Menteri Pendidiikan Masa Jabatan 12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946
Pendidikan
Mohammad Sjafei lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, pada tahun 1893. Ia anak angkat Ibrahim
Marah Sutan dan Andung Chalijah. Ayah angkat Sjafei, Marah Sutan, seorang pendidik yang memiliki
pengalaman mengajar di berbagai daerah dan aktif dalam lndische Partij (IP). Marah Sutan dan Andung
Chalijah merupakan pasangan berpendidikan, bercita-cita besar, dan hidup berpindah-pindah karena
pekerjaannya sebagai guru. Mereka tidak memiliki anak kandung, sehingga di berbagai tempat yang
mereka tempati mereka mengangkat anak yang mempunyai keinginan untuk maju untuk diasuh dan
dididik. Sjafei “ditemukan” ketika Marah Sutan sedang mengajar di Pontianak. Ia sering mendapati Sjafei
kecil turut menyimak pelajaran dari jendela, kadang-kadang ikut bernyanyi, atau sekadar menyimak
pelajaran, terutama pelajaran sejarah. Maka Sjafei pun diangkat dari ibu kandungnya, Sjafiah, yang
bekerja sebagai pedagang kue.
Sjafei melanjutkan pendidikan di Kweekschool ‘Sekolah Guru’ (Sekolah Raja) di Bukit tinggi dengan
berbekal sepenggal nasihat ayah angkatnya, “Jadilah engkau jadi engkau.” Marah Sutan menyampaikan
pesan tersebut dengan maksud agar Sjafei tetap menjadi dirinya sendiri sekalipun pendidikan dan
lingkungan baru dapat mempengaruhi sikap seseorang. Oleh karena itu ketika harus mempelajari bidang
pendidikan, Sjafei lebih menyukai seni. Ia pandai bermain biola dan melukis. Ia sempat mengajukan
permintaan berhenti dari sekolah guru, namum ditolak oleh Direktur J. Lavell. Mendengar aduan
perihal keinginan berhenti tersebut Marah Sutan kembali mengiriminya pesan, “Jadilah engkau jadi
engkau”. Pesan tersebut disertai dengan kiriman banyak surat kabar, majalah, dan bacaan. Sjafei pun
menjadi lebih banyak membaca sehingga wawasannya terbuka. Bagian-bagian tulisan yang dianggap
penting ditandainya dengan pensil merah.
Setelah enam tahun Sjafei lulus dari Kweekschool. Ia ditawari pemerintah Belanda mengajar di
Hollandsch-lnlandsche School (HIS) Padang, namun ia memilih mengajar di Kartini School di Jakarta.
Keputusan ini diambil berdasarkan saran dr. Soetomo, Ketua Boedi Oetomo, yang berpendapat bahwa
memberi pendidikan pada anak-anak perempuan di Kartini School memiliki relevansi pada cita-cita
memajukan bangsa lndonesia.
Sambil mengajar ia juga menekuni hobinya di bidang seni. Ia mengambil kursus melukis pada de
Graaf, guru gambar di Hogere Burgerschool (HBS). Ia lulus dari kursus tersebut setelah 18 bulan
dengan predikat bagus. Lama-kelamaan ketidaksukaannya menjadi guru berubah, terutama karena
pergaulannya di Partai lnsulinde, Boedi Oetomo, dan organisasi Putri Mardika di Jakarta. Ia menyukai mata pelajaran kerajinan tangan, sesuai dengan hobi seninya, dan didukung oleh rekan sesama guru,
Nona C. M. Vanger, guru bahasa Prancis dan kerajinan tangan. Di sisi lain Marah Sutan menganggap
pelajaran kerajinan tangan tidak relevan dengan kebutuhan perempuan Indonesia pada masa itu. Mata
pelajaran kerajinan tangan hanya memuat kegiatan untuk mengsi waktu senggang, seperti menjahit,
menyulam, dan merajut. Pelajaran kerajinan tangan yang relevan dengan kemajuan bangsa, menurut
Marah Sutan, harus produktif dan bernilai ekonomis. Oleh karena itu Sjafei kemudian disekolahkan ke pusat kerajinan di Jawa Barat, seperti Tasikmalaya dan Boger. Materi kerajinan tangan yang dibawa
oleh Sjafei dari hasil kursusnya mendapat sambutan baik dari pimpinan sekolah, Nyonya Evenhuis. Hasil
kerajinan tangan murid-murid Kartini School mendapat banyak pujian saat dipamerkan di kongres
NIOG di Jakarta.
Sjafei kemudian melanjutkan pendidikan ke Belanda dengan menggunakan tabungannya sebagai
biaya. Rencana semula ia akan menempuh pendidikan untuk mendapatkan akta utama atau hoofdacte,
tetapi kemudian dialihkan pada kursus, seperti kerajinan tangan, musik, dan melukis. Ia merasa
telah memiliki ilmu keguruan dan kemampuan mengajar yang didapatkannya selama bersekolah di
Kweekschool ditambah dengan pengalaman mengajar di Kartini School. Lagi pula akta hoofdacte
hanya berguna untuk menjadi guru di sekolah negeri. Meskipun jabatan dan gaji lebih tinggi, tetapi
sistem dan metode pendidikan di sekolah pemerintah tidak akan mengangkat harkat dan martabat
bangsa sebagai manusia yang mandiri dalam negara yang merdeka; padahal tujuan utamanya pergi
ke Belanda untuk mempelajari bagaimana dinamika bangsa tersebut sehingga menjadi maju dan kuat.
ltu pula sebabnya selama di Belanda ia mengunjungi pusat-pusat industri dan sekolah kerajinan.
Dalam mengisi waktu senggangnya ia menulis buku pelajaran membaca Arab dan Latin untuk sekolah
rendah.
Di samping mempelajari industri serta mengunjungi pusat-pusat kerajinan tangan Sjafei juga aktif di
lndonesisc Vereeniging dan menjadi redaktur rubrik pendidikan pada majalah organisasi tersebut.
Mohammad Hatta yang enam bulan lebih dulu berada di Belanda merasa heran Sjafei ke Belanda
untuk mempelajari kerajinan tangan, padahal di hampir seluruh wilayah Indonesia sudah memiliki
kerajinan rakyat. Mengapa harus jauh-jauh ke Belanda? Menurut Sjafei, pelajaran kerajinan tangan dan
pendidikan kerajinan tangan berbeda. Pelajaran kerajinan tangan dapat diberikan melalui kursus atau pelatihan, yang fungsinya sebagai keterampilan tenaga kerja; sedangkan pendidikan kerajinan tangan
berfungsi untuk membangkitkan minat kerajinan dan kemauan bekerja. Karena itulah ia ke Belanda
untuk mencari sistem dan metode pendidikan kerajinan. Sjafei akrab dengan Hatta dan sering berdiskusi. Mereka menemukan pandangan yang sama bahwa bangsa yang merdeka adalah bangsa yang terdidik sebagai bangsa yang merdeka. Bukan hanya oleh semangatnya saja, tetapi juga oleh kadar intelektual dan kemampuan menjadi bangsa yang mandiri di bidang ekonomi. Ekonomi dapat digerakkan
melalui industri. lndustri hanya dapat dikelola oleh bangsa yang memiliki mental rajin, ulet, teliti, dan disiplin. Berangkat dari pemikiran tersebut Hatta mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI), atau yang dikenal sebagai PNI Baru, dan Sjafei mendirikan lndonesische Nederlandsche School (INS) di Kayutanam.
INS KAYU TANAM DAN PERGERAKAN
Pada tahun 1925 Sjafei menyelesaikan pendidikannya di Belanda dan mendapat tawaran dari pemerintah
Hindia Belanda menjadi Ajunct lnspektur pendidikan, namun tawaran tersebut ditolak dengan alasan ia
ingin mendirikan sekolah yang sesuai dengan jiwa dan kebudayaan lndonesia. Sjafei mendirikan lndonesische Nederland School (INS) pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayu Tanam, Sumatera Barat, sehingga kemudian dikenal dengan Sekolah INS Kayu Tanam, dengan sistem pendidikan bertumpu pada Ketuhanan dan Nasionalisme. Ia menolak subsidi yang diberikan oleh pemerintah untuk pembiayaan dan lebih memilih membiayai sekolah tersebut dengan hasil penjualan buku-buku yang ditulisnya.
Ia mendapat dana tambahan berupa sumbangan dari ayahnya, para donatur, dan penggalangan dana melalui acara pertandingan olah raga atau pelelangan karya seni karya murid muridnya. Ia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan bahasa lnggris sebagai bahasa asing yang wajib dipelajari.
INS Kayu Tanam lahir karena saat itu corak pendidikan Barat hanya mementingkan segi intelektual
dan bercorak verbalistis, sehingga hanya menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki wawasan
pendidikan rendah. Sekolah INS Kayu Tanam terkenal di Kota Padang karena merupakan sekolah
pribumi yang memiliki fasilitas memadai. Uniknya, INS Kayu Tanam juga bekerjasama dengan
organisasi buruh (VBPSS) dan para perantau Minangkabau di Jakarta. Pada awal pendirian INS Kayu
Tanam memiliki 75 siswa. Ketika Perang Dunia II pecah INS Kayutaman diduduki paksa oleh Belanda
dan pada masa pendudukan Jepang namanya diubah menjadi lndonesische Nippon School oleh
Pemerintah Pendudukan. Selain di bidang pendidikan Sjafei juga berperan pada dunia politik. Kepeduliannya terhadap politik tumbuh-lagi-lagi karena didikan Marah Sutan-bermula dari membaca tulisan-tulisan Tjipto Mangunkusumo, Soewardi Soerjaningrat, dan Douwes Dekker, pendiri lndische Partij (IP) yang dimuat dalam majalah Hindia Poetra, yang dikirim secara teratur oleh Marah Sutan ketika Sjafei masih di Sekolah Raja. Pada awal pendiriannya IP sangat terkenal karena semboyan perjuangan yang secara terang-terangan menyerukan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Sementara organisasi lain hanya bertujuan untuk “kemajuan yang selaras bagi nusa dan bangsa” sehingga dinilai terlalu “lembek”. Saat ketiga tokoh tersebut dibuang oleh Pemerintah Hindia Belanda, IP menjelma dengan nama Partai
lnsulinde. Sjafei menjadi anggota aktif partai tersebut setelah menamatkan sekolah dan menetap di
Jakarta. Ia menjadi pengurus cabang Jakarta bersama Marah Sutan dengan fungsi tambahan sebagai
koordinator seluruh cabang di luar Pulau Jawa. Sjafei juga menjadi anggota aktif Boedi Oetomo dan menulis banyak artikel untuk majalah organisasi tersebut.
Pada Kongres Boedi Oetomo bulan Agustus 1915 di Bandung, sehubungan dengan kemungkinan
Perang Dunia merembes ke Indonesia, ada mosi kepada pemerintah agar diberikan hak milisi kepada bangsa Indonesia. Hak milisi tersebut harus diatur dalam undang-undang yang disahkan oleh parlemen.
Usul mosi agar Indonesia memiliki parlemen dalam kongres dikemukakan oleh Sjafei selaku delegasi
cabang Jakarta. Menurut Sjafei, buat apa bangsa Indonesia ikut membela kekuasaan Belanda apabila
tidak diberi hak untuk membela bangsa sendiri. Mosi tersebut ditolak pemerintah karena Belanda
tahu bahwa mosi itu merupakan strategi yang memanfaatkan ketakutan Belanda tentang kemungkinan
perang dunia akan meluas hingga ke tanah jajahannya.
Pada awal tahun 1916 Sjafei dan Alimin, yang kemudian menjadi tokoh komunis, mengajukan resolusi
lagi kepada pemerintah melalui Kongres Partai lnsulinde. Mereka menginginkan agar anak-anak
Indonesia diberi kesempatan lebih banyak untuk memperolah pelajaran bahasa Belanda. Pada masa
itu buku-buku ilmu pengetahuan hanya tersedia dalam bahasa Belanda. Apabila anak-anak Indonesia
mahir berbahasa Belanda, mereka akan semakin bisa memperluas khazanah penegtahuannya. Namun
lagi-lagi mosi tersebut ditolak pemerintah.’3 Pada Kongres Partai lnsuline di Semarang tahun 1917
Sjafei kembali mengajukan usul agar Kongres membuat resolusi untuk menghapus sistem poenale
sanctie, yaitu sistem kontrak terhadap kuli perkebunan Belanda yang tidak berbeda dengan bentuk
perbudakan gaya baru yang mengandung ancaman hukum bagi yang melakukan mogok atau lari dari
pekerjaannya. Buruknya sistem tersebut diketahui Sjafei ketika bersama Marah Sutan terlibat dalam
usaha menggagalkan pengangkutan buruh gelap dan perdagangan perempuan. Usulan tersebut, lagi-lagi ,tak digubris pemerintah. Pada tahun 1918, ketika gubernur jenderal dijabat Graaf van Limburg Stirum,
sistem ponarie sanctie dihapus dan dibentuk Volksraad. Sjafei ditawari menjadi anggota Volksraad,
namun ia menolak karena merasa percuma duduk di kursi dewan yang didominasi oleh Belanda. Usul
usulnya pada akhirnya akan ditolak juga.
Pada tahun 1925 ketika kembali ke Jakarta, ia dan ayahnya sepakat untuk bergerak di bidang pendidikan
saja dan tidak di politik. Kegiatan dalam gerakan politik mereka tinggalkan berdasarkan pertimbangan
bahwa gerakan politik yang semula bertujuan untuk mencapai kemerdekaan beralih pada perebutan
kepemimpinan dalam partai. Terjadi banyak sengketa yang menimbulkan perpecahan antarsesama
pemimpin politik serta pengikutnya. Bersandar pada kekuatan politik tertentu dalam membangun
suatu lembaga pendidikan hanya akan menumbuhkan banyak lawan, sementara itu pemerintah anti
terhadap politik.
Walapun telah diusahakan agar terhindar dari percaturan politik, Sjafei tetap tidak lepas dari
“pertempuran” kaum politisi yang sedang berseteru. Saat INS didirikan, situasi politik di Sumatera
Barat sedang panas-panasnya. Ia sangat berhati-hati berhadapan dengan gerakan politik mana pun demi
memelihara kelanjutan cita-cita pendidikannya. Ia khawatir apabila INS terlibat ke dalam organisasi
politik, pemerintah akan bertindak dan sulit diduga.
Sikap kalangan madrasah pun terhadap Sjafei berubah ketika melakukan aksi bersama mengenai
“ordonansi sekolah liar”. Dalam rapat yang dihadiri oleh hampir seluruh sekolah swasta di Sumatera
Barat Sjafei berkata, “Kami lebih memilih menutup perguruan INS daripada menerima ordonansi itu.”
Sejak saat itu berbagai perguruan Islam melakukan banyak kerja sama dengan INS. Sejak tahun 1922 pemerintah mulai mengkhawatirkan perkembangan perguruan swasta, terutama terhadap perguruan Cina yang lebih berorientasi pada negeri leluhurnya. Oleh karena itu pemerintah merencanakan peraturan yang terkenal sebagai “guru ordonansi”, yang bertujuan menyeleksi dan mengarahkan guru-guru sekolah swasta agar memberi pengajaran sesuai dengan kebijakan pemerintah. Dari sudut pandang kepentingan gerakan nasional, juga Islam, ordonansi itu dicurigai sebagai upaya pemerintah menghambat kehendak rakyat Indonesia mencapai kemajuan melalui pendidikan, tetapi ordonansi itu bagi INS bukan masalah karena secara administratif INS akan dapat menunaikan peraturan itu. Meski demikian, mengingat watak kolonialisme Belanda yang bersifat “minta sedikit tapi mengambil banyak” serta dampak negatif pada umumnya terhadap pergerakan pendidikan bangsa Indonesia, Sjafei tidak dapat menerima ordonansi itu.
Ketika ordonansi diumumkan Sjafei pergi menemui Marah Sutan di Jakarta untuk menentukan
sikap. Keduanya mendapat usul Muhammad Yamin agar menemui Ki Hadjar Dewantara. Yamin
mengatakan tanpa keikutsertaan Ki Hadjar Dewantara bobot aksi akan lemah. Taman Siswa yang
telah hadir di berbagai daerah merupakan suatu kekuatan yang tidak dimiliki oleh perguruan
swasta lain yang merupakan perguruan bersifat lokal. Pada mulanya Ki Hadjar Dewantara menolak
memimpin aksi tersebut, akan tetapi Sjafei meyakinkan bahwa program pendidikan nasional telah
menjadi resolusi Perhimpunan Indonesia pada 1922 di Belanda. Tanpa memajukan pendidikan
tidak mungkin memajukan bangsa dan mencapai cita-cita bangsa yang adil dan makmur. Akhirnya
Ki Hajar mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal yang berisi penentangannya pad a ordonansi itu .
Ketika Sjafei dan Marah Sutan menemui Ki Hadjar Dewantara Taman Siswa akan menyelenggarakan
konferensi. Sjafei diminta memberi ceramah tentang sistem pendidikan INS. Pada kesimpulannya
sistem INS disebut sebagai “arbijdschool”, sedangkan Taman Siswa “zending school”.
Ketika Jepang menduduki Sumatera Barat kebetulan Soekarno sedang “terdampar” di Padang
karena tak sempat dilarikan Belanda dari Bengkulu ke suatu tempat di utara Sumatera. Oleh karena
itu Soekarno tampil menghimpun massa dan di bawah pimpinannya mendirikan Komite Rakyat
di Padang, suatu badan yang fungsi formalnya membantu menjaga keamanan. Setelah Soekarno
berangkat ke Jakarta beberapa bulan kemudian, Sumatera Barat seperti mengalami kekosongan
pemimpin. Orang-orang melihat Sjafei sebagai sosok yang dapat memainkan peran sebagai tokoh
utama. Bisa jadi pilihan yang lebih baik dari kalangan politisi, karena selama ini ia dianggap tidak
terlibat dalam perseteruan. Sjafei bukanlah sosok yang buta polit ik, melainkan lebih merupakan
seorang ideologis daripada seorang politisi . Kepadanya orang lebih mengharapkan sebagai “imam”
daripada seorang penggerak organisasi. Ketika situasi Perang Pasifik mulai menyulitkan Jepang,
dibentuklah suatu lembaga perwakilan, Syu Sang Kai, dan Sjafei diangkat sebagai ketua. Saat Jepang
mulai di ambang kekalahan, dibentuk lagi suatu perwakilan yang bersifat kedaerahan Sumatera, Chuo Sangi In, dan Sjafei kembali diangkat menjadi ketua. Di Pulau Jawa jabatan tersebut dipegang
oleh Soekarno. Selaku Ketua Chou Sangi In Sumatera Sjafei dibawa ke Tokyo sedikit lebih kemudian
daripada keberangkatan Soekarno dan Hatta selaku pimpinan Chou Sangi In Pulau Jawa. Sepulang
dari Jepang sikap Sjafei banyak berubah. Dia yang biasanya suka bicara menjadi lebih banyak berdiam.
Kepada murid-muridnya pun ia lebih suka memberikan amanah pendek-pendek. Temanya sama
saja, seperti, “Bekerja dan belajarlah sungguh-sungguh. Gali dan ambillah ilmu Jepang itu sebanyak
banyaknya.” Dalam acara-acara di INS, ketika para muridnya datang, ia berpidato di luar kebiasaan.
Matanya sering memandang ke loteng seperti menahan air mata. Lebih-lebih saat lagu “Indonesia
Subur” dinyanyikan.
Rupanya perubahan sikap itu disebabkan oleh pengalamannya selama di Jepang. Dia bertemu dengan
pimpinan pemuda Burma. Pemuda itu mengisahkan betapa kejam Jepang terhadap rakyat Burma.
Yang mereka alami lebih kejam karena Jepang langsung berhadapan dengan sekutu di perbatasan
lndia. Sejak kembali dari Belanda pada 1925 Sjafei tidak lagi tergabung dalam suatu partai politik. Yang menjadi program utama baginya ialah membangun suatu perguruan yang memberi pendidikan berwawasan nasional bagi masyarakat yang berwatak merdeka dalam artian luas. Bukan hanya merdeka dari segi politik, namun juga bermental wirausaha yang membebaskan bangsa dari ketergantungan terhadap bangsa lain. Sjafei merupakan seorang guru yang lebih berfungsi mengembangkan wawasan pikiran baru kepada muridnya.
Menurut beberapa pemuda, pada saat Proklamasi Kemerdekaan diumumkan pada tanggal 17 Agustus
1945, Sjafei bergerak lamban. Jahja Djalil, seorang muridnya, mempunyai kontak dengan kelompok
Chairul Saleh di Jakarta. Sjafei memerlukan waktu untuk membicarakan proklamasi dengan teman
temannya, seperti Dokter Rasidin, Chatib Sulaiman, dan Anwar St. Saidi. Persoalannya bukan masalah
mengumumkan proklamasi, melainkan juga untuk mengetahui reaksi Jepang agar tidak terjadi banyak
korban dari pihak rakyat. Setelah ada jaminan dari pimpinan tertinggi militer Jepang bahwa mereka
akan bersikap netral, barulah tanggal 29 Agustus 1945 proklamasi itu diumumkan Sjafei atas nama
bangsa Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:


Sjafei bukanlah tipe pemimpin seperti Soekarno. Ia lebih sesuai dengan tipe Ki Hadjar Dewantara.
Namun masyarakat politik di Sumatera Barat menghendaki Sjafei seperti Soekarno yang telah diangkat
menjadi presiden yang memimpin negara. Mohammad Sjafei yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia diberi kepercayaan menjadi Menteri Pengajaran dalam Kabinet Sjahrir 11, akan tetapi pada akhirnya ia menentang sistem pemerintahan yang tersentralisasi. Ia lebih menyukai kebijakan otonomi daerah. Oleh karena itu ia bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam pemerintahan PRRI ia diangkat menjadi Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (PP&K) sekaligus Menteri Kesehatan. Mohammad Sjafei meninggal pada tanggal II November 1966.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Mohammad Sjafei (12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946) […]