuliah-mata kuliah tersebut diperlukan apabila tiba
saatnya ia terjun ke masyarakat. Salah satu guru di universitas tersebut Prof. Dr. Snouck Hurgronje
(mata kuliah Tafsir AI-Quran). Seperti dimaklumi guru besar tersebut dikenalluas di Indonesia, setidakĀ­
tidaknya di kalangan para ilmuwan. Ia menjadi arsitek penaklukan Aceh dan pernah bergaul dengan
ayah TM Hasan, TBP Ibrahim, pada waktu bertugas di Pidie tahun 1898.

TERJUN KE DUNIA PERGERAKAN

Selain tekun belajar TM Hasan juga aktif dalam kegiatan organisasi , di antaranya Perhimpunan
Indonesia (PI) , suatu organisasi pergerakan mahasiswa Indonesia yang dengan gigih memperjuangkan
Indonesia Merdeka. Selain itu ia juga menjadi anggota perkumpulan Gadjah Mada, suatu organisasi yang
secara teratur mengadakan pembahasan dan diskusi dalam berbagai masalah keilmuan, terutama di
bidang Hukum Indonesia. Karena selalu aktif mengikuti diskusi dan sering mengajukan makalah untuk
dibahas, ia diberi piagam penghargaan oleh organisasi tersebut. Piagam itu bertanggal 9 Desember
1933 dan ditandatangani oleh ketuanya, Mr. Klein. Kendatipun anti komunis secara konsekuen TM
Hasan menjadi anggota organisasi komunis Vrienden voor Soviet Unie (VVSU) agar lebih memahami
komunisme beserta sepak terjangnya. Ia menggunakan nama samaran Abdul Gaffar untuk menghindari
pengawasan dari Pemerintah Belanda terhadap mahasiswa Indonesia yang melakukan kegiatan politik,
apalagi dalam kegiatan komunisme. Dalam organisasi tersebut ia dapat melihat sendiri bagaimana
komunisme melancarkan agitasi yang pada umumnya cukup menjijikkan terhadap lawannya.
Selain dapat menimba sejumlah pengalaman dan ilmu pengetahuan di Negeri Belanda, TM Hasan juga
dapat berkenalan dengan sejumlah pemuda dan mahasiswa Indonesia, terutama dengan mereka yang
gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, antara lain Achmad Soebardjo, lchsan, Maria Oelfah,
Siti Sundari, Mas Soelaiman, Prijono, Darsono, Oetojo Ramelan, Tjokrohadisoemarto, Aboetari, dan
R. Soekanto (dari Pulau Jawa); Rustam Effendi yang menjadi anggota Parlemen Belanda, Nasrun, dan
Mohammad Hatta (dari Sumatera Barat); Sutan Gunung Mulia dan Luat Siregar (dari Tapanuli);Tengku
Djalaluddin dan lldrem (dari Sumatera Timur); Tajuddin Noor (dari Kalimantan); dan masih banyak lagi, bahkan juga dengan Soumokil yang kemudian menjadi tokoh sparatisme pendiri Republik Maluku
Selatan (RMS) yang ingin melepaskan diri dari Negara Republik lndonesia.
Rupanya apa yang dilakukan TM Hasan tidak terlepas dari pengawasan pihak Belanda. Oleh karena
itu sewaktu tiba kembali di Pelabuhan Ulee Lheu Kutaraja, semua bukunya disita untuk pemeriksaan
karena dicurigai terdapat buku yang berkait dengan paham pergerakan dan membahayakan kedudukan
Pemerintah Kolonial Belanda, khususnya Aceh. Buku-buku tersebut kemudian dikembalikan setelah
melalui proses pemeriksaan yang lama. TM Hasan mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja pada tanggal II Juli 1937. Dalam kepengurusan lembaga yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara itu ia menjadi ketua, sementara Teuku Nyak Arief menjadi sekretaris. Sesaat setelah pembentukannya, Hasan mengirim utusan, Teuku M. Usman el Muhammady, menemui Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta untuk memohon agar Taman Siswa memperluas jaringan dengan mendirikan cabang di Aceh. Majelis Luhur Taman Siswa mengirim tiga orang guru ke Aceh, yaitu Ki Soewondo Kartoprojo beserta istrinya yang juga sebagai guru Taman Siswa dan Soetikno Padmosoemarto. Dalam waktu relatif singkat, TM Hasan dan pengurus Taman Siswa di Kutaraja berhasil membuka empat sekolah Taman Siswa di Kutaraja, yaitu Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara, dan Taman Dewasa. Pada saatnya, berkat pengalaman di bidang pendidikan, TM Hasan memutuskan pergi ke Batavia dan bekerja sebagai pegawai di Afdeling B, Departemen Van Onderwijsen Eiredeienst (Departemen Pendidikan).
Pada tahun 1938 Mr. TM Hasan dipindahkan ke Medan sebagai Adjunct Refrendarist pada kantor
Gouverneur van Soematra ‘Kantor Gubernur Sumatera’ bagian A/gemmene Zaken en Wetgeving. Di tempat kedudukannya yang baru ia tetap giat berusaha sejauh kemampuan dan kesempatan yang diumungkinkan untuk kemerdekaan bangsanya. Dalam hubungan kerja di kantor gubernur ia sering berhadapan dengan Dr. Beck, residen yang diperbantukan pada Kantor Gubernur Sumatera. Pada suatu perjumpaan Beck mengkritik secara tajam kaum nasionalis yang secara gigih memperjuangkan nasib bangsanya di Volksraad.
Menurut Beck, apa yang mereka tuntut, yaitu kemerdekaan, belum masanya diberikan sebab rakyat
Indonesia sebagian besar masih dalam kebodohan, sedang kaum terpelajar masih terbatas sekali. Kalaupun diberikan mereka tidak akan mampu mengendalikan pemerintahan di alam kemerdekaan. TM Hasan menjawab melalui suatu pernyataan: “Apakah tidak lebih baik apabila Pemerintah Belanda merencanakan dan sekaligus menjanjikan untuk memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia dalam batas waktu tertentu, umpamanya dalam waktu sepuluh tahun mendatang, dan selama masa tenggang itu bangsa Indonesia secara intensif disiapkan untuk tenaga-tenaga ahli, khususnya di bidang pemerintahan, seperti kontrolir (wedana), asisten-residen, residen, gubernur, dan sebagainya. Dengan cara begini pertentangan dan kesenjangan yang terjadi selama ini antara Pemerintah Belanda di satu pihak dan para pemimpin Indonesia di pihak lain dapat dihindari.” Beberapa hari kemudian TM Hasan dipanggil oleh Sekertaris Gubernur Sumatera Mr. Nolting. Ia diperintahkan untuk tidak mencampuri dan melakukan kegiatan politik. Peringatan itu diberikan Nolting atas nama Gubernur Sumatera. Dalam pada itu kecurigaan penguasa Kolonial Belanda terhadap TM Hasan tidak pernah hilang bahkan sampai
menjelang akhir penjajahannya di Indonesia. Beberapa hari sebelum tentara Jepang mendarat di
Aceh, pada bulan Maret 1942, meletus pemberontakan dan perebutan kekuasaan yang dilancarkan oleh rakyat di Sigli dan sekitarnya. Pemberontakan itu, menurut dugaan Belanda, didalangi oleh TM Hasan.
Oleh karena itu Pemerintah Kolonial Belanda segera mengerahkan tentara untuk mencari TM Hasan di
sekitar Sigli dan kalau tidak ditemukan akan diadakan penyelidikan lebih lanjut. Namun sebelum pencarian dan penyelidikan selesai dilaksanakan, tentara Jepang telah lebih dahulu menduduki Indonesia. BeIanda pun terpaksa harus menyerahkan kekuasaannya pada penguasa baru yang datang dari negara matahari terbit.
Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945) berbagai kegiatan politik dibekukan oleh pihak militer
Jepang. Kalaupun ada beberapa pemimpin Indonesia yang bergerak harus melakukannya secara diamĀ­
diam, yang secara luas dikenal dengan istilah ” kegiatan di bawah tanah”. Umumnya para pemimpin
Indonesia pada saat itu bekerja sama dengan pihak Jepang. Demikian juga halnya dengan TM Hasan.
Hal ini tidak berarti perjuangan mereka terhenti dan pudar. Taktik kerja sama yang dipraktekkan atas
dasar perhitungan situasi dan kondisi masa itu adalah semata-mata sebagai jalan keluar yang mungkin
ditempuh untuk menuju ke gerbang kemerdekaan.
Pada masa penjajahan Jepang TM Hasan tetap berada di Medan dan bekerja di sejumlah tempat. Ketika
Jepang hendak angkat kaki dari Aceh pada tahun 1945 ia menjadi salah satu tokoh Aceh yang bersedia
bergabung dengan para nasionalis di Jakarta. Sementara itu dalam usaha menjalin hubungan secara lebih
akrab dengan rakyat-tentu saja bagi kemenangan perang Asia Timur Raya-pemerintah militer Jepang
mengadakan dua lembaga baru dalam badan pemerintah, yaitu Kantor Tinzukyoku (Kantor permohonan
rakyat kepada Gunseibu) dan Kantor Koseikyoku (Kantor Kemakmuran Rakyat). TM Hasan ditunjuk sebagai kepala kedua kantor tersebut dengan tugas mempelajari semua surat permohonan rakyat yang dialamatkan kepada gunseibu dan kemudian memberi pertimbangan atau saran sehubungan dengan permohonan tersebut. Dengan penempatannya sebagai kepala kedua kantor tersebut sekali lagi ia mendapat kesempatan secara lebih leluasa untuk mengabdi kepada rakyat yang sedang dalam keadaan sangat menderita.

Baca Juga : Ki Sarmidi Mangunsarkoro

MASA KEMERDEKAAN

Pada tanggal 7 Agustus 1945 Mr. Teuku Muhammad Hasan bersama dengan Dr. M. Amir dan Mr. A.
Abbas diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan lndoensia (PPKI) mewakili Sumatera.
Bersamaan dengan pemberitahuan tentang pengangkatannya tersebut ia dan kedua temannya diundang
untuk menghadiri sidang PPKI yang direncanakan akan diadakan pada tanggal 16 Agustus 1945. Untuk
memenuhi undangan tersebut tepat pada hari penyerahan Jepang kepada Sekutu, yakni tanggal 14
Agustus 1945, ia berangkat ke Jakarta dengan lebih dahulu singgah di Singapura karena direncanakan
bergabung dengan Bung Karno dan Bung Hatta yang sedang dalam perjalanan pulang dari Saigon.
Setiba di Jakarta keadaan sama sekali berubah. Sidang PPKI yang semula diadakan pada tanggal 16
Agustus 1945 di bawah pengawasan pemerintah militer Jepang batal. Jepang tentu tidak mungkin lagi
mencampuri urusan yang berkenaan dengan kemerdekaan Bangsa lndonesia.

Baca juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia

Pada tanggal 30 September 1945 para pemuda yang digerakkan oleh Achmad Tahir, Sugondho
Kartoprodjo, dan beberapa yang lain mengadakan rapat besar di Gedung Pertemuan Taman Siswa,
Jalan Amplas, Medan. Pada rapat itu TM Hasan hadir dan memberi kata sambutan. Dalam rapat inilah
TM Hasan secara terbuka mengumumkan Proklamasi 17 Agustus 1945 kepada khalayak ramai. Dengan
semangat bergelora dan penuh keberanian ia mengemukakan bahwa ” Indonesia Merdeka telah menjadi
kenyataan Proklamasi yang didengungkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta ke seluruh dunia”. Sampai akhir kalimat ini tepuk tangan pun menggema di seluruh ruangan yang padat dengan manusia dan TM
Hasan lega serta bangga atas keberhasilan tugas yang diembannya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 22 Agustus 1945, TM Hasan diangkat menjadi
Gubernur Sumatera dengan ibukota provinsi di Medan. Ia lalu mengangkat residen dan walikota di
seluruh Sumatera. Ia pun menginstruksikan seluruh residen dan walikota bahwa terhitung tanggal 4
Oktuber 1945 di setiap kantor, rumah penduduk, dan tempat keramaian harus dikibarkan bendera
Merah Putih.
Dalam rapat umum di Lapangan Fukuraido (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggal 4 Oktober 1945 Gubernur Teuku Muhammad Hasan mengumumkan kembali Proklamasi Kemerdekaan Rl yang dibacakan Soekarno pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Kepada rakyat yang membanjiri Lapangan Merdeka ia meminta agar rela berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Rl.
Teuku Muhammad Hasan menjabat Gubernur Sumatera hingga 1948. Setelah itu, pada tahun 1948,
Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara dipimpin Sultan M Amin Nasution,
Sumatera Tengah dipimpin Muhammad Nasroen, dan Sumatera Selatan dipimpin Mohammad lsa.
Selain menjadi Gubernur Sumatera Utara TM Hasan juga pernah menjadi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Wakil Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, dan Menteri Agama._Di samping
itu ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seperti Ketua Umum Yayasan Rahmat llahi, Ketua Badan
Penasihat Taman Iskandar Muda, Ketua Dewan Kantor Universitas Islam Jakarta yang dijabat sejak
tahun 1950, dan masih banyak lagi. Semua itu semata-mata didorong oleh rasa tanggung jawabnya
kepada nusa dan bangsa tercinta. Atas jasa-jasa yang telah disumbangkannya itu rakyat dan Pemerintah
Republik lndoensia memberi berbagai tanda penghargaan. Tanda kehormatan Satyalanjana Peringatan
Perdjuangan Kemerdekaan dan tanda jasa Bintang Gerilya dianugerahkan oleh Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia masing-masing tertanggal 20 Mei 1961 dan 5 Oktober Sementara itu Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dengan surat tertanggal 14 April 1982,
No. x811.611/2/SJ atas nama Presiden Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra, suatu
bintang kehormatan tinggi yang memang patut dan berhak diterimanya.
TM Hasan meninggal pada 21 September 1997.

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018

One thought on “Profil Teuku Moehammad Hasan”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *