Menteri Pendidikan Masa Jabatan 19 Maret 1983 – 3 Juni 1985
Nugroho Notosusanto lahir pada tanggal IS Juni 1931 di Rembang, Jawa Tengah, dari keluarga terdidik
dan terhormat. Ayahnya, Prof. Mr. R.P. Notosusanto, seorang ahli hukum Islam di Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), sekaligus salah satu pendiri UGM. Kakak Nugroho pensiunan Patih Rembang, sedang kakak tertua ayah Nugroho pensiunan Bupati Rembang. Nugroho menikah dengan Irma Savitri Ramelan (Lilik) yang dikenalnya sewaktu menjadi mahasiswa dan dikaruniai tiga orang anak, yakni lndrya Smita, lnggita Suksma, dan Narottama. Pendidikan dasar Nugroho dilalui di Europeesche Lagere School (ELS) .Selepas ELS ia melanjutkan pendidikan ke SMP dan menamatkannya pada tahun 1944. Jenjang sekolah lanjutan tingkat ia tempuh di Yogyakarta. Ketika ia menempuh pendidikan di SMA rakyat Yogyakarta khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya tengah berjuang menghadapi Belanda
yang ingin kembali berkuasa di persada ini.la terpanggil ikut berjuang dan bergabung dengan Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Yogyakarta. Seusai tamat SMA pada tahun 1951 Nugroho dihadapkan pada dua pilihan : meneruskan karier militer dengan mengikuti pendidikan perwira atau menuruti amanat ayahnya untuk menempuh karier akademis. Akhirnya ia memilih mengikuti amanat ayahnya. Atas saran ayahnya ia kuliah pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra (FS) Universitas Indonesia (UI). Gelar Doktorandus (Drs.) di bidang sejarah ia raih tahun 1960. Pada saat itu juga ia diangkat sebagai dosen di almamaternya. Dua tahun kemudian ia mendapat kesempatan menambah ilmu di bidang sejarah dan filsafat di University of London. Karier tertinggi di bidang akademis dicapai ketika ia berhasil menyelesaikan pendidikan doktor di Ul dengan disertasi The Peta Army During the Japanese Occupation in Indonesia, yang disusun berdasarkan wawancara dan penelusuran dokumentasi sejarah yang ia peroleh dari dalam dan luar negeri. Disertasi itu kelak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tentara Peta pada Zaman Pendudukan jepang di Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 1979. Pada tanggal 5 Januari 1980 Nugroho dikukuhkan sebagai Guru Besar FSUI dengan orasi ilmiah berjudul Sejarah Demi Masa Kini. Dunia militer memang memiliki peran cukup besar dalam diri Nugroho. Seperti disebut di atas, pada masa SMA Nugroho bergabung ke dalam kesatuan TP. Pada saat dia menjadi dosen di Ul, tepatnya sejak tahun 1964, ia juga dipercaya memegang posisi sebagai Kepala Pusat Sejarah Angkatan Darat. Pada tahun 1967 ia mendapat pangkat kolonel tituler berdasarkan SK Panglima AD No. Kep. 1994/12/67. Pada masa kepemimpinannya, Pusat Sejarah Angkatan Darat menerbitkan banyak buku yang berkenaan dengan operasi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam menumpas berbagai pemberontakan atau gerakan separatis yang terjadi
di berbagai daerah, seperti GOM II : Operasi Penumpasan APRA, GOM V: Darah Tersimbah Di jawa Barat- Gerakan Militer V, GOM VI: Penumpasan Dll Tii Di jawa Tengah, GOM VII: Gerakan Operasi Militer VII/Penyelesaian Peristiwa Dl/TII Di Aceh, dan Sejarah Operasi-Operasi Gabungan Terhadap PRRI/Permesta; serta biografi beberapa tokoh pejuang serta tokoh militer, seperti Komodor Udara Adi Sutjipto: Bapak Penerbang dan Panglima Besar Sudirman: Pemimpin,Pejuang dan Pahlawan.
Latar belakang dosen mengantarkan Nugroho menjadi pengajar di berbagai sekolah di lingkungan ABRI.
Ia tercatat sebagai staf pengajar pada Sekolah Staf Komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(SESKO-ABRI) pada bagian Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian. Ia juga tercatat sebagai pengajar pada
Lembaga Pertahanan Nasional (LEMHANAS) dan Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (SESDILU). Di
samping berbagai pekerjaan tersebut, Nugroho juga menjadi Wakil Ketua Harian Pembina Pahlawan
Pusat, anggota Dewan Pers, dan anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan. Di lingkungan kampus Ul Nugroho memegang beberapa jabatan penting. Ia pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI, menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Ul, dan puncak kariernya di lingkungan Ul sebagai rektor. Ia dilantik menjadi orang nomor satu di kampus perjuangan itu berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 5/M/1982 untuk periode 1982-1986. Ketika dilantik menjadi Rektor Ul ia disambut dengan kecemasan dan caci maki para mahasiswa Ul. Mahasiswa menudingnya sebagai militer dan “orang pemerintah” yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan mahasiswa. Status sebagai dosen, Kepala Pusat Sejarah Angkatan Darat, dan keterlibatnnya dalam berbagai lembaga pendidikan membuat Nugroho semakin akrab dengan dunia tulis-menulis, meskipun bakat tulis-menulis sesungguhnya telah muncul sejak mengikuti pendidikan di sekolah dasar dan sekolah
lanjutan. Saat itu ia mempunyai kesenangan mengarang cerita, terutama napas perjuangan.
Bakat menulis Nugroho semakin tersalur ketika menjadi mahasiswa. Ia menjadi anggota redaksi
harian KAMI. Pun ia menjadi koresponden majalah Forum dan menjadi redaktur majalah Pelajar. Di
bidang keredaksian ia menjadi pemimpin majalah Gelora, pemimpin redaksi Kompas, anggota dewan
redaksi Mahasiswa, pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1955-1958,
dan bersama Emil Salim pernah menjadi ketua juri hadiah sastra. Sebagai sastrawan ia dimasukkan
H.B. Jassin ke dalam Angkatan 66 dan oleh Ajip Rosidi dikategorikan sebagai sastrawan Angkatan Baru
(Periode 1950-an). Di antara pengarang semasanya Nugroho dikenal sebagai penulis esai, padahal sebagian besar pengarang waktu itu menulis cerita pendek (cerpen) dan sajak. Pada mulanya Nugroho memang menulis cerpen dan sajak, yang sebagian besar dimuat di harian ibu kota. Oleh karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam menulis sajak, ia kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai. Karya prosanya dimuat di berbagai majalah dan surat kabar, seperti Gelora, Kompas, Mahasiswa, Indonesia , Cerita, Siasat, Nasiona/, Budaya, dan Kisah . Ia menyelami zamannya, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisan-tulisan yang berisi pembelaan para sastrawan muda, yaitu ketika terdengar suara-suara tentang krisis kesusastraan, menyebabkan Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia.
Nugroho menganggap kelompok ini merupakan bagian eksternal Departemen P & K, padahal ia hanya akan memberdayakan organ internal struktural saja. Dalam pandangan Nugroho pendidikan nasional merupakan hal paling penting karena menentukan masa depan bangsa dan negara. Pendidikan nasional Indonesia haruslah berlandaskan Pancasila dan bertujuan meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, serta mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Adapun arah pendidikan nasional adalah modernisasi berlandaskan kebudayaan bangsa dan integrasi nasional berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal lka. Nugroho menekankan bahwa pendidikan bukan semata-mata menjadi kewajiban sekolah (pemerintah), tetapi juga menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Ia menegaskan hal itu karena pada kenyataannya pendidikan tidak hanya dilaksanakan di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Ia menyebut bahwa “waktu belajar” di tengah keluarga dan masyarakat jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan waktu belajar di sekolah.
Sebagai sejarawan Nugroho menulis sejumlah makalah, artikel, dan buku. Sebagian besar karyanya
berhubungan dengan dunia militer. Setidaknya ada 50-an karya jenis ini yang dihasilkannya.
Sebagian karya tersebut menjadi kontroversi, terutama yang berhubungan sejarah penggalian Pancasila, peran militer dalam kehidupan politik Indonesia, dan perkembangan politik Indonesia kontemporer. Kritik yang dilontarkan kepadanya berkenaan dengan sikapnya yang relatif menonjolkan peran militer dan Soeharto di panggung sejarah Indonesia kontemporer; serta mengesampingkan peran tokoh-tokoh lain seperti Soekarno.
Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia
PEMIKIRAN Dl BIDANG PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pada tanggal 19 Maret 1983 Nugroho Notosusanto dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan IV. Langkah pertama yang dilakukannya setelah dilantik adalah memberhentikan dengan hormat Kelompok Kerja Menteri pada bulan April 1983 Nugroho menganggap kelompok ini merupakan bagian eksternal Departemen P & K, padahal ia hanya akan memberdayakan organ internal struktural saja. Dalam pandangan Nugroho pendidikan nasional merupakan hal paling penting karena menentukan masa depan bangsa dan negara. Pendidikan nasional Indonesia haruslah berlandaskan Pancasila dan bertujuan meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, meningkatkan kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, serta mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Adapun arah pendidikan nasional adalah modernisasi berlandaskan kebudayaan bangsa dan integrasi nasional berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal lka. Nugroho menekankan bahwa pendidikan bukan semata-mata menjadi kewajiban sekolah (pemerintah), tetapi juga menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Ia menegaskan hal itu karena pada kenyataannya pendidikan tidak hanya dilaksanakan di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Ia menyebut bahwa “waktu belajar” di tengah keluarga dan masyarakat jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan waktu belajar di sekolah. Nugroho menganggap bahwa pendidikan membuat peserta didik menjadi orang yang aktif dan kreatif. Sekolah hendaknya menjadi sebuah lembaga yang mendidik siswa mampu berbuat untuk dirinya, mampu mengembangkan apa yang diberikan kepadanya, baik pada masa dia sekolah maupun setelah menamatkan sekolah. Dengan demikian sekolah tidak boleh membuat siswa hanya menerima dan mencukupkan apa yang disajikan oleh para guru semata. Nugroho menganut pandangan “jangan memberi ikan kepada peserta didik, tetapi berilah dia pancing.” Memberi ikan hanya akan membuat siswa memakan apa yang diberikan kepadanya, mencukupkan apa yang dimilikinya saja. Sebaliknya bila memberi pancing siswa akan aktif dan memiliki kemampuan untuk berbuat; t idak hanya untuk waktu yang sesaat, tetapi juga untuk masa yang lama dalam hidupnya.
Suatu kebijakan penting dilakukan Nugroho adalah mengubah Kurikulum 1975 menjadi Kurikulum Melalui perubahan ini Nugroho memasukkan pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai mata pelajaran wajib mulai dari jenjang sekolah dasar sampai menengah atas. Di samping
itu Nugroho juga menjadikan mata pelajarah Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia (SNID) sebagai
mata pelajaran wajib, terpisah dengan PSPB. Ide dasar dari mata pelajaran ini adalah agar peserta didik
memperluas dan mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai 1945 serta meningkatkan rasa cinta
kepada tanah air. Dengan mengikuti pelajaran ini peserta didik mengenal sejarah bangsanya dan sejarah
dunia dengan lebih baik di samping dapat mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah? Gagasan tersebut didasarkan pada hasil kajiannya mengenai materi ajar di pendidikan dasar dan menengah yang
terlalu mementingkan materi yang bersifat saintik sehingga kurang memberi tempat pada pendidikan karakter dan akhlak. Alasan lain yang juga sering disebut sebagai dasar pemberlakuan mata pelajaran yang berkaitan dengan sejarah adalah kenyataan yang ditemukan pada taruna akademi militer. Disebutkan bahwa suatu kali Jenderal M. Yusuf mendapati kenyataan bahwa taruna AKABRI
memiliki pengetahuan yang dangkal mengenai sejarah perjuangan bangsanya sendiri. Berangkat
dari kenyataan tersebut, M. Jusuf menyampaikan kepada Presiden Soeharto mengenai pentingnya
penanaman nilai perjuangan bangsa ke dalam hati siswa dan tidak hanya sebagai pelajaran belaka.
Sejak saat itu PSPB diberlakukan sebagai satu mata pelajaran secara spesifik dan diatur langsung
dalam TAP MPR No 11/MPR/1982 tentang GBHN, ” Dalam rangka meneruskan & mengembangkan
jiwa, semangat & nilai-nilai 1945 kepada generasi muda, maka di sekolah-sekolah baik negeri maupun
swasta, wajib diberikan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
Keberadaan PSPB ternyata menimbulkan banyak tanggapan yang umumnya bernada negatif. Materi
PSPB dinilai tumpang tindih dengan materi mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Sejarah
Nasional, dan llmu Pengetahuan Sosial, yang semuanya membincangkan sejarah nasional Indonesia.
Di samping itu prates yang sangat keras muncul karena buku ajar untuk mata pelajaran PSPB belum
disiapkan. Para guru disuruh mengaplikasikan PSPB tanpa buku ajar; atau, kalaupun sudah ada,
dipersiapkan dengan tergesa-gesa. Pedasnya kritik terhadap pelaksanan pengajaran seperti ini bisa
dilihat dari munculnya plesetan terhadap kepanjangan PSPB: Pedoman Supaya Pelajar Bingung.
Latar belakang sebagai Guru Besar llmu Sejarah Ul mendorong Nugroho juga menekankan pentingnya
aspek pendidikan humaniora dalam kurikulum . Dalam setiap kesempatan ia melihat pendidikan
humaniora tidak mendapat apresiasi dan tidak begitu dikenalluas dalam masyarakat, padahal humaniora
merupakan bidang studi yang menafsirkan makna kehidupan manusia dan berusaha menambah martabat penghidupan dan eksistensi manusia.
Selain itu ilmu humaniora mampu memberi pengertian yang lebih manusiawi mengenai manusia, yang merupakan kebalikan dari aspek-aspek lain. Nugroho juga memperhitungkan kebijakan Pemerintah Orde Baru yang ingin menyatukan seluruh ormas dan partai politik di bawah bendera Pancasila. Untuk meningkatkan pemahaman Pancasila tidak cukup melalui pendidikan Pancasila, pendidikan sejarah, PSPB, dan penataran P4. Yang lebih efektif, menurut Nugroho, dilaksanakan dalam Pancasila in action. Melalui kebijakan ini penegakan tata pergaulan dan tata krama dapat dilaksanakan melalui pembinaan dan keselarasan. Di samping PSPB dan pendidikan humaniora, Nugroho banyak berjasa dalam dunia pendidikan baik untuk tingat sekolah dasar, lanjutan, maupun perguruan tinggi. Gebrakan Nugroho di jenjang pendidikan lanjutan atas adalah menghapus jurusan di SMA-yakni llmu Pengetahuan Alam (IPA), llmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa-dan menggantinya dengan lima jurusan, yaitu (I) Program AI, Program llmu Fisik, meliputi bidang studi matematika, fisika, kimia, bahasa lnggris, dan bahasa Indonesia; (2) Program A2, llmu Biologi, yang mencakup bidang biologi, matematika, kimia, bahasa Indonesia, dan bahasa lnggris; (3) Progam A3, llmu-ilmu Sosial, mencakup bidang ekonomi termasuk akuntansi, PMP, sejarah nasional Indonesia dan dunia, bahasa Indonesia, dan bahasa lnggris; (4) Program A4, Pengetahuan
Budaya, meliputi PMP, bahasa Indonesia, bahasa lnggris, sejarah nasional Indonesia dan dunia, dan
pendidikan seni; serta (5) Program AS, yang menjuruskan siswa SMA menekuni ilmu-ilmu agama.
Selain itu dikenal juga Program B, yang khusus untuk mengantarkan lulusan SMA masuk ke dunia kerja.
Sayangnya Program B dicap sebagai program untuk siswa buangan. Di dunia pendidikan tinggi Nugroho mengganti Proyek Perintis dengan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Melalui sistem ini penerimaan calon mahasiswa baru di semua perguruan tinggi dilakukan secara bersamaan sehingga menghapus pengelompokan perguruan tinggi yang hebat dan tidak hebat. Bersamaan dengan itu juga diperkenalkan penerimaan mahasiswa baru tanpa tes, yang dikenal dengan nama Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Di samping itu ia membuka Universitas Terbuka (UT) sebagai perguruan tinggi negeri paling bungsu di Indonesia. Nugroho juga meninggalkan kesan sebagai seorang menteri yang suka mengganti penamaan perguruan tinggi, misalnya mengubah nama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) menjadi lnstitut Seni Indonesia (lSI). Hal ini ditandai dengan perubahan nama ASRI Yogyakarta mejadi lSI Yogyakarta melalui Keputusan Presiden No. 39/1984 dan peresmian penamaan itu oleh Nugroho pada tanggal 23 Juli 1983.
Dalam rangka membantu siswa yang kurang mampu Nugroho meluncurkan Program Orang Tua Asuh
(OTA). Program yang diluncurkan di Yogyakarta tersebut didukung Presiden Soeharto. Dukungan
presiden ternyata berdampak luas, sebab dalam waktu yang tidak berapa lama sudah tercatat banyak
orang tua asuh di berbagai sekolah. Nugroho menyebutkan bahwa melalui Program OTA seseorang bisa
memberikan uang sebesar Rp 5.000,00 kepada sebuah sekolah dan sekolah tersebut akan menentukan
siswa mana yang akan menjadi “anak asuh” orang bersangkutan.
Ia sendiri mengangkat seorang anak asuh bernama Yahda Tragedi, anak seorang penjual koran. Khusus
untuk program wajib belajar Nugroho mendorong Departemen P & K memberi kesempatan kepada setiap anak bangsa memperoleh pendidikan, sekaligus mengarah pada kebutuhan pembangunan
di segala bidang dengan sistem pembinaan yang mantap dan terpadu. Kebijakan lain Nurgoho adalah mengganti kependekan nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Departemen P dan K menjadi Depdikbud, Departemen Pertahanan Keamanan menjadi Dephankam, dan sebagainya. Bunyi singkatan-singkatan tersebut dinilai banyak pihak terdengar buruk dan mengacu pada singkatan yang lazim digunakan di dunia militer Indonesia, yang oleh sebagian kalangan disebut tidak berdasar kaidah penyingkatan yang benar, misalnya mengunakan huruf-huruf awal, tengah, atau belakang. Dengan mengacu pada kelaziman di dunia ABRI, pola penyingkatan yang dilakukan Nugroho campur aduk: ada ambilan huruf awal, tengah, dan akhir.
Adanya bau militer dari kebijakan Nugroho juga dikaitkan orang dengan keterlibatannya dalam
pembuatan skenario film Pengkhianatan GJOS/PKI. Film tersebut dianggap sebagai versi resmi Orde
Baru tentang tragedi yang terjadi pada penghujung September 1965 dan menjadi tontonan wajib untuk
murid-murid sekolah di seluruh Indonesia hingga tahun 1997, yang diputar sebagai acara tahunan
TVRI pada malam tanggal 30 September.
Meski demikian Nugroho diakui berjasa banyak pada Negara Republik Indonesia. Puncak pengakuan
atas sumbangan Nugroho terhadap bangsa Indonesia adalah pemberian Bintang Dharma, Bintang
Gerilya, Bintang Yudha Dharma Nararya, Satyalencana Penegak, Satyalencana Penegak Perang
Kemerdekaan I dan II, dan Bintang Matahaputra Adi Pradhana. Pada saat sebagian kebijakannya tengah dihebohkan masyarakat ia meninggal dunia pada hari Senin tanggal 3 Juni 1985 pukul 12.30 di kediamannya karena pendarahan otak akibat tekanan darah tinggi. Oleh karena itu kebijakan-kebijakannya tidak bisa dilaksanakan dengan utuh. Apalagi menteri yang menggantikannya juga
memiliki kebijakan tersendiri pula.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018