Mohammad Sanusi Hardjadinata

Menteri Pendidikan Masa Jabatan 11 Oktober 1967 – 6 Juni 1968

Mohammad Sanusi Hardjadinata adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (RI) dalam Kabinet Ampera pada masa awal Orde Baru, menggantikan Dr. Sarine Mangunpranoto. Ia
menjabat selama I tahun, terhitung mulai II Oktober 1967 hingga 6 Juni 1968.

RIWAYAT HIDUP
Sanusi anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. Ia lahir di Desa Cinta Manik, Kecamatan Sukaweni, Kabupaten Garut, pada tangga124 Juni 1914. Ayahnya bernama Winatadidjaja, seorang kepala desa. Dari pernikahan ayah dengan ibu kandungnya, Taswi, ia memiliki dua saudari kandung, yaitu Siti Atika dan Siti Dohaya; sementara dari pernikahan ayahnya dengan Fatimah ia memiliki seorang saudari, Siti Naga. Pada tahun 1922, saat umurnya delapan tahun, Sanusi bersekolah di Sekolah Rakyat (Vervolgschool) di Sukamanah, Boger. Beberapa tahun kemudian ia pindah ke Holland lndische School (HIS) di Garut. Pada tahun 1930, setelah menyelesaikan pendidikan di HIS, ia melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara sekolah menengah pertama), dan kemudian ke Holland ln/andsche Kweekschool (HIK), sekolah pendidikan guru di Tasikmalaya, dan lulus pada tahun 1936.
Setamat dari HIK, Sanusi bekerja sebagai guru di HIS Muhammadiyah di Jl. Kramat, Jakarta. Ia memperoleh gaji sebesar f 25 per bulan. Setelah setahun mengabdi di HIS Muhammadiyah Jakarta,
ia pindah ke Muara Dua, Palembang, dan menjabat sebagai kepala sekolah HIS di kota itu . Meski mendapatkan penghasilan yang lebih besar, kehidupan Sanusi di Palembang tidak bertahan lama
karena ia mengidap penyakit kulit yang susah disembuhkan. Pada tahun 1938 ia memutuskan kembali ke Bandung dan mengajar di Perguruan Pasundan, Sukabumi, Jawa Barat. Ia baru sebentar mengajar ketika Pemerintah Balatentara Jepang membubarkan sekolah Perguruan Pasundan. Kariernya sebagai guru pun terhenti. Ia menjadi wiraswasta dan merintis usaha kecil-kecilan, seperti berjualan bakso dan membuka warung kelontong, untuk menghidupi diri dan keluarganya. Pada tahun-tahun tidak menentu itu Sanusi bahkan memulai babak rumah tangga dalam kehidupannya. Dari pernikahannya ia dianugerahi delapan orang anak, yaitu Sulaiman, Jopi Suhartiwi, Jopi Suhartini, Tati Suhartini, Kiki Suharti, lne Suhartinah, Suharlina, dan Suhartika.


KARIER Dl BIDANG PEMERINTAHAN
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjadi halaman baru bagi Sanusi. Setelah berbakti di dunia pendidikan sebagai guru, ia mulai kiprah di bidang politik. Ia terpilih menjadi anggota Komite NasionalnIndonesia (KNI) cabang Parahiyangan. Di saat yang sama ia juga aktif dalam organisasi perjuangan Barisan Banteng. Berkat pengalamannya sebagai guru dan aktivitasnya di KNI Parahiyangan pada tahun 1946 Sanusi diangkat menjadi Asisten Residen Garut. Saat Bandung dan kota-kota lain di Jawa Barat diduduki Belanda, Sanusi terjun dalam perjuangan gerilya. Pada tahun 1948 Sanusi ditangkap oleh Belanda. Setelah itu ia pindah ke Jawa Tengah lalu ke Jawa Timur. Di Jawa Timur Sanusi menjadi Pembantu Residen Madiun yang saat itu dijabat oleh Samadikun. Salah satu tugas sebagai pembantu
residen adalah membenahi pemerintahan sipil yang kacau akibat Peristiwa Madiun. Seusai menjadi Pembantu Residen Madiun, Sanusi pindah ke Magetan dan di kota ini ia menjadi Pejabat Bupati Magetan. Pada saat itu terjadi Agresi Militer Belanda II. Sanusi ditangkap Belanda dan kemudian ditahan di Surabaya. Ia baru dibebaskan dan dapat kembali ke Bandung setelah Indonesia dan Belanda mencapai kesepakatan dalam Persetujuan Roem-Royen, yakni membentuk Republik Indonesia Serikat
(RIS) pada tanggal 27 Desember 1949, dan Sanusi menjadi anggota Komisariat RIS. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Sanusi diangkat menjadi Residen Priangan. pada tanggal 7 Juli 1951 , ia diangkat menjadi Gubernur Jawa Barat. Setahun berikutnya, menggantikan R. Mas Sewaka. Ia menjabat gubernur hingga tahun 1956 dan digantikan oleh lpik Gandamana. Saat menjabat sebagai gubernur Jawa Barat Sanusi terlibat dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA). Ia menjadi Ketua Panitia Lokal KAA dengan tugas menyiapkan Bandung menyambut 24 pimpinan negara Asia Afrika. Setelah itu, pada tanggal 9 April 1957, ia diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri di bawah Kabinet Djuanda hingga tanggal 10 Juli 1959.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden dan oleh sebab itu Kabinet
Djuanda dibubarkan. Meskipun demikian karier politik Sanusi tidak terhenti. Oleh pemerintahan Presiden Soekarno ia ditugaskan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Mesir dan ditempatkan diKairo
selama empat tahun, terhitung mulai tahun 1960 sampai 1964. Setelah tugas sebagai duta besar
selesai Sanusi kembali ke Indonesia dan menetap di Bandung. Tidak lama kemudian ia diangkat menjadi
Rektor Universitas Padjajaran yang ketiga. Namanya diabadikan menjadi nama salah satu gedung dalam
kompleks universitas ini, yaitu Graha Sanusi Hardjadinata.
Setelah masa pemerintahan Presiden Soekarno berakhir dan digantikan oleh Presiden Soeharto,
Sanusi kembali pada kiprahnya di bidang pendidikan setelah sebelumnya diangkat sebagai Menteri
Utama Bidang lndustri dan Pembangunan pada periode Kabinet Ampera I (1966-1967). Sanusi
mengamati bahwa kemunduranekonomi Indonesia pada periode tersebut disebabkan oleh kurangnya keselarasan antara kepentingan politik dan ekonomi, ketiadaan pengawasan yang efektif dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap kebijakan ekonomi pemerintah, dan diabaikannya prinsip-prinsip ekonomi yang rasional dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi. Oleh karena itu ia menyampaikan garis besar rencana kebijakan industri dan pembangunan {inbang). Untuk bidang industri Sanusi mengusulkan agar dilakukan peningkatan produksi dan investasi melalui peningkatan unit produksi yang telah ada dan sedang dalam pelaksanaan untuk mencapai kapasitas produksi yang maksimal;
meningkatkan produksi tekstil dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan sandang masyarakat dan memberikan perhatian pada produksi kerajinan rakyat;
meningkatkan kapasitas pertambangan dengan menarik modal asing dan memikirkan penggunaan tenaga ahli yang saat itu belum dapat dipenuhi oleh lndonesia;
meningkatkan infrastruktur sungai, bangunan, saluran pengairan, jalan, dan jembatan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan merangsang pertumbuhan ekonomi lainnya di masyarakat;
dan mengingatkan pentingnya keerdinasi kerja yang baik antara pusat dan daerah.
Ketika Kabinet Ampera I berakhir dan dilanjutkan Kabinet Ampera II Sanusi diangkat menjadi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Menteri P & K) menggantikan Dr. Sarine Mangunpranete. Selama
Kabinet Ampera I rumusan pemikiran untuk bidang pendidikan dan kebudayaan yang disusun eleh
Dr. Sarine tampak mendapat pengaruh kuat dari tekeh pendidikan dan pendiri Taman Siswa Ki Hadjar
Dewantara.

Sementara itu pengembangan bidang pendidikan dan kebudayaan dalam Kabinet Ampera II dirumuskan
dasar-dasar filosofis berikut:Tinggi rendah kebudayaan suatu bangsa dapat diukur dari sifat atau karakter bangsa itu sendiri. Begitu pula ukuran manusia sebagai individu dapat dilihat pada sifat atau karakter
kebudiannya. Usaha pendidikan tidak lain adalah memelihara individu menjadi pribadi yang tahu pada hak asasinya dengan menuntut adanya hak untuk mengatur diri sendiri dengan penuh tanggung jawab.
Pengakuan hak asasi pribadi dapat melahirkan prinsip demokrasi dalam pendidikan.
Pendemokratisasian akan berhasil bila pertumbuhan (growth) dalam diri individu tidak
dikekang, tetap bebas merdeka melalui kekuatan hidup yang dimiliki sejak manusia dilahirkan.
Hidup yang bebas tidak berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa batas. Oleh karena itu harus
ada sistem among, di mana individu dibina dan diarahkan dengan tut wuri handayani, artinya
mengarahkan dan memelihara pertumbuhan jiwa menurut saluran “Suci Tata” dan “Tertib
Damai”. Kesucian, ketaatan, dan kedamaian diukur berdasarkan kebudian serta keadaban dan
martabat bangsa itu sendiri. Adat istiadat suatu bangsa biasanya digunakan sebagai ukuran nilai kepribadian bangsa itu.
Akan tetapi, adat istiadat itu tidak bisa dipertahankan terus-menerus karena pada hakikatnya
hidup manusia selalu mengalami pertumbuhan dan perubahan.
Hidup atas dasar prinsip tri-kon (kontinu, konsentris, konvergen) dapat mengatur hubungan
kehidupan kebudayaan yang berkembang secacara universal. Dengan demikian terjadilah
hubungan antara suku-suku bangsa di Indonesia dan hubungan antara bangsa Indonesia dan
bangsa-bangsa lain. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk mengembangkan dan mengadakan perubahan agar tercapai suatu tujuan, baik untuk pribadi, untuk kepentingan bangsa, maupun untuk kepentingan dunia.
Pada tahun ketika Sanusi menjabat sebagai Menteri P&K dan selama tahun 1960-an pada umumnya
Indonesia yang dipimpin oleh pemerintahan Orde Baru menjadikan pembangunan sebagai tujuan.
Selain pembangunan infrastruktur, hal lain yang juga diperhatikan adalah bagaimana pembangunan
dapat dicapai dan apakah kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada di Indonesia selaras dengan proses pembangunan.Kabinet Ampera II menyebut “pendidikan adalah pembangunan” dan pokok-pokok
pemikirannya sebagai berikut:

Konsep pemikiran bahwa manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat saling
bergantung untuk mewujudkan suatu kehidupan yang melahirkan suatu usaha pendidikan
yang timbal balik. Pendidikan adalah suatu usaha memelihara setiap jiwa individu untuk tumbuh dan berubah baik bagi kebaikan dirinya maupun kebaikan bangsanya serta untuk kepentingan umat manusia.
Dengan adanya pendemokratisasian pendidikan dapat ditumbuhkan jiwa individu yang berkembang
tanpa terkekang, sehingga membuahkan hasil yang sesuai dengan bakat masing-masing.
Mendidik adalah usaha mengurangi sifat yang tidak baik (menipiskan) dan menambah
(menebalkan) sifat-sifat yang baik. lnilah yang disebut pendidikan untuk mempribadikan
seseorang, yaitu tahu harga diri, tidak merasa congkak tetapi juga tidak merasa rendah diri.
Usaha pendidikan tersebut di atas adalah suatu penerapan pembangunan mental melalui
prinsip demokrasi, di mana semua pihak merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Pembangunan mental yang dilengkapi dengan pembangunan spiritual mendorong manusia
kepada suatu kecerdasan yang tertuju kepada rasio. Kecerdasan membawa suatu rasionalitas
yang dapat menumbuhkan kreativitas di dalam daya pikir seseorang. Dengan demikian ia
dapat menghasilkan sesuatu.
Mendidik tidak hanya menanamkan jiwa demokrasi dan sosial terhadap sesama saja, tetapi
juga memberikan pengajaran guna kecerdasan otak seseorang.
Kecerdasan tidak mengarah ke intelektualisme, tetapi yang dapat melahirkan spirit sebagai
suatu kemampuan untuk menyelenggarakan pembangunan material. Pendidikan harus dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian sekolah, lalu masyarakat. Pendidikan dalam keluarga mula-mula ditekankan pada pendidikan mental, kemudian spiritual, akhirnya pendidikan material. Dalam lingkungan sekolah dimulai dari pendidikan spiritual, material dan kemudian pendidikan mental. Di lingkungan masyarakat arah pendidikan berjalan secara simultan, baik mental, spiritual, maupun material.
Pendidikan yang dimulai sejak di lingkungan keluarga dan dilanjutkan dengan tambahan pengajaran dengan sistem sekolah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang menghadapi pembangunan ekonomi dan penyempurnaan teknologi. Pendidikan yang dimulai sejak di lingkungan keluarga dan dilanjutkan dengan tambahan pengajaran dengan sistem sekolah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang menghadapi pembangunan ekonomi dan penyempurnaan teknologi.
Pendidikan harus menganut suatu falsafah bahwa manusia sendiri yang mengadakan (membangun) industri, perdagangan, transportasi, dan bukan ekonomi yang melahirkan manusia. Oleh karena itu mendidik harus diartikan memberi kemampuan untuk mengadakan sesuatu bagi keperluan hidup.
Pendidikan dengan sistem persekolahan secara prinsipil harus dibuah dari ‘theorie school’
menjadi ‘doe school’, artinya mengusahakan sifat vocational dari keilmuan yang bersifat teoretis.
Orientasi anak harus diubah dari kotasentris menjadi memakmurkan desa dengan industri
agraris. Desa merupakan ruang sekolah. Kurikulum harus ditinjau secara menyeluruh; harus diadakan sinkronisasi dari SD sampai Perguruan Tinggi. Karena keadaan geografi, sosial, dan budaya, diperlukan diferensiasi dengan pembangunan daerah masing-masing. Di samping itu ada unit kurikulum dalam beberapa mata pelajaran pokok guna mencapai kesatuan bangsa seperti bahasa, sejarah, ilmu bumi dan civics. Untuk mencapai cita-cita pembangunan tersebut pemerintah juga merumuskan prasarana pendidikan berupa prinsip pokok yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Prinsip pokok itu terkandung dalam Mukadimah UUD 1945 yang tertulis dalam alinea terakhir. Susunan kata yang dirumuskan menjadi bagian pokok Mukadimah itu ialah suatu pernyataan spontan hasil cetusan jiwa dan nurani bangsa Indonesia. Ia lahir dari kancah penjajahan dan mencakup lima dasar prinsip hidup bangsa Indonesia.

Oleh Bung karno kelima dasar hidup tersebut diuraikan dalam lahirnya Pancasila dan dirumuskan
dengan istilah Pancasila. Mengenai penerapan pendidikan Pancasila dijelaskan bahwa manusia dapat
menghitung dengan kekuatan pikir (otak) akan tetapi dapat pula mengukur sesuatu dengan perasaan. Di samping pikiran dan perasaan, manusia memerlukan alat kelengkapan jasmanisah yaitu daya dan
gaya. Dengan demikian mendidik berarti mengembangkan akal, rasa, dan membuahkannya dalam tindak tanduk.
Berdasarkan rumusan Kabinet Ampera II tersebut penerapan pendidikan Pancasila harus dilakukan
dengan menggunakan akal dan rasa sehingga menghasilkan perilaku yang baik. Pancasila bukanlah
suatu benda khasiat yang dapat diberi secara serah terima (overgrave-overname) seperti barang-barang
inventaris, melainkan suatu prinsip hidup bangsa Indonesia berupa kebudayaan yang harus diwariskan
kepada generasi selanjutnya melalui pendidikan. Penerapan Pancasila dengan baik dilakukan melalui
beberapa sarana, seperti pendidikan agama, pendidikan perikemanusiaan, pendidikan kesatuan bangsa,
pendidikan kerakyatan atas dasar musyawarah, dan pendidikan sosial bagi seluruh rakyat lndonesia.
Pendidikan Pancasila dilaksanakan melalui tingkatan-tingkatan umur dan tiga sentra pendidikan.
Materi Pancasila yang merupakan kelima unsur kepribadian bangsa Indonesia dengan alat pikir sudah
dapat dijalankan dalam pelbagai mata pelajaran, misalnya cerita, membaca, ilmu bumi, sejarah, civics,
mengarang, dan bahasa. Agama diajarkan dalam dua bentuk, yaitu sebagai pembentuk mental yang dapat dilakukan bersama-sama dengan materi Pancasila. Materinya dapat dijalin dengan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut serta buku-buku bacaaan yang mengandung ajaran agama yang disebut pendidikan agama, sedangkan agar dapat menjalankan syariat-syariat agama menurut keyakinannya masing-masing perlu adanya pelajaran agama.
Semasa Kabinet Ampera II pemerintah, melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, membuat struktur persekolahan yang secara terperinci, meliputi persoalan sistem persekolahan, penyusunan kurikulum, pendidikan guru, fungsi lnstitut Keguruan dan llmu Pendidikan (IKIP), dan fungsi perguruan tinggi.
Untuk sistem persekolahan, jenjang pendidikan dasar dibagi menjadi tiga tingkatan dengan formula enam tahun, tiga tahun, dan tiga tahun. Enam tahun pertama dibagi menjadi dua tahap. Tiga tahun pertama dimanfaatkan untuk memberikan dasar pengembangan kecerdasan dengan lebih mempertajam panca indera dan tiga tahun kedua untuk memberikan persiapan guna memperluas pandangan. Pendidikannya tahap tiga tahun kemudian disesuaikan dengan permulaan kedewasaan anak.
Oleh karena masa ini merupakan transisi ke masa dewasa, maka pelajaran yang diberikan menekankan keterampilan dan kreativitas. Tiga tahun terakhir adalah periode dewasa untuk menginjak alam madya. Periode dewasa lebih tampak dalam merenung dari bertindak secara kongkret. Jiwa “strum und drang” mengalir pada alam fantasi yang menimbulkan sifat keberanian.
Oleh sebab itu anak harus dibawa dari alam fantasi ke alam nyata yang berhubungan dengan cita-cita pembangunan agar idealisme tidak mengarah pada cita-cita yang utopis.
Kurikulum pendidikan disesuaikan dengan penggolongan usia dan periode yang dibagi menjadi
Taman lndria (untuk anak umur 3-5 tahun), Taman Kanak-Kanak (6-9 tahun), Taman Muda
(9-12 tahun), Taman Dewasa (12-15 tahun), dan Taman Madya (15-18 tahun). Pada tingkat SMP (Taman
Dewasa) mulai digunakan alat-alat keterampilan (vocational), sedangkan pada tingkat SMA (Taman
Madya) kurikulum yang akan disusun adalah 60% untuk materi keterampilan (menjurus) dan 40%
untuk materi kecerdasan (spiritual). Lulusan SMA yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang
perguruan tinggi harus menempuh ujian persiapan selama satu tahun. Persiapan ini dibutuhkan sebab
perguruan tinggi diperuntukan bagi mereka yang mempunyai bakat keilmuan tinggi.
Untuk menyesuaikan sistem pendidikan ini negara perlu menyesuaikan pendidikan guru. Pendidikan
guru dibagi menjadi dua tingkat. Tingkat pertama berupa junior college selama setahun selepas lulus
SMA. Lulusanjuniorcollege dapat menjadi guru Taman Kanak-Kanak, Taman Muda, dan Taman Dewasa.
Apabila sistem ini tidak mencukupi jumlah guru yang dibutuhkan akan diadakan sistem kenaikan
bertingkat dari SGCI ke SGC2 ke SGA (atau dari SGLP ke SGLA), kejunior college, kemudian ke tingkat
kedua: colege. Kenaikan ini berjalan terus sehingga hanya akan ada satu macam guru saja, yaitu lulusan
college untuk seluruh pendidikan dasar dan menengah. Rumusan pendidikan Kabinet Ampera II juga menyangkut peran IKIP yang berfungsi sebagai penyelenggara college dan junior college, sehingga kurikulum I KIP akan disesuaikan agar dapat memenuhi fungsi tersebut. Sementara itu perguruan tinggi menjadi sumber inspirasi hidup kebudayaan nasional, pusat pendidikan rakyat untuk memodernisasikan kehidupan masyarakat, dan mengilmiahkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan hidup dan kehidupan bangsa dan umat manusia, meningkatkan keterampilan, mendidik kader pekerja riset, dan menyelenggarakan pendidikan desa untuk mencapai cita-cita pembangunan desa.
Fungsi dan tujuan perguruan tinggi telah diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1961. Berdasarkan undang-undang ini juga struktur perguruan tinggi dibagi berdasarkan zona. Zona daerah bertugas menyiapkan keterampilan dan kekuatan;
Zona nasional bertugas mendidik kader; zona regional bertugas menyelenggarakan riset; dan zona internasional bertugas menjaga keberlangsungan perguruan tinggi dan ikut serta dalam konferensi.
Pada jenjang perguruan tinggi dan IKIP akan diterapkan mata pelajaran wajib untuk semua jurusan,
yaitu (I) Filsafat Umum, dengan penekanan pad a etika, logika, dan metode; (2) Filsafat Pancasila
dengan rangkaian seni budaya bangsa Indonesia; (3) Filsafat pendidikan agama; pendidikan kewiraan
(aktivitas ekstrakulikuler); dan (4) Filsafat Ekonomi yang bukan berdasarkan ekonomi sosialis Marxis/
Leninis dan ekonomi kapitalis imperialis. Meskipun demikian bidang filsafat untuk IKIP ditekankan
pada Filsafat Pancasila dan psikologi umum serta psikologi khusus anak-anak dan psikologi masyarakat
desa di samping sosiologi desa, sebab IKIP diarahkan untuk memakmurkan desa dengan sistem
pendidikan desa.
Semua pokok pikiran pembaharuan pendidikan yang dikemukakan di atas kemudian dijadikan sebagai
dasar bagi penyusunan kebijaksanaan dalam pendidikan dan kebudayaan oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan pada masa Kabinet Ampera, khususnya bagi penyusunan Kurikulum 1968 yang dibuat
untuk mengganti Kurikulum


Dalam Kabinet Ampera II Sanusi hanya menjabat selama setahun (Oktober 1967- Juni 1968). Akan
tetapi dalam masa jabatan yang singkat ini ia berusaha meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
dan melakukan hal-hal sebagai berikut:

  • Memerintahkan Dirjen Pendidikan Tinggi (saat itu dijabat oleh Mashuri, S.H.) melengkapi fasilitas pendidikan I KIP dengan laboratorium untuk meningkatkan kualitas guru-guru yang lulus
    dari institusi ini.
  • Menerima gagasan salah satu anggota DPR Rl, Nyonya Walandouw, yang mengusulkan
    Undang-Undang/Peraturan Gaji Guru mengingat tugas dan tanggung jawab guru cukup
    besar.
  • Memerintahkan pembentukan Panitia Bersama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
    dan Departemen Agama agar pelaksanaan pelajaran agama dapat diatur dengan lebih baik
    agar cita-cita membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berilmu dapat
    tercapai.
  • Mengingatkan aparat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mengelola Sumbangan
    Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) agar melaksakanan tugas sesuai dengan asas keadilan .
  • Mendukung kehadiran organisasi mahasiswa karena organisasi semacam ini bermanfaat bagi
    perkembangan mahasiswa dan generasi muda.
  • Menghentikan pelaksanaan proyek pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
    yang menyimpang dari peraturan yang berlaku dan menyebabkan departemen ini mengalami
    defisit

KARIER Dl BIDANG POLITIK
Selain sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sanusi juga dikenal sebagai tokoh Partai Nasional
Indonesia yang pada tahun 1973 bersama Parkindo, partai Katolik, IPKI, dan Murba melebur menjadi bagian dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada tanggal20 Februari 1975 ia diangkat menjadi Ketua Umum PDI, menggantikan Mohamad lsnaeni, atas perintah Presiden Soeharto kepada beberapa anggota PDI seperti Abdul Madjid dan Sabam Sirait. Salah satu tugas yang dikerjakan oleh Sanusi pada tahun-tahun awal menjabat sebagai Ketua Umum PDI adalah mempersiapkan kongres I PDI di lstora Senayan pada pertengahan April tahun 1976.
Berdasarkan wawancara dengan Sabam Sirait, ada lebih kurang 1.500 orang dari 26 Dewan Pimpinan
Daerah (DPD) dari 260 cabang di seluruh Indonesia yang menghadiri kongres tersebut. Sanusi mengundurkan diri dari partai pada tanggal 16 Oktober 1980 karena menurutnya intervensi pemerintah (Orde Baru) sudah terlalu mendalam. Sanusi berpendapat bahwa pembentukan partai dari atas tidak akan menjadikan PDI sebagai partai yang baik yang dapat membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat dan hanya akan menjadi partai kerdil yang hanya untuk golongan tertentu serta tidak akan mengakar dengan massa. Setelah meninggalkan dunia politik, Sanusi menikah untuk kedua kalinya pada tahun 1987, saat umurnya 73 tahun. Ia menikah dengan Theodora Walandouw, anggota DPR yang mengusulkan peraturan untuk gaji guru ketika Sanusi menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Delapan tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 12 Desember 1995, Mohamad Sanusi Hardjadinata meninggal dunia pada umur 81 tahun.

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018


One thought on “Mohammad Sanusi Hardjadinata”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *