Menteri Pendidikan Masa Jabatan 21 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009
Bambang Sudibyo dilahirkan di Temanggung, Jawa Tengah, tanggal 8 Oktober 1952; anak kelima dari
II bersaudara. Orang tuanya guru agama sekaligus petani tembakau dan padi di Temanggung. Semua
saudara Bambang sekolah sampai jenjang pendidikan tinggi. Oleh karena itu Bambang sangat menaruh
hormat kepada orang tuanya, terutama ayahnya, karena keidealismeannyalah Bambang dan saudaraĀ
saudaranyavdisekolahkan sampai pendidikan tinggi meskipun ayahnya hanya guru biasa dan petani.
Karier Bambang bisa dianggap meliputi politikus, ekonom, dan akademisi. Bambang Sudibyo menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Temanggung dengan mengayuh sepeda setiap pagi dari desa tempat tinggalnya ke Temanggung. Pada tahun 1972 ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (FE UGM) dan berhasil memperoleh gelar Sarjana Ekonomi tahun 1977. Selama menjadi mahasiswa ia mengembangkan hobi membaca. Tema-tema bacaannya tidak hanya terbatas pada bacaan ekonomi, tetapi juga agama, filsafat, sosial, dan budaya. Sejak tahun 1978, ia mengajar di UGM meskipun citaĀ cita awalnya bekerja di Bank Indonesia. Pada tahun 1979-yang juga tahun pernikahannya dengan Retno Sunarminingsih, juga berasal dari keluarga guru-ia dikirim negara mengambil program MBA di Universitas North Carolina, Am erika Serikat (AS), dan pada bulan Januari 1982 ia kembali meninggalkan tanah air untuk menempuh program doktor bidang business administration di Universitas Kentucky yang diselesaikannya pada tahun 1985. Bambang Soedibyo merupakan Guru Besar bidang ekonomi UGM. Ia mengajar mata kuliah Riset Akuntansi Manajemen pada Program Pascasarjana UGM 1997-1999. Pada tahun 1988 ia menjadi anggota panitia pendirian Magister Manajemen (MM) UGM dan kemudian menjadi salah satu anggota pengurus atau anggota direksi programbMM UGM serta menjadi pengelola bidang program keuangan. Di samping itu pada tahun 1988 ia juga aktif di pusat studi Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) Yogyakarta yang diketuai Amien Rais. Tahun 1989 ia diangkat menjadi wakil direktur program dan pengelola akedemik dan tahun 1993 dipromosikan menjadi Direktur Program MM UGM sampai tahun 1999
Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia
Pada tahun 1998 Bambang menjadi komisaris Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) X ketika Tanri Abeng menjabat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebelum menjadi Menteri Pendidikan, ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan (1999-2000) pada Kabinet Persatuan Indonesia
masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, yang pada waktu bersamaan juga menjadi Wakil Ketua Dewan Komisaris Pertamina serta menjadi anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang diketuai Kwik Kian Gie. Karier politik Bambang dimulai dengan keikutsertaannya mendirikan dan menjadi anggota Majlis Amanat Rakyat (MAR) dan kemudian ikut mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) tahun 1998 meskipun sebelumnya menghindari politik praktis secara langsung sejak ada peraturan pemerintah
tentang status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam partai politik. Di PAN ia duduk sebagai Ketua Dewan Ekonomi (November 1998-April 1999). Sebelumnya, pada tahun 1990, ia ikut mendirikan lkatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan menjabat Ketua Bidang Ekonomi Sumberdaya 1990-1995. Dalam organisasi Muhammadiyah pada rentang November 1998-April 1999 ia menjadi Ketua Dewan Ekonomi, tahun 2000-2005 menjadi Bendahara, dan tahun 1995-2000 menjadi anggota Dewan
Pakar Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pad a tahun 2001-2004 ia menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR Rl) Fraksi Utusan Golongan mewakili lkatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) .
Baca Juga : Agung Wicaksono, S.Pd. M.Pd
Pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia pada masa Bambang Sudibyo menjadi menteri
pendidikan mengikuti kebijakan yang diundangkan dalam Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2003,
Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005, serta Peraturan Menteri (Permen) No. 22, 23, dan 24
Tahun 2006. Kurikulum mengikuti pemerintah pusat dan pengembangannya dilakukan di setiap satuan pendidikan. Kurikulum diharapkan dapat mengakomodasi dua kepentingan, yaitu kepentingan nasional dan kepentingan daerah, secara baik, sinkron, dan tanpa konflik. Kepentingan nasional diwakili oleh
ketetapan mengenai kompetensi lulusan (SKL) dan standar isi (SI), sedangkan kepentingan daerah
diwakili oleh keterkaitan sekolah dengan lingkungan sekitar berupa muatan lokal berdasarkan Permen
Diknas No. 22 Tahun 2006 tentang Sl dan Permen Diknas No. 23 Tahun 2006 tentang SKL (Hasan,
2008). Atas dasar kebijakan tersebut proses pengembangan kurikulum setelah tahun 2006 mengalami penyesuaian sebagai berikut. Semangat otonomi daerah dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) terlihat pada mata pelajaran muatan lokal. Muatan lokal diadakan dan ditentukan jenisnya oleh daerah/sekolah sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan daerah/sekolah setempat. KBK diujicobakan di sejumlah sekolah di kota-kota di Jawa dan kota besar di luar Jawa secara terbatas untuk mengetahui efektivitasnya. Hasilnya tak memuaskan. Oleh karena itu KBK diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasar Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar lsi, No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan No. 23 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Sl dan SKL. Dalam KTSP, setiap sekolah diberi kesempatan menyusun sendiri kurikulumnya, tetapi penyusunannya tetap harus mengacu pada Sl yang ditentukan secara nasional oleh Permendiknas. Beban belajar siswa pada KTSP tidak sepadat kurikulum sebelumnya agar peserta didik mendapat kebebasan untuk mengembangkan diri dan guru juga dapat lebih mengembangkan profesi, seperti menulis buku atau melakukan penelitian.
Sesuai dengan ketetapan Permen No. 22 tahun 2006, KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
- Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
- Beragam dan terpadu.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. - Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
- Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan stakeholders ‘pemangku kepentingan’ untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia kerja. - Menyeluruh dan berkesinambungan.
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan, dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan - Belajar sepanjang hayat.
Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya. - Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal lka dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
Said Hamid Hasan mengemukakan beberapa hal mengenai KTSP sebagai berikut:
- KTSP memberi kesempatan untuk membuka pendekatan baru dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Kurikulum tidak lagi hanya peduli pada perkembangan ilmu dan teknologi, tetapi juga sudah peduli pada aspek kehidupan lain manusia. Oleh karena itu apabila prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dengan baik dalam KTSP maka kelemahan yang terdapat pada SKL, SK, dan KD dapat diperbaiki.
- Dokumen KTSP harus jelas mencantumkan keterampilan yang diperlukan sehingga seorang peserta didik mampu mengembangkan dirinya di sekolah dan sesudah selesai dari pendidikan sekolah menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selain itu materi yang dapat mengembangkan rasa ingin tahu, mengenal dan mengembangkan budaya dan adat istiadat setempat, kemampuan mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni merupakan kompetensi yang secara tegas dan jelas tercantum dalam dokumen kurikulum dan diorganisasikan menurut prinsip KBK.
- Organisasi isi kurikulum yang mengikuti prinsip kompetensi akan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melatih berbagai keterampilan tersebut melalui berbagai materi pelajaran substantif. Waktu yang digunakan akan lama dan tidak mungkin hanya dalam satu pertemuan, mungkin satu semester, satu tahun, atau selama yang bersangkutan mengikuti pelajaran di satuan pendidikan tersebut. Keberulangan dalam proses pemantapan kemampuan diperlukan karena kemampuan, nilai, dan sikap yang terdapat dalam kompetensi bersifat “developmental”.
Beberapa kebijakan penting yang dikeluarkan Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain sebagai berikut:
- Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009 Visi Depdiknas lebih menekankan pada pendidikan transformatif, yang menjadikan pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari masyarakat berkembang menuju masyarakat maju. Pembentukan masyarakat maju selalu diikuti oleh proses transformasi struktural, yang menandai suatu perubahan dari masyarakat yang potensi kemanusiaannya kurang berkembang menuju masyarakat maju dan berkembang, yang mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya secara optimal. Pada masa global sekarang, transformasi berjalan dengan sangat cepat yang kemudian mengantarkan pada masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) . Dalam rangka komitmen global Renstra Depdiknas Tahun 2005-2009 diarahkan guna mempercepat sasaran Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of them Child) yang menyatakan: “Setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas” (Artikel 28) dan konvensi mengenai hak asasi manusia (HAM) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan”. Hal ini sejalan dengan pencapaian sasaran pembangunan yang disepakati dalam Kerangka Aksi Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau education for All (EFA). Adapun misi yang dikembangkan oleh Depdiknas sebagai berikut:
-
- Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usiandini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.
- Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkannpembentukan kepribadian yangnbermoral.
- Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusatnpembudayaannilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.
- Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Dalam hal pelaksanaan kurikulum sesungguhnya masih mengikuti kebijakan menteri sebelumnya, Malik Fajar, yakni Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama KBK. Pada masa Bambang Sudibyo dikeluarkan KTSP 2006, yang sesungguhnya merupakan penyempurnaan KBK, karena pada dasarnya Kurikulum 2006 merupakan kurikulum yang juga berbasis kompetensi. Dengan demikian hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah pusat masih bertanggung jawab terhadap pengembangan kurikulum, pemerintah daerah berperan menjadi pengembang untuk kurikulum daerah (lokal), sedangkan sekolah menjadi penyusun dan pengembang KTSP.
- Penyempurnaan yang kemudian melahirkan Kurikulum 2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi atau
KBK Kurikulum ini menekankan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar yang ditetapkan. Pendidikan sangat diharapkan dapat menyiapkan pribadi yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus dapat memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu, sehingga pembelajaran yang dilakukan bukan terfokus pada isi materi pelajaran. Ada beberapa landasan empirik yang menjadi pertimbangan lahirnya KBK, antara lain (I) adanya berbagai ketimpangan dalam kehidupan mulai dari aspek moral, akhlak, jati diri, hingga sosial ekonomi dan politik; (2) semakin terbatasnya sumber daya dan kesempatan untuk memperoleh lapangan kerja; serta (3) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan dampaknya terhadap pendidikan. Secara umum hasil pendidikan belum memuaskan, sehingga KBK juga merespon perkembangan teori belajar yang baru, antara lain teori konstruktivisme. Teori ini menolak pemahaman aliran behaviorisme yang berkembang sebelumnya. Dulu para behavioris meyakini bahwa pembelajaran adalah buah dari pembiasaan yang dilakukan secara berulang dan konsisten, sedang kaum konstruktif berpendapat bahwa siswa belajar melalui proses menemukan sendiri ilmu pengetahuan,dia mengkonstruksi sendiri pengetahuannya berdasar pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dan selama belajar. Siswa bukanlah gelas kosong yang diisi air ilmu oleh gurunya. Siswa lebih mirip dengan pohon kecil yang disiram oleh fasilitator, dia bertumbuh dengan sendirinya. Dengan demikian guru bukanlah satu-satunya sumber ilmu, melainkan lebih berperan sebagai fasilitator yang mencipta kondisi kondusif sehingga siswa menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan, atau sikap sebagai buah dari proses belajar.
- Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan melalui Permendiknas NO 8 tahun 2009 Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan, yang selanjutnya disebut program Pendidikan Profesi Guru (PPG), adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan Sl Kependidikan dan SI/D-IV Non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, atau pendidikan menengah. Tujuan program PPG adalah untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti hasil penilaian dengan melakukan pembimbingan dan pelatihan peserta didik; serta mampu melakukan penelitian dan mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan.
- Peningkatan Kompetensi dan Kesejahteraan Guru
Tidak ada murid yang bodoh, namun yang sering terjadi adalah murid tidak mendapat kesempatan belajar dalam bimbingan guru yang mumpuni sehingga tidak bisa berkembang maksimal. Guru memang memegang peran sentral dalam pendidikan. Secanggih apa pun media pembelajaran, sebagus apa pun kurikulum dirancang, bila kualitas guru yang melaksanakannya tidak memadai maka proses dan hasil pendidikan juga tidak akan memuaskan. Dengan demikian peran guru begitu sentral hingga pemerintah merasa perlu makin memperhatikan mereka; bahkan keberadaan guru disejajarkan dengan profesional lain, seperti dokter, notaris, atau akuntan. Guru dipandang sebagai sebuah profesi utama. Untuk itu, sebagaimana profesi lain, guru dan dosen harus memiliki sertifikat profesional yang dikeluarkan resmi oleh lembaga berwenang. Sertifikat dapat diperoleh melalui proses yang disebut sertifikasi. Tujuan kebijakan sertifikasi pendidik ini untuk meningkatkan profesionalitas pendidik yang pada gilirannya akan meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan secara berkelanjutan. Sebagai keseimbangan, tujuan sertifikasi ini juga untuk meningkatkan kesejahteraan guru, sebab guru yang telah mengantongi sertifikat resmi akan mendapatkan imbalan tunjangan profesi yang pantas, yaitu sebesar satu kali gaji pokok guru bersangkutan. Tunjangan profesi berlaku bagi guru berstatus pegawai negeri sipil ataupun nonpegawai negeri sipil. - Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005. UU No. 20 Tahun 2003 yang lahir pada masa Mendiknas Malik Fajar membutuhkan berbagai peraturan turunan. Salah satu turunan dari UU Sisdiknas tersebut adalah Peraturan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional (SPN). PP ini dikeluarkan untuk menindaklanjuti Pasal 35 ayat (4), Pasal 37 ayat (3), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 60 ayat (4), dan Pasal 61 ayat (4) UU Sisdiknas. Dengan adanya SPN maka dapat diketahui kriteria minimal penyelenggaraan sistem pendidikan di seluruh Indonesia. SPN meliputi delapan standar, yaitu (I) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik, (5) standar sarana prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian. Mengingat heterogenitas situasi dan kondisi, SPN berlaku secara bertahap, namun setiap tahun pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan PP ini paling lambat tujuh tahun. Sl merupakan SPN yang mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Sl meliputi kerangka dasar dan struktur kurikulum, muatan kurikulum, beban belajar, KTSP, hingga masalah kalender pendidikan.
- Program BOS
Situasi krisis masih dirasakan oleh masyarakat ketika Bambang Sudibyo menjadi Mendiknas, sehingga terdapat sebagian masyarakat yang merasakan dampak krisis tersebut berkaitan dengan pembiayaan pendidikan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia seharusnya tidak boleh memporakporandakan program dan langkah pemerintah membangun dunia pendidikan. Oleh karena itu, meskipun dalam keadaan sulit, pemerintah tetap berusaha memberi perhatian pada sektor pendidikan. Para siswa, terutama anak keluarga miskin, harus bisa
terus bersekolah. Anak-anak miskin harus diberi kemudahan mengakses pendidikan formal. Program wajib belajar 9 tahun tidak boleh terhambat. Target Angka Partisipasi Kasar (APK) 95%, sebagai indikator ketuntasan wajib belajar pendidikan dasar, harus tercapai. Kebijakan pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diluncurkan Juli bulan 2005 berperan besar dalam percepatan pencapaian ketuntasan wajib belajar. BOS merupakan program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksanaan program wajib belajar.
Standar biaya operasi nonpersonalia adalah standar biaya yang diberlakukan untuk membiayai kegiatan operasional nonpersonalia selama satu tahun sebagai bagian dari keseluruhan dana pendidikan agar satuan pendidikan dapat melakukan kegiatan pendidikan secara teratur dan berkelanjutan sesuai standar nasional pendidikan. BOS merupakan dana kompensasi pendidikan yang pola pembagiannya langsung diarahkan ke sekolah-sekolah SD/SDSDLB/MI dan SMP/SMPLB/Mata baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia, termasuk
SMP Terbuka dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) oleh masyarakat. Siswa miskin di
tingkat satuan pendidikan SMA/SMK yang tidak mendapat BOS mendapat program bantuan
lain berupa Bantuan Khusus Murid (BKM). Program kejar Paket A dan B juga tidak termasuk
sasaran program BOS. Seperti telah disinggung sebelumnya, siswa pada jenjang SMA tidak mendapat BOS, tetapi mendapat BKM. BKM diharapkan dapat meringankan beban siswa miskin, menurunkan potensi putus sekolah, sekaligus meningkatkan mutu pendidikan. Biaya satuan BKM adalah Rp 780.000,00/siswa/tahun (tahun 2007). BKM diberikan kepada 310.609 siswa SMA dan 418.161 siswa SMK. Total alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk BKM
Depdiknas tahun 2008 mencapai Rp 571,19 miliar. Berdasarkan hasil survei, BKM terbukti
membantu meringankan biaya yang dikeluarkan orang tua siswa hingga sekitar separuh
(51 ,34%-45,85%) dari total pengeluaran. BKM mampu mencegah siswa putus sekolah dengan
indikasi ketidakhadiran siswa dari 4-5 hari setiap bulan turun menjadi 2 hari sebulan. BKM
mampu meningkatkan kelancaran pembelajaran.
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 18 Tahun 2007 tentang
Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan Sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan. Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dapat diikuti oleh guru dalam jabatan yang telah memiliki kualifikasi akademik sarjana (SI) atau diploma empat (D-IV). Sertifikasi bagi guru dalam jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Mendiknas. - Program Sekolah Bertaraf lnternasional (SBI)
Peningkatan mutu sekolah dilakukan oleh Bambang Sudibyo dengan, salah satunya, mengeluarkan peraturan tentang Sekolah Bertaraf lnternasional (SBI) pada tahun ajaran 2006-2007 untuk satuan pendidikan mulai dari SD/MI, SMP/Mata, SMA/MA, hingga SMK. Tujuan utama peraturan tersebut adalah upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional, khususnya eksistensi pendidikan nasional Indonesia supaya diakui dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju. Landasan hukum program SBI mengacu pada UU No. 20/2003 Sisdiknas pasal 50 ayat 3, yang menyebutkan “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan bertaraf internasional”. Pijakan berikutnya adalah Kebijakan Pokok Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Butir 2 Kebijakan Pokok yang memaparkan masalah Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing tersebut secara eksplisit menyebutkan perlunya pembangunan sekolah bertaraf internasional untuk
meningkatkan daya saing bangsa. Dalam hal ini pemerintah perlu mengembangkan SBI pada
tingkat kabupaten/kota dengan melakukan kerja sama yang konsisten antara pemerintah pusat
dengan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan untuk mengembangkan SD, SMP,
SMA, dan SMK bertaraf lnternasional di seluruh lndonesia. Memang tidak mudah mencapai
tahap SBI, sehingga oleh karenanya ditekankan bahwa program SBI mesti dilaksanakan secara
bertahap dan berkesinambungan. Pemerintah menetapkan bahwa sekolah yang memenuhi
standar minimal SNP akan diberi pendampingan, pembimbingan, penguatan, dalam bentuk
Rintisan SBI (RSBI). Dengan demikian untuk menuju status SBI, sekolah harus menjadi RSBI
terlebih dahulu Pemerintah memberikan parameter dan persyaratan khusus bagi sekolah agar bisa mencapai RSBI, antara lain sekolah harus sudah mendapatkan pengakuan sebagai Sekolah Standar
Nasional (SSN) dengan ketentuan (I) memiliki rata-rata ujian nasional (UN) 6,5, (2) tidak
double shift, dan (3) berakreditasi B dari BAN Sekolah/Madrasah. Dengan kata lain, untuk
menuju SBI, sekolah reguler harus mencapai beberapa tahap, yakni harus mendapatkan
pengakuan SSN, kemudian mendapat pengakuan RSBI, barulah mendapat status SBI. Agar
sekolah bertumbuh, pemerintah melalui APBN menganggarkan biaya pendirian atau rintisan
sekolah internasional. Dana dari APBN tersebut adalah biaya operasional dalam rangka
pengembangan kapasitas menuju standar kualitas SBI. Kementerian Pendidikan Nasional saat
itu menentukan besaran anggaran untuk proses pembelajaran tidak lebih dari (30%), untuk
sarana penunjang PBM (25%), manajemen maksimal 20%, termasuk subsidi bagi siswa miskin
dan kesiswaan mencapai (25%). Anggaran dana berasal dari APBD serta diperbolehkan mengutip sebagian biaya dari masyarakat atau orang tua. Karena SBI merupakan sekolah yang menyandang status khusus, maka perlakuan penerimaan siswa juga menggunakan cara dan status khusus, yang didasarkan pada kemampuan akademis calon siswa. Tes yang harus dijalani meliputi psikologi serta tes tertulis yang terdiri dari IPA dan Matematika (untuk SMK ditambah dengan tes kesehatan dan
buta warna bagi SMK Kimia), dan terakhir berdasar nilai Ujian Nasional. - Peningkatan Daya baca Masyarakat “Buku adalah gudang ilmu”, “buku adalah jendela pengetahuan”, merupakan kata-kata mutiara kasih yang diterima kebenarannya oleh semua khalayak, namun tetap hanya sebatas retorika. Betapa penting peran buku dalam pengembangan potensi sumber daya manusia tak terbantahkan kebenarannya. Namun perpustakaan sebagai gudang harta karun ilmu
pengetahuan masih terabaikan. Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia masih menjadi
isu pokok yang tak kunjung tertangani. Untuk itu perlu dibuat peraturan perundangan yang
bersifat memaksa dan mengikat. Peningkatan budaya membaca harus dibangun secara serius di
lingkungan masyakarat dan sekolah. UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan merupakan
salah satu jawaban. UU ini merupakan upaya sungguh-sungguh untuk membudayakan gemar
membaca menuju masyarakat pembelajar sepanjang hayat, melestarikan budaya bangsa,
dan memajukan pendidikan dan kebudayaan nasional. UU Perpustakaan menetapkan
bahwa masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan serta manfaat dan
mendayagunakan fasilitas perpustakaan. Masyarakat di daerah terpencil, terisolasi, atau
terbelakang pun berhak mendapat layanan perpustakaan meski dalam bentuk layanan khusus
yang sederhana dan tidak terstandar seperti di perkotaan. - Anggaran Pendidikan di APBN Sejak reformasi bergulir tahun 1998 suara-suara yang menginginkan peningkatan anggaran APBN untuk pendidikan semakin keras terdengar. Tuntutan pemerhati pendidikan juga semakin nyaring meminta tambahan anggaran pendidikan yang selama Orde Baru tidak lebih dari angka 10% dari APBN. Dibandingkan dengan Malaysia, anggaran pendidikan Malaysia tidak pernah kurang dari 20%, di antaranya untuk membayar guru dan dosen dari Indonesia pada waktu itu. Namun salah satu tuntutan reformasi tersebut belum dapat dipenuhi Kabinet Reformasi karena kondisi keuangan negara belum memungkinkan. Jika di masa sebelumnya anggaran pendidikan 9,3% dan kemudian 8%, pada masa Kabinet Reformasi tahun 2001 angka yang dialokasikan hanya 3,8% dari APBN. Ketika itu prioritas harus diletakkan pada pengadaan prasarana, seperti penyediaan listrik dan pelabuhan. Beruntunglah perimbangan anggaran pendidikan 20% terus dipertahankan pada APBN 2010 sebesar Rp 209, 54 triliun. Tahun 2011 pemerintah bahkan meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20% atau Rp 266, 9 triliun. Pada pidato penyampaian RAPBN 2012 beserta Nota Keuangannya di Gedung MPR/DPR Rl Jakarta, Selasa 16 Agustus 20 II, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa dalam RAPBN Tahun 2012 pemerintah tetap dapat memenuhi amanat konstitusi. Alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2012 sebesar 20% (Rp 286, 6 triliun}. Akan halnya RAPBN tahun 2012, meskipun persentase tetap 20%, nominalnya mengalami peningkatan cukup tajam dari Rp 266,9 triliun menjadi Rp 286,6 triliun. Meskipun demikian anggaran pendidikan sebesar itu sudah termasuk untuk gaji guru dan dosen, padahal UU Sisdiknas mengatur bahwa anggaran pendidikan mininum 20% dari APBN/ APBD di luar gaji pendidik. Ternyata ketentuan itu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh seorang guru dan dosen dari Makassar. Menurut penggugat, anggaran pendidikan 20% dari APBN/APBD seharusnya termasuk gaji pendidik. Gugatan mereka dikabulkan MK yang diketuai oleh Jimmy Asshidiqie, dibacakan pada awal 2007, dan berlaku efektif sejak tahun anggaran 2008 ltu sebabnya anggaran pendidikan sejak 2009 langsung melonjak mencapai 20% dari sebelumnya yang hanya 9%.
- Badan Hukum Pendidikan (BHP)
Salah satu hal baru yang terdapat dalam Undang-undang Sisdiknas adalah munculnya kosa
kata Badan Hukum Pendidikan (BHP). BHP adalah badan hukum satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat yang mempunyai fungsi
memberikan pelayanan pendidikan, serta berprinsip nirlaba dan dapat mengolah dana untuk
memajukan satuan pendidikan. Pasal 53 ayat I UU tersebut menggariskan penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat berbentuk badan
hukum pendidikan. Ayat 2 ditambahkan penjelasan bahwa badan hukum pendidikan berfungsi
untuk memberikan layanan pendidikan kepada peserta didik. Badan hukum pendidikan berprinsip
nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan (ayat
3). Untuk mewujudkan amanat UU Sisdiknas tahun 2003 tersebut lahirlah UU No. 9 Tahun 2008 tentang Badan Hukum Pendidikan yang ditandatangani Presiden Rl pada tanggal 16 Januari 2009. UU BHP disahkan setelah rencana undang-undangnya melalui proses panjang. RUU BHP disetujui oleh seluruh fraksi pada Rapat Paripurna ke-15 DPR-RI Tahun 2008 pada tanggal 17 Desember 2008. UU BHP memberi otonomi optimal yang diimbangi tuntutan akuntabilitas optimal pada penyelenggara satuan pendidikan atau satuan pendidikan. Negara berupaya menghargai dan memperlakukan penyelenggara satuan pendidikan atau satuan pendidikan sebagai institusi dewasa yang dapat dipercaya untuk mengurus dirinya sendiri secara mandiri, transparan, dan
akuntabel tanpa banyak campur tangan pemerintah, khususnya dalam pengelolaan pendidikan. UU ini juga dianggap sebagai solusi bagi yayasan penyelenggara pendidikan yang mengalami kevakuman dasar hukum sejak tahun 2008. Kevakuman itu terjadi karena terbitnya UU No. 28 Tahun
2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
UU BHP juga masih memperhatikan kaum miskin. Pasal 46 memberi kuota anak pandai dari
keluarga miskin sebanyak 20 persen dari kursi yang tersedia. Satuan pendidikan BHP wajib
menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan
kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik baru. Satuan Pendidikan
BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling
sedikit 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu
dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi. - Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar lsi Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah Sl mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Sl dikembangkan
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005. Dalam dokumen dibahas standar isi sebagaimana dimaksud
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, yang secara keseluruhan mencakup halĀ
hal berikut:- Kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan.
- Beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah.
- Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang akan dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak terpisahkan dari standar isi.
- Kalender pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Bambang Sudibyo (21 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009) […]