Johannes Leimena

Menteri Pendidikan Masa Jabatan 21 Februari – 27 Maret 1966

KEHIDUPAN PRIBADI DAN PENDIDIKAN

Dr. Johannes Leimena, yang lebih akrab dipanggil “Om Jo”, merupakan putra Maluku. Ia dilahirkan di
Ambon, Maluku, pada 6 Maret 1905, dari lingkungan keluarga yang dekat dengan dunia pendidikan.
Ayahnya, Dominggus Leimena, merupakan seorang guru bantu di Ambon. lbunya, Elizabeth Sulilatu ,
juga seorang guru. Saat Leimena berumur 5 tahun, ayahnya meninggal dan kemudian ibunya menikah
lagi. Sejak saat itu Leimena diasuh oleh bibinya, yang menikah dengan Jesaya Jeremias Lawalata, juga
seorang guru sekolah dasar tamatan Kweekschool Ambon.
Guru, dalam masyarakat adat Ambon, termasuk ke dalam golongan atas. Meskipun tugas dan fungsinya
berbeda, guru sangat dihormati dan disejajarkan dengan pendeta ataupun bangsawan. Mereka sama­
sama memil iki tugas dan fungsi serta hubungan sosial yang dekat dengan masyarakat. Pada masa
tersebut seorang guru juga dianggap dekat dengan kebudayaan barat yang dianggap terhormat.
Leimena bersekolah di Ambonsche Burgerschool Ambon, setingkat dengan sekolah dasar. Pada tahun
1914 ia pindah ke Cimahi, Jawa Barat, mengikuti pamannya yang mendapat tugas sebagai kepala sekolah
di daerah itu. Dari Cimahi kemudian ia pindah ke Batavia dan meneruskan pendidikan di Chrustelijke
Europeesche Lagere School. Karena sekolah tersebut dianggap kurang cocok bagi Leimena, sang paman
memindahkannya ke Paul Krugerschool di daerah Kwitang, yang merupakan salah satu sekolah paling baik pada waktu itu .
Kehidupan keseharian Leimena remaja sangat disiplin. Ia selalu mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mencuci piring dan mencuci bajunya sendiri serta membantu urusan dapur. Untuk pergi ke sekolah pun ia lakukan dengan berjalan kaki. Setelah menamatkan pendidikan dasar, pamannya memasukkan Leimena ke MULO. Berbeda dengan sekolah dasar Paul Kruger yang kebanyakan siswanya anak-anak Belanda, siswa MULO lebih beragam. Leimena menyelesaikan pendidikan MULO pada tahun 1922, kemudian melanjutkan pendidikan ke STOVIA, sekolah tinggi di bidang kedokteran. STOVIA berangsur-angsur dilebur dan menjadi Geneeskunde Hoogeschool dengan lama pendidikan delapan tahun, yang dibagi menjadi dua bagian: masa persiapan dan bagian spesialisasi kedokteran.
Atas inisiasi pelajar STOVIA yang berasal dari Ambon dan sekitarnya pada tahun 1917 dibentuklah
Jong Ambon dengan ketua pertamanya Stoviaan J. Kayadu. Pada awalnya organisasi ini dibentuk untuk
menyalurkan hobi para anggotanya, yakni olah raga sepak bola, dan belum ada pandangan menuju
gerakan ideologis ataupun politis. Sebagai bagian dari STOVIA, Leimena turut ambil bagian dalam
kegiatan organisasi ini. Pada tahun 1924 muncul kebutuhan suatu organisasi yang mengedepankan
kegiatan kebudayaan dan ideologis yang tidak hanya kegiatan olahraga. Maka dibentuklah Yereniging
Ambonsche Studenten (VAS) dengan ketua pertamanya Toule Salehuwey, yang merupakan seorang
mahasiswa Rechts Hoge School (RHS). Lambat laun dua organisasi ini saling melengkapi dan memiliki
irisan: anggota yang saling bergiat dalam kedua organisasi tersebut.

Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia

PERGUMULAN PEMIKIRAN DAN POLITIK
Pada waktu itu Leimena berpikir belum ada kesadaran identitas tunggal dari apa yang disebut dengan
“masyarakat Maluku” di lingkungannya. Kurangnya kesadaran identitas ini disebabkan oleh masih
terpolarnya aktivitas masyarakat Maluku di Batavia. Belum terdapat suatu wadah yang dapat menyatukan
mereka agar muncul suatu gerakan kebersamaan. Polarisasi ini didukung oleh kebijakan pemerintah
kolonial yang sangat menekankan perbedaan status dalam masyarakat, sehingga masyarakat jarang memiliki kesempatan untuk membaur dengan masyarakat yang lain. Leimena juga berpendapat bahwa
masih banyak organisasi atau kelompok yang memiliki pandangan “lokal” dalam ideologi mereka dan
belum mengarah pada pandangan yang lebih luas, misalnya paham kebangsaan dan persatuan.
Leimena memulai kegiatan organisasi sejak duduk di bangku Sekolah Tinggi Geneeskunde Hoogeschool
(GHS) di Jakarta. Selama menjadi mahasiswa ia aktif dalam sejumlah organisasi seperti Jong Ambon
dan Christelijke Studentenvereniging (CSV). Melalui organisasi itulah Leimena berkenalan dengan
Soekarno, yang kelak membuat hubungan antar keduanya sangat dekat. Leimena juga menunjukkan
kepedulian pada gerakan kepemudaan. Pada tahun 1926 ia aktif dalam Gerakan Oikimene dan Jong
Ambon serta mulai mempersiapkan Kongres Pemuda. Dalam perhelatan bersejarah tersebut Leimena
menjadi salah satu panitia, sehingga dapat dikatakan ia berperan dalam pelaksanaan Sumpah Pemuda.
Ia juga dikenal sebagai salah satu pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMK1).
Salah satu gerakan dan paham yang sangat mempengaruhi Leimena pada masa studinya adalah
pergerakan nasional dan paham kebangsaan. Ketertarikan ini dipicu oleh pergaulannya di Batavia
yang dekat dengan banyak orang dari berbagai go Iongan masyarakat, ditambah dengan bacaan-bacaan
yang menyangkut masalah kebangsaan. Sekitar tahun 1925-1926 Leimena mulai memahami pemikiran
dan ide-ide Soekarno tentang masa depan bangsa Indonesia yang kelak sangat mempengaruhinya.
Leimena sadar telah terjadi perubahan baru dalam tatanan masyarakat Hindia-Belanda dengan
lahirnya kaum intelektual.
Selain pergerakan dan paham kebangsaan, Leimena juga berkenalan dengan gerakan keagamaan dan
religius yang juga sangat mempengaruhi pandangan, kebijakan, dan kepribadiaannya. Gerakan tersebut
adalah Oikumene, yang berarti ‘kesadaran’, suatu kesadaran yang bertanggung jawab, kesadaran untuk
menyatukan umat Kristen tanpa harus melepaskan identitas sosial dan budaya mereka. Gerakan
Oikumene ia kenai lewat hubungannya dengan penginjil untuk kalangan mahasiswa dari organisasi
Zendingsconsuulaat Batavia. Dalam gerakan ini Leimena menemukan hubungan antara gerakan politik dan agama, yang diyakininya bukan dua hal yang bertolak belakang, melainkan dapat digabungkan demi tujuan yang mulia.

Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara

KARIER SEBAGAI DOKTER DAN POLITIKUS
Leimena memulai karier sebagai dokter sejak tahun 1930 di Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ)
Batavia, yang kini lebih dikenal dengan Rumah Sakit (RS) Cipto Mangunkusomo, Jakarta. Tak lama setelah pengangkatannya sebagai dokter, ia dipindahtugaskan ke daerah Kedu, yang pada saat itu
mengalami bencana akibat Gunung Merapi meletus. Setelah tugasnya di daerah bencana selesai ia
bertugas di Rumah Sakit Zending Immanuel Bandung sejak tahun 1931 hingga 1941.
Tahun-tahun awal di rumah sakit tersebut Leimena bertugas di bagian “anti-opium”, yaitu bagian
perawatan para pecandu morfin. Pengobatan yang dilakukannya memadukan metode medis dengan
menyisipkan nilai-nilai spriritual dan humanisme. Sekitar tahun 1936, di bawah naungan RS Immanuel,
Leimena melakukan pendampingan para jururawat melakukan tindakan preventif kesehatan di
lingkungan masyarakat sekitar Bandung.
Karier yang semakin menanjak seiring dengan semakin banyak kenalan membuat Leimena tidak jarang berinteraksi dengan tokoh-tokoh politik yang kelak akan menjadi sejawatnya di pemerintahan. Di rumah sakit RS Immanuel pula Leimena bertemu dengan Wijarsih Prawiradilaga, yang kelak menjadi istrinya. Wijarsih merupakan perempuan dari bangsawan Priangan Timur dan pernah bersekolah di Juliana School Sukabumi. Leimena menganggap bahwa proklamasi merupakan suatu tindakan legis atas kelanjutan usaha-usaha pergerakan nasional. Ia yakin bahwa perjuangan bersama sebagai bangsa lebih penting daripada alasan­ alasan kedaerahan atau hal-hal kecil lainnya. Dalam diri Leimena persatuan agama dengan kebangsaan bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan melainkan dua hal yang dapat diselaraskan untuk mencapai kemerdekaan kehidupan berbangsa. Pemikiran tersebut muncul atas banyaknya kelompok yang menonjolkan ideologi keagamaan dan kedaerahan masing-masing walaupun dengan tujuan sama, yakni kemerdekaan. Dalam perkembangan politik dan pemerintahan, Leimena dikenal sebagai menteri dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Pada bulan November 1945 Pemerintah mengizinkan terbentuknya partai politik dan Parkindo dibentuk oleh umat Kristen pada tanggal I 0 November. Karier politik Leimena dalam pemerintahan Negara Republik Indonesia (RI) dimulai sejak kabinet pertama terbentuk, tidak lama setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Keadaan ini tidak lepas dari persahabatannya dengan petinggi pemerintahan Rl. Sebelum Kabinet Syahrir II terbentuk, Leimena berulang kali ditunjuk dan diminta masuk ke dalam kabinet, tetapi berulang kali pula Leimena menolak hingga akhirnya “dijemput paksa” ke Jakarta dan diangkat sebagai Menteri Muda Kesehatan.
Dalam Kabinet Syarifuddin, Leimena menjadi Menteri Kesehatan secara penuh; jabatan yang sebenarnya tidak dikehendakinya, tetapi atas desakan Soekarno yang menginginkan perwakilan umat Kristen dalam
kabinet akhirnya ia pun menerimanya.
Leimena menganggap keberadaannya di dalam kabinet pada masa revolusi lebih dari · sebagai representasi atau wakil dari Maluku. Sejak awal ia beranggapan bahwa ia harus menempatkan konteks
yang lebih luas, yakni konteks nasional Indonesia, sehingga perannya tidak hanya untuk kepentingan
daerah melainkan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Setelah Kabiner Syahrir Ill bubar akibat
“pertentangan” atas Perjanjian Linggarjati, Leimena diangkat menjadi Menteri Kesehatan dalam
Kabinet Amir Syarifuddin.
Leimena turut serta dan berperan aktif di dalam perundingan-perundingan dengan Belanda. Beberapa
kali Leimena menjadi peserta pengganti, namun dalam Perjanjian Linggarjati ia menjadi peserta penuh. Ia
menjadi Ketua Komisi Bidang Militer. Jabatan ini berlanjut pada Konferensi Meja Bundar (KMB). Komisi
Militer dalam KMB menjadi salah satu komisi yang dianggap berhasil dalam perundingan.la menyelesaikan beberapa persoalan yang menjadi perdebatan antara Belanda dan Indonesia, seperti pembubaran KNIL dan pembentukan TNI. Keberhasilan ini tidak lepas dari sosoknya yang merupakan tokoh gerakan Oikumene Kristen serta hubungannya dengan orang-orang Belanda yang setuju dengan perjuangan bangsa Indonesia. Sifat ketenangan dan ketokohannya dapat menjadi contoh untuk delegasi yang lain. Hingga tahun 1957 Leimena berpendapat bahwa persatuan dan kesatuan harus ditempatkan di atas segalanya. Leimena menganggap tidak ada hal lain selain Pancasila yang dapat mempersatukan bangsa ini. Setelah Kabinet Ali II jatuh pada April 1957, Leimena mengusulkan agar pemerintah mengakomodir pihak-pihak yang selama ini tersisihkan dari pusaran pemerintahan, seperti Masyumi dan angkatan bersenjata. Dengan diakomodirnya pihak-pihak ini diharapkan tidak lagi terjadi perpecahan dan tarik ulur kepentingan.
Namun usul tersebut tidak dapat direalisasikan hingga akhi rnya terbentuklah Kabinet Djuanda.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Leimena sangat dekat dengan Soekarno. Karena kedekatannya
dengan Soekarno inilah beberapa kali Leimena ditunjuk langsung oleh Soekarno sebagai Pejabat
Presiden yang mengurus kondisi dalam negeri saat Soekarno pergi ke luar negeri. Meskipun dekat,
Leimena tidak segan berbeda pendapat dan menyampaikan perbedaan tersebut pada Soekarno.
Seringkali pula Leimena menjadi penengah hubungan Soekarno dengan para pembantunya, seperti
pada saat ketidaksetujuan Djuanda pada ide Soekarno mengenai penyelenggaraan pesta olahraga.
Leimena menengahi mereka berdua dengan mengedepankan kebersamaan agar isu-isu
tersebut tidak menjadi bahan kritik oleh pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
Antara tahun 1959 dan tahun 1966 Leimena menjabat Menteri Koordinator Distribusi. Salah satu
yang mendasari penunjukan Leimena untuk jabatan ini adalah suksesnya program Bandung Plan. Salah
satu tugas Menteri Koordinator Distribusi adalah menjamin kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
itu langkah yang dilakukan Leimena bukan hanya terfokus pada peningkatan angka pendapatan per
kapita saja, tetapi juga membangun jalur-jalur distribusi dan konsumsi bagi masyarakat agar roda
perekonomian semakin berjalan lancar.
Dalam bidang ekonomi, Leimena berpendapat bahwa campur tangan pemerintah merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk menjamin keadilan. Berkait dengan hal tersebut beberapa kali Leimena berbeda pendapat dengan Chaerul Saleh dalam pengambilan kebijakan mengenai peran modal
asing, karena Saleh memberikan keleluasaan bagi modal asing dengan alasan pembangunan.
Salah satu masalah yang dihadapi Kementerian Koordinator Distribusi pada waktu itu adalah naiknya
harga pangan, terutama beras, yang mulai langka pasokan. Leimena mengusulkan agar wilayah Sulawesi
Selatan dikembangkan menjadi lumbung beras nasional. Selain itu perusahaan negara yang bertugas
untuk bahan pangan diminta menjaga pasokan beras di kota-kota besar. Ia juga meminta kementerian
terkait untuk memperbaiki arus distribusi pangan agar berjalan lancar dan tidak terjadi kelangkaan .
Kebijakan tersebut sesuai dengan Deklarasi Ekonomi yang dicanangkan oleh Soekarno mengenai
kemandirian ekonomi dan sumber daya Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka, Leimena tercatat sebagai orang yang paling banyak masuk ke dalam kabinet.
Meskipun sering terjadi pergantian kabinet, tetapi hampir setiap kabinet yang berganti selalu ada nama Johannes Leimena di dalamnya. Setelah terjadi peristiwa G30S, tuntutan pembubaran Kabinet Dwikora
gencar terdengar. Pada 21 Februari 1966 dibentuklah Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan. Dalam
kabinet ini Leimena menduduki dua posisi berbeda: sebagai Wakil Perdana Menteri II dan sebagai
Menteri Perguruan Ti nggi dan llmu Pengetahuan ad interim di bawah koordinasi Prof. Prijono

Baca Juga : Profil Ali Sastroamidjojo

PEMIKIRAN TERHADAP NEGARA DAN BANGSA
Dalam hal kenegarawanannya, Leimena mempunyai pandangan bahwa baik buruk suatu negara dan
bangsa ditentukan oleh warganya. Leimena menyebutnya sebagai warga negara yang bertanggung
jawab. Setiap warga negara yang menjadi bagian suatu bangsa atau negara memiliki tanggung jawab
atas baik-buruk, maju-mundur, dan timbul-tenggelamnya suatu negara. Jika negara mengalami
kemunduran maka sebagai warga negara wajib mengkritik pemerintah melalui jalur yang sesuai dengan
hukum dan legal; jika negara mengalami suatu kemajuan maka warga harus memuji pemerintahan dan
mendukungnya secara penuh. Hal itu , menurut Leimena, akan terjadi jika setiap warga negara memiliki
kesadaran sebagai bagian dari negara dan bangsaY Dengan warga negara yang bertanggung jawab,
timbul pertanyaan: kepada siapa atau untuk apa kita harus bertanggung jawab. Menurut Leimena, setiap
warga negara yang masuk ke dalam wilayah yuridis suatu negara harus taat dan bertanggungjawab
pada aturan hukum dan undang-undang yang berlaku. Jika rakyat bertanggung jawab kepada hukum,
bagaimana dengan pemerintah? Pemerintah harus bertanggung jawab kepada rakyat selaku pemberi
mandat kekuasaan , sehingga pemerintah harus bisa dikontrol dan diawasi oleh rakyat. Dalam lingkup
yang lebih luas, suatu negara juga harus bertanggungjawab dalam setiap langkah yang diambil. Menurut
Leimena, kebertanggungjawaban negara terdiri dari dua aspek:
(I) secara rohani atau spiritual negara haruslah bertanggungjawab pada Tuhan Yang Maha Esa dan (2) secara duniawi , ketatanegaraan harus bertanggungjawab kepada bangsa dan negara yang mereka
layani. Terhadap hubungan antara konsep kewarganegaraan yang bertanggungjawab dan umat Kristen,
Leimena menganggap bahwa umat Kristen memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap bangsa
dan negara Indonesia; bahkan Leimena menghimbau umat Kristen harus menjadi contoh bagi
masyarakat lain dalam hal kecintaan dan nasionalisme. Pandangan dan perwujudan kewarganegaraan
yang bertanggungjawab harus selalu direfleksikan melalui pandangan bahwa segala kemuliaan hanya
bagi Tuhan, sehingga umat Kristen jangan sampai beranggapan sebagai minoritas dan dalam hal
ketatanegaraan kurang berperan. Umat Kristen merupakan warga negara yang memiliki hak dan kewajiban sama seperti warga negara yang lain Leimena aktif dalam beberapa organisasi pengembangan umat dan pergerakan kalangan Kristen. Dalam gerakan politik, Leimena aktif sebagai salah satu pengusul dan pengurus Parkindo-meskipun tidak hadir pada saat pembentukan partai ini-dan sejak menjadi Menteri Muda Kesehatan ia dikenal sebagai sosok yang penting dalam Parkindo. Leimena menjadi Ketua Parkindo yang kedua, antara tahun 1950 dan tahun 1957.
Pada tahun 1948 beberapa tokoh Oikumene kembali memberikan masukan agar dibentuk suatu organisasi
tunggal yang menaungi seluruh gereja di Indonesia, yang dapat menjadi tempat permusyawaratan
dan tempat berkumpul perwakilan gereja seluruh Indonesia. Leimena beranggapan bahwa persatuan
gereja-gereja penting untuk diwujudkan karena perbedaan identitas gereja yang sebenarnya setara ini
tidak bisa berjalan dalam semangat nasional. Jika persatuan gereja terwujud maka persatuan bangsa
bisa menjadi lebih kokoh. Akhirnya pada bulan Mei 1950 dibentuklah Dewan Gereja-gereja Indonesia
(DGI), sekarang lebih dikenal dengan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Organisasi ini dibentuk
sebagai wadah persatuan dan musyawarah gereja-gereja di lndonesia.
Salah satu karya dan kontribusi dr. J. Leimena kepada bangsa ini adalah ide tentang Bandung Plan .
Setelah perang kemerdekaan selesai , Pemerintah Indonesia kekurangan sumber daya manusia, sarana
dan prasarana kesehatan, di samping tingkat kesehatan masyarakat yang menurun akibat terjadinya
perang. Pada saat itu juga terjadi tumpang-tindih pelaksanaan kebijakan kesehatan karena adanya Dinas
Kesehatan Federal. Akhirnya Leimena menggabungkan kebijakan dan pelaksanaan kesehatan kedua
lembaga tersebut. Leimena memulai program kesehatan percontohan di Bandung, dengan Bandung Plan pada 1951. Ide program ini dipengaruhi oleh pengalamannya saat bertugas di Rumah Sakit Immanuel Bandung, yang lebih menekankan tindakan pencegahan dalam masalah kesehatan, sehingga peran dokter dan tenaga kesehatan lebih ditekankan pada usaha preventif. Model struktur manajemen kesehatan ini dicontoh dari manajemen kesehatan yang telah diterapkan oleh zending. Dipilihnya Bandung sebagai bagian dari uji coba pertama proyek ini karena wilayah Bandung dianggap memiliki tingkat ekonomi masyarakat yang terbilang baik dan mampu menunjang pembiayaan.
Usaha awal projek ini adalah pembangunan rumah sakit pembantu dan pusat kesehatan di setiap
kawedanan yang dapat menampung masyarakat dengan penyakit relatif ringan . Di setiap kecamatan
dibangun balai pengobatan yang ditangani juru rawat dari rumah sakit pembantu. Pengawas balai
pengobatan ini diambil dari dokter RS Immanuel Bandung. Jenjang-jenjang pusat kesehatan inilah yang
kelak menjadi cikal bakal puskesmas di setiap kecamatan di seluruh Indonesia.

Selain tindakan penanggulangan, rumah sakit juga melakukan tindakan pencegahan kesehatan.
Kebersihan menjadi aspek yang sangat diperhatikan pada waktu itu, sehingga diperlukan juru kesehatan
yang dapat mendidik masyarakat mengenai pentingnya kebersihan. Juru kesehatan diambil dari anggota
masyarakat, dengan harapan masyarakat dapat lebih mengenal, dekat, dan mendengarkan saran juru
kesehatan. Juru kesehatan yang dipilih biasanya seorang kepala desa sehingga dapat menggerakan
masyarakat. Juru kesehatan yang ditunjuk diberikan pelatihan dan pendampingan dari mantri kesehatan.
Tugas juru kesehatan antara lain pendidikan kesehatan, pengawasan kebersihan rumah dan lingkungan
sekitar, serta pencatatan sumber penyakit.
Setelah dianggap sukses program Bandung Plan mulai diujicobakan di desa-desa Kabupaten Bandung,
yang selanjutnya pada tahun 1954 sistem ini mulai diterapkan di Yogyakarta dan Magelang.
Saat kekuasaan pemerintahan berganti dari Soekarno ke Soeharto, Leimena tidak masuk lagi dalam
kabinet. Meskipun demikian ia masih dipercaya oleh Soeharto duduk dalam Dewan Pertimbangan
Agung hingga tahun 1973. Pada periode ini pulalah Leimena kembali aktif ke dalam beberapa organisasi
yang dulu digelutinya, seperti DGI, UKI, dan Partindo. Selain itu ia juga menjabat sebagai Direktur
Rumah Sakit Cikini dan Ketua Dewan Penyantun di Universitas Kristen Indonesia.
Saat kunjungan ke Eropa atas undangan kawan-kawan gerejanya, Leimena jatuh sakit. Dalam perjalanan
pulang ke Indonesia, Leimena tidak dapat berjalan dan terpaksa menggunakan kursi roda. Beberapa
kali tindakan medis seperti operasi tidak dapat mengembalikan kesehatannya. Akhirnya pada tanggal
6 Maret 1977 Leimena meninggal karena komplikasi pembuluh darah dan darah tinggi. Jenazahnya
disemayamkan di rumah duka Jl. Cik Ditiro no. 16 untuk memberikan kesempatan penghormatan
terakhir. Setelah itu jenazah dibawa ke Gereja Paulus untuk dilakukan kebaktian, selanjutnya
dikebumikan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata .

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018

One thought on “Johannes Leimena”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *