Ali Sastroamidjojo

Menteri Pendidikan Masa Jabatan 3 Juli 1974 – 4 Agustus 1949

MASA KECIL DAN PENDIDIKAN

Ali Sastroamidjojo dilahirkan pada tanggal 21 Mei 1903 di Grabag Merbabu, suatu daerah di kaki Gunung
Merbabu, lebih kurang 20 km dari Magelang. Sebagai ibukota kewedanan Gra bag Merbabu memang
dapat dinamakan kota,walaupun sifat dan jiwa masyarakatnya kedesa-desaan. Ayah Ali bernama R.Ng.
Sastroamidjojo, seorang pensiunan pegawai negeri, anak R. Wirjodipuro Wedana Batu r, Banyumas.
Ayah Ali bekerja di kantor Bupati Magelang Raden Tumenggung Ario Danuningrat II. Sastroamidjojo
bekerja dengan sangat rajin sehingga mendapat penghargaan dan kepercayaan bupati. Setelah beberapa
tahun bekerja sebagai magang, Sastroamidjojo naik pangkat menjadi jurutulis, kemudian dinikahkan
dengan Kustiah, anak nomer 19 Bupati Magelang.
Setelah menikah Sastroamidjojo naik pangkat menjadi asisten wedana dan beberapa tahun kemudian
menjadi Wedana Jetis, Kabupaten Temanggung. Pada zaman itu seorang pegawai negeri yang menjadi
menantu bupati dapat dinaikkan pangkat dengan agak cepat. Dari hasil pernikahan tersebut lahir dua
belas orang anak, enam laki-laki dan enam perempuan. Setelah pensiun Sastroamidjojo pindah ke Grabag
Merbabu. Di sanalah Ali dan adiknya, Usman, lahir. Untuk menambah uang pensiun Sastroamidjojo
bekerja sebagai mantri garam, yaitu pegawai penjual garam yang menjadi monopoli pemerintah .
Ali masuk sekolah desa untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung bersama dengan teman-teman
desanya yang merupakan anak petani. Sekolah desa tidak memuaskan hati Sastroamidjojo, apalagi ketika
kakak-kakak Ali yang bersekolah di kedokteran dan teknik datang dari Semarang dan Jakarta untuk
berlibur. Mereka menganjurkan Ali dan Usman belajar bahasa Belanda, sebab pandai berbahasa Belanda
merupakan kunci kemajuan, tetapi sekolah Belanda pada waktu itu hanya terbuka untuk anak-anak orang
Belanda dan anak-anak orang Indonesia kelas bangsawan atau priyayi tinggi. Karena sekolah desa tidak
mengajarkan bahasa Belanda Sastroamidjojo mengambil keputusan pindah ke Magelang. Rumah Ali di
Grabag dijual untuk membeli rumah di Jalan Kerkopan no. I I di Magelang. Perjuangan ayah Ali untuk memasukan anaknya ke sekolah berbahasa Belanda tidak berjalan mulus. Awalnya Ali ditolak karena belum dapat berbahasa Belanda, sedang ayahnya hanya pensiunan pegawai negeri yang tidak dapat berbahasa Belanda. Meskipun demikian Sastroamidjojo pantang menyerah.
Pada sore hari Ali disekolahkan pada seorang guru bahasa Belanda, Tuan Westendorp namanya. Baru
kemudian Ali diterima di sekolah Belanda nomer dua. Murid-muridnya kebanyakan anak-anak lndo­
Belanda yang nakal dan sering bertindak kejam terhadap anak Indonesia seperti Ali. Oleh karena
suasana sekolah Belanda yang sangat tidak menyenangkan, Ali hanya bertahan selama satu tahun di
sekolah tersebut. Sastroamidjojo berusaha keras memindahkan Ali ke sekolah Belanda nomer satu.
Kehidupan Ali kecil memang merupakan hasil kebijaksanaan orang tuanya. Ali, dalam buku yang
ditulisnya, mengucapkan terima kasih kepada orang tuanya karena pengatahuan Ali tentang bahasa Jawa
dan agama Islam setidak-tidaknya menjadi pengerem ketotalan pengaruh pendidikan dan kebudayaan
Belanda dalam pertumbuhan jiwa dan pemikirannya. Pendidikan Ali berlangsung dengan lancar. Pada tahun 1918, ketika berada di kelas tujuh di Eerste Europese Lagere School, Ali harus mengikuti ujian untuk melanjutkan sekolah. Terdapat tiga kemungkinan sekolah yang dapat diikuti Ali, yakni I) sekolah pamongpraja di Magelang, 2) sekolah teknik di Surabaya, dan 3) sekolah Hogere Burger School (HBS) yang berada di Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Akhirnya Ali melanjutkan ke HBS Jakarta.
Kehidupan di HBS sangat berbeda dengan kehidupannya di Magelang. Pandangan Ali yang semula
terbatas dan serba sempit, mulai berkembang dan menjadi lebih luas saat berada di Jakarta. Dalam pergaulan ia mulai mengenal pemuda-pemuda dari berbagai kepulauan lain di Indonesia, seperti Ambon,
Sumatera, dan Nusa Tenggara.
Ia kemudian menjadi anggota perkumpulan Jongjava (1918-1922) serta menjadi anggota perkumpulan lnlandse HBS Vereniging, yaitu perkumpulan para pelajar Indonesia di HBS.
Minatnya terhadap kebudayaan Eropa Barat mulai tumbuh. Kewajiban mempelajari bahasa dan
kesusastraan Belanda, Jerman, Perancis, dan lnggris itulah yang menumbuhkan minatnya terhadap
sastrawan-sastrawan besar Barat, seperti Shakespeare, Bernard Shaw, La Martine, Balzac, Goethe,
Schiller, Heine, Mutatuli, Willem Kloos, dan Van Deysel. Ia juga mengembangkan minat olahraga
melalui perkumpulan olahraga Lucurgus di HBS. Selain kebudayaan dan olahraga, Ali juga mengamati perkembangan politik yang terjadi. Pertemuan dan diskusinya dengan Alimin, yang pada saat itu menjadi pemimpin pergerakan Sarekat Islam (SI), merupakan salah satu hal yang meningkatkan minat Ali terhadap politik. Menjelang akhir tahun 1922 minatnya terhadap politik tertunda karena ia harus fokus pada sekolah untuk mempertahankan beasiswanya di HBS. Akhirnya Ali lulus dengan nilai memuaskan, terutama di bidang sastra. Lulus HBS merupakan babak baru kehidupan Ali: pertemuan dengan Titi Roelia yang kelak menjadi istrinya dan keputusan mengenai kelanjutan sekolah. Kakak Ali, Sastrowidjono, mengusahakan Ali melanjutkan studi ke Negeri Belanda dengan syarat Ali bersedia memilih Jurusan Orientalise Letteren (Sastra dan Kebudayaan Timur). Ali menyetujui permintaan kakaknya walau dengan berat hati karena lama sekolah di jurusan tersebut sembilan tahun. Pada tahun 1922 Ali pergi ke negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan. Sesampainya di Belanda, Ali mengurus dan mendaftrakan diri sebagai mahasiswa Fakultas Sastra dan Filsafat Jurusan Sastra dan Kebudayaan Timur. Ternyata ijazah HBS belum memenuhi syarat untuk masuk fakultas dan jurusan tersebut, karena Ali harus memiliki ijazah bahasa dan kesusastraan Latin dan Yunani. Ali harus belajar lebih kurang dua tahun untuk mendapat ijazah tersebut. Setelah berbagai pertimbangan dan atas saran teman-temannya, Ali membatalkan niat masuk Jurusan Sastra dan Kebudayaan Timur dan memilih mendaftarkan diri ke Jurusan Hukum Hindia Belanda Fakultas Hukum Universitas Leiden.
llmu hukum tidak membutuhkan masa studi yang lama serta tidak ada syarat memiliki ijazah bahasa Latin dan Yunani, sehingga memungkinkan Ali mempersingkat masa pendidikan. Pendidikan hukum lebih kurang lima tahun lamanya dengan dua kali ujian, yaitu ujian kandidat yang dapat ditempuh dalam waktu dua tahun dan ujian doktoral yang ditempuh dalam tiga tahun. Lulusan ujian doktoral mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Mr.). Ia bertekad menempuh ujian kandidat dalam waktu satu tahun agar bisa segera menikahi kekasihnya, Titi Roelia. Dalam waktu sembilan bulan ia mengikuti ujian kandidat, namun gaga! karena terlalu tegesa-gesa. Ia kembali mengikuti ujian dalam waktu tiga bulan kemudian dan ia lulus kandidat sarjana hukum. Ali menikahi Titi Roelia, yang dilangsungkan melalui surat kuasa Ali kepada temannya, Wasito. Musim semi tahun 1924 Titi Roelia yang sudah menjadi istri Ali menyusul dan tiba di Belanda.
Pada tanggal 24 Desember 1925 lahir anak laki-laki pertama Ali dan diberi nama Kemal Mahisa. Nama Mahisa diambil dari sejarah Jawa kuna, sesuai dengan lambang di atas bendera merah putih Perhimpunan Indonesia (PI). Lambang tersebut menggambarkan cita-cita perhimpunan itu tentang bangsa Indonesia.

POLITIK DAN PERGERAKAN

Ali bergabung dalam PI di Belanda. Sejak kedatangan Ali pada awal tahun 1923, PI mengalami perkembangan yang sangat cepat. Ketika Ali baru menjadi anggota PI, pimpinan lama PI, Mr. Hermen
Kartowisastro, meletakkan jabatan dan digantikan lwa Kusumasumantri yang dipilih oleh rapat anggota
untuk periode 1923-1924. Waktu itu PI bernama “lndonesische Vereniging” dengan majalah Hindia
Poetra. Akibat kegiatan politik yang meresahkan pemerintah Hindia Belanda, Ali bersama dengan
Mohammad Hatta, Natzir Dt. Pamuncak, dan Abdul Madjid ditawan polisi Belanda pada tahun 1927.
Sekembalinya dari Belanda ke Indonesia pada tahun 1928 dan memperoleh gelar Meester in de Rechten
(Mr., Sarjana Hukum), Ali bekerja sebagai pengacara bersama dengan Sujudi S.H. dan Dr. Sukiman di
Yogyakarta (1928), kemudian pindah ke Madiun (1932-1942). Selain menjadi pengacara ia juga menjadi
editor majalah mingguan Djanget di Surakarta dan koresponden harian Sedio Utomo. Ia juga mengajar
di Perguruan Taman Siswa ( 1928-1929).
Pada tahun 1928 ia menjadi anggota eksekutif Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh
Soekarno dan menjadi editor majalah Soeloeh Indonesia Moeda milik PNI. Setelah Pemerintah Hindia
Beland a membubarkan PN I pad a tanggal 25 April 1931, Ali ikut mendirikan Partai Indonesia (Partindo).
Setelah Partindo juga dibubarkan pada bulan November 1936, Ali bergabung dalam Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo). Asas dan tujuan Gerindo sama dengan Partindo, yaitu nasional revolusioner
tetapi berhaluan kooperatif.

Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia

MASA KEMERDEKAAN

Pada tahun 1945 Ali aktif kembali menjadi angota PNI dan menjabat Ketua Dapartemen Politik
merangkap anggota Dewan Eksekutif. Ketika kabinet pertama dibentuk oleh Presiden Soekarno pada
tanggal 2 Desember 1945 ia masuk dalam Kementerian Penerangan dan menjadi pegawai tinggi. Oleh
karena Amir Sjarifuddin yang ditunjuk sebagai Menteri Penerangan masih belum berada di Jakarta
Kementerian menugaskan Ali menghadiri sidang-sidang kabinet yang diadakan di rumah bersejarah
Pegangsaan Timur nomor 56 (sekarang Jalan Proklamasi), rumah kediaman Bung Karno sekaligus
tempat Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena ketidakpastian kapan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin tiba di Jakarta setelah meringkuk di dalam tahanan Kempetai di Malang, Ali diangkat menjadi Wakil Menteri Penerangan. Pekerjaan di Kementerian Penerangan pada waktu itu belum begitu teratur.
Pegawainya masih belum terlalu banyak. Pekerjaan yang paling menyibukkan adalah pelayanan kepada para pemuda dan koresponden surat-surat kabar asing yang pada zaman permulaan revolusi masuk ke Indonesia bersama dengan tentara lnggris dan disebut sebagai war correspondents.
Pada tanggal 6 Juni 1946 Dewan Pertahanan Negara dibentuk dan Ali diangakat sebagai sekretaris.
Kantor sekretariat badan ini bertempat di gedung BP Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di
Jalan Malioboro, Yogyakarta. Ali menjabat sekretaris Dewan Pertahanan Negara lebih kurang satu
tahun, dari awal Juni 1946 sampai dengan permulaan Juli 1947. Pada awal bulan November 1947
terjadi perubahan susunan kabinet (reshuffle). Ali diangkat sebagai Menteri Pengajaran dalam Kabinet
Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947) dan dilanjutkan pada Kabinet Amir Sjarifuddin II
(II November 1947-29 Januari 1948).
Ketika Kabinet Hatta menggantikan Kabinet Amir Sjarifuddin pad a tahun 1948, Ali juga diangkat menjadi
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dalam Kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus
1949). Hanya sedikit hal yang bisa dilakukan oleh Ali. Kantor Kementerian Pendidikan, Pengajaran,
dan Kebudayaan saja sudah tidak begitu menguntungkan. Kantor Menteri dan stafnya ada di Yogya,
sedang bagian lain berada di Sala di bawah pimpinan Sekretaris Jenderal Mr. Santoso. Paling sedikit
dua kali seminggu ia harus mondar-mandir antara Yogya dan Sala. Meskipun demikian ia terbantu
karena pegawai-pegawai kementeriannya merupakan orang-orang berpengalaman bekas pegawai
Dapartement Onderwijs en Eredienst Hindia Belanda, sehingga pekerjaan rutin bisa dilaksanakan.
Sayangnya pembaharuan bidang pendidikan dan pengajaran sesuai dengan cita-cita Republik Indonesia
belum bisa tercapai. Ali belum dapat mencurahkan perhatian sepenuhnya pada soal-soal pendidikan
atau pelajaran karena baru dapat mengajukan perencanaan undang-undang pokok pendidikan dan
pengajaran kepada KNIP. Pusat perhatian Ali lebih pada pemberantasan buta huruf yang sangat penting
bagi negara. Ia dibantu oleh dua orang pegawai yang tekun dan penuh dedikasi terhadap pemberantasan
buta huruf, yaitu Sutedjo Brondjonegoro dan Tartib Prawirodihardjo. Ketika Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk Ali diangkat menjadi Duta Besar untuk Amerika Serikat dan ketika terwujud Negara Kesatuan Rl diangkat sebagai Duta Besar Rl untuk Amerika Serikat, Kanada, dan Mexico dengan
gelar Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh ( 1950-1955).
Pengangakatan Duta Besar dilakukan Hatta di dalam pesawat terbang yang sedang melayang di atas
Yogyakarta dan akan mendarat di Maguwo. Hal ini agak menyimpang dari kebiasaan Bung Hatta yang selalu memegang teguh ketertiban dan keresmian . Di samping itu Ali juga pernah duduk sebagai anggota Panitia Politik, Keamanan, dan Perwakilan untuk Sidang Umum PBS ke-VIII. Setelah kembali ke tanah air Ali menjabat Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I (I Agustus 19S3-12 Agustus 19SS) dan dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung ia menjabat Ketua. Ali terpilih kembali menjadi Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 19S6-9 April 19S7). Pada tanggal IS Desember 19S9 ia mengunjungi Kuba atas undangan Menteri Luar Negeri Kuba Roul Rca. Sekembalinya dari tanah air ia ditunjuk sebagai anggota Panitia Persiapan Front Nasional oleh golongan partai berdasar Keppres No.34/1960-23 Maret 1960) dan pada tanggal IS Agustus 1960 diangkat sebagai anggota PB Front Nasional (Keppres 198/1960) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) wakil Golongan Karya (Keppres No.l99/ 1960).

Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara


Pada tanggal 10 November 1960 ia diangkat sebagai Wakil Ketua MPRS (Keppres No. 292/1960)
dan tanggal 29 Desember 1960 ditetapkan sebagai anggota Dewan Pembangunan Pembantu Presiden
(Keppres No. 343/1960). Pada tanggal 8 Januari 1961 Ali ditetapkan sebagai Wakil Ketua PB Front
Nasional dari go Iongan politik (Keppres No. 0/1961) dan sebagai anggota Pengurus Harian Pus at Front
Nasional dari golongan politik (Keppres No. 10/1961). Dalam rombongan Presiden Soekarno ke KTT
Beograd 29 Agustus 1961, Ali turut serta di dalam rombongan terse but. Pada bulan Agustus 1961
ia diangkat menjadi Wakil Delegasi Rl ke Sidang Umum PBS untuk menggagalkan usul mengenai
Self Determination bagi Irian Barat (Irian Jaya).
Dalam Kabinet Kerja ke-111 (6 Maret 1962-13 November 1963) Ali menjabat sebagai Menteri/Wakil
Ketua MPRS. Di samping sebagai Menteri/Wakil Ketua MPRS, ia ditetapkan sebagai anggota Panitia
Negara untuk peninjauan kembali Rencana Undang-undang (RUU) Pemilihan umum MPR, DPR,
DPRD Tingkat I dan Tingkat II (Keppres No. 107/1962-22 Mei 1962), anggota Panitia Penghapus Keadaan Bahaya (2S Oktober 1962), anggota Panitia 13 untuk menetapkan Ekonomi Keuangan (4 Maret 1963), dan ketua Delegasi gabungan MPRS dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) ke Eropa Timur yang terdiri dari 12 orang anggota MPRS/DPRGR dan 14 orang staf negara. Adapun negara yang dikunjungi meliputi Soviet, Jerman Timur, Ceko, Hongria, Bulgaria, Rumania, dan Yugoslavia. Kemudian pada tanggal 2 September 1963 Ali terpilh sebagai Ketua Umum PNI dalam kongres PNI ke -X di Purwokerto.

Ali bukan hanya seorang tokoh politik ternama, tetapi juga penulis yang baik. Ia rajin menuangkan
gagasan-gagasannya dalam buku, antara lain Pengantar Hukum lnternasional (1971), Politik Luar Negeri
Indonesia Dewasa lni (1972), otobiografi Tonggak-tonggak di Perjalananku (1974), dan Empat Mahasiswa
Indonesia di Negeri Belanda (1975). Dr. Ali Sastroamidjojo S.H. meninggal dunia di Jakarta pada tanggal
13 Maret 1975.

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018

3 thoughts on “Profil Ali Sastroamidjojo”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *