Suatu hari, seorang pria datang menghadap seorang Bijak. Ia tampak tertekan, penuh penyesalan, dan mengungkapkan kesedihannya. “Guru, saya memiliki banyak dosa. Saya telah memfitnah, membohongi, dan menggosipkan orang lain dengan hal-hal buruk. Sekarang saya menyesal dan ingin memohon maaf, baik lahir maupun batin. Bagaimana caranya agar Tuhan mengampuni semua kesalahan saya?”
Sang Bijak mendengarkan dengan tenang, kemudian berkata, “Ambillah bantal di tempat tidurku, bawa ke alun-alun kota. Di sana, bukalah bantal itu hingga bulu-bulu ayam dan kapas di dalamnya keluar dan beterbangan tertiup angin. Itulah bentuk hukuman atas kata-kata jahat yang telah keluar dari mulutmu.”
Walaupun kebingungan, pria itu memutuskan untuk mengikuti perintah sang Bijak. Ia membawa bantal tersebut ke alun-alun kota dan, seperti yang diminta, ia membuka bantal itu. Dalam sekejap, bulu-bulu ayam dan kapas terbang bertebaran dibawa angin, menyebar ke segala arah.
Baca Juga : Ketakutan Akan kegagalan
Setelah itu, pria itu kembali menghadap sang Bijak dan berkata, “Saya telah melakukan apa yang guru perintahkan. Apakah kini saya sudah diampuni?”
Sang Bijak menggelengkan kepalanya dan berkata dengan penuh kebijaksanaan, “Kamu belum memperoleh pengampunan. Kamu baru menjalankan separuh tugasmu. Sekarang, kembalilah ke alun-alun dan pungutlah kembali bulu-bulu ayam yang tadi beterbangan tertiup angin.”
Pria itu tercengang dan berkata, “Guru, itu mustahil! Angin telah membawa bulu-bulu itu jauh. Saya tidak bisa memungutnya kembali.”
Sang Bijak tersenyum dan berkata dengan lembut, “Begitulah kata-kata yang keluar dari mulutmu. Sekali terucap, ia akan tersebar ke seluruh penjuru dunia, tidak mungkin dapat dikembalikan lagi. Seperti bulu-bulu itu yang terbang terbawa angin, kata-kata yang jahat dan menyakitkan pun tidak bisa ditarik kembali. Walaupun kamu menyesal dan meminta maaf, luka yang ditimbulkan oleh kata-kata itu tetap ada, dan dampaknya tetap terasa.”
Pria itu merenung sejenak, merasa dalam hatinya betapa sulitnya menghapus jejak-jejak yang telah ditinggalkan kata-kata yang ia ucapkan. Sang Bijak melanjutkan, “Dengan pengertian ini, belajarlah untuk lebih berhati-hati dengan setiap kata yang keluar dari mulutmu. Kata-kata adalah pisau yang bisa menyembuhkan atau melukai. Oleh karena itu, berhati-hatilah sebelum mengucapkannya, karena sekali keluar, ia tak bisa kembali.”
Pria itu akhirnya menyadari pelajaran berharga yang diberikan oleh sang Bijak. Ia belajar bahwa kata-kata, meskipun kita menyesalinya, tetap meninggalkan bekas di hati orang lain. Oleh karena itu, ia berjanji untuk lebih bijak dalam berkata-kata dan lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan orang lain.