Menteri Pendidikan masa jabatan 29 Maret 1978 – 19 Maret 1983
MASA KECIL DAN PENDIDIKAN
Daoed Joesoef. Demikian nama lengkap Menteri P & K Kabinet Pembangunan Ill ini . Ia lahir di Medan tanggal 8 Agustus 1926. Ia meninggal di Jakarta tanggal 23 Januari 20 18 dalam usia 91 tahun. Dilihat dari umurnya ia tergolong mantan menteri yang diberi umur panjang. Daoed Joesoef dilahirkan dari pasangan Moehammad Joesoef dan Siti Jasiah asal Jeron Beteng,Yogyakarta. Dari berbagai literatur yang tersedia tidak diketahui pasti mengenai sosok kedua orang tua Daoed, namun keberadaannya pernah dia abadikan dalam sebuah novelnya yang terkenal: Emak. Ayahnya mantan jawara, yang hidup kesehariannya diisi dengan kegiatan memerah susu sapi, sedangkan Siti Jasiah ibu rumah tangga yang
sederhana, pintar memasak, dan kreatif.
Pasangan Muhammad Joesoef dan Siti Jasiah hanyalah orang kampung yang buta huruf dan tidak
berpendidikan formal, namun kemampuannya membaca huruf Arab sangat baik serta pemahaman
agama dan AI-Quran yang mendalam menjadi bekal kuat dalam mendidik anak-anaknya. Daoed anak keempat dari lima bersaudara yang bermukim di pinggir hutan Medan. Ia tidak banyak mengulas ingatannya terhadap tiga kakak perempuan dan satu orang adiknya; tetapi pamannya, seorang aktivis pergerakan di Medan yang dihukum buang ke Boven Digoel karena dianggap mengacaukan
rust en orde , malah lebih membekas di sanuribarinya dan lebih berpengaruh dalam pembentukan diri nya. lngatannya pada sosok Siti Jasiah diabadikan ketika Daoed Joesoef berumur 77 tahun. Dalam usia
yang kebanyakan sudah mengalami kepikunan, Daoed Joesoef malah menulis falsafah hidup ibunya,
seorang perempuan kampung yang cenderung terbelakang dalam urusan pendidikan, namun unggul
dalam pemahaman keagamaannya. Dalam buku itu ia menulis kisah kegigihan Siti Jasiah yang ingin
belajar naik sepeda, sementara suaminya tidak mengizinkan.
“Nik, kita ini tidak muda lagi,” kata bapak sejenak kemudian. “Sejak kapan ada pembatasan umur untuk berkeretangin?” sambut emak.
“Saya lihat nyonya-nyonya Belanda yang lebih tua daripada saya naik keretangin ke sana-ke mari. Dan
badannya gemuk-gemuk lagi.”
“Ya itulah, mereka lain sih •••• “
“Lain bagaimana? Mereka dan kita sama-sama manusia.
Bedanya kan cuma dari warna kulit. Akan saya buktikan bahwa saya pun bisa berkeretangin seperti perempuan perempuan Belanda itu.”
Ayah Daoed ber alasan sebenarnya khawatir istrinya menjadi bahan gunjingan istri tetangga. Siti Jasiah
tetap pada pendirian, malah berujar, ” Biarkan perempuan-perempuan sini menggunjing di belakang
saya. Heran, kok mereka begitu benci pada kemajuan. Picik bagai katak di bawah tempurung.”
Rasa sayang Daoed kepada ibunya memang dalam. Ia tidak malu-malu menyebut sosok Siti Jasiah-lah
yang membentuk karakternya. Meski keluarga Daoed Joesoef tinggal di pinggir hutan di Medan, namun
ia merasakan sosok ibunya sebagai pengayom dan teladan. Di halaman dua Emak, ia menulis, “Aku
tahu benar bahwa prestasi seperti ini adalah berkat perbuatan banyak orang. Barisan orang-orang ini
ternyata cukup panjang dan di ujung permulaannya tegak berdiri seorang perempuan bertubuh langsing,
semampai, dengan penampilan yang anggun dan wajah mencerminkan ketinggian budi. Perempuan
tersebut adalah ibuku, yang menurut kebiasaan di daerah kelahiranku, biasa kusebut emak.”
Masa kecil hingga remaja Daoed lebih banyak dihabiskan di Medan. Pendidikan dasarnya dilalui di
bangku Holland lnlandsche School (HIS) Medan dan diselesaikan pada tahun 1939. Sejak duduk di
HIS Daoed sudah mahir melukis. Emaknya pun harus merogoh saku cukup dalam, sekadar membeli
peralatan melukis. Keahlian ini kelak dimanfaatkan Daoed untuk mencar i uang di perantauan.
Setelah menamatkan HIS, Daoed melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), juga di
Medan. Oleh karena pada pertengahan tahun 1942 kekuasaan beralih ke tangan militer Jepang, Daoed
Joesoef menyelesaikan pendidikannya di lembaga yang saat itu dinamai MULO Tjuu Gakko Medan pada
tahun 1944. Tidak diketahui dengan jelas siapa yang membiayai pendidikannya, mengingat kedua orang
tuanya bukanlah dari kalangan yang berkecukupan, apalagi dalam suasana serba susah pad a zaman Jepang. Memasuki masa awal kemerdekaan Daoed Joesoef terjun ke medan juang dan terdaftar sebagai militer aktif dengan pangkat Letnan Muda. Sampai akhir tahun 1946 ia aktif di Divisi IV Sumatera Timur.
Pada tahun 1950 ia dipindahkan ke Komando Militer Pangkalan Jakarta Raya. Kariernya di dunia
militer berkembang pesat, sampai diangkat menjadi anggota Tim Penasihat lrjenterpra/Asisten Urusan
Angkatan Darat Penguasa Perang Tertinggi periode 1959-1960. Setelah itu ia mengundurkan diri dari
dunia militer dengan pangkat terakhir Letnan Dua.
Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia
Selama bermukim di Jakarta, Daoed Joesoef melanjutkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE Ul). Pada tahun 1956 ia melakukan riset di Jawa Tengah dengan judul”Gerakan dan Pemberontakan Koperasi”. Ia memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari FE Ul pada tahun 1959. Ia meneruskan ke Program Master Universite de Paris I Pantheon-Sorbonne, Prancis, tahun 1960.
Ketika sedang berjuang menyelesaikan pendidikan di Sorbonne University, Daoed dikejutkan berita
meninggalnya Siti Jasiah , ibunya. Sejak Siti Jasiah berpulang, ia mempercepat penulisan Emak, yang
kemudian diterbitkan pertama kali tahun 2003. Khusus di bagian “Epilog”, secara panjang Iebar ia
mengisahkan sosok ibunya, “Alangkah bahagianya mempunyai emak. Dia yang membesarkan aku
dengan cinta keibuan yang lembut. Dia yang selalu memberikan aku pedoman di dalam perjalanan
hidup. Dia yang, di setiap langkah, tahap dan jenjang, membisikkan padaku dalam usahaku mengolah
budaya kreatif, baik yang terpaut pada ilmu pengetahuan maupun yang menyangkut dengan seni. Dia
yang t idak pernah mengecewakan, apalagi menyakiti hatiku. Satu-satunya duka yang disebabkannya
adalah ketika dia harus pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya.”
Kematian ibunya tidak membuat Daoed larut dalam kesedihan. Ia segera menyelesaikan dua gelar doktor
sekal igus, yakni pada bidang llmu Keuangan lnternasional dan Hubungan lnternasional tahun 1965
serta llmu Ekonomi pada 1973 di Universite de Paris I, Pantheon-Sorbonne, Prancis. Kompas tanggal
8 Agustus 2016 menyebut Daoed Joesoef merupakan orang pertama Indonesia yang mempelajari ilmu
ekonomi di lembaga pendidikan tinggi Prancis dan orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar
Doctorat d’ Etat atau ‘doktor negara’, yang lebih tinggi dibandingkan dengan Doctorat d’Universite
atau doktor universitas dari Universitas Sorbonne.
JENJANG KARIER
Ketika masih berstatus mahasiswa FE U I Daoed Joesoef yang kuat dalam bidang ekonomi moneter
ditawari menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) menggantikan Sjafruddin Prawiranegara. Peristiwa
itu terjadi pada tahun 1953. Tawaran itu ditolak dengan alasan independensi. Daoed Josoef berkata
bahwa ia tidak akan bebas berkarya dan menulis jika menjadi Gubernur Bl. “Saya menolak karena jika
saya masuk Bl, saya tidak lagi bebas menulis dan berpikir. Segala tulisan harus dikonsultasikan dengan
atasan ,” ujar Daoed Joesoef.
Pada tahun 1956, karena kecemerlangan akademiknya, Daoed Joesoef ditunjuk menjadi asisten dosen
di FE Ul. Setahun menjelang skripsinya selesai pada tahun 1958 ia diangkat menjadi dosen di fakultas tersebut. Keahliannya di bidang Ekonomi Moneter dan Perhitungan Pendapatan Nasional juga
membawanya sebagai dosen terbang di FE Universitas Hasanuddin. Karier struktural di dunia akademik segera melesat. Beberapa kali nama Daoed Joesoef tercatat sebagai Kepala Departemen dan Ketua Jurusan FE Ul dalam kurun waktu 1962-1965. Beberapa jabatan yang pernah disandangnya sebagai berikut.
- Kepala Departemen Ekonomi FE Ul tahun 1962-1965.
- Kepala Departemen Administrasi Umum FE Ul tahun 1964-1965.
- Kepala Jurusan Umum FE Ul tahun 1962-1965.
- Kepala Jurusan Umum dan Ekonomi Pemerintahan FE Ul tahun 1964-1965.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Sorbonne, Daoed kembali mengabdi di almamaternya, FE Ul. Kecemerlangan akademik di bidang ekonomi segera dimanfaatkan Pemerintah Orde Baru dengan memasukkannya di Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Keterlibatannya dalam CSIS bermula pada tahun 1969. Pada waktu itu Sofjan Wanandi ditugasi Ali Moertopo (saat itu Asisten
Pribadi Bidang Khusus Presiden Soeharto) berkeliling Eropa. Sofjan menemui tokoh tokoh
intelektual muda Indonesia di sejumlah kota di Eropa, termasuk Daoed Joesoef yang saat
itu menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Prancis. Sofjan tertarik pada kecerdasan
dan kekritisan Daoed Joesoef. Kemudian ia mengajaknya ikut-serta membesarkan lembaga think
tank Orde Baru tersebut.
Keterlibatannya dalam CSIS segera mengibarkan namanya. Tercatat beberapa kali ia memperoleh
kedudukan strategis dalam lembaga tersebut. Pada tahun 1970-1973 ia ditunjuk sebagai Direktur CSIS dan anggota Research CSIS Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat, pada tahun 1976-1978. Pada tahun 1983-1999 dia menjabat Ketua Dewan Direktur CSIS dan tahun 1999 berada dalam posisi Pembina Yayasan CSIS. Sebelum dipilih Presiden Soeharto sebagai Menteri P dan K pada tahun 1976-1978 ia menjabat sebagai Asisten Ahli Menteri di Departemen P dan K.

PEMIKIRAN UNTUK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Tawaran menjadi menteri menghampirinya sepulang dari Sorbonne. Presiden Soeharto memintanya
menjadi menteri pada Kabinet Pembangunan Ill dan dilantik tanggal 31 Maret 1978. Ia bukan mengurus
ekonomi yang menjadi keahliannya, melainkan mengurus pendidikan. Saat bertemu Presiden Soeharto
di Cendana, Daoed Joesoef pun menyampaikan konsep pendidikan yang disiapkannya. Ia kaget ketika
mengetahui Soeharto telah mengetahui konsep pendidikan yang akan diajukannya. “ltu sebuah misteri.
Mungkin beliau tahu melalu i Mohammad Hatta (mantan Wapres). Pasalnya, sebelum dipanggil Pak
Harto, saya memang sempat menyampaikan konsep-konsep saya kepada Hatta. Entahlah ,” ujar Daoed
Joesoef pada Kompas.
Sebagai Menteri P & K periode 1978-1983 Daoed Joesoef menyiapkan konsep pendidikan sebagai
bagian dari kebudayaan, yang membangun masa depan melalui pendidikan generasi muda. Menurut
Daoed, generasi muda merupakan investasi besar bangsa.
“Mereka harapan sekaligus manusia masa depan. Melalui pendidikan kita menyiapkan masa depan. Ada nilai investasi di sana dengan memberi generasi muda cukup ilmu.”
Daoed Joesoef termasuk salah satu Menteri P & K yang membuat banyak kebijakan yang membikin “heboh” dan memiliki arti tertentu dalam sejarah dunia pendidikan Indonesia khususnya dan dalam kehidupan berbangsa pada umumnya; bahkan beberapa kebijakannya mendapat tanggapan
dan protes yang luas di tengah masyarakat. Kebijakan pertama yang menyulut heboh terjadi sekitar empat bulan setelah dilantik sebagai Menteri P & K. Daoed Joesoef menyusun Program Perpanjangan Wajib Belajar Mengajar untuk tahun ajaran 1978 ia memutuskan memperpanjang tahun ajaran selama enam bulan sehingga tahun ajaran berikutnya dimulai bulan Juli 1979. Ada beberapa alasan yang dikemukakannya mengenai kebijakan yang ia lakukan. Pertama, libur panjang bulan Desember selama ini ternyata jatuh pada saat musim hujan sedang lebat-lebatnya sehingga merusak suasana liburan. Kedua, dimulainya tahun ajaran pada bulan Januari (sejak 1966) menyulitkan perencanaan pendidikan karena bulan Januari merupakan akhir tahun angggaran. Oleh karena itu dengan pengunduran ke bulan Juli dimaksud untuk menyesuaikan dengan permulaan tahun anggaran.
Di samping itu, pengunduran tahun ajaran juga dimaksudkan untuk program perbaikan dan
pengayaan siswa. Kebetulan beberapa saat sebelum kebijakan tersebut dikemukakan terdapat rilis hasil
penelitian tentang pelaksanaan pendidikan yang menyebut bahwa daya serap murid terhadap pelajaran di sekolah dasar tidak lebih dari 50-60 %, sementara di Sekolah Lanjutan Pertama (SLP) 40 %, dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sekitar 30 %”. Untuk mengatasi persoalan biaya ia mengatakan bahwa
selama enam bulan perpanjangan tahun ajaran siswa hanya akan dikenai SPP 50 % dari besaran resmi.
Namun penurunan SPP haya berlaku di sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta tetap membayar penuh. Rencana Daoed Joesoef mendapat reaksi luas di tengah masyarakat, yang umumnya menentang.
Penolakan berasal hampir dari semua kalangan masyarakat, mulai dari orang tua siswa hingga
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rektor sejumlah universitas, mantan Menteri P & K,
mantan Gubernur DKI Jakarta Raya, dan berbagai pihak lain. Walaupun sekitar empat minggu setelah
menyatakan gagasannya Daoed Joesoef mengatakan menunda rencana tersebut, dengan kata lain tidak
jadi dilaksanakan pada bulan Juli 1979, namun dalam kenyataannya rencana tetap jalan dan pergantian
awal tahun ajaran tetap terjadi.
Kebijakan lain yang dikeluarkan Daoed Joesoef pada hari-hari pertama kepemimpinannya adalah
membentuk Komisi Pembaharuan Pendidikan yang akan menyusun sistem pendidikan baru dengan
masa kerja selama satu setengah tahun. Komisi itu bertugas mengumpulkan informasi dari seluruh
pelosok tanah air, menyusun konsep yang akan diterapkan, dan selanjutnya melempar konsep tersebut
ke tengah masyarakat. Kegiatan ini dikatakan Daoed Joesoef sebagai upaya untuk mendapatkan umpan
balik dari masyarakat. Ia mengatakan bahwa akhir kerja komisi tersebut adalah lahirnya Undang-undang
(UU) Pokok Pendidikan dan Kebudayaan, yang merupakan suatu pekerjaan besar yang mungkin saja
tidak akan rampung dalam masa kepemimpinannya di Departemen P & K.
Dengan merujuk pengalaman Prancis dan Jerman, serta mengutip banyak pendapat ahli, Daoed
Joesoef berencana memberi perhatian yang jauh lebih besar pada pendidikan prasekolah. Berkali
kali pada hari-hari pertamanya menjadi menteri, ia menyebut bahwa pada usia sampai enam tahunlah
tingkat kecerdasan anak berkembang. Ia bahkan mengritik kerja Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan yang selama ini baru memberikan perhatian mulai dari pendidikan SD.
Salah satu kebijakan Daoed yang kontroversial dan memicu protes di kalangan mahasiswa dan masyarakat adalah pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan NKK berlaku resmi setelah Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan BKK berlaku resmi setelah keluarnya Surat Keputusan No. 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Dengan keluarnya kedua SK tersebut kampus menjadi kawasan “steril” kegiatan politik. Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di semua perguruan tinggi dibubarkan.
Kebijakan yang dianggap kontroversial ini sebetulnya merupakan akumulasi serentetan penstiwa
yang melibatkan mahasiswa pada masa-masa sebelumnya. Muara dari berbagai peristiwa tersebut
adalah protes terhadap pemerintah dan pemerintah tampaknya tidak ingin lagi menjadi sasaran
protes tersebut. Pada tahap paling awal sejarah Indonesia kontemporer, kebebasan yang dinikmati
mahasiswa, misalnya, berhasil menumbangkan rezim Orde Lama pada tahun 1966. Selanjutnya pada
tahun 1971 mahasiswa memprotes sikap pemerintah yang dianggap berpihak kepada salah satu
peserta Pemilihan Umum (Pemilu), Golongan Karya. Keberpihakan pemerintah dianggap mahasiswa
menyebabkan Pemilu tidak berjalan sesuai dengan mottonya: jujur dan adil. Oleh karena itu mahasiswa
mengkampanyekan “golongan putih”, yakni tidak ikut-serta memberi suara dalam Pemilu. Mahasiswa
juga mengkritisi rencana pemerintah membangun Taman Mini Indonesia lndah tahun 1973 karena
dianggap memboroskan keuangan negara yang saat itu nilainya sebesar Rp I 0,5 milyar. Mahasiswa
juga memprotes keras derasnya modal asing masuk ke Indonesia dan mereka kemudian turun ke jalan
berdemontrasi. Demonstrasi yang kemudian dikenal dengan Mala Petaka Lima Belas Januari (Malari)
tahun 1974 itu dianggap pemerintah sebagai kegiatan yang keterlaluan, apalagi dilakukan pada saat
kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia (Jakarta). Bagi Daoed Joesoef apa yang dilakukan oleh mahasiswa di atas merupakan kegiatan politik praktis, padahal mahasiswa bukan bagian pelaku politik praktis. Tugas utama mereka adalah membangkitkan kemampuan nalar individu serta mengembangkan kemampuan berpikir analisis dan sintetis. Daoed Joesoef mempersilakan mahasiswa mempelajari politik, tetapi tidak berpolitik praktis. Dengan memperkenalkan NKK/BKK ia berupaya mengembalikan kampus sebagai lingkungan kaum intelektual,lingkungan tempat menuntut ilmu, dan tempat menyemai benih-benih kecendekiawanan. Organisasikemahasiswaan yang diperbolehkan hanya pada tingkat fakultas (senat mahasiswa) dan jurusan (himpunan mahasiswa). Konsep kebijakan
NKK/BKK berhasil “membelenggu” kehidupan kampus agar steril dan jauh dari campur tangan kebijakan politik pemerintah.
Sejalan dengan pemberlakuan NKK/BKK Daoed Joeseof memperkenalkan sistem pendidikan Satuan
Kredit Semester (SKS). Melalui sistem ini mahasiswa dituntut untuk segera menyelesaikan kuliah.
Mereka diprogram bisa menamatkan pendidikan dalam waktu empat sampai tujuh tahun. Program
ini berbeda jauh dengan sistem lama yang mahasiswanya bisa selesai dengan gelar Doktorandus/
Doktoranda, Sarjana Hukum, atau lnsinyur hingga belasan tahun.
Segenap kegiatan mahasiswa di lingkungan kampus pada saat itu, sebagaimana ditulis Daoed
Joesoef dalam buku Rekam jejak Anak Tiga Zaman, tidak sesuai dengan hakikat kampus sebagai
masyarakat ilmiah. Akibatnya tidak kondusif bagi usaha pemenuhan kebutuhan demokrasi untuk
pembentukan masyarakat sipil; padahal eksistensi masyarakat sipil seharusnya menjadi ideal bagi
gerakan mahasiswa dan bukan menjadi politikus insidental-sporadis di jalan raya. Melalui kebijakan
NKK/BKK, Daoed Joesoef ingin mahasiswa menjadi pemikir seperti Bung Hatta dan bukan sibuk
demonstrasi.
Seperti disebut di atas, pada Agustus 1978 Daoed Joesoef membentuk Komisi Pembaruan Pendidikan
Nasional. Komisi ini bertugas merumuskan pendidikan nasional yang bersifat semesta, menyeluruh,
dan terpadu. Pertama, yang dimaksud semesta meliputi seluruh elemen kebudayaan, mulai dari logika,
etika, estetika, nilai-nilai moral, hingga spiritual. Kedua, menyeluruh dalam arti meliputi setiap jenis dan jenjang pendidikan di dalam dan luar sekolah. Ketiga, terpadu merupakan pembinaan secara jelas
kaitan fungsional dan hubungan perpindahan antara jenis dan jenjang pendidikan.
Pada masa kepemimpinan Daoed Joesoef, Departemen P & K mendapat kucuran dana besar, bahkan
pada tahun terakhir jabatannya sebanyak Rp I ,3 trilyun untuk mewujudkan program-programnya. Hingga
tahun 1982 telah dibangun 16 Taman Kanak-kanak (TK), 667 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 131
Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA), 8 Sekolah Teknik Menengah (STM), 7 Sekolah Luar Biasa (SLB),
dan pemugaran 8 ruang kelas, pembangunan politeknik, pengadaan laboratorium, alat peraga, pengadaan buku ajar lebih dari 2,8 juta eksemplar, penataran terhadap 7.278 guru, serta pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi. Khusus untuk yang terakhir ia memberi perhatian yang cukup besar kepada siswa siswa Indonesia bagian timur. Pengadaan buku ajar dan peralatan belajar mencakup hampir semua jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMP, Sekolah Pendidikan Guru Luar Biasa (SPGLB), Sekolah Guru Olah Raga (SGO), KPG, dan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP).
Kurangnya tenaga pengajar untuk pendidikan dasar dan menengah juga menjadi perhatian Daoed
Joesoef. Pada 1979 ia menginstruksikan 10 lnstitut Keguruan dan llmu Pendidikan (IKIP) negeri, 2 IKIP
swasta, 12 universitas negeri, dan 2 universitas swasta membuka program diploma akta mengajar
khusus untuk calon-calon guru. Dengan demikian, sejak masa Daoed Joesoef, IKIP diberi prioritas
penting dalam menyediakan calon-calon guru. Dalam kurikulum 1975 Daoed Joesoef melakukan sedikit
revisi, terutama dalam memunculkan nama mata pelajaran matematika.
Daoed Joesoef juga membuka jenjang pendidikan S-2 dan S-3 di Ul. Sebagian besar mahasiswa S-2 dan
S-3 merupakan staf pengajar perguruan tinggi. Dengan demikian Daoed Joesoef termasuk menteri
yang menaruh perhatian besar pada peningkatan kualitas pengajar di perguruan tinggi..
Perhatiannya pada kebudayaan pun tidak diragukan. Daoed Joesoef melihat ada hubungan yang sangat
erat antara dunia pendidikan dan kebudayaan. Baginya, pusat kebudayaan adalah lingkungan sekolah
mulai SMTA ke bawah. Sekolah sebagai pusat kebudayaan menjadi amat penting untuk membiasakan
pada anak didik menggali, mengenal, memahami, menyadari, menguasai, menghayati, dan mengamalkan
pembelajaran di sekolah. Sekolah dapat dianggap sebagai pusat kebudayaan apabila telah mampu
menciptakan masyarakat belajar, meningkatkan mutu pendidikan, dan menjadi teladan masyarakat.
Sebagai pusat kebudayaan, sekolah menjadi tumpuan pengembangan logika, etika, estetika, dan
praktika. Sehubungan dengan itu budaya yang bisa dan seharusnya dikembangkan di sekolah antara
lain gemar, biasa dan lalu butuh membaca, rajin dan tekun belajar, suka meneliti, gairah menulis
analitis,
bertaqwa kepada Tuhan YME, penghayatan dan pengalaman Pancasila, sopan santun serta
berkepribadian, berdisiplin, menghargai seni, dapat menikmati seni, dapat menciptakan karya baru,
menghargai pekerjaan fisik (di samping karya intelektual), terampil dan cekatan, serta mampu
memanfaatkan teknologi. Jauh sebelum menjadi Menteri P & K Daoed Joesoef telah melakukan gebrakan, terutama menarik perhatian dunia internasional terhadap nasib Candi Brobudur. Sejak menjadi kandidat doktor di Sorbonne, ia menyuarakan kepada UNESCO tentang pentingnya rehabilitasi peninggalan bersejarah tersebut. Lima tahun sebelum menjabat Menteri P & K ia ditunjuk merealisasikan dana dari UNESCO dan memegang tanggung jawab atas proyek pemugaran Candi Brobudur.
Daoed Joesoef pernah menolak gelar Guru Besar yang diberikan Ul pad a tahun 1978. Kisahnya bermula
pada pertengahan bulan Juni 1978. Dekan FE Ul Dr. Djuanedi Hadismuarto datang menemuinya
di Departemen P & K untuk menyerahkan surat Keputusan Dewan Guru Besar FE Ul tentang
pengangkatan Daoed Joesoef menjadi profesor. Surat itu perlu persetujuan Menteri Pendidikan,
yang notabene dirinya sendiri. “Setelah membaca isinya, surat itu aku robek-robek dan memberikan robekannya kepadanya,” tulis Daoed Joesoef. Ia mengaku tidak suka dengan pengajuan jabatan guru
besar tersebut karena bernuansa menjilat dan memanfaatkan posisinya sebagai Menteri P & K. Akibat
perbuatan itu ia dikucilkan oleh lembaganya.
Ketika heboh soal kontes berbagai jenis ratu, Daoed Joesoef menyuarakan pendapatnya. Ia termasuk
sosok yang tidak menyetujui ajang kontes ratu-ratuan itu . Secara terbuka ia menolak segala jenis
pemilihan miss dan ratu kecantikan. Ketika itu Indonesia memang tengah dilanda demam kontes
miss dan ratu-ratuan, misalnya “Miss Kacamata Rayban”, “Miss Jengki”, “Miss Fiat”, “Miss Pantai”,
“Ratu Ayu Daerah”, dan “Ratu Ayu Indonesia”. Kecenderungan ini tampaknya ada hubungan dengan
maraknya kontes ratu-ratuan di tingkat internasional.
Daoed Joesoef menilai, “Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu
penipuan,ndi samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan.
Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan
kosmetika, pakaian renang, rumah mode,nsalon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan
yangnsekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan
kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonomnaku tidak a priori anti kegiatan bisnis.
Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan
begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk,
sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara”. Pandangan Daoed Joesoef cukup kritis, apalagi pelaksanaan berbagai kontes ratu-ratuan tersebut secara langsung atau tidak didukung oleh pemeritah, sebab dikaitkan dengan promosi wisata.
Kekritisan Daoed Joesoef itu dapat dilihat dari pernyataannya, “Pendek kata kalau di zaman dahulu
para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang pebisnis yang
berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan
pilihan untuk turut “meramaikan” pesta kecantikan perempuan di forum internasional.”
Sikap budayanya yang lain, yang juga dianggap kontroversi saat dia menjadi Menteri P&K, adalah
keputusan untuk tidak meliburkan sekolah pada bulan Ramadhan, menolak mengucapkan salam
(asalamaualaikum wr wb) dalam acara-acara resmi, serta pernah mengusulkan
untuk meniadakan pelajaran Agama Islam di sekolah-sekolah umum.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Daoed Joesoef (28 Maret 1978 – 19 Maret 1983) […]