Menteri Pendidikan masa jabatan 3 Juni 1985 – 17 Maret 1993
MASA KECIL DAN PENDIDIKAN
Fuad Hasan dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, tanggal 26 Juni 1929, anak kedua dari empat bersaudara. Ayahnya, Ahmad Hasan, pemain mandolin yang piawai dan membuat Fuad Hasan mewarisi
darah seni kuat; bahkan sejak kecil ia bermimpi menjadi seorang konduktor. Tidak hanya sekedar
bermimpi, bahkan sejak usia sekolah dasar pun ia telah giat dalam dunia musik. Ia sering bolos sekolah
hanya karena ingin bermain atau berlatih musik. Alat musik yang paling disenanginya sewaktu kecil
adalah biola. Ia sering berlatih dan bermain musik di Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta.
Kegilaan bermain musik, yang menyebabkannya sering bolos sekolah dan kebiasaan tidak baik, ini
akhirnya diketahui orang tuanya. Namun ayahnya yang bersifat liberal tidak serta-merta bersikap keras
melarang Fuad bermain musik, tetapi mengarahkan dan mengingatkan bahwa pendidikan formal juga
perlu dan-yang paling penting-ayahnya ternyata merestui minat Fuad dengan mengatakan: kalau
memilih terjun ke dunia musik terjunlah secara total, jangan setengah-setengah. Ia menyelesaikan sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas di Sala. Setelah tamat sekolah lanjutan atas, berbekal restu sang ayah dan ditambah dengan keinginan besar untuk memperdalam keahlian dalam bidang musik, tahun 1950 ia berangkat ke Jakarta. Di ibukota ia mendaftar untuk mengikuti tes sekolah musik di Roma, ltal ia. Sayangnya, tekad yang sudah mengkristal tersebut mencair. Ia mengurungkan niat menjadi musikus
profesional. Ada informasi yang mengatakan bahwa Fuad mundur karena pengaruh teman serta ada kesadaran dari diri sendiri, bahwa banyak orang bermain musik selama puluhan tahun tetapi nyaris tidak mendapat apresiasi yang wajar dari khalayak. Fuad kemudian menjatuhkan pilihan melanjutkan pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Pendidikan sarjananya selesai pada tahun 1958. Otak yang cemerlang mengantarkannya melanjutkan pendidikan ke 52. Ia mendalami filsafat pada Fakultas Psikologi dan Filsafat Toronto University, Kanada, yang diselesaikannya pada tahun 1962. Adapun gelar Doktor diperoleh pada tahun 1967 di Fakultas Psikologi Ul dengan disertasi berjudul Neurosis sebagai Konflik Eksistensial.
Baca Juga : Agung Wicaksono, S.Pd. M.Pd
KARIER
Sebelum menduduki kursi tertinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Fuad Hasan
memiliki serentetan panjang pekerjaan, sebagian di antaranya berhubungan dengan dunia pendidikan.
Ia mengawali karier sebagai asisten pada Balai Psikoteknik Departemen P & K (1952-1956), kemudian
menjadi Asisten Dosenjurusan Psikologi Fakultas Kedokteran Ul (1956-1858). Ketika Presiden Soekarno
membentuk organisasi berbasis intelijen pada saat konfrontasi Indonesia-Malaysia dengan nama Komando Operasi Tertinggi G-5 (KOTI G-5) ia ditunjuk sebagai salah seorang tenaga ahli pada lembaga tersebut (1965). Setelah Soeharto naik ke tampuk pemerintahan Republik Indonesia (RI), ia masuk ke dalam lingkungan istana dan diangkat menjadi Anggota Tim Ahli bidang Politik Staf Presiden (1966-1968). Di ujung kariernya sebagai Anggota Tim Ahli bidang Politik Staf Presiden ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR).
Sebagai pendidik, Fuad Hasan tidak hanya aktif menjadi dosen di almamaternya, tetapi juga tercatat
sebagai pengajar Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad), Sekolah Komando Angkatan Laut
(Seskoal), dan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Di almamaternya ia tercatat pernah
menjadi Dekan Fakultas Psikologi Ul dan pada waktu yang bersamaan juga menjadi Direktur Studi
Strategis Dewan Pertahanan Keamanan Nasional ( 1972-1976). Segera setelah mengakhiri tugasnya
di dua lembaga ini ia diangkat menjadi Dua Besar Rl untuk Mesir merangkap Sudan, Somalia, dan Jibouti (1976-1980). Kiprahnya sebagai duta besar dan pengalaman yang malang-melintang di dunia
pendidikan mengantarkannya sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar
Negeri (1980-1985). Dua tahun setelah menduduki jabatan itu untuk kedua kalinya ia diangkat menjadi
anggota MPR (1982-1987). Pada tanggal 30 Juli 1985 Fuad Hasan dilantik Presiden Soeharto sebagai Mendikbud menggantikan Nugroho Notosusanto yang meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 1985. Dalam amanat saat pelantikan, Soeharto mengingatkan bahwa dalam zaman pembangunan Mendikbud mempunyai tugas yang tidak ringan karena pendidikan dan kebudayaan merupakan bagian yang teramat penting dari keseluruhan pembangunan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya. Kecerdasan, kemampuan, bahkan juga watak bangsa Indonesia pada masa yang akan datang, lanjut Soeharto, ditentukan oleh pendidikan yang sekarang diberikan kepada anak-anak bangsa dan pengembangan budaya pada masa kini. Oleh karena itu salah satu pokok tugas negara adalah meningkatkan kecerdasan dan memperkuat watak bangsa serta mengembangkan budaya, agar bangsa Indonesia mampu tumbuh menjadi bangsa yang maju dan berbudaya, kuat, dan terhormat.
Setelah masa kerja Kabinet Karya Pembangunan IV berakhir, Fuad Hasan masih dipercaya memimpin
Depdikbud pad a kabinet berikutnya ( 1988-1993). Dalam dua masa kepemimpinan itu terlihat jelas ada
perbedaan kebijakan pendidikan dan kebudayaan yang dijalankan Fuad Hasan. Penampilan Fuad Hasan sebagai pendidik yang juga masuk dalam birokrasi pendidikan diabadikan oleh murid terbaiknya, jurnalis Tempo Goenawan Mohamad, yang menjadi mahasiswanya di Fakultas Psikologi Ul.
“Dosen kurus berpakaian putih-putih itu bernama Fuad Hasan. Kini dia Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Saya tak tahu bagaimana kelak dia akan dikenang sebagai seorang menteri dalam sejarah,
tapi dia akan tetap saya ingat sebagai seorang guru dari jenis yang punya jejak panjang,” demikian gores
ingatan Goenawan dalam Catatan Pinggir 3. Pujian yang dilayangkan Goenawan bukan isapan jempol. Fuad Hasan, menurut Goenawan Mohamad, bukan sekadar sosok yang pintar di depan kelas tetapi juga memiliki kelebihan lain. “Guru jenis ini bisa menggugah minat. Ia bisa merangsang keasyikan menalar hingga kita pun jadi tekun menggunakan kapasitas pemikiran kita untuk memecahkan seal,” tulis Goenawan dalam Catatan Pinggir 3 dalam sub judul “Guru”. Tulisan-tulisan Goenawan, terutama pada tokoh nasional hingga orang yang dikagumi, jarang berisi pujian untuk sosok yang mampu mengubah paradigma hidupnya. Pada akhir tulisan mantan Pemred Tempo ini menegaskan bahwa tidak semua guru bermental sama dengan Fuad Hasan. Bukan tanpa alasan bila Goenawan kemudian memperkuat argumentasinya, “Ia menghidupkan generator dalam diri kita untuk menjelajahi cakrawala pengetahuan dan menjelajahi cakrawala adalah proses yang tak habis habisnya. Karena itu jejaknya panjang.”
Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia
PEMIKIRAN UNTUK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
“Naik di tengah jalan” menyebabkan Fuad Hasan tidak membuat perubahan besar pada tahun-tahun
pertama kepemimpinannya di Depdikbud; bahkan ia berjanji tidak akan menjadikan anak didik sebagai
kelinci percobaan sebagaimana pameo yang berkembang di tengah masyarakat “ganti pejabat, ganti
kebijakan”. Menyikapi heboh mengenai Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang dicanangkan
Nugroho Notosusanto, Fuad Hasan lebih memilih sikap meredam kehebohan. Tidak banyak pernyataan yang dia keluarkan sehubungan dengan kebijakan tersebut. Sebagai gantinya, Fuad memilih berkonsentrasi pada penuntasan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang akan menjadi dasar
Sistem Pendidikan Nasional.
Fuad Hasan merancang dan melahirkan beberapa kebijakan strategis yang kelak berpengaruh terhadap kurikulum pendidikan. Fuad Hasan, yang berlatar belakang psikologi, memberi porsi terbesarterhadap ilmu-ilmu humaniora dalam kurikulum. Salah satu kebijakannya mempertahankan kurikulum sebelumnya adalah mata pelajaran PSPB yang dirancang Nugroho Notosusanto. Mata pelajaran PSPB, yang ada sejak tahun 1984, memang memberi warna tersendiri dalam dunia pendidikan. Meski ada yang menuding bahwa kemunculan mata pelajaran itu sarat dengan nuansa politik, pelanggengan kekuasaan Orde Baru, dan menasionalisasikan masalah internal ABRI, namun keberadaan PSPB menegaskan pentingnya pengayaan nilai-nilai kesejarahan, terutama untuk peserta didik.
Dua tahun dalam masa jabatannya, Fuad Hasan kembali merancang kebijakan strategis. Pada tanggal
I Juli 1987 ia menyampaikan gagasan pelaksanaan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Tingkat Nasional
(EBTANAS) dilaksanakan secara desentralisasi pada tahun-tahun mendatang. Gagasan tersebut
dilontarkan dengan tujuan menyempurnakan sistem ujian akhir di sekolah. Ia melandasi gagasannya
dengan, “Pelaksanaan Ebtanas secara sentralisasi yang dilakukan selama ini merupakan pekerjaan
raksasa dan banyak mengandung kerawanan,” demikian katanya kepada wartawan di Bina Graha,
Jakarta, setelah melapor kepada Presiden Soeharto.
Selain itu pelaksanaan Ebtanas dengan tersentralisasi membuat jurang pemisah antara pusat dan daerah menjadi lebih besar. Kepada jurnalis Antara ia mengakui bahwa munculnya gagasan desentralisasi Ebtanas dipicu banyaknya keluhan tentang pelaksanaan ujian akhir yang memberatkan peserta didik.
Fuad Hasan menyampaikan ide tersebut kepada Presiden Soeharto. Presiden pun menyetujui
dan menginginkan agar Mendikbud selekasnya membuat penelitian dan pengkajian atas rencana
desentralisasi Ebtanas. Untuk menindaklanjuti hal itu ia menyampaikan gagasan desentralisasi
Ebtanas dalam rapat kerja nasional Depdikbud tanggal 13-15 Juli 1987. Apabila desentralisasi
Ebtanas dilaksanakan Depdikbud dapat menekan biaya pelaksanaan Ebtanas yang kian membengkak.
“Pengkajian yang akan dilakukan itu diharapkan dapat mengetahui apakah sistem desentralisasi tidak
akan lebih mahal biayanya, mengingat sangat luasnya wilayah Indonesia”, demikian tegas Fuad Hasan
di depan wartawan dalam jumpa pers. Satu hal yang menjadi catatan Mendikbud untuk gagasan
desentralisasi adalah menjamin mutu pendidikan tetap terjaga. Selain persoalan desentralisasi Ebtanas, Fuad Hasan melihat ada kecenderungan baru di kalangan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang memilih sekolah kejuruan, seperti Sekolah Teknik Menengah (STM) dan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), dibandingkan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Kalau dugaan itu benar, ini gejala baik, sebab dengan begitu calon-calon yang akan memasuki perguruan tinggi lebih terseleksi,” kata Fuad kepada wartawan Antara. Mendikbud memandang gejala tersebut sebagai langkah maju peserta didik, yang lebih memilih program studi praktis serta condong mencari pekerjaan daripada melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Dari data yang diperoleh Antara memang terjadi penurunan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) tahun 1987, yakni diiktuti 454.184 lulusan SLTA. Jumlah ini berkurang hampir IS% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 600.000 orang. “Depdikbud akan meneliti sebab-sebab menurunnya jumlah peserta Sipenmaru itu. Namun dugaan sementara adalah mulai banyaknya lulusan SLTA yang lebih memilih program studi praktis serta condong mencari pekerjaan ketimbang meneruskan studi di perguruan tinggi negeri,” ungkap Fuad lebih lanjut kepada Antara.
Pada jenjang pendidikan tinggi, Fuad Hasan melakukan dua perubahan penting dan sangat berkesan
dalam sejarah pendidikan tinggi Indonesia, yakni perubahan pola seleksi masuk perguruan tinggi dan
perubahan pemakaian gelar kesarjanaan. Pada periode sebelumnya pola seleksi dinamakan Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Di samping menerima calon mahasiswa lewat tes tertulis juga
ada penerimaan mahasiswa tanpa tes yang dikenal dengan nama Penelusuran Minat dan Keahian (PMDK). PMDK dianggap kurang adil karena tidak berlaku untuk semua perguruan tinggi. Dengan alasan itu, ditambah dengan sejumlah alasan lainnya, tahun 1989 diputuskan mengganti pola penerimaan mahasiswa baru dengan nama Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Dari sejarah seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri di Indonesia pola UMPTN inilah yang paling lama digunakan (sampai dengan tahun 200I). Seleksi penerimaan mahasiswa baru dilaksanakan oleh masing-masing perguruan tinggi. Namun karena banyak perguruan tinggi yang ikut serta dalam seleksi pola UMPTN, pelaksanaan ujian dikoordinasikan dalam tiga rayon untuk mempermudah peserta ujian, yakni Rayon A, Rayon B, dan Rayon C. Rayon A meliputi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di wilayah Sumatera, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Rayon B mencakup PTN yang berada di wilayah Jawa Tengah, Dl Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.Adapun Rayon C meliputi Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya (Papua). Seleksi diselenggarakan secara bersamaan dengan soal sama atau setara. Hal yang menentukan calon diterima atau tidak adalah nilai kelulusan yang ditentukan oleh masing-masing lembaga yang dipilih calon mahasiswa. Tinggi atau rendahnya nilai kelulusan tergantung pada ” nilai” dari program studi atau fakultas bersangkutan. Kebijakan lain Mendikbud Fuad Hasan yang berhubungan dengan mahasiswa adalah pencabutan NKK/BKK. Kebijakan pada masa Daoed Joesoef itu dicabut oleh Fuad Hasan dan diganti dengan Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK yang ditetapkan berdasarkan SK Mendikbud No. 0457/U/1990 menetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra-kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang di dalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk menanggapi tuntutan mahasiwa agar mahasiswa diberi ruang untuk bergerak dan Dewan Mahasiswa (Dema) dihidupkan kembali. Pemerintah, melalui Menteri P dan K, mempersilakan mahasiswa bergerak tetapi tidak menggunakan kata Dema karena organisasi tersebut telah dibekukan. Sebagai penggantinya pemerintah menawarkan konsep SMPT dengan memposisikan mahasiswa sebagai mitra pimpinan universitas dan bukan berdiri sendiri seperti Dema. Dalam aturan ini semua organisasi mahasiswa di perguruan tinggi harus memiliki corak yang sama dan satu-satunya yang diakui, yaitu SMPT. Perubahan lain yang juga dilaksanakan pada masa kepemimpinan Fuad Hasan adalah penamaan gelar kesarjanaan, terutama untuk gelar sarjana strata I. Ada dua inti perubahan. Pertama, mengakhiri
penggunaan gelar yang berbau kebelanda-belandaan atau kebarat-baratan dan mengganti gelar yang
bernuansa Indonesia. Kedua, meyesuaikan penamaan atau penggunaan gelar kesarjanaan dengan kaidah
bahasa Indonesia yang sekaligus menyebutkan bidang ilmu dalam bahasa lndoensia dari kesarjanaan
pemegang gelar. Kebijakan ini sekaligus mengakhiri penggunaan gelar doktorandus (Drs.) dan gelar
doktoranda (Dra.) sebagai bentuk feminim Drs. serta gelar insinyur (lr). Gelar-gelar ini telah digunakan
sejak zaman kolonial Belanda untuk berbagai bidang ilmu. Gelar Drs. atau Dra. bisa saja digunakan oleh
sarjana sejarah, geografi, arkeologi, bahasa atau sastra, politik, sosiologi, filsafat, ushuludin, tarbiyah,
dan sebagainya. Gelar lr. juga digunakan oleh sarjana berbagai bidang ilmu, mulai dari teknik, pertanian,
hingga peternakan. Gelar tersebut diganti dengan menyebutkan sarjana di depan bidang ilmu yang
disandang berdasarkan kelompok bidang/rumpun ilmu, seperti Sarjana Humaniora, Sarjana Teknik,
Sarjana Pendidikan, dan Sarjana Pendidikan Islam. Walaupun sempat heboh pada masa awal diperkenalkan, secara lam bat namun pasti perubahan tersebut diterima oleh masyarakat kampus dan umum. Apalagi, sebetulnya, pada masa sebelum perubahan ini dilakukan pola penggunaan gelar dengan menyebut sarjana dan bidang ilmu telah dikenal juga, misalnya sarjana hukum (S.H.).
Fuad Hasan juga memperhatikan masalah kebudayaan, bahkan perhatian itu hadir sejak hari-hari
pertama ia menjabat Mendikbud. Perhatian itu diwujudkan dalam penataan atau perumusan ulang
kebijakan kebudayaan yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Kebudayaan. Rumusan
kebijakan yang mencakup delapan aspek/unsur-yang kemudian dikenal dengan Pokok-pokok Kebijakan Pengelolaan Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan dan Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa-itu diberlakukan tahun 1986. Kedelapan aspek/unsur budaya yang dimaksud terdiri
atas I) kepurbakalaan, 2) kesejarahan, 3) nilai tradisional, 4) kesenian, 5) kebahasaan dan kesastraan,
6) penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 7) Permuseuman, serta 8) perpustakaan
dan perbukuan. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi acuan bagi keberadaan lembaga kebudayaan
di pemerintahan, yang berarti kedelapan unsur kebudayaan tersebut dijadikan landasan atau dasar
pembentukan lembaga-lembaga kebudayaan di berbagai tingkat atau lembaga pemerintah.
Fuad Hasan memprakarsai pemugaran Galeri Nasional dan mengganti nama Galeri Nasional menjadi
“Gedung Pameran Seni Rupa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”. Renovasi Galeri Nasional
selesai pada tahun 1994 saat Mendikbud dijabat oleh Wardiman Dojojonegoro.
Perhatian Fuad Hasan dalam dunia pendidikan juga dapat ditelusuri dalam beberapa karyanya dalam
bentuk buku dan makalah. Dalam sebuah makalah seminar yang dipresentasikan tanggal IS Februari
1987 di Ul, ia menegaskan bahwa pendidikan merupakan nilai tambah bagi kebudayaan di mana manusia
menjadi tercerahkan dan merdeka dalam situasi pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan bukan
saja upaya pengalihan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga pengalihan nilai-nilai budaya
(transfer of cultural values).
Khusus pemikiran Fuad Hasan mengenai kebudayaan bisa dijumpai dalam beberapa karyanya. Pendapatnya mengenai seputar asal-usul budaya Nusantara diuraikan cukup lengkap, untuk menggambarkan kekayaan budaya Nusantara dari sisi unsur-unsurnya bisa ditelusuri dalam karya Koentjaraningrat berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Menurut Fuad, budaya Nusantara yang plural merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari. Kebhinnekaan ini harus dipersandingkan, bukan dipertentangkan. Keberagaman merupakan manifestasi gagasan dan nilai sehingga saling menguat dan untuk meningkatkan wawasan dalam saling apresiasi.
Renungan Budaya merupakan buku kumpulan karangan dan pidato sambutan Fuad Hassan semasa
menjabat sebagai Mendikbud yang mengandung buah pikiran mendasar tentang perkembangan
kebudayaan. Pengertian kebudayaan, menurut perspektif Fuad, ditangkap dalam aspeknya yang luas
sehingga mencakup bidang-bidang kehidupan yang lebih menukik daripada sektor-sektor seni sastra
belaka. Sangkutan yang mendalam dalam kebudayaan mengajak kita berbincang mengenai pendidikan
nasional, disiplin nasional dan sosial, kependidikan dan lingkungan hidup, ilmu dan teknologi, sejarah,
pertahanan dan keamanan, yang semuanya itu dirangkum dalam penglihatan yang berinti pada konsep
kebudayaan. Dalam buku itu Fuad Hasan juga memperbincangkan bidang-bidang kehidupan yang lebih dekat pada estetika yang secara intuisi selalu melekat pada pengertian kebudayaan, yakni seni, sastra,
film, dan bahasa. Uraian-uraiannya berupa hasil renungan budaya Fuad Hasan, dalam arti batas-batas
pikirannya tidak terikat pada sistem yang terlalu ketat, tetapi berlandaskan pada suatu pandangan
hidup yang bernilai filsafat.
Cinta Fuad Hasan terhadap dunia pendidikan, kebudayaan, dan filsafat juga bisa ditelusuri dalam
beberapa tulisannya yang lain. Salah satu di antaranya buku berjudul Berkenalan Dengan Eksistensialisme,
diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Keistimewaan buku ini sampai dengan tahun 2005 menunjukkan cetakan
ke-9. Cetakan ke -I tahun 1973, ke-2 tahun 1976, ke-3 tahun 1985, ke-4 tahun 1989, ke-5 tahun 1992,
ke-6 tahun 1994, ke-7 tahun 1997, ke-8 tahun 2000, dan ke-9 tahun 2005. Buku setebal 144 halaman ini
merangkum dan menjelaskan buah pikir para filsuf dunia, antara lain Kierkegaard, Nietzsche, Berdyaev,
Jaspers, dan Satre.
Karya lain Fuad Hasan yang berhubungan dengan filsafat, psikologi, dan sastra adalah Pengantar Fi/safat
Barat (1995), Apologia, terjemahan karya Plato disertai pengantar tentang filsafat , Neurosis sebagai
Konflik Existensial (1967, disertasi), dan Kita dan Komi (2007). Sebagai seorang pecinta seni Fuad Hasan juga memiliki pandangan tinggi pada dunia seniman. Ia melihat bahwa seniman adalah sosok-sosok pecinta damai. Ketika menjabat Mendikbud dan diminta menjadi salah seorang pembicara dalam diskusi Polemologi (llmu Perdamaian) di Yogyakarta, Fuad Hasan berseloroh dengan mengatakan, ” Kalau mau perang, kumpulkanlah seribu seniman untuk membicarakan soal strategi perang yang akan dipakai, nanti hasilnya tidak akan pernah terjadi perang. Sebaliknya, kalau ingin damai, kumpulkanlah seribu diplomat untuk membicarakan soal strategi damai, nanti hasilnya adalah tidak pernah akan damai, tapi malah perang terus”. Fuad Hasan termasuk salah satu menteri yang memperlihatkan keprihatinannya atas sedikitnya pengajaran seni di berbagai jenjang pendidikan. Ia sadar betul bahwa pelajaran seni telah lama hilang dalam dunia sekolah. Kalaupun ada pelajaran seni, alokasi waktunya terlalu sedikit. Penyediaan waktu yang agak banyak pada pelajaran ini hanya di sekolah-sekolah yang khusus mempelajari seni, tetapi itu bukan termasuk sekolah favorit di mata sebagian besar anak bangsa. Sebagai Mendikbud, Fuad Hasan termasuk gagal menambah porsi seni dan alokasi waktu pelajaran di berbagai jenjang sekolah.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Fuad Hasan (3 Juni 1985 – 17 Maret 1993) […]