Mashuri Saleh

Menteri Pendidikan Masa Jabatan 6 Juni 1968 – 28 Maret 1973

Mashuri Saleh lahir di Juwana, Pati, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Juli 1925. Ayahnya bernama Ki Saleh Kromoastro.Ia memiliki tiga saudara kandung, yaitu Maskanan, seorang perwira tinggi yang bertugas
di MBAD, sedangkan dua orang lainnya, Sutikno dan Sukarnin, merupakan pengusaha swasta. Saat bersekolah, Mashuri Saleh sangat aktif berorganisasi, seperti Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan Persatuan Pemuda Taman Siswa. Ia sering terpilih sebagai pengurus dan ketua organisasi yang diikutinya. Di Surakarta, saat Revolusi Kemerdekaan 1945-1949, Mashuri bergabung dalam lkatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) Surakarta. Kemampuannya mengerahkan dan memimpin pelajar-pelajar di Surakarta membuatnya terpilih sebagai Komandan Batalion 55 Tentara Pelajar (TP) Surakarta.Setelah masa revolusi kemerdekaan berakhir, Mashuri melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM). Sembari kuliah , ia aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat dan pemerintahan.
Dalam bidang sosial pendidikan Mashuri mengabdikan diri menjadi guru Sekolah Menengah Atas (SMA)
dan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA). Saat Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB)
dibentuk pada tahun 1958 ia bergabung sebagai anggota Badan Pertimbangan. Pada tahun 1960-1965
ia menjadi Ketua Penasehat Penguasa Perang Pusat (Peperu). Tahun 1957 Mashuri lulus FH UGM dengan gelar Sarjana Hukum (S.H). Kiprahnya di bidang organisasi dan masyarakat pun semakin meluas. Ia menjadi pengacara sekaligus Ketua Pengurus Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi). Selain berprofesi sebagai pengacara Mashuri aktif dalam organisasi dan gerakan politik. Sebagai alumnus UGM ia diminta menjadi Ketua Pusat Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA). Mashuri mengakhiri masa lajang dengan menikahi seorang perempuan bernama Listinah , yang kemudian dikenal dengan sebutan Lies Mashuri. Lies lahir di Kalimantan Timur, namun besar dan bersekolah di Jawa. Dari pernikahan tersebut lahir enam orang anak, yaitu Ani Anggraini, Toto Wijayanto, Sri Pangastuti, Bambang Rusmanto, Djoko Riyadi Mashuri Saleh , dan Arinto Wahyuwigati. Toto Wijayanto menjadi Sarjana Ekonomi, sedangkan Bambang Rusmanto dan Djoko Riyadi Mashuri melanjutkan pendidikannya di Universitas Trisakti. Mashuri bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan kemudian menjabat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dan llmu Pengetahuan (Dirjen PTIP) selama dua periode berturut-turut tahun 1966-1967 dan 1967-1968. Kariernya semakin gemilang ketika diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Pembangunan I ( 1968-1973). Dalam Kabinet Pembangunan II (1973-1978) ia dipercaya sebagai Menteri Penerangan. Pada tahun 1977-1982 Mashuri
menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat (MPR/DPR) dari
Golkar dan kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) (1982-1986).
Mashuri menetap di Surakarta selama beberapa tahun seblum meninggal dunia di rumah kediaman
keluarga pada I April 2001 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Jurug,
Surakarta.

PEMIKIRAN DAN KARYA

Sesudah peristiwa G30S Mahsuri, sebagai Ketua Persahi, bersama Harry Tjan menyusun memorandum
kepada parlemen untuk mendakwa Soekarno yang pada saat itu tidak mau mundur dari jabatannya
sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) untuk kemudian digantikan oleh Soeharto sesuai ketetapan
MPRS tanggal 5 Juli 1966. Rencana tersebut disetujui parlemen sehingga kemudian diselenggarakanlah
Sidang lstimewa MPRS pada bulan Februari 1967. Mashuri duduk di kursi pemerintahan dan menjadi pendukung setia Pemerintah Orde Baru. Ia banyak mengutarakan pemikirannya melalui pidato, buku, kebijakan, dan sebagainya. Ia berusaha mengubah persepsi masyarakat, khususnya pelajar dan mahasiswa, tentang Orde Lama dan beralih mendukung Orde Baru. Hal tersebut tercermin dalam pernyataannya saat menjabat sebagai Dirjen PTIP. Ia berusaha menjadikan Perguruan Tinggi sebagai benteng Orde Baru.

Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia

Dalam pidato di depan mahasiswa UGM bulan April 1967 di atas, sebagai seorang yang realis, Mashuri
tampak sangat menentang pengkultusan terhadap diri seseorang. Ia menganggap bahwa hal tersebut
hanya akan menyebabkan sikap yang tidak demokratis. Sikap seperti itu tercermin pada diri dua tokoh
yang pada masanya dielu-elukan oleh para pendukungnya, yakni Soekarno dan Soeharto. Pada saat
Soekarno tumbang, sebagai seorang Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, ia menyatakan sikap untuk
tidak melihat Soekarno lebih dari para pendiri bangsa lainnya. Ia menambahkan, bahwa tanpa Soekarno,
bangsa Indonesia akan tetap dapat berjuang.
Sikapnya menentang pengkultusan seorang tokoh konsisten dilakukan, termasuk terhadap orang
yang membawanya sukses masuk ke dalam pemerintahan: Presiden Soeharto. Pada tahun 1980-an
terjadi pro dan kontra tentang pemberian gelar “Bapak Pembangunan” kepada Soeharto. Ketika itu
ia menjadi Wakil Ketua DPR. Ia melihat suasana genting berkait dengan wacana pemberian gelar
tersebut. Mashuri minta agar usulan pemberian gelar “Bapak Pembangunan” dihentikan sementara. Ia
khawatir jika wacana tersebut diteruskan akan terjadi pengkultus individuan terhadap Soeharto, sama
seperti pemujaan terhadap Soekarno secara berlebihan dalam bentuk berbagai penghargaan. Sayang
pemikiran Mashuri Saleh kalah populer dengan masyarakat yang mengelu-elukan Soeharto-yang
salah satunya Buya Hamka-agar diberikan gelar kehormatan sebagai “Bapak Pembangunan”. Mereka
beralasan bahwa pada masa kepemimpinan Soeharto-lah pembangunan baru dimulai. “Malah kita baru mengenal apa arti pembangunan itu ,” katanya. Karena desakan yang sangat kuat MPR mengangkat
Soeharto sebagai ” Bapak Pembangunan Republik Indonesia” melalui Tap MPR NoV tahun 1983.
Mashuri juga menuangkan pemikirannya ke dalam buku, baik tentang pendidikan maupun tentang
politik. Saat bergelut dalam bidang pendidikan ia menulis buku Masalah-masalah yang Melandasi
Pembaruan Pendidikan dan Kebijaksanaan dan Langkah-langkah Pembaharuan Pendidikan. Kedua buku
tersebut diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1973.
Ia juga menulis tiga buku saat menjabat sebagai Menteri Penerangan, yaitu Pesan-pesan Pemilu Untuk Pembangunan di Masa Depan: Retrospek dan Prospek: Kuliah , Catatan Peristiwa Sejarah Bangsaku Tahun 1945-1950, dan Demokrasi Pancasila dan Pertumbuhannya.

Baca Juga : Agung Wicaksono, S.Pd. M.Pd


KEBIJAKAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Kiprah Mashuri sebagai pejabat di lingkungan pendidikan dimulai pada tahun 1966-1967 saat menjabat
Dirjen PTIP dan yang dijabat kembali pada 1967-1968. Keputusan pertama yang dikeluarkannya sebagai
Dirjen PTIP pada tahun 1966 ialah menetapkan ” Kebebasan llmiah” dan ” Kebebasan Mimbar” bagi
perguruan tinggi. Keputusan tersebut bertentangan dengan kehendak Presiden Soekarno. ” Kebebasan
llmiah” dan ” Kebebasan Mimbar” mendorong diadakannya suatu simposium di Universitas Indonesia,
yang disebut dengan “Simposium Angkatan 66 Menjelajahi Trace Baru”. Simposium tersebut melahirkan
revolusi yang bertujuan menegakkan keadilan dan kebenaran, demokrasi, terlaksananya Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen, terlaksanannya the rule of law, dan terbentuknya the clean
government ‘pemerintahan yang bersih’. Sebagai Dirjen PTIP Mashuri Saleh hadir dalam acara tersebut. Ia juga menyampaikan gagasannya dalam simposium tersebut. Tampak pula para tamu undangan lain , seperti Prof. Dr. lr. R.M. Soemantri Brojonegoro beserta istri , dr. Nani Soemantri, serta Moh. Hatta beserta istri, Racmhi Hatta. Mashuri juga sempat mengemukakan gagasan yang sensasional, yaitu menghapus gelar kesarjanaan, kecuali doktor dan profesor. Ide tersebut muncul karena ia beranggapan bahwa kualitas sarjana di Indonesia pada saat itu sangat rendah. Rencana kebijakan tersebut menuai pro dan kontra dari para mahasiswa. Sebagian mahasiswa yang baru akan lulus menolak rencana tersebut, meskipun ada juga yang menerimanya. Pro dan kontra mahasiswa terhadap Mahsuri pun muncul dalam koran Mercusuar. lkatan Sarjana Republik Indonesia (ISRI)-organisasi sarjana di bawah Partai Nasional (PNI)­ Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado dianggap sebagai provokator oleh KAMI karena menuntut agar Mashuri dipecat dari jabatannya. KAMI mendesak Rektor Unsrat Manado melakukan pembersihan kampus dari hal-hal yang berkaitan dengan Orde Lama.
Mashuri juga mencanangkan pembaharuan dalam bidang pendidikan. Untuk meningkatkan mutu
perguruan tinggi , ia memberlakukan persyaratan bagi universitas. Universitas yang dianggap tidak
memenuhi persyaratan akan ditutup. Ia membagi universitas menjadi tiga jenis, yaitu (I) universitas
induk, (2) universitas biasa, dan junior colege dengan waktu belajar tiga tahun. Universitas induk
antara lain UGM, Ul, lnstitut Pertanian Boger (IPB), lnstitut Teknologi Bandung (ITB), Universitas
Sumatera Utara (USU), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Hasanuddin (Unhas), lnstitut
Keguruan llmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta/UNJ), IKIP Bandung
(sekarang Universitas Pendidikan Indonesia/UPI), dan IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri
Malang/UNM).
Pada bulan Juni 1968 Mashuri diangkat Presiden Soeharto menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(P dan K) dalam Kabinet Pembangunan I yang berlangsung sampai bulan April 1972. Selama menjabat sebagai Menteri P dan K Mashuri mengeluarkan banyak kebijakan , baik di dalam maupun di luar negeri.
Ia percaya bahwa pendidikan Indonesia sangat membutuhkan pemikiran ulang karena pendidikan yang
ada pada saat itu masih didasarkan pada sistem Eropa, sehingga tidak cocok untuk Indonesia.
Untuk melaksanakan program tersebut Mashuri melakukan berbagai kerjasama dengan pihak
luar negeri, salah satunya Ford Foundation. Ia melakukan pendekatan dan pertemuan dengan
Ford Foundation pada tahun 1968 Ia juga meminta dukungan Dr. Kartomo, seorang ekonom Amerika
yang terlatih, serta para intelektual lain. Ia kemudian menghubungi Frank Miller, perwakilan Ford
Foundation di Jakarta, agar memberi bantuan atas rencana yang digagasnya. Atas usaha
tersebut pada 1969 didirikanlah kantor stafFord di Jakarta. Salah satu bentuk kerjasama dengan Ford Foundation dalam bidang pendidikan ialah bantuan kepada panitia Seminar Sejarah Nasional yang kedua tahun 1970. Panitia yang diketuai oleh sejarawan UGM Sartono Kartodirjo tersebut disahkan oleh Mashuri dan bertugas menyusun buku sejarah nasional. Mereka dikirim ke Amerika dan Belanda untuk melakukan
studi pustaka. Mereka pun resmi berhubungan dengan Ford Foundation pad a tahun 1971 Mashuri melakukan banyak perubahan dan berusaha membangun Sistem Pendidikan Pembangunan,
sesuai dengan nama kabinet pada saat itu. Sistem Pendidikan Pembangunan menggunakan asas Life-Long Education , yang di dalamnya berarti pendidikan yang diberikan seumur hidup yang membuat lingkungan pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi satu keseluruhan lingkungan pendidikan untuk menjamin proses pendidikan yang sesuai dengan harapan. Jenjang pendidikan pun dibagi menjadi Taman Kanak-kanak (2 tahun), Sekolah Dasar (8 tahun), Sekolah Lanjutan (4 tahun), Sarjana Muda (4 tahun), dan Sarjana (2 tahun). Sistem pendidikan yang dicanangkan oleh Mashuri tersebut tidak hanya menyasar pada kecerdasan intelektual anak didik, namun juga bagaimana anak didik terlibat dalam pembangunan dan masyarakat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, lingkungan, maupun bidang yang lainya Usaha Mashuri melakukan pembaharuan pendidikan cukup berhasil. Ia membuka tiga Sekolah Tinggi Menengah (STM) Pembangunan di Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta dalam kurun waktu 1971-1971. Dalam kurun waktu 1972-1973 ia berhasil menyusun kurikulum dan metode mengajar untuk semua mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar, silabus dan program kurikulum Sekolah Menengah Pembangunan, serta kurikulum untuk 17 fakultas atau jurusan di Perguruan Tinggi. Buku pelajaran untuk tingkat Sekolah Dasar pun berhasil dicetak dalam Proyek Paket Buku Departemen P dan K sebanyak 12.431.000 buah. Buku-buku tersebut dibagikan secara cuma-cuma kepada sekolah dan madrasah baik negeri maupun swasta. Hal lain yang dilakukan Mashuri dalam bidang pendidikan ialah penghapusan ujian negara dan ijazah serta menggantikannya dengan ujian sekolah dan Surat Tanda Tamat Belajar Perubahan yang dilakukan oleh Mashuri mendapat sambutan hangat dari perguruan Taman Siswa. Sayang usaha tersebut tidak dilanjutkan oleh menteri pendidikan setelahnya, Prof. Dr. lr. R.M. Soemantri Brojonegoro

Selain dalam bidang pendidikan, Mashuri melakukan banyak perubahan dalam bidang organisasi, kebudayaan, dan olahraga. Melalui Keppres No. 39 athun 1969 Departemen P dan K menyederhanakan lima Direktorat Jenderal menjadi tiga Direktorat Jenderal. Ia membentuk lnspektorat Jenderal serta Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan melalui Keppres No. 48 dan Keppres No.84 tahun 1969. Pada tahun 1970 ia mengeluarkan Peraturan Menteri No. 066/1970 tanggal 9 April 1970 yang berisi penyerahan wewenang di bidang tata-usaha kepegawaian kepada pejabat­ pejabat tertentu dalam lingkungan Departemen P dan K dan dilengkapi dengan undang-undang, peraturan pemerintah, serta peraturan-peraturan lain dalam bidang kepegawaian. Dalam bidang kebudayaan, Mashuri melakukan banyak pembaharuan, baik yang berkait di dalam maupun yang berkait dengan luar negeri. Di dalam negeri ia mengesahkan penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) menggantikan Ejaan Soewandi pada tanggal 23 Mei 1972. Ia menandai pergantian ejaan tersebut dengan mencopot nama jalan yang melintas di depan kantor Departemen P dan K: dari Djl. Tjilatjap menjadi Jl. Cilacap Kebijakan luar negeri dilakukan terutama kerjasama dengan Malaysia dan negara Association of Southeast Nations (ASEAN) lain . Kerjasama dengan Malaysia sebelumnya terjalin pada saat Prof. Prijono menjabat sebagai Menteri Pendidikan tahun 1957, namun terputus akibat kondisi politik yang berubah pasca lnggris berinisiatif menjadikan Kalimantan Utara sebagai bagian dari negara federal Malaysia. Di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia menyatakan perang dengan Malaysia karena Soekarno tidak rela Kalimantan Utara menjadi negara boneka lnggris. Sekitar tahun 1965 kerja sama antara Indonesia dan Malaysia terhenti, termasuk kerjasama pengiriman guru dan kebahasaan. Sesudah peristiwa G30S pemerintahan Presiden Soekarno tumbang. Soeharto yang memegang kekuasaan pada saat itu membangun situasi harmoni di antara negara-negara ASEAN. Hubungan kerjasama Indonesia dengan Malaysia pun diperbaiki. Pada tanggal 7 September 1966 diadakan pertemuan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia, termasuk menghidupkan kembali kerja sama bidang kebahasaan. Pada tanggal 27 Juni 1967 ditandatangani kesepakatan di bidang ejaan dengan melahirkan Ejaan Melayu-lndonesia (Ejaan Melinda). Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Ny. S.W. Rujiati Mulyadi dari Indonesia dan Tuan Syed Nasir bin Ismail dari Malaysia. Kerjasama tersebut secara resmi diakui setelah dilakukan penandatanganan Komunike Bersama oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Mashuri Saleh, S.H. dan Menteri Pelajaran Malaysia Encik Hussein Onn pada tanggal 23 Mei 1972 di Jakarta. Sebagai tindak lanjut kerjasama tersebut pada 26-29 Desember 1972 dilaksanakan sidang pertama kebahasaan di Malaysia. Salah satu keputusan sidang adalah kesepakatan membentuk wadah yang dapat menaungi kegiatan kebahasaan di antara kedua negara, yang kemudian disebut Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia (MBIM). Sebagai garis panduan kegiatan dibuatlah Piagam Kerja Sama Kebahasaan yang ditandatangani oleh Dr. Amran Halim selaku wakil Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia dan Datuk Haji Sujak bin Rahiman selaku wakil Jawatan Kuasa Tetap Bahasa Malaysia . Selain kerjasama dalam bidang kebahasaan, Indonesia pun kembali menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan dengan Malaysia. Soeharto ingin menjadikan pendidikan nasional sebagai sakaguru utama dalam negara Orde Baru. Ide tersebut kemudian membuat Soeharto memanggil Mashuri ke Cendana pada Kamis 7 Mei 1970. Mereka membicarakan ide tentang kemungkinan mengirim kembali guru-guru ke Malaysia. Selain dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, Mashuri juga melakukan kerjasama dengan Negara ASEAN lain dalam bidang olahraga. Pada tahun 1971 diselenggarakan kejuaraan tim Golf Amatir Asteng XI. Mashuri hadir dalam pembukaan kejuaraan tersebut. Masa jabatan Mashuri Saleh sebagai Menteri P dan K berakhir pada tahun 1973. Jabatan tersebut kemudian dilanjutkan oleh Prof. Dr. lr. Sumantri Brojonegoro. Mashuri duduk sebagai Menteri Penerangan pada tahun 1973-1978 dan mewakili Golkar sebagai Wakil Ketua DPR/MPR pada tahun 1977-1982. Selanjutnya ia diminta menjadi anggota DPA pada tahun 1982-1986.

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018

One thought on “Mashuri Saleh”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *