Menteri Pendidikan dengan masa jabatan 30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955
Mr. Muhammad Yamin merupakan tokoh kontroversial yang banyak dipuja dan juga dihujat. Ia lulusan
Rechts Hoge School yang juga ahli dalam budaya, sastra, dan sejarah, serta sekaligus politisi tangguh.
Ia salah satu pelopor Sumpah Pemuda sekaligus “pencipta imaji keindonesiaan” yang mempengaruhi
persatuan Indonesia. Di satu sisi ia dipuji karena prestasinya sebagai ahli sastra dan disebut sebagai
salah satu perintis puisi modern serta pelopor Sumpah Pemuda, namun di sisi lain ia dihujat sebagai
pembohong dan dianggap telah menghilangkan notulensi hasil sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang “dasar negara”, khususnya Pancasila. Pada
sidang pertama BPUPKI yang diselenggarakan tanggal 29 Mei sampai dengan I Juni 1945 Yamin duduk
bersama dengan lr. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, dan Dr. Supomo menyampaikan usulan masing
masing tentang dasar negara. Akan tetapi pada tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, Muhammad
Yamin justru bersebarangan dengan Soekarno dan Hatta. Ia bergabung ke dalam kelompok “Persatuan
Perjuangan” bentukan Tan Malaka, yang menjadi kelompok oposisi sejak akhir tahun 1945 sampai
dengan terjadinya peristiwa yang disebut ” Peristiwa 3 Juli “. Peristiwa itu oleh Presiden Soekarno
dianggap sebagai upaya makar dengan Tan Malaka sebagai dalangnya. Pihak Persatuan Perjuangan
membantahnya, apalagi realitanya sejak bulan Maret 1946 sampai terjadinya peristiwa tersebut
Tan Malaka berada di penjara.
Muhammad Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 24 Agustus 1903. Ayahnya
bernama Usman Baginda Khatib, bekerja sebagai pegawai yang mengawasi dan mengurusi bidang kopi
pada sebuah perusahaan Belanda; sedang ibunya bernama Siti Sa’adah , asal Bengkulu yang lahir di
Padang Panjang dan kemudian dilantak atau dijadikan orang Minang. Di samping menikahi Siti Sa’adah,
Baginda Khatib menikahi empat perempuan lain. Secara keseluruhan dari istri-istrinya itu Baginda
Khatib mempunyai 16 orang anak, hampir semuanya menjadi intelektual, misalnya Muhammad Yaman
menjadi seorang pendidik terkemuka, Djamaluddin Adinegoro menjadi seorang wartawan terkemuka
pada zamannya, dan Ramana Usman menjadi pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu ada pula
sepupunya, Mohammad Amir, yang menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
JEJAK PENDIDIKAN
Setelah umurnya mencapai tujuh tahun Yamin dimasukkan ke Sekolah Angka/Kelas II , yang di Jawa
Tengah terkenal dengan sebutan Sekolah Angka Loro, setingkat sekolah dasar untuk kaum bumiputera.
Lama pendidikan sekolah ini empat tahun dengan fokus mata pelajaran keterampilan membaca dan
berhitung. Adapun bahasa pengantar bahasa setempat, seperti bahasa Melayu untuk Sumatera Barat,
namun setelah Kongres Pemuda, terbit keputusan pemerintah Hindia Belanda mengganti bahasa
Melayu dengan bahasa Minang. Sejak di sekolah, bakat dan kemauan Yamin untuk memperoleh ilmu
pengetahuan demikian kuat. Ia merasa hanya dengan berbahasa Melayu saja tidak cukup. Hasrat itulah
yang mendorongnya pindah sekolah ke Hollandsch lnlandsche School (HIS) . Sejak tahun 1914 di Sumatera Barat telah ada HIS. Umumnya kaum pribumi yang boleh mendaftarkan anaknya
ke sekolah itu adalah orang yang berpengasilan relatif tinggi atau sekitar 300 gulden per bulan
(kurang lebih setingkat penghasilan wedana pada masa itu) . Mengingat kedudukan orang tuanya yang
terpandang, sangat mudah bagi Yamin pindah ke HIS. Ada yang mengatakan pada waktu itu Yamin telah
duduk di kelas IV Sekolah Angka II. Ia sekolah di HIS tempat saudaranya, Muhammad Yaman, mengajar.
Muhammad Yamin berhasil menyelesaikan pendidikan di HIS pada waktu umurnya menginjak IS tahun.
Rata-rata siswa HIS menempuh Pendidikan HIS selama tujuh tahun. Tidak demikian halnya dengan Yamin, yang baru menyelesaikannya sekitar 8-9 tahun. Hal itu mungkin karena ia kehilangan waktu akibat pindah sekolah dari Sekolah Angka II. Setamat HIS ia berangkat ke Pulau Jawa karena mendapat bea siswa untuk
belajar di sekolah dokter hewan di Boger. Ia hanya sebentar duduk sebagai siswa sekolah itu karena merasa tidak berbakat. Ia mengundurkan diri dan pindah ke sekolah pertanian yang juga berada di Bogor. Ternyata kehijauan lingkungan yang disertai kesegaran udara di sekitar sekolah itu tidak cukup membuat Yamin nyaman berada di dalamnya. Mata pelajaran tentang berbagai tumbuhan dan cara bercocok tanam membuatnya bosan untuk berlama-lama menjadi pelajar di sekolah tersebut. Ia mengaku tidak bosan dengan semua mata pelajaran bercocok tanam, tetapi ia lebih tertarik mempelajari antropologi, sejarah, dan ilmu budaya lainnya. Oleh sebab itu untuk kedua kalinya ia mengundurkan diri dan memutuskan masuk sekolah yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
Akhirnya ia memilih pindah ke Algemeene Middelbare School (AMS). Sesuai dengan pilihannya ia pindah ke Yogyakarta dan mendaftarkan diri menjadi pelajar pada AMS di kota itu. Pemilihan Yogyakarta sedikit banyak terkait erat dengan ketertarikannya terhadap budaya Jawa sebagaimana diakuinya kemudian. Di sekolah ini ia merasa betah dan mengaku mata pelajaran yang diterimanya cocok dengan bakat dan minatnya. Pada dasarnya ia memang senang mempelajari sejarah, antropologi, ilmu tata negara, serta bahasa-bahasa Timur, seperti bahasa Melayu dan Sansakerta, dan juga bahasa Barat seperti bahasa Belanda yang dianggap sebagai salah satu jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang sedang
berkembang di dunia pada waktu itu .
Kecintaan Yamin terhadap masalah kebudayaan dan sejarah ditunjukkan, antara lain, melalui artikelnya
pada jurnal yang diterbitkan oleh Jong Soematranen Bond (JSB). Umumnya tulisan-tulisannya
menggunakan Bahasa Melayu, walaupun jurnal Soemtranen Bond resminya berbahasa Belanda. Perlu
disampaikan di sini bahwa Muhammad Yamin aktif dalam organisasi pemuda, antara lain menjadi anggota JSB cabang Sumatera Barat, bahkan pernah mejabat sebagai ketua menggantikan kedudukan Bahder Djohan dan Hatta yang meninggalkan Sumatera Barat.
Yamin berhasil menyelesaikan pendidikan dalam waktu relatif singkat. Meskipun demikian, akibat beberapa pindah sekolah, ia baru berhasil menyelesaikan AMS pada umur yang ke-24 tahun, sementara siswa-siswa lain umumnya menyelesaikan AMS pada rentang umur 19-21 tahun. Walaupun demikian kepindahan ke Yogyakarta tidak saja menguntungkan bagi Yamin karena dapat belajar di sekolah yang sesuai dengan minatnya, tetapi juga menguntungkan bagi perjalanan hidupnya dalam membina keluarga. Selama menuntut ilmu di AMS ia bertemu dengan Raden Ayu Siti Sundari, wanita kelahiran Semarang (25 Agustus 1905), seorang guru pada Kweekschool di Surakarta, Jawa Tengah. Siti Sundari merupakan keluarga bangsawan asal Kadilangu, Demak. Pada awalnya keluarga Sundari menentang hubungan itu karena Yamin masih sekolah di AMS, sementara Siti Sundari sudah bergaji sebagai guru. Namun akhirnya mereka diizinkan menikah dan diselenggarakan pada 14 Juli 1934 di Jakarta. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai satu orang putra bernama Dang Rahadian Sinayangsih Yamin.
Setelah menyelesaikan pendidikan AMS Yamin menyiapkan diri melanjutkan ke jenjang pendidikan
lebih tinggi di Leiden, Belanda. Akan tetapi rencana itu terpaksa diurungkan karena ayahnya meninggal
dunia. Selain itu ia pun mendapat informasi bahwa yang dapat mendaftarkan diri pada universitas di
negeri kincir angin itu hanya alumnus Hogere Burgerschool (HBS), sekolah sejenis AMS yang khusus
menampung siswa anak keturunan Belanda, Tionghoa, dan elit pribumi. Kualitas AMS pada waktu itu
dinilai lebih rendah dibandingkan dengan HBS karena didirikan untuk rakyat biasa dan bukan untuk
kalangan keluarga priyayi. Sebenarnya Yamin mempunyai kesempatan masuk universitas di Leiden karena ayahnya termasuk keluarga Minang terpandang, namun keluarganya tidak seperti umumnya keluarga terpandang Minang yang waktu itu memuja dan berkiblat pada pendidikan Barat. Keluarganya bahkan mengatakan, “Kalau ke Barat terus, lndonesianya ke mana?” Sebagai catatan, eksistensi bangsa Indonesia sudah mulai diakui oleh berbagai etnik di kepulauan Nusantara, terutama setelah dicetuskan Sumpah Pemuda, yang salah satu “sponsornya” Muhammad Yamin . Oleh karena itu akhirnya ia mendaftarkan diri ke Rechtshoogeschool (RHS) di Jakarta.
Selama kuliah di RHS ia tinggal di asrama lndonesische Clubgebaouw yang beralamat di Jalan Kramat
Raya No. I 06, Jakarta Pusat (Batavia Centrum; gedung itu pad a tahun 1974 dipugar oleh Pemda
DKI menjadi “Gedung Pemuda”). Sesuai dengan namanya, asrama ini dihuni oleh para pelajar kaum
bumiputera, terutama yang tertarik pada kegiatan ekstra kurikuler, termasuk menjadi aktivis pada
organisasi pemuda atau pergerakan kebangsaan.
Di asrama itu Yamin bertemu dan bergaul dengan para pemuda dari berbagai etnik dengan bermacam-macam budayanya. Ia pun bertemu dengan sesama orang Minang dari tempat yang berbeda. Di asrama ini pula ia berkenalan, antara lain , dengan Sumanang, Amir Syarifuddin, dan Abu Hanifah.
Ketika menempuh pendidikan di RHS Yamin mendapat bea siswa, di samping itu keluarganya masih
sering mengirimi uang. Namun Yamin yang dalam kehidupan sehari-harinya relatif sederhana dikenal
royal terhadap teman-temannya, sering mentraktir makan atau minum kopi, bahkan juga menonton
bioskop atau tonil. Selain itu dia dikenal pula suka memborong buku sehingga keuangannya kadangkala
mengalami “krisis”. Yamin dapat menyelesaikan kuliah di RHS tepat waktu. Pada tahun 1932 Muhammad Yamin berhak menggunakan gelar Meester in de Rechten (Mr.), sehingga nama lengkapnya menjadi Mr. Muhammad Yamin. Sebagai seorang sarjana, relatif mudah baginya kalau ingin masuk menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintah Hindia BeIanda. Namun umumnya kaum bumiputera yang semasa menjadi mahasiswa atau siswa aktif dalam organisasi pemuda atau organisasi pergerakan nasional membuka usaha sendiri yang lebih independental sehingga enggan menjadi pegawai negeri. Kebanyakan di antara mereka memilih menjadi pegawai swasta atau membuka lapangan kerja sendiri atau wiraswasta. Yamin termasuk salah seorang Meester in de Rechten yang enggan menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Yamin sempat bekerja sesuai dengan bidangnya, yaitu bekerja sebagai pengacara dan procureur atau ahli hukum perdata pada konsultan hukum swasta Jakarta. Beberapa kliennya perusahaan asing asal
Jepang. Namun tak lama ia menggeluti profesinya itu. Ia memilih bidang kerja yang mandiri, yaitu
menjadi dosen dan mengajar pada Sekolah Jurnalistik dan Pengetahuan Umum. Perguruan ini didirikan
oleh usaha Persatuan Djurnalistik Indonesia di Jakarta. Mata pelajaran yang diampunya Kebebasan dan
Pelanggaran Pers. Bidang tulis-menulis dan kewartawanan tidak asing baginya karena sudah digelutinya
dan dipraktikan semasa duduk di bangku AMS.
JEJAK DALAM KARYA FIKSI DAN NONFIKSI
Muhammad Yamin memulai pergulatannya di dunia sastra pada awal tahun 1920-an. Karya-karya
pertamanya dalam dunia sastra Indonesia ditulis menggunakan Bahasa Melayu dalam jurnal jong
Soematra yang merupakan jurnal milik JSB. Karya-karya itu masih terikat oleh bentuk-bentuk bahasa
Melayu klasik. Karya Yamin yang dinilai oleh para pemerhati dunia sastra Melayu sebagai awal sastra
Melayu modern baru muncul pada tahun 1922. Pada tahun itu Yamin muncul untuk pertama kalinya
sebagai penyair dengan kumpulan puisi yang diberi judul Tanah Air. Tentu saja yang dimaksud tanah air
oleh Yamin tiada lain adalah tanah Minangkabau. Kumpulan puisi ini dapat dikatakan sebagai kumpulan
puisi modern Melayu yang diterbitkan. Dalam puisinya itu ia banyak menggunakan bentuk soneta yang
“dipinjam” dari literatur Belanda. Sering pula ia melakukan eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya.
Selain puisi ia juga menerbitkan drama dan novel sejarah, serta menerjemahkan atau menyadur beberapa karya sastrawan luar negeri, seperti karya William Shakespeare (drama julius Caesar) dan
Rabindrananth Tagore.
Pada perayaan ulang tahun ke-5 JSB tahun 1923 di Jakarta Yamin menyampaikan gagasan menyangkut
Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia melalui pidato yang berjudul “Bahasa Melayu pada
Masa Lampau, Masa Sekarang, dan Masa Depan”. Dari pidatonya jelas tersirat optimismenya bahwa
Bahasa Melayu-lah yang nanti akan menjadi bahasa kebangsaan Indonesia. Pada waktu itu ia mengubah
sajak yang berjudul “Indonesia Tanah Tumpah Darah” sebagai berikut.
Indonesia Tanah Tumpah Darah
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung indah rupanya
Tumpah darahku Indonesia namanya
Lihatnya nyiur melambai -lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai berai
Memagar daratan aman aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengajar bumi a:rah ibu
Indonesia namanya “Tanah .Airku”
Sejak umur 18 tahun Yamin sudah mulai menulis sajak, terutama bila kalbunya tersentuh oleh nilai-nilai
keindahan, keadilan, kebesaran lllahi, dan nilai-nilai lain, maka penanya pun mulai bergerak menuliskan
apa yang baru dirasakannya itu menjadi satu sajak. Pengetahuan Muhammad Yamin yang diserapnya dari dunia pendidikan formal cukup luas, apalagi ditopang oleh kegemarannya membaca buku, yang membuatnya tidak segan-segan menggunakan bea siswa atau uang kiriman orang tuanya untuk memborong buku. Koleksi bukunya melebihi 20.000 judul, suatu jumlah buku yang masih jarang dimiliki oleh umumnya orang Indonesia. Yamin sering tertidur dengan buku masih di tangan dan kacamata masih dipakainya. Tanpa bosan-bosannya ia membaca buku tentang Indonesia, baik buku sejarah, bahasa, maupun tentang budaya pada umumnya.
Yamin dikenal mempunyai kekuatan membaca dan menulis luar biasa. Konon ia mampu mampu menulis
selama tiga hari berturut-turut tanpa berhenti beristirahat sampai naskahnya selesai. Dari tangannya
itu banyak karya dihasilkan dan dipublikasikan, baik pada masa sebelum Indonesia merdeka maupun
setelah Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Beberapa karyanya itu antara lain Tanah Air (puisi, 1922), Indonesia, Tumpah Darahku (1928), Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama, 1932), Ken Arok dan Ken Dedes (drama, 1934), Sedjarah Peperangan Dipanegara (nonfiksi, 1945), Tan Malaka (nonfiksi, 1946), Gadjah Modo (novel, 1948), Sapta Dharma (nonfiksi, 1950), Revolusi Amerika (nonfiksi, 1951), Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (nonfiksi 1951), Bumi Si/iwangi (Soneta, 1954), Kebudayaan Asia-Afrika (1955), Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi (1956), 6000 Tahun Sang Merah Putih (1958), Naskah Persiapan Undang-undang Dasar, 3 jilid (1960), dan Ketatanegaraan Madjapahit, 7 jilid .
Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia
JEJAK DALAM RANAH POLITIK
Telah disinggung sebelumnya bahwa Muhammad Yamin sudah tertarik kepada kegiatan yang berbau
politik sejak masih di sekolah tingkat menengah. Sewaktu Jong Soematranen Bond membuka cabang di
Sumatera Barat ia ikut bergabung di dalamnya, bahkan pernah menjadi ketua periode 1926-1928, padahal waktu itu ia belum lulus AMS. Namanya mulai mencuat di kalangan para pemuda pada Kongres Pemuda I yang diselenggarakan pada tahun 1926. Gagasan untuk berkongres datang dari Muhammad Tabrani yang mendapat tanggapan positif dari para aktivis pergerakan pemuda.
Persiapan kongres dilakukan pada 15 November 1925 di gedung Lux Orientis, Jakarta. Ada lima organisasi pemuda dan beberapa peserta perorangan yang hadir di hotel tersebut. Kelima organisasi itu ialah Jong Java, JSB, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, dan Sekar Roekoen. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan membentuk Panitia Kongres Pemuda Indonesia. Tujuan utama kongres adalah menggugah semangat kerja sama di antara berbagai organisasi pemuda di tanah air supaya dapat mewujudkan dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia di tengah-tengah bangsa di dunia. Adapun komposisi Panitia Kongres Pemuda itu sebagai berikut. Muhammad Tabrani (Jong Java) sebagai Ketua, Sumarto (Jong Java) sebagai Wakil Ketua, Djamaluddin Adinegoro (JSB) sebagai Sekretaris, dan Suwarso (Jong Java) sebagai Bendahara. Nama lain yang duduk sebagai anggota adalah Bahder Djohan (JSB), Jan Toule Soulehuway (Jong Ambon), Paul Pinontoan (Pel ajar Minahasa), Hamami (Sekar Rukun), Sanusi Pane (Jong Bataks), dan Sarbaini (JSB). Kongres Pemuda yang pertama digelar dan diselenggarakan di Jakarta pada 30 April 1926 hingga 2 Mei Pada pidato pembukaan kongres, Tabrani-yang pada waktu itu menjadi wartawan Hindia Baroe pimpinan Haji Agus Salim-meminta perhatian para peserta kongres untuk mencari jalan bagaimana
memajukan semangat persatuan nasional di kalangan pemuda dengan menghindari segala sesuatu yang
dapat memecah belah satu dengan yang lain . Semua harus saling mengulurkan tangan, bersatu untuk
mewujudkan cita-cita bersama, yaitu kemerdekaan Indonesia. Dalam kongres ini berbagai permasalahan
dibahas, misalnya Bahder Djohan menyampaikan materi berjudul “Kedudukan wanita dalam masyarakat
Indonesia”; Paul Pinontoan membahas peran agama dalam gerakan nasional; dan Sumarto, dengan
judul pidato “de lndonesische Eenheidsgedachte (Indonesia Bersatu)”, membahas pentingnya memupuk
semangat persatuan Indonesia. Sementara itu Djamaluddin Adinegoro yang dijadwalkan menyampaikan
pidato terlambat datang dari Bandung, sehingga pidatonya dibacakan panitia.
Salah satu materi pidato yang banyak menarik perhatian peserta kongres adalah pidato yang
disampaikan oleh Muhammad Yamin, berjudul “De toekomst mogelijkhaden van de lndonesische talen
en letterkunde” (“Hari depan Bahasa-bahasa Indonesia dan Kesusasteraannya”). Yamin mengatakan
bahwa hanya ada dua bahasa, yaitu Jawa dan Melayu, yang berpeluang menjadi bahasa persatuan. Dari
kedua bahasa itu bahasa Melayu-lah yang akan lebih berkembang sebagai bahasa persatuan (lk voor mij
heb daarnaast de valle overtuiging, det Maleisch langzamerhand de aangewezen conversatie of zal” zal zijn voor de lndonesiers end at de tookomstige lndonesische cu/tuur zijn uitdrukking in die tao/ vinden).
Pidato Yamin, yang merupakan pidato terpanjang dalam kongres itu, sempat diteliti terlebih dahulu
oleh tiga orang panitia, yaitu Sanusi Pane, Djamaluddin, dan Tabrani. Ketiga orang itu setuju terhadap
isinya, sehingga materi pidato tidak mengalami perubahan. Dalam rapat panitia perumus kemudian, Yamin diikutsertakan karena pidatonya menjadi salah satu yang dibicarakan. Yamin pun diberi tugas
menyusun usul resolusi (konsep perumusan) yang akan dimajukan pada sidang umum kongres sekitar
satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Dalam rapat itu Sanusi Pane terlambat datang sehingga rapat
hanya diikuti oleh tiga orang, yaitu Yamin, Tabrani, dan Djamaluddin. Adapun konsep yang dihasilkan
oleh Yamin sebagai berikut:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe.
Terhadap butir satu dan dua Tabrani setuju, namun tidak bisa menerima rumusan butir ketiga. Menurut
jalan pikirannya, kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia maka bahasa persatuannya harus
disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu. Yamin tersinggung dan naik pitam mendengar perkataan Tabrani. “Tabrani menyetujui seluruh pikiran saya, tetapi kenapa menolak usul resolusi saya. Lagi pula yang ada bahasa Melayu, sedang bahasa Indonesia tidak ada. Tabrani tukang ngelamun.” Sindiran Yamin dijawab oleh Tabrani, “Alasanmu Yamin betul dan kuat. Maklum lebih paham tentang bahasa daripada saya, namun saya tetap pada pendirian. Nama bahasa persatuan hendaknya bukan Bahasa Melayu, tapi Bahasa Indonesia. Kalau belum ada harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini.” Djamaluddin Adinegoro condong kepada pendapat Yamin yang melihat realita waktu itu memang tidak ada Bahasa Indonesia. Kedudukan itu, jika diibaratkan main sepakbola, pada babak pertama adalah 2-1 untuk Yamin. Setelah Sanusi Pane muncul, kedudukan berubah menjadi 2-2 karena Sanusi Pane sependapat dengan Tabrani. Tabrani selaku Ketua Panitia Kongres kemudian mengambil keputusan menunda pembacaan rumusan hasil kongres, yang untuk sementara waktu diberi judul “lkrar Pemuda”. Tabrani memberi kesempatan kepada Yamin menggodoknya lagi untuk dibawa ke Kongres Pemuda yang akan datang atau Kongres Pemuda II. Kepercayaan yang diberikan Tabrani memang tidak disia-siakan oleh Yamin. Pada Kongres Pemuda II yang diselenggarakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di Jakarta, Yamin berbisik kepada Sugondo Djojopuspito, “ik he been eleganter formulering voor der resolutie” (saya punya rumusan resolusi yang luwes) sambil menyodorkan secarik kertas. Kertas itu pun berpindah tangan. Setelah memeriksanya Sugondo pun mengangguk dan membubuhkan parafnya, lalu mempersilakan Yamin memberi penjelasan kepada para peserta kongres sebelum disahkan menjadi keputusan kongres.mTernyata Sugondo selaku Ketua Panitia Kongres Pemuda II tidak membawa resolusi “lkrar Pemuda” itu ke dalam rapat panitia, melainkan langsung di bawa ke dalam sidang plene atau sidang umum.
Resolusi yang diparaf Sugondo ternyata “lkrar Pemuda”, yang mencantumkan bahasa persatuan adalah
Bahasa Indonesia. Judul resolusi pun berubah: tidak lagi “lkrar Pemuda” melainkan “Sumpah Pemuda”,
yang secara bulat diterima peserta kongres sebagai keputusan Kongres Pemuda II . lnilah salah satu
kebesaran jiwa dan jasa Muhammad Yamin. Meskipun Tabrani dituduhnya sebagai tukang ngelamun ,
namun ia dapat menerima argumentasi yang diakuinya memang benar, karena pada dasarnya Indonesia
sebagai nusa dan Indonesia sebagai bangsa pun asalnya tidak ada. Nama Indonesia sebagai bangsa dan
tanah air atau nusa baru muncul pada dasawarsa kedua abad ke-20, yang diperkenalkan oleh para
aktivis pergerakannasional. Seperti telah disinggung di atas, setelah berhasil meraih gelar Meester in de Rechten Yamin sempat bekerja sesuai dengan ijazah bidang hukum di Jakarta sampai tahun 1942. Pad a tahun yang sama ia tercatat sebagai anggota Partindo yang didirikan oleh Sartono setelah membubarkan PN I pad a bulan April 1931 .
Ada yang berpandapat bahwa pembubaran PNI sebagai strategi untuk menghindari aksi penangkapan
polisi Belanda terhadap para anggota PNI yang dianggap hendak melakukan pemberontakan. Yamin
ikut bergabung menjadi anggota Partindo karena menganggap memiliki pandangan yang sama dalam
taktik nonkoperatif alias tak mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Akibat politik yang
dianut, aktivitas Partindo mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Hindia Belanda. Polisi rajin
merazia pertemuan-pertemuan Partindo sampai akhirnya pada November 1936 pimpinan Partindo
terpaksa membubarkan partai itu . Setelah Partindo bubar Yamin bersama Adnan Kapau Gani, Wilopo, Adam Malik, A.K. Gani, dan Amir Sjarifoeddin mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Partai
ini dipimpin oleh A.K.Gani.
Politik yang ditempuh sama seperti PNI dan Partindo, yaitu politik nonkooperatif. Namun karena diawasi terus-menerus oleh pemerintah Belanda, akhirnya Gerindo menempuh politik yang sebaliknya, yaitu koperatif. Meskipun demikian Gerindo tetap tidak mempunyai wakil di Volksraad karena selalu dikalahkan oleh partai lain. Hal ini dirasakan kurang menguntungkan bagi Yamin yang rupanya juga ingin menjadi anggota Volksraad. Rupanya Yamin belum kapok bermain politik radikal.
Yamin memutar otak mencari jalan untuk menjadi anggota Volksraad tanpa harus melalui partainya,
Gerindo. Ia tahu bahwa untuk menjadi anggota Volksraad harus ada yang mengusulkannya. Para
pengusul itu antara lain kelompok sosial atau politik yang telah mendapat pengesahan status hukumnya
dari pemerintah, dewan kota, dewan kabupaten/afedeling, dan dewan adat. Ia tahu bahwa semua
jenis dewan itu terdapat di Sumatera Barat. Oleh karena itu kalau ingin menjadi anggota Volksraad
tanpa menggunakan jalur partai politik ia harus kembali ke Padang atau Bukittinggi dan masuk menjadi
anggota salah satu dewan yang ada: Dewan Adat atau Dewan Kota. Namun masalahnya pemerintah
tidak mengizinkan Yamin kembali ke Padang karena ia sudah dicap sebagai orang merah (kiri atau
komunis). Label merah antara lain karena sikap nonkoperatifnya serta kedekatan dengan beberapa
tokoh sosialis-komunis Wikana dan, terutama, Chaerul Saleh.
Yamin tidak kehabisan akal dalam menghadapi kebijakan pemerintah. Ia menggunakan kemampuannya
dalam hal tulis-menulis. Ia rajin mengirimkan artikelnya ke beberapa media massa yang terbit di
Sumatera Barat dan dikenal oleh masyarakat Minang. Akhirnya, yang dicita-citakan pun berhasil. Pada
tahun 1939 ia terpilih menjadi anggota Volksraad. Pimpinan Gerindo marah kepada Yamin karena
menjadi anggota Volksraad bukan sebagai wakil partai itu . Ia diultimatum memilih antara tetap menjadi
anggota Gerindo yang berarti harus berhenti menjadi anggota Volksraad atau tetap menjadi anggota
Volksraad yang berarti keluar dari partai. Ternyata Yamin memilih yang terakhir, yakni tetap menjadi
anggota Volksraad. Akibatnya ia dikeluarkan dari Gerindo. Yamin tidak peduli; malah ia mendirikan
partai baru, yakni Partai Persatuan Indonesia (Parpindo). Partai ini tidak pernah menjadi besar karena
dari segi keanggotaannya juga tidak meyakinkan. Hanya sedikit kaum terpelajar yang ikut bergabung kedalamnya, sehingga eksistensinya nyaris tidak diakui dalam sejarah perjuangan bangsa. Sewaktu Jepang menduduki kepulauan Indonesia, partai ini dibubarkan oleh Jepang seperti umumnya partai-partai kebangsaan yang ada waktu itu.
Pada masa pendudukan Jepang, Yamin bergabung dengan Bung Karno (Soekarno) dan Bung Hatta
(Mohammad Hatta) berkolaborasi dengan Pemerintah Pendudukan Jepang. Ia ikut menjadi anggota
badan propaganda bikinan Jepang, Poesat Tenaga Rakjat (Poetera); bahkan-menurut suatu sumber-ia
bekerja pula menjadi penasihat (sanyoo sendenbu) pada Departemen Propaganda (Sendenbu-Sendeka).
Ketika Pemerintah Pendudukan Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI-Dokuritsu Jumbi Cosakai) pada bulan Mei 1945 sebagai bagian dari realisasi janji
Perdana Menteri Koiso, Yamin termasuk salah satu yang diminta menjadi anggotanya.
Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara
Pribadi dan pengetahuan
Yamin rupanya menarik perhatian para aktivis pergerakan nasional yang lebih senior. Salah satu bukti dari kondisi ini terlihat sewaktu beberapa tokoh memperebutkan Yamin agar ikut bersama kelompoknya. Sewaktu Dr. Radjiman Wedyodiningrat membagi anggota BPUPKI ke dalam tiga panitia, yaitu “panita perancang”, “panitia keuangan”, dan “panitia pembelaan tanah air”, muncul protes ketika nama Muhammad Yamin masuk ke dalam kelompok Panitia Keuangan.
lr. Soekarno, yang ditunjuk sebagai ketua Panitia Hukum Dasar, mendadak bangkit memprotes, “Mohon
maaf supaya Tuan Yamin diberikan kepada kami. Sebab, kami anggap beliau salah satu ahli hukum yang
pikirannya perlu kami pakai.” Seorang anggota lainnya, Abikusno, meminta Yamin masuk ke Panitia
Pembelaan Tanah Air. Sementara Radjiman teguh dengan pendiriannya. Yamin juga marah dan menolak bergabung ke dalam Panitia Keuangan. Alasannya, “Karena kurang pengetahuan apa-apa,
jadi saya tak ada sumbangan buat panitia.” Radjiman tetap kukuh dengan
pendiriannya. Keputusan tidak dapat diubah lagi. “Sudah selesai,” katanya. Tapi Yamin tetap membantah
keputusan itu, “Saya tidak terima,” katanya. Soekarno berusaha membujuk Radjiman agar mengizinkan
Yamin pindah ke kelompok Panitia Hukum Dasar, antara lain dengan menugaskan Latuharhary membuat
surat kepada perwakilan Jepang, tetapi upaya ini pun tidak berhasil alias tetap ditolak. Yamin tetap di
Panitia Keuangan.U Walaupun secara formal masuk ke dalam kelompok Panitia Keuangan yang diketuai Mohammad Hatta, namun dalam buku Risalah Sidang Badon Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panittia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia menunjukkan Yamin banyak berperan dalam berbagai diskusi tentang dasar negara. Sewaktu Soekarno membacakan buah pikirannya
tentang “Pancasila”, Yamin juga ikut menghadirinya. Akhirnya Yamin masuk ke kelompok panitia yang sesuai dengan keahliannya di bidang hukum, yaitu menjadi anggota Panitia Kecil yang bertugas membahas dasar negara. Panitia Kecil inilah yang pada 22 Juni 1945 membuahkan hasil yang sekaligus juga mengundang “kontroversi”, yaitu Piagam Jakarta.
Jika pada masa persidangan BPUPKI dan PPKI Yamin masih sejalan dengan pemikiran Soekarno
dan Hatta dalam membangun bangsa dan negara Indonesia, tidak demikian halnya setelah Indonesia
merdeka. Pada bulan-bulan awal pemerintah Republik Indonesia (RI), Yamin berada dalam posisi
berseberangan dengan Soekarno-Hatta.
Ia bergabung dengan Tan Malaka membentuk kelompok yang menamakan dirinya “Persatuan Perjuangan” (PP). Sebagai catatan, kelompok ini mempunyai minimum program yang harus diupayakan
sebelum melakukan perundingan dengan pihak Sekutu (AFNEI-A//ied Forces Netherland East lndie) dan NICA (Netherland lndie Civil Administration), yaitu pengakuan atas Rl I 00% merdeka. Jika ketentuan itu tidak dipenuhi oleh Sekutu atau NICA, maka tidak ada lagi perundingan. Pendirian inilah yang membuat Yamin juga ikut di dalamnya sebagai kekuatan oposisi terhadap pemerintahan Perdana Menteri Syahrir.
Untuk mematahkan kekuatan PP, pemerintahan Syahrir menangkap dan memenjarakan Tan Malaka
sejak bulan Maret 1946. Namun kekuatan PP tidak dapat dipatahkan dengan cara memenjarakan
ketuanya atau tokohnya. Kelompok itu terus bergerak sampai akhirnya terjadi ” Peristiwa 3 Juli”.
Pada pagi hari itu Jenderal Mayor R.P. Soedarsono (yang bersimpati kepada PP) bersama beberapa
anggota PP mendatangi Soekarno dan Hatta di lstana Keraton Yogyakarta yang pada masa itu
menjadi istana kepresidenan. Mereka datang dengan membawa empat maklumat (yaitu maklumat
No. 2, No. 3, No, 4; dan No. 5) untuk segera ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Konsep
atau rumusan maklumat itu disusun oleh Yamin dengan bantuan Ahmad Subardjo dan Chaerul
Saleh. Inti keempat maklumat itu adalah Presiden membubarkan Kabinet Syahrir serta menyatakan
apabila Presiden Soekarno dan Hatta berhalangan, maka pimpinan nasional diserahkan kepada Tan
Malaka dengan tokoh-tokoh PP sebagai menteri-menterinya, seperti Boeddhyarto sebagai Menteri
Dalam Negeri, Ahmad Soebardjo sebagai Menteri Luar Negeri, Soepomo sebagai Menteri Hukum,
A.A. Maramis sebagai Menteri Kesehatan, dan Muhammad Yamin sebagai Menteri Penerangan dan
Komunikasi.
Ternyata perhitungan kelompok PP meleset. Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman juga hadir di
Keraton Yogyakarta mendampingi Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Akhirnya Sudarsono
dan kawan-kawannya ditangkap. Pernyataan resmi Pemerintah Rl tentang peristiwa 3 Juli adalah
upaya makar Tan Malaka dkk. Namun Muhammad Yamin dalam pledoi pembelaannya (dibukukan
dengan judul Sapta Darma, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1950) menolak semua tuduhan
itu . Alasannya, maklumat yang mereka susun justru untuk memperkuat perjuangan dan memperkuat
pemerintahan. Tuduhan yang menyebutkan Tan Malaka sebagai dalang yang merencanakan makar
juga berlebihan. Bagaimana mungkin Tan Malaka yang dipenjara sejak bulan Maret 1946, terpisah
dari para pendukung dan simpatisannya, mampu merencanakan semuanya itu.
Sebagai konsekuensi keterlibatannya dalam Peristiwa 3 Juli Yamin harus mendekam dalam penjara selama dua tahun.Kemudian perkaranya diajukan ke Mahkamah Agung. Masa penahanannya justru bertambah menjadi empat tahun. Pada tahun 1948 Yamin kembali menghirup udara kebebasan karena pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1948 ia mendapat grasi yang membebaskan dirinya dari penjara. Setahun setelah pembebasannya, ia diangkat sebagai penasihat delegasi Rl ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Baca Juga : Ki Sarmidi Mangunsarkoro
JEJAK DALAM JABATAN PEMERINTAH/NEGARA
- Menteri Kehakiman
- Sesudah KMB, Yamin diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun tidak terlalu lamabkarena pada 27 April 1951 ia diangkat menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Sukiman Suwiryo. Sebagai pejabat kehakiman lagi-lagi ia membuat blunder. Kedekatannya dengan Chaerul Saleh mendorong ia membuat keputusan membebaskan para tahanan politik eksponen Laskar Bambu Runcing dan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR), yang salah satu eksponennya adalah Chairul Saleh. Kedua organisasi ini pada perang kemerdekaan dikenal penganut garis keras yang 100% Indonesia merdeka dan berkiblat pada Tan Malaka. Konsekuensi dari tindakan itu Yamin mendapat kecaman keras dari berbagai kalangan sipil, oposisi, serta media massa yang tidak sehaluan dengan garis politik Tan Malaka Murba. Rasa setiakawan Yamin pada Chairul Saleh rupanya lebih penting ketimbang jabatan. Ketika kabinet Sukiman-Suwiryo dilanda krisis akibat keputusan Yamin, maka Yamin pun merasa lebih baik mengundurkan diri daripada mengorbankan setiakawannya dengan Chairul Saleh. Pada 14 Juni 1951 ia mengundurkan diri dari Menteri Kehakiman. Untuk sementara Menteri Kehakiman dirangkap oleh Menteri Negara Urusan Umum A. Pellaupessy.
- Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
- Pada bulan Juli 1953 Muhammad Yamin kembali menjadi seorang menteri, yakni Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kabinet Ali terbentuk berdasarkan Keputusan Presiden Rl Nomor 132 Tahun 1953 tertanggal 30 Juli 1953 . Yamin diangkat menjadi menteri sebagai tokoh nonpartai, walaupun banyak yang menilai dia tetap tokoh aliran kiri. Seperti telah disinggung sebelumnya, Yamin mempunyai perhatian dan kecintaan yang besar terhadap kebudayaan Jawa. Kecintaannya itu tercermin antara lain dari beberapa karyanya, seperti Kalau DewaTara Sudah Berkata (1932) , Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Sedjarah Peperangan Dipanegara (1945), dan Gadjah Mada (1945). Karena kecintaan itu pula ia belajar bahasa Sansakerta dan huruf Palawa agar mampu pula membaca sumber data seperti prasasti yang bertuliskan huruf Palawa dan bahasa Sansakerta. Meskipun demikian,
bagi beberapa pihak, kecintaan itu tidak sejajar dengan partisifasi atau sumbangan
langsung terhadap satu proses pemeliharaan kebudayaan. Hal ini antara lain tercermin
dalam peristiwa pembuatan prasasti tanda selesainya restorasi candi utama Prambanan. Dalam
prasasti itu tercantum kalimat: “Proses pemugaran di bawah pimpinan Yang Terhomat Menteri PP dan K Muhammad Yamin”. Pencantuman nama Yamin dalam prasasti itu ditentang keras oleh Kepala Jawatan Purbakala Soekmono karena Yamin dianggap tidak mempunyai sumbangan apa-apa dalam proses pemugaran. Oleh karena itu, setelah Yamin lengser dari jabatan Menteri PP dan K, Soekmono mendesak agar prasasti itu dibongkar. Akhirnya dengan restu pemerintah, prasasti pun dibongkar.
Terlepas dari peristiwa kontroversi, selama menjadi Menteri PP dan K Yamin juga memberi sumbangsih besar terhadap pelestarian kebudayaan. Salah satu sumbangannya adalah menjalin kerjasama dengan Negeri Belanda dan beberapa negara Eropa terkait pengembalian benda-benda bersejarah dan benda benda budaya lain yang pada masa lalu dijarah oleh kekuatan kolonialis Belanda dan bangsa Barat. Dari proyek kerjasama ini terdapat sekitar 1. 151 benda bersejarah dan bernilai budaya yang tersimpan pada beberapa museum Belanda dapat dikembalikan ke Indonesia dan sekitar 31 benda bersejarah lain dari Jerman, Denmark, dan Belgia. Beberapa tahun kemudian beberapa benda bernilai sejarah juga dapat kembali ke Indonesia, antara lain tengkorak Sangiran, kropak Negara Kretagama, patung asli
Pradnyaparamitha, serta berbagai naskah Melayu, Jawa, dan Madura. Selain di bidang kebudayaan, Yamin juga melakukan beberapa gebrakan di bidang pendidikan dan
pengajaran. Untuk menanggulangi kurangnya tenaga pengajar Yamin menerbitkan kebijakan tentang pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru. Kelak perguruan ini berubah menjadi lnstitut Keguruan llmu Pendidikan (IKIP), yang pada era reformasi berubah menjadi universitas, misalnya IKIP Jakarta berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan IKIP Bandung menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Menurut Sutrisno Kutoyo, institut keguruan ini merupakan karya besar Yamin. Perguruan tinggi pendidikan guru pertama kali didirikan di Sumatera Barat, tepatnya di Batusangkar, ibukota Tanah Datar, yang terletak tidak terlalu jauh dari Sawahlunto, kota kelahiran Yamin. Perguruan ini diresmikan pada tanggal I September 1954 oleh Yamin. Pada tahun-tahun awal perkuliahannya perguruan ini memanfaatkan bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang berada di komplek Benteng
Van Der Capellen di dataran tinggi Jorong Kampung Baru, Nagari Baringin, Tanah Datar. Sebulan kemudian perguruan tinggi sejenis didirikan pula di Bandung, Jawa Barat, dan kemudian menyusul di Malang, Jawa Timur. Secara keseluruhan pada masa itu berdiri 18 perguruan tinggi seperti itu di berbagai kota besar Indonesia.
Kepada setiap pengelola perguruan tinggi tersebut Yamin meminta agar tidak segan mengundang dosen dari luar negeri untuk mengisi bidang-bidang yang keahliannya sangat diperlukan dan relevan dengan tujuan pendidikan guru; bahkan Yamin sendiri terjun langsung menjadi salah satu tenaga dosen luar biasa atau dosen terbang di beberapa perguruan tinggi daerah. Alasannya, pusat-pusat kegiatan intelektual harus ada pula di daerah .dan tidak menumpuk di Jakarta atau di kota-kota besar Jawa saja.
Sebagai Menteri PP dan K ia memberi dukungan kepada para pemuda yang hendak belajar di luar negeri. Salah satu pemuda yang pada waktu itu ingin belajar ke luar negeri adalah Bacharuddin Jusuf Habibie. Ketika tahu bahwa Habibie mendapat bea siswa untuk belajar
di Jerman, Yamin memberi masukan agar memilih jurusan konstruksi pesawat terbang. Dalam menyampaikan saran itu Yamin mengelus-elus kepala Habibie sambil berkata, “Kamu ini harapan bangsa.”; padahal kala itu banyak ternan seangkatan Habibie yang belajar di Jerman memilih jurusan perkapalan. Rupanya di kemudian hari terungkap saran itu dikuti oleh Habibie.
Yamin juga memberi penghargaan kepada para pelajar yang ikut berjuang mempertahankan
kemerdekaan dalam bentuk bea siswa dan ikatan dinas untuk bekerja pada kantor-kantor pemerintah, walaupun dalam praktiknya tidak semua pelajar dapat menikmatinya karena anggaran yang relatif terbatas. Menurut Restu Gunawan, penulis buku Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, Yamin juga menggulirkan gagasan agar perlu diadakan pembebasan uang belajar bagi masyarakat tidak mampu. Pada bulan Agustus 1955 Yamin harus meletakkan jabatan sebagai Menteri PP danK karena Kabinet Ali terpaksa meletakkan jabatan pula akibat mosi tidak percaya, terutama karena kaitannya dengan situasi politik di luar Jawa. Tidak semua program Yamin dapat terwujud. Salah satunya adalah mendirikan universitas di Irian Barat (sekarang Papua) serta program I 0 tahun pemberantasan buta huruf sebagaimana dikehendaki
Bung Karno. Setelah berhenti dari jabatan Menteri PP dan K Yamin sempat bebas dari jabatan negara atau kenegaraan sampai akhirnya diangkat kembali menjadi menteri pada Kabinet Kerja I yang dibentuk Presiden Soekarno pasca bubarnya Kabinet Djuanda. Namun Yamin tidak terlalu lama menjadi Menteri Urusan Sosial dan Kebudayaan karena sejak tanggal 30 Juli 1959 jabatan ini dihapuskan. Mohammad Yamin kemudian diangkat menjadi Ketua/Menteri Negara Dewan Perencanaan Nasional; padahal sebelumnya ia juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawasan IKBN-Antara sejak tahun 1961. Kedua jabatan yang disebut terakhir dilepas juga karen a pad a tahun 1962 terjadi reshuffle kabinet. Yamin diangkat menjadi Wakil Menteri Pertama/Koordinator Khusus sekaligus merangkap menjadi Menteri Penerangan. Ternyata jabatan ini merupakan jabatan terakhir dalam lingkungan birokrasi pemerintah yang dijabatnya, sebab pada sore hari tanggal 17 Oktober 1962 Yamin meninggal dalam usia 59 tahun,
sekitar satu jam setelah putranya, Dang Rahadian Sinayangsi h Yamin, datang menjenguknya.
- Pada bulan Juli 1953 Muhammad Yamin kembali menjadi seorang menteri, yakni Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kabinet Ali terbentuk berdasarkan Keputusan Presiden Rl Nomor 132 Tahun 1953 tertanggal 30 Juli 1953 . Yamin diangkat menjadi menteri sebagai tokoh nonpartai, walaupun banyak yang menilai dia tetap tokoh aliran kiri. Seperti telah disinggung sebelumnya, Yamin mempunyai perhatian dan kecintaan yang besar terhadap kebudayaan Jawa. Kecintaannya itu tercermin antara lain dari beberapa karyanya, seperti Kalau DewaTara Sudah Berkata (1932) , Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Sedjarah Peperangan Dipanegara (1945), dan Gadjah Mada (1945). Karena kecintaan itu pula ia belajar bahasa Sansakerta dan huruf Palawa agar mampu pula membaca sumber data seperti prasasti yang bertuliskan huruf Palawa dan bahasa Sansakerta. Meskipun demikian,
Atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, Muhammad Yamin mendapat beberapa penghargaan,
antara lain sebagai berikut:
- Gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden Rl No. 088/TK/1973.
- Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Pataka Komando Cadangan
Strategi Angkatan Darat. - Bintang Mahaputra Rl, tanda penghargaan tertinggi dari Presiden Rl atas jasa-jasanya pada
nusa dan bangsa. - Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca
Darma Corps.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Muhammad Yamin (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955) […]