Kesombongan Diri

Seorang anak kecil, bernama Adi, duduk di kelas 3 SD dengan penuh rasa bangga. Baru saja ia memenangkan sebuah medali sebagai pembaca terbaik di kelas. Sebagai anak yang masih belia, kemenangan ini terasa seperti pencapaian luar biasa baginya. Ia begitu bersemangat, namun rasa bangga itu perlahan berubah menjadi kesombongan. Dengan penuh percaya diri, ia memutuskan untuk memamerkan kemampuannya kepada orang-orang di sekitarnya.

Di rumah, Adi mendekati pembantu rumah tangganya, Bibi Ani, yang sedang sibuk merapikan ruang tamu. Dengan suara lantang dan senyum penuh kemenangan, ia berkata, “Bibi, lihat ini! Saya baru saja dapat medali sebagai pembaca terbaik di kelas. Kalau Bibi mau, pasti bisa membaca sebaik saya!” Dengan polosnya, ia berpikir bahwa membaca adalah kemampuan yang mudah bagi semua orang.

Bibi Ani terdiam sejenak. Ia menatap Adi dengan senyum kecil, kemudian mengambil sebuah buku dari rak yang disodorkan Adi. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka buku itu dan mencoba membaca. Namun, setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata dengan suara pelan, “Nak, Bibi tidak bisa membaca.” Jawaban itu membuat Adi terkejut, tetapi bukannya bersimpati, ia justru merasa semakin bangga.

Baca Juga : Ketakutan Akan kegagalan Kesombongan Diri

Dengan sikap sombong, ia berlari ke ruang keluarga, di mana ayahnya sedang membaca koran. “Yah!” serunya sambil berlari. “Bibi tidak bisa membaca! Sedangkan saya, meski baru berumur 8 tahun, sudah mendapat medali. Saya ingin tahu seperti apa rasanya melihat buku tetapi tidak bisa membaca.” Kalimat itu diucapkan Adi tanpa menyadari bahwa ia sedang merendahkan seseorang yang telah banyak berjasa merawatnya selama ini.

Ayah Adi, yang dikenal sebagai pria bijak, tidak langsung memberikan respons panjang. Ia hanya menutup korannya perlahan, bangkit dari kursinya, dan berjalan menuju rak buku di sudut ruangan. Dari sana, ia mengambil sebuah buku tebal berbahasa Jerman. Dengan tenang, ia menyerahkan buku itu kepada Adi sambil berkata, “Bibi merasa seperti ini.”

Adi menerima buku itu dengan penuh rasa penasaran. Ia membuka halaman pertama dan mulai mencoba membaca. Namun, kata-kata dalam buku itu sepenuhnya asing baginya. Huruf-huruf yang tertulis tidak membentuk arti apa pun di pikirannya. Ia mengernyitkan dahi, mencoba lagi, tetapi tetap tidak berhasil memahami satu pun kata. Saat itu, Adi mulai merasakan apa yang mungkin dirasakan Bibi Ani setiap kali melihat buku yang tak bisa dibacanya.

Pelajaran itu membekas dalam hati Adi. Ia menyadari bahwa kemampuannya membaca bukanlah sesuatu yang harus disombongkan, melainkan sesuatu yang harus disyukuri. Setiap orang memiliki pengalaman dan perjalanan hidup yang berbeda, dan tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Kesombongannya perlahan berubah menjadi rasa hormat dan pengertian.

Sejak saat itu, setiap kali perasaan sombong muncul dalam dirinya, Adi selalu mengingat momen itu. Dalam hati, ia akan berkata pada dirinya sendiri, “Ingat, kamu tidak bisa membaca dalam bahasa Jerman.” Kalimat sederhana itu menjadi pengingat bagi Adi untuk tetap rendah hati, menghargai orang lain, dan menyadari bahwa setiap kelebihan adalah anugerah yang harus digunakan dengan bijak.

Kesombongan Diri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *