Mohammad Said Reksohadiprodjo

Menteri Pendidikan masa jabatan 27 Maret – 25 Juli 1966

PERGUMULAN DAN DINAMIKA KEHIDUPAN

Mohammad Said lahir di Purworejo pada hari Sabtu Pahing, 21 Januari 1917, dengan nama Bambang
Sonyo Sudarmo, berasal dari kalangan priyayi dan ulama. Kakeknya, Raden Tumenggung Reksodirdjo,
Bupati Semarang, yang dari garis ayah masih keturunan Kyaiageng Pandanaran, bupati Semarang
pertama sekaligus mubaligh Islam pertama keturunan Arab di Semarang. Dari garis keturunan ibu ,
ia cucu Surodiredjo, Bupati Batang, dan cicit Kyai Bustam Kertoboso I yang masih keturunan Arab
yang bernama lengkap Sayid Abdullah Muhammad Bustam bin Amir Husen AI ldris. Adapun neneknya
merupakan keturunan Mangkunegoro I dan Bupati Semarang, R.A.A. Suroadimenggolo 1.
Ayah Moh. Said bernama Raden Mas Reksohadiprodjo, Wedana Karanganyar. Ia memiliki tiga orang
istri. lstri pertama puteri bupati Purworejo, namun mereka tidak memiliki anak sehingga mengangkat
lso, anak kemenakannya, dan berharap segera mendapatkan keturunan.
Raden Mas Reksohadiprodjo menikah dengan Murtinem (ibu sepuh) , namun juga tidak dikaruniai anak. Raden Mas Reksohadiprodjo kemudian menikah dengan Surtiah (ibu nom) dan dikaruniai tujuh orang anak. Bersama Murtinem pun ia kemudian memiliki lima orang anak, dengan Moh. Said sebagai bungsu.
Di samping priyayi dan ulama, keluarga Moh. Said juga merupakan keluarga berpendidikan dan memiliki
jiwa nasionalisme. Cicitnya, Kyai Bustam Kertoboso I, memiliki kemampuan bahasa asing yang baik. Dengan jabatan yang dimilikinya sebagai Onder Regent (Pembantu Bupati), ia menjadi juru bahasa dalam hubungan diplomatik antara VOC dan Kerajaan Mataram. Adapun Raden Mas Reksohadiprodjo, ayah Moh. Said, memperoleh kesempatan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) hingga Hogere Burger School (HBS).’ Setelah lulus dari HBS ia diarahkan oleh ayahnya menjadi bupati. Pertama-tama ia menjadi wedana di Karanganyar, namun ia sering berselisih dengan Asisten Residen Karanganyar van der He I karena sikap Raden Mas Reksohadiprodjo yang menolak menindas para petani. Pada tahun 1912 ia dipecat dan memilih memberi pendidikan bagi masyarakyat pribumi dengan mendirikan Hollandse Cursus De Vooruitgang di rumahnya, Purworejo. Sekolah atau kursus pelajaran bahasa Belanda tersebut berkembang di kota-kota lain, seperti Kutoarjo, Solo, Klaten, dan Wonogiri; bahkan mendapat dukungan Mangkunegoro VII. Latar belakang keluarga berpengaruh banyak pada kehidupan Moh. Said. Ia dibesarkan di Purworejo saat ayahnya aktif memberi kursus bahasa Belanda. Moh. Said kecil dididik oleh ayahnya dengan pendidikan Islam , Jawa, Barat, serta nasionalisme dengan kuat.
Sebagai keturunan priyayi, Moh. Said dapat menikmati pendidikan yang setara dengan orang Eropa. Sekolah pertamanya ELS Purworejo. Ketika bersekolah ia aktif mengikuti organisasi kepanduan yang didirikan Budi Utomo. Pada umurnya yang ke 12 tahun, Moh. Said lulus ELS dengan nilai bahasa Belanda terbaik. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke HBS Semarang. Di Semarang ia tinggal bersama kakak angkatnya, Moh. lso, di Karang Tempel. Pada tahun 1934 Moh. Said lulus dengan nilai memuaskan di sekolah dengan sistem pendidikan yang sama dengan sekolah di Belanda tersebut.
Kemampuan bahasa Belanda yang sangat baik membuat guru bahasa Belandanya, Jeffrouw M.J. Francken, kagum dan memberi arahan dan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Moh. Said pun kemudian memilih bersekolah di sekolah tinggi kedokteran atau Geneeskundige Hogeschool (GHS) di Batavia pada tahun 1934. Di GHS ia mampu mengikuti pelajaran dengan sangat baik. Pada tahun ke tiga ia mengalami perdebatan ideologi dalam dirinya. Ia ingin menjadi manusia merdeka, tidak bergantung dan berhutang budi pada gurunya, Jeffrouw M.J . Francken. Oleh karena itu pada tahun 1937 ia memilih keluar dari GHS. Keluarga dan gurunya sangat kecewa terhadap keputusan Moh. Said. Dalam masa-masa pencarian diri ia bertemu Adnan Dipodiputro di rumah Singgih di daerah Sunter, Jakarta. Di situlah perjalanan Moh. Said yang baru pun dimulai.

“Mohammad Said menjadi penganggur. Saya tawarkan
kepadanya apakah suka terjun di Taman Siswa yang
diterimanya dengan penuh antusiasme tanpa banyak
pembicaraan. Ki Mangunsarkoro memutuskan menetapkan
Mohammad Said sebagai guru Taman Siswa.”

Seperti itulah Adnan Dipodiputro menjelaskan awal mula masuknya Moh. Said ke Taman Siswa Jakarta
di bawah pimpinan Ki Sarmidi Mangunsarkoro. Moh. Said menjadikan Taman Siswa sebagai medan
perjuangan dan pengabdian. Ia tinggal di Sunter bersama para siswanya. Seiring perjalanan waktu Moh.
Said kemudian mendirikan asrama Taman Siswa yang diberi nama Soli Deo Honor (SDH) di Sunter,
yang kemudian pindah ke Kemayoran Gempol, lalu ke Jl. Garuda 71. Dengan nafkah seorang pamong
bujangan dari Taman Siswa sebesar f15 yang didapatkan setiap bulan Moh. Said menghidupi siswa­
siswanya. Mereka berasal dari anak-anak berbagai daerah dan suku yang ditelantarkan oleh orang tua
mereka.
Di dalam asrama mereka hidup bekerja sama dengan bebas dan tertib. Pada tahun 1940 Moh. Said melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra sambil tetap mengajar di Taman Siswa. Ia memperdalam kemampuan bahasa yang dimiliki, salah satunya bahasa Jepang. Oleh karena itu ia berbahasa aktif bahasa-bahasa Belanda, lnggris, Perancis, dan Jerman, serta menguasai bahasa Rusia, Jepang, dan Cina secara pasif. Ia juga sempat mempelajari bahasa Spanyol, Portugis, dan Arab. Masa pendudukan Jepang hingga masa Revolusi menjadi masa-masa yang sulit bagi Moh. Said dan Taman Siswa. Pada pertengahan tahun 1942, saat Jepang menduduki wilayah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, keadaan berubah. Moh. Said tidak dapat melanjutkan pendidikan karena terjadi peralihan sistem kekuasaan dan mengakibatkan kondisi yang tidak menentu. Hal tersebut berpengaruh pada keberlangsungan kegiatan
belajar mengajar di Taman Siswa. Banyak pamong yang mengungsi ke pedalaman. Di sisi lain internal Taman Siswa Jakarta menghadapi perpecahan karena ada konflik antara pamong muda dan pamong tua yang mengakibatkan perubahan kepemimpinan. Kedudukan kepala sekolah diserahkan oleh Ki Mangunsarkoro kepada Moh. Sukamto, sedangkan Moh. Said menjabat sebagai wakil. Sementara itu Taman Dewasa dan Taman Madya dibubarkan pemerintah Jepang. Bahasa asing selain bahasa Jepang pun dilarang diajarkan kepada siswa. Moh. Said tidak patah semangat. Berkat dukungan Mara Sutan-salah satu pamong yang masih bertahan-dan para siswa, Taman Siswa Jakarta tetap bertahan. Untuk menyiasati peraturan yang dikeluarkan pemerintah Jepang, hal-hal yang dilarang diajarkan di Taman Siswa diajarkan dalam kursus di luar jam sekolah. Perjuangan kembali dilakukan oleh Moh. Said di dalam Taman Siswa pada masa revolusi. Taman Siswa dijadikan sebagai salah satu markas para pelajar yang siap bergerilya, tetapi diketahui oleh tentara Sekutu sehingga mengakibatkan Moh. Said harus keluar masuk penjara.
Moh. Said mengakhiri masa lajang pada usia 39 tahun. Ia menikah dengan Sugiarti yang merupakan
tetangga masa kecilnya di Purworejo. Mereka bertemu kembali saat Moh. Said menghadiri Kongres
Kebudayaan di Sala pada tahun 1954. Saat itu Sugiarti guru Sekolah Guru B Negeri Salatiga. Ayahnya, R.
Darsono, pegawai kereta api $$-Staat Spoor di Bandung, sedangkan ibunya bernama Setyowati. Sugiarti
lahir di Bandung pada 19 Desember 1932 atau selisih 15 tahun dengan Moh.Said. Mereka menikah pada
9 Juli 1956. Pasangan pengantin baru tersebut kemudian tinggal di paviliun Taman Siswa, Jl. Garuda 25 Jakarta. Empat tahun kemudian lahirlah anak semata wayang mereka, Endang Muri Budi Setyarti, yang
dikenal dengan panggilan Ake.
Rokok dan kopi merupakan ternan setia Moh. Said saat membaca ataupun menulis. Kebiasaan tersebut
berpengaruh pada kondisi kesehatannya. Pada usia ke 62 tahun, atau tepatnya Kamis Pahing, 21 Juni
1979, pukul 19.54, ia tutup usia karena penyakit sesak napas yang dideritanya. Berita kepergiannya
tercatat dalam banyak surat kabar di Indonesia. Orang-orang yang mengenal Moh. Said mengenang
pertemuan dan kehidupan Moh. Said dalam tulisan pribadi atau di media massa. Setelah disemayamkan
di aula Taman Siswa Jakarta, Jl. Garuda 25, jenazah Moh. Said dibawa ke Yogyakarta untuk dimakamkan
di makam keluarga Taman Siswa, Taman Wijayabrata, pada tanggal 23 Juni 1979. Sebagai orang yang
sangat berjasa dalam pendidikan dan kebudayaan, kepergiannya dihadiri oleh sahabat dan pejabat­
pejabat negara, seperti Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Dr. K.H. ldham Cholid, Menke
Kesra Soerono, Menteri P dan K Dr. Deoed Joesoef, dan Menteri PPLH Dr. Emil Salim.

“Ki Mohammad Said, tokoh pendidikan dari Taman Siswa
Kamis pukul 19.55 meninggal dunia di Rumah Sakit
Persahabatan, Jakarta, setelah sebulan menderita sakit
asmatis bronchitis dan seminggu di rumah sakit”

PEMIKIRAN DAN KARYA

Lahir di lingkungan priyayi Islam dan mengenyam pendidikan di sekolah Eropa mempengaruhi
pemikiran Moh. Said saat beranjak dewasa. llmu tentang Islam ia dapatkan pertama-tama dari guru
mengaji yang dikirim oleh ayahnya ke rumah. Raden Mas Reksohadiprodjo pun menyediakan buku­
buku agama Kristen, bahkan memberi kebebasan beragama bagi putra-putrinya. Moh. Said juga belajar
teosofi saat bertemu dengan Sri Katidjah di HBS Semarang, sehingga ia semakin tertarik dengan ilmu
agama dan filsafat. Ia menekuninya dengan membaca buku-buku filsafat, baik filsafat Timur, Barat,
maupun Jawa, seperti karya-karya Krisnamurti, Gandi, Tagore, J.D. Bierens, Frederik van Eden,
Ki Ageng Suryomentaram, Ki Hadjar Dewantara, dan RM Sosrokartono. Ia memadukan ajaran
agama dan filsafat yang dia pelajari dan menerapkannya ke dalam kehidupannya. filsafat, saat di HBS Semarang, Moh. Said juga bergabung dalam Kepanduan Bangsa Indonesia, suatu perkumpulan remaja dengan semangat nasionalisme.
Segala ilmu yang didapatkan di sekolah Barat hingga ilmu filsafat dan agama membuat Moh. Said
berfikir kembali tentang dirinya. Pada umurnya yang ke duapuluh tahun Moh. Said memilih untuk
memerdekakan dan mengabdikan diri ke jalan perjuangan melalui bidang pendidikan di perguruan
Taman Siswa. Di perguruan itulah ia mulai menerapkan segala ilmu yang ia miliki. Meskipun demikian
Moh. Said menolak dirinya disebut penganut aliran kepercayaan. Ia ingin batinnya bebas tanpa terikat
pada suatu aliran kepercayaan apa pun.
Apa yang dijalani Moh. Said dalam hidupnya disebut oleh Abdurrachman Surjomihardjo sebagai aliran
filsafat “personalisme”,suatu aliran pikiran dalam filsafat, teologi, dan ajaran tentang masyarakat dan
politik yang menempatkan manusia perorangan sebagai inti besaran kualitatif. Dalam hal tersebut
manusia berusaha menempatkan sesuatu secara benar, baik dalam pikiran maupun perbuatan.

“Sesungguhnyalah Moh. Said tumbuh bersama tahap- tahap
krisis dalam sejarah masyarakat Indonesia; nasionalisme
dan pergerakan nasional dikenalnya dari perbincangan
dengan kakak kelasnya Mukarto (di kemudian hari pernah
menjadi Menteri Luar Yegeri dan duta besar RI) ketika di
HBS, demkian juga aliran teosofi yang tujuan pertamanya
ialah “Membentuk suatu inti persaudaraan kemanusiaan,
tanpa memandang ras, kepercayaan, jenis kelamin, kasta
atau warna kulit”. Aliran teosofis angat populer di
lingkungan masyarakat jajahan.”

Sebagai pamong Taman Siswa Moh. Said betul-betul menerapkan seluruh ajaran Taman Siswa dengan
sepenuh hati. Ia terus mengusahakan cita-cita Taman Siswa untuk menciptakan manusia yang merdeka.
Mamayuhayu sa/ira, mamayuhayu bangsa, mamayuhayu manungsa merupakan hal yang terus menjadi
pegangan hidupnya. Selain sebagai pendidik, Moh. Said banyak membaca dan menulis. Pemikiran-pemikirannya tentang Taman Siswa banyak diterbitkan dalam majalah Poesara, surat kabar, dan buku. Tulisannya mengangkat tema-tema pendidikan dan kebudayaan, seperti peran keluarga dalam pendidikan, pembinaan generasi muda dan kenakalan remaja, pendidikan seks, pendidikan Pancasila dan P4, kepanduan, dan kewiraswastaan Salah satu buku yang berisi tulisan-tulisan pilihan Moh. Said berjudul Masalah Pendidikan Nasional, Beberapa Sumbangan Pikirannya Buku-buku bacaan Moh. Said terkumpul dalam perpustakaan kecil di rumahnya, yang sebagian oleh-oleh teman-temannya saat berkunjung ke luar negeri. Ia seringkali membawa buku dalam berbagai aktivitasnya. Hobi lain yang sering dilakukan oleh Moh. Said ialah berkebun dan yoga. Di kebunnya ia menanam sayur-sayuran dan bunga. Olah raga yoga membuat tubuhnya tetap bugar hingga hari tuanya.

Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia

KEBIJAKAN Dl BIDANG PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Pengalaman dan keahlian Moh. Said dalam bidang pendidikan dan kebudayaan tidak diragukan. Ia
terlibat dalam berbagai kegiatan di kedua bidang tersebut, baik di dalam maupun di luar Taman Siswa.
Saat Prof. Prijono menjabat menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K), Moh. Said
mengajukan usul untuk menjadikan tanggal 26 April (wafatnya Ki Hadjar Dewantara) sebagai Hari
Pendidikan Nasional sekaligus memperingati jasa-jasa beliau. Usul Moh. Said tersebut diterima melalui
Surat Keputusan (SK) Presiden No. 31611959 dengan perubahan: tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara 2
Mei yang ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Menjelang peristiwa 1965, Taman Siswa kembali menghadapi kondisi yang tidak stabil. Perebutan
kekuasaan di dalam tubuh Taman Siswa semakin memanas akibat situasi politik. Pasca Peristiwa 1965,
Taman Siswa mengambil sikap untuk menyelamatkan perguruan. Bersama Nyi Hadjar Dewantara dan
Ki Sastro, Moh. Said menjadi Ketua Presidium Dewan Pimpinan Eksekutif Majelis Luhur Taman Siswa
melakukan pembersihan di tubuh Taman Siswa dari pengaruh PKI.

Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara

Pada tanggal 27 Maret 1966 Moh. Said Reksohadiprodjo diangkat sebagai Deputi Menteri Pendidikan
Dasar dan Kebudayaan dalam Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan Sikap hidupnya yang sederhana
menjadi sorotan pers saat ia pertama kali dilantik. Hal itu pula yang paling diingat oleh para sahabatnya

“Dalam cara berpakaian, Ki Moh. Said selalu cenderung
mempergunakan pakaian yang sesederhana mungkin tapi
tetap menunjukkan sifat kenasionalan ( … ) Di mana pun
kita jumpai Moh. Said, selalu memakai baju warna putih
dan celana panjang yang sederhana, tanpa dasi dan cukup
bersepatu sandal saja. Kalau kita tanyakan kenapa begitu.
Maka dengan tegas Moh. Said akan menjawabnya, ini kan
pakaian nasional yang sesuai dengan alam kita.”

Kebijakan yang pertama kali ditetapkan oleh Moh. Said sebagai menteri ialah menerbitkan susunan dan
personalia organisasi Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dengan tujuan mencapai kerja
yang lebih efisien dan membersihkan departemen dari dominasi partai politik.
Pada tanggal 25 Juli 1966 pemerintah memberlakukan perubahan kebijakan berdasarkan ketetapan
Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS). Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dibubarkan dan
diganti dengan Kabinet Ampera. Jabatan Deputi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dihapuskan
dan diganti menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. Dalam kabinet tersebut Moh. Said diminta
untuk memimpin Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, namun ia menolak karena tidak ingin terikat
sebagai pegawai negeri.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri, Moh. Said memusatkan dirinya untuk Taman Siswa. Pada
tahun 1966 ia mengampu jabatan-jabatan penting di Taman Siswa, seperti Ketua Cabang Taman Siswa
Jakarta, Ketua Perwakilan Majelis Luhur Jakarta, Wakil Ketua Umum II Majelis Luhur Persatuan Taman
Siswa, dan pada tahun 1967 menjadi Ketua Badan Pinisepuh Persatuan Taman Siswa. Di luar Taman
Siswa ia aktif di Badan Sensor Film, anggota Dewan Film Nasional, anggota Dewan Pers, anggota
Dewan Harian Nasional Angkatan 45, dan sebagainya.
Ternyata keahlian dan pemikirannya dalam bidang pendidikan masih dibutuhkan oleh bangsa Indonesia.
Pada masa Kabinet Pembangunan I Moh. Said diangkat menjadi penasihat Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mashuri S.H. Pemikiran dan ideologinya yang sedikit banyak terpengaruh Taman Siswa
membuat kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pada periode tersebut membawa angin segar bagi
perguruan Taman Siswa. Salah satu kebijakan yang ditetapkan pada periode tersebut ialah penghapusan
Ujian Negara dan digantikan dengan sistem Ujian Sekolah.
Selain itu ia juga sempat diangkat sebagai anggota DPA Rl tahun 1978. Moh. Said mendapat banyak penghargaan atas jasa-jasa yang telah dilakukannya, antara lain Satyalencana Dwidya Sistha dari Menteri Pertahanan dan Keamanan Rl tahun 1967; piagam anugerah pendidikan, pengabdian, dan ilmu pengetahuan dari Menteri P & K 17 Agustus 1970; lencana emas dari PMI; piagam penghargaan dari Universitas Trisakti pada 1973; dan tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Rl II Agustus 1979 dengan SK Presiden Rl No.039/TK/1979 dengan jabatan terakhir sebagai Purnasetiawan Taman Siswa atau Anggota Dewan Pertimbangan Agung Rl.

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018

One thought on “Mohammad Said Reksohadiprodjo”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *