Bahder Djohan

Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Masa Jabatan 6 September 1950 – 27 April 1951 dan 3 april 1952 – 30 Juli 1953

Bahder Djohan merupakan seorang dokter tamatan School Tot Opleiding Voor lndische Artsen (STOVIA) (lndisch Art) yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP&K) dua periode dalam dua kabinet berbeda. Periode pertama pada masa Kabinet Natsir yang berlangsung dari tanggal 6 September 1950 sampai dengan 20 Maret 1951, sedang periode kedua pada masa Kabinet
Wilopo yang berlangsung sejak 3 April 1952 sampai dengan 30 Juli 1953. Bahder Djohan lahir di Lubuk Begalung, Padang, pada 30 Juli 1902, putra seorang jaksa terpandang di Sumatera Barat, bernama Mohammad Rapal gelar Sutan Boerhanuddin, asal Koto Gadang, Agam,Bukittinggi, Sumatera Barat.
lbunya bernama Lisah asal Padang, Sumatera Barat. Bahder Djohan merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara, lima laki-laki dan lima perempuan.
Sampai dengan awal abad ke-20 masih sangat sedikit kaum pribumi Indonesia yang mengenyam
pendidikan formal di sekolah dengan sistem Barat. Selain segan menyekolahkan putra-putrinya
ke sekolah Belanda yang “sekuler”, banyak keluarga pribumi muslim lebih memilih mengirimkan
putra-putrinya ke madrasah atau pesantren yang mengajarkan pendidikan agama Islam . Untuk bisa
menjadi peserta didik pada sekolah-sekolah pemerintah pun ternyata tidak mudah. Ada semacam
diskriminasi sehingga hanya anak-anak orang kaya, anak orang terpandang, atau anak orang berpangkat
yang diterima pada sekolah-sekolah tersebut. Bahder Djohan beruntung karena orang tuanya jaksa
terpandang di daerahnya, berpikir relatif modern, serta melihat sekolah pemerintah yang sekuler
itu akan membawa perubahan bagi keluarganya, khususnya anak-anaknya. Oleh karena itu sewaktu
umurnya menginjak 6 tahun, yang bertepatan dengan tahun 1908, ia disekolahkan ke sekolah dasar­
yang pada masanya dikenal dengan nama “Sekolah Melayu”-di kota kelahiran ibunya, Padang. Sekolah
dengan menggunakan sistem pengajaran Belanda atau Barat mulai diperkenalkan di Sumatera Barat
pada tahun 1853 dengan didirikannya sekolah kelas dua (Sekolah Melayu) di Padang. Tiga tahun
kemudian Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah serupa di Bukittinggi. Sekolah itu kemudian
dikenal dengan sebutan “Sekolah Raja”. Seperti umumnya pegawai negeri yang suatu waktu pindah tempat tugas dari satu kota ke kota lainnya, demikian pula dengan Sutan Boerhanuddin, ayah Bahder Djohan. Dari Padang tugasnya sebagai jaksa dipindahkan ke Payakumbuh, lalu dipindahkan lagi ke Pariaman. Perpindahan tugas itu membuat Bahder Djohan juga terpaksa harus pindah sekolah ke Bukittinggi. Di kota yang sejuk ini memang sudah ada sekolah yang didirikan Belanda pada paruh akhir abad ke-19, yaitu Normaals School, yang merupakan sekolah pendidikan guru bagi kaum pribumi. Sekolah ini berdiri sebagai wuhud Peraturan Pemerintah yang membolehkan kaum pribumi bersekolah di sekolah-sekolah Belanda; bahkan-menurut laporan Gubernur van Swieten tanggal 12 Februari 1852-sejak tahun 1819 di kota Padang telah berdiri sekolah yang disubsidi kaum missionaris untuk, terutama, penduduk pribumi yang beragama Kristen. Pada tahun 1913 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan I Klasse lnlandsche School atau “sekolah kelas I” di Sumatera Barat, yang masa pendidikannya selama enam tahun. Sebelumnya sudah ada Tweede Klasse lnlandshe School, yang oleh masyarakat Jawa disebut sekolah “angka loro” dengan masa pendidikan hanya tiga tahun.

Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara

Pada dasarnya Sekolah Kelas Dua bertujuan untuk memberantas buta huruf dan belajar ilmu berhitung. Bahasa Belanda juga dipelajari , tetapi sebagai bahasa pengantar dan bukan sebagai bahasa pengetahuan. Adapun yang menjadi bahasa pengantar adalah bahasa daerah. Lulusan Tweede Klasse lnlandsche School alias Angka Loro dapat meneruskan pendidikan ke Schakel School (semacam sekolah persamaan) selama lima tahun. Tamatan Schakel School dinilai sederajat dengan tamatan Hollandsch lndlandsche School (HIS) yang berbahasa pengantar bahasa Belanda. Selain sekolah Schakel School Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Vervolgschool (semacam sekolah lanjutan) di beberapa daerah. Di Sumatera Barat, misalnya, didirikan Vervolgschool pada tahun 1916 . Sekolah ini terutama untuk menampung para siswa tamatan Volkschool alias Sekolah Rakyat yang sederajat dengan Sekolah Kelas Dua. Volkschool didirikan di Sumatera Barat sejak tahun 1912 .
Para lulusannya juga dinilai sederajat dengan lulusan HIS. Kehadiran beberapa sekolah dengan sistem Barat yang sangat baik di kota Bukittinggi membuat Bahder Djohan tetap bersekolah di kota ini meskipun pada waktu itu ayahnya sedang bertugas sebagai jaksa di Pariaman. Dengan terpaksa ia harus indekost (menyewa kamar berikut makan pagi , siang, dan sore) di rumah yang letaknya tidak berjauhan dengan sekolah tempatnya belajar. Untuk sekedar melepas rindu kepada keluarganya ia sering berkirim surat atau berhubungan dengan keluarga ayahnya yang bertempat tinggal di Koto Gadang, yang letaknya tidak begitu jauh dari Bukittinggi. Paling tidak dalam satu minggu ia berjumpa dengan saudara ayahnya, yaitu hari Rabu dan Sabtu yang merupakan hari pasar. Biasanya banyak penduduk Koto Gadang datang ke Bukittinggi pada hari-hari tersebut. Dengan kata lain pada hari-hari pasar itulah peluang besar diperoleh untuk bertemu dengan sanak keluarga dari pihak ayah sehingga tidak disia-siakannya. Bahder Djohan dapat dikatakan sebagai anak yang mudah bergaul dan berteman. Oleh karena itu selama belajar di Bukittinggi ia memiliki banyak teman, baik dari kalangan pelajar maupun masyarakat setempat yang menjadi tetangganya. Salah seorang temannya adalah Mohammad Hatta, seorang pemuda Minangkabau asal Bukittinggi.
Pada tahun 1915 sekolah Bahder Djohan dipindahkan ke Padang, walaupun pada waktu itu ayahnya
masih bekerja di Pariaman. Oleh karena itu, seperti di Bukittinggi, ia harus kembali indekost. Tindakan
ayahnya memindahkan Bahder Djohan ke Padang mungkin dengan pertimbangan agar Bahder Djohan
dapat meneruskan pendidikan ke HIS, karena pada waktu itu di Kota Padang- selain telah ada sekolah
Sekolah Rakyat (Sekolah Kelas 1)-pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan HIS dan Europeesche
Lagere School (ELS) . Bahasa pengantar pada kedua sekolah itu Bahasa Belanda. Yang membedakan
antar keduanya adalah HIS diperuntukkan anak-anak kaum pribumi, sedangkan ELS diperuntukkan
anak-anak Belanda (Eropa dan yang dipersamakan dengan orang Eropa). Adapun untuk orang-orang
Cina didirikan Hollandsch Chinese School (HCS), yang juga diperbolehkan diikuti anak-anak Timur
Asing lainnya. Ketika masih duduk di bangku HIS Bahder Djohan pernah ditanya oleh gurunya, seorang
Belanda, tentang keinginannya setelah menamatkan sekolah. Dengan spontan ia menjawab ingin
menjadi seorang geolog. Jawaban itu ditanggapi oleh guru Belandanya dengan nada cemooh,
” Masa seorang pribumi akan menjadi seorang geolog.” Cemoohan itu sempat membuat darah
mudanya mendidih, karena sangat merendahkan martabat kaum pribumi. Ia berhasil meredam
kemarahannya dan bertekad menyelesaikan pendidikannya dengan cepat agar dapat membuktikan
bahwa orang pribumi pun dapat menjadi seorang geolog kalau diperjuangkan dengan penuh
semangat.
Pada tahun 1917 Bahder Djohan berhasil menyelesaikan HIS dan meneruskan ke Meer Uitgebreid
Lagere Onderwijs (MULO), juga di Padang. Di MULO inilah Bahder Djohan bertemu kembali dengan
sahabatnya semasa di Bukittinggi, Mohammad Hatta. Selain sebagai teman sekolah, Bahder Djohan
dan Mohammad Hatta mempunyai hobi yang sama, yang membuat keduanya bertambah akrab, yakni
sepak bola. Keduanya bernaung dalam perkumpulan sepakbola yang sama pula, yaitu perkumpulan
sepak bola ” Swallow”. Yang menjadi anggota perkumpulan ini hampir semuanya murid MULO Padang.
Kadangkala perkumpulan ini melakukan pertandingan dengan perkumpulan sepak bola dari kota lain,
seperti perkumpulan sepak bola Sekolah Raja Bukittinggi. Hobi lain yang membuat Bahder Djohan semakin akrab dengan Hatta adalah masalah agama. Keduanya senang mempelajari/mengaji
AI-Quran. Mereka mengikuti pelajaran agama Islam di MULO secara intensif. Sewaktu di Bukittinggi ia mengikuti pelajaran membaca/mengaji AI-Quran, walaupun sifatnya masih “ikut-ikutan” orang lain . Secara kebetulan masuknya pelajaran agama dalam kurikulum MULO merupakan cita-cita yang lama dimimpikan oleh orang-orang tua dan tokoh masyarakat Padang, seperti Taher Marah Sutan dari Sarekat Usaha. Sekitar delapan bulan Taher Marah Sutan melobi para pejabat terkait agar memasukkan pelajaran agama ke dalam kuriku lum; tidak terbatas pada agama Islam , tetapi juga agama lain seperti Katholik dan Protestan. Perjuangan Taher Marah Sutan bersama Sarekat Usaha berhasil. Pada pertengahan tahun 1918 pemerintah memberi kesempataan murid-murid MULO Padang mempelajari agama Islam yang diberikan satu jam pelajaran dalam seminggu (menurut kepercayaan masing-masing) di luar tanggung jawab pemimpin sekolah.
Guru agama Islam waktu itu adalah Haji Abdullah Ahmad. Sebagai catatan, Haji Abdullah Ahmad merupakan ulama Islam reformis terkemuka di Minangkabau serta pendiri sekolah Adabiah yang mengadaptasi model sekolah Belanda. Pengaruh pelajaran agama pada Bahder Djohan tampak pada praktik keagamaannya. Sejak di MULO ia lebih tekun mempelajari agama serta mempraktikannya, terutama dalam shalat fardu. Sejak Sarekat Usaha memperjuangkan pelajaran agama bagi murid-murid sekolah MULO banyak kaum muda tertarik terhadap kegiatan Sarekat Usaha. Kantor Sarekat Usaha pun menjadi pusat pertemuan antara orang terkemuka dan kaum cerdik pandai di Padang. Atas bantuan Taher Marah Sutan pula pada bulan Januari 1918 Nazir Dt. Pamuncak yang datang dari Jakarta (Batavia) sebagai utusan Jong Soematranen Bond (JSB) berhasil mendirikan cabang JSB di kota Padang. Sementara itu Bahder Djohan dan Mohammad Hatta yang sering berhubungan dengan Sarekat Usaha ikut
pula terlibat dalam pendirian cabang JSB tersebut. Bahder Djohan terpilih sebagai sekretaris, sementara Hatta terpilih sebagai bendahara. Pengurus lainnya adalah Anas Munaf sebagai Ketua, Ainsyah Yahya dan Malik Hitam sebagai komisaris. Kegiatan dalam JSB tidak mengurangi atau menghambat tugas utamanya sebagai seorang pelajar. Bahder Djohan mampu membagi waktu sehari-hari dengan baik. Ketika mempelajari dan mengkaji pelajaran­ pelajaran yang diperoleh dari sekolah tidak terkurangi oleh kegiatan hobi main sepak bola dan mengaji AI­ Quran, serta tidak terganggu pula oleh kegiatannya sebagai pengurus JSB. Kemampuan itu mungkin karena ia sudah terbiasa hidup mandiri.
Pada tahun 1918, ketika sedang menunggu pengumuman kenaikan kelas MULO dari kelas-2 ke kelas-3,
Bahder Djohan menerima tawaran masuk STOVIA di Jakarta. Semula ia ingin menyelesaikan MULO
lebih dulu , namun peluang itu terlalu berharga untuk disingkirkan begitu saja hanya demi memperoleh
sertifikat atau ijazah MULO. Oleh karena itu ia menerima tawaran tersebut. Dengan demikian ia harus
menyerahkan jabatannya sebagai sekretaris JSB cabang Padang. Dalam waktu bersamaan Anas Munaf
selaku ketua cabang JSB juga harus meletakkan jabatan sebagai ketua JSB cabang Padang karena juga
akan melanjutkan pendidikan ke STOVIA. Dengan kepindahan kedua pimpinan itu JSB cabang Padang
melakukan pemilihan kembali pimpinan dan memilih Hussein sebagai ketua dan Mohammad Hatta
sebagai sekretaris.

Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia

Setelah menyelesaikan semua keperluan yang harus dibawa ke Jakarta, pada awal tahun 1919 Bahder
Djohan berangkat ke Jakarta. Berpisah kembali dengan kedua orang tua tidak membuatnya gundah
guiana karena sejak duduk di bangku HIS ia sudah sering berpisah dengan keluarganya. Berbeda dengan
di HIS dan MULO yang mengharuskannya indekost, sebagai pelajar STOVIA ia tidak perlu mencari
tempat indekosan karena setiap siswa STOVIA diasramakan. Asrama tersebut berada di dalam
komplek STOVIA. Ia juga tidak perlu mencari perabotan untuk tidur dan masak, karena semuanya
sudah dipersiapkan pihak asrama. Sekedar untuk mengingatkan kembali STOVIA pada dasarnya merupakan peningkatan dari suatu “sekolah” kesehatan yang sudah berdiri sejak tahun 1850, yaitu sekolah paramedic yang disebut “Sekolah Dokter Djawa”. Pada awalnya sekolah ini dipersiapkan untuk mendidik para calon tenaga medis dari kaum pribumi dalam rangka membantu Dinas Kesehatan Tentara Kerajaan Belanda mengatasi epidemi beberapa jenis penyakit di Jawa, khususnya epidemi penyakit cacar. Meningkatnya kebutuhan tenaga medis membuat sistem Pendidikan Sekolah Dokter Djawa pun mengalami perubahan, sampai akhirnya diputuskan untuk menutupnya dan diganti oleh STOVIA. Pihak yang berjasa dalam mencarikan dana guna membangun gedung STOVIA adalah Dr. H.F. Roll. Ia berhasil mengumpulkan dana dari para pengusaha swasta sebesar f 178.000 (seratus tujuh puluh delapan ribu gulden).
Pada tahun 1919 pemerintah Hindia Belanda membuat Gedung STOVIA baru di daerah Salemba. Pembangunan tahap pertama selesai pada tahun 1920 dan pembangunan baru selesai seluruhnya
pada tahun 1926, sehingga semua kegiatan pembelajaran sepenuhnya pindah ke Salemba. Gedung
lama yang beralamat di Hospitaalweg (sekarang Jl. Dr. Abdul Rahman Saleh 26) kemudian digunakan
untuk MULO. Klinik dan Pendidikan klinik juga dipindahkan ke Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ)
yang menghadap jalan Oranje Boulevaard (sekarang Jalan Diponegoro). Sejalan dengan pembangunan
Gedung Pendidikan STOVIA di Salemba pada tahun 1923 kurikulum pendidikannya juga mengalami
perubahan, antara lain diperkenalkannya sistem ujian semester. Mata pelajaran klinis waktunya
diperpanjang setengah tahun dengan menambahkannya pada tingkat persiapan. Kedudukan para dosen
klinis yang bekerja di rumah sakit diatur secara resmi.
Gedung STOVIA kemudian menjadi monumental dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia,
karena bukan saja banyak tokoh pergerakan nasional lahir dari STOVIA tetapi juga di Gedung
STOVIA ini beberapa organisasi pemuda didirikan, seperti Boedi Oetomo (20 Mei 1908), Tri Koro
Dharmo (7 Maret 1915), dan Jong Soematranen Bond (9 Desember 1917). Seperti telah disinggung di atas, Bahder Djohan mulai menginjakkan kaki di komplek perguruan STOVIA pada tahun 1919. Tidak sulit baginya menyesuaikan gaya hidup dengan situasi kehidupan pendidikan dan asrama STOVIA. Apalagi hubungan antar pelajar kaum pribumi dari berbagai daerah dan etnik relatif longgar dan akrab sehingga mempermudah untuk menyambung tali persahabatan. Mereka umumnya merasa berada dalam satu keluarga besar. Apalagi adanya perasaan senasib, yang tentu saja berbeda dengan orang-orang
Belanda atau Indo, mendorong mereka masuk ke dalam suatu organisasi perjuangan, seperti Jong
Java, JSB, dan organisasi pemuda lainnya. Bahder Djohan kembali aktif dalam JSB Jakarta, bahkan pada tahun 1919 ia dipercaya oleh organisasi itu menghadiri Kongres Nasional JSB pertama pada bulan Juni 1919 di Jakarta. Salah satu agenda kongres pada waktu itu adalah memilih pengurus baru bagi Pengurus Besar JSB. Hasilnya, Amir terpilih sebagai ketua, Bahder Djohan sebagai sekretaris, dan Mohammad Hatta sebagai bendahara.
Rupanya kegiatan JSB kembali mempertemukan Bahder Djohan dengan Mohammad Hatta. Keduanya
menjadi semakin akrab setelah Hatta pindah ke Jakarta. Tiap Sabtu sore Hatta datang bertandang ke
asrama STOVIA dengan naik sepeda ontelnya untuk kemudian berjalan kaki bersama ke Pasar Baru
atau ke Senen. Kadang-kadang Amir, yang menjadi Ketua PB JSB, juga ikut bergabung berjalan bersama
atau nonton bioskop. Sambil makan atau sekedar ngopi di satu kedai di wilayah Senen seringkali mereka
mendiskusikan atau bertukar pikiran tentang berbagai kehidupan sosial-ekonomi dan politik, terutama
nasib kaum pribumi. Sebagai pelajar STOVIA, Bahder Djohan ternyata sangat tertarik pada masalah­
masalah kebudayaan, sedangkan Hatta yang mempelajari ekonomi tertarik pada masalah politik,
khususnya politik kebangsaan.
Pada tahun 1921 Mohammad Hatta berangkat ke negeri Belanda untuk meneruskan pendidikan,
yang membuat Bahder Djohan merasa sedikit kehilangan ternan berbincang dan berdiskusi. Namun pengalaman hidup yang mandiri semasa di HIS dan MULO membuatnya tidak hanyut dalam perasaan.
Rasa rindu kepada teman akrabnya itu dijadikan motivasi untuk lebih giat memajukan JSB. Apalagi
komunikasi dengan Hatta tidak putus sama sekali walaupun temannya itu berada di negeri Belanda.
Sesekali datang surat Hatta atau artikel Hatta tentang ekonomi dan perekonomian sampai ke tangannya
untuk dimuatkan pada media massa di lndonesia. Faktor ini pula yang membuat Bahder Djohan secara
sadar memasuki dunia politik pergerakan yang mengandung risiko dalam suatu waktu ia akan kehilangan
atau terampas kebebasannya.

Kegiatan Bahder Djohan dalam organisasi dan pergerakan nasional, khususnya pergerakan pemuda,
semakin meningkat pasca kepergian Hatta ke negeri Belanda. Sebagai salah satu Pengurus Besar JSB
ia ikut memprakarsai penyatuan semua organisasi kepemudaan guna tercapainya persatuan Indonesia.
Seperti sudah banyak diungkapan dalam karya-karya sejarah akademik, para pemimpin organisasi
pemuda akhirnya sepakat untuk menyelenggarakan “kerapatan besar pemuda”, yang kemudian terkenal
dengan sebutan Kongres Pemuda yang untuk pertama kali diselenggarakan pada 30 April-2 Mei 1926
di Jakarta. Hampir seluruh organisasi pemuda ikut terlibat dalam kongres tersebut, seperti Jong Java,
JSB , Jong Ambon, Sekar Rukun , Jong lslamieten Bond, Studeerende Minahasaers, Jong Bataks Bond,
dan Pemuda Kaum Theosofi. Bertindak sebagai pengundang, suatu kepanitiaan yang terdiri dari beberapa pengurus organisasi pemuda yang dipimpin oleh Muhammad Thabrani sebagai ketua dan Jamaluddin sebagai sekretaris. Adapun Bahder Djohan duduk sebagai pembantu bersama Sanusi Pane, Paul Pinotoan, Hamami, Sabarani, dan Yan Toule Saulehuwly. Dalam kongres pemuda yang pertama ini Bahder Djohan menyampaikan pidatonya dengan judul “De Positie van de Vrouw in de lndonesische Samenleving” (Kedudukan kaum wanita dalam Masyarakat Indonesia). Tulisannya itu ternyata mendapat respon negatif dari kalangan pemerintah Hindia Belanda sehingga dilarang beredar. Bukan hanya Bahder Djohan yang menyampaikan pidato dalam bahasa Belanda. Hampir semua menyampaikan pidato dalam bahasa Belanda karena bahasa Belandalah yang digunakan sebagai bahasa pengantar, termasuk dalam mendiskusikan bahasa apa yang akan dijadikan sebagai bahasa persatuan: bahasa Jawa atau bahasa
Melayu. Meskipun menggunakan bahasa Belanda, tetapi semangat untuk mencapai persatuan
Indonesia dihembuskan dengan kuat, bahkan sampai Indonesia merdeka. Kongres Pemuda I dapat dikatakan memberikan dasar kuat pada lahirnya Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada Kongres Pemuda II dua tahun kemudian, karena dalam kongres pertama dirumuskan “ikrar pemuda”
yang kelak menjadi “sumpah pemuda”. Pada kongres pertama ini pula dilahirkan “bahasa Indonesia”
sebagai bahasa persatuan, menggantikan bahasa Melayu yang semula menjadi kandidat
kuat sebagai bahasa persatuan Indonesia dan sudah masuk dalam rumusan lkrar Pemuda yang disusun
oleh Muhammad Yamin. Ide “bahasa Indonesia” berasal dari Muhammad Thabrani, Ketua Kongres
Pemuda I, yang kemudian mendapat dukungan kuat dari Sanusi Pane. Namun lkrar Pemuda akhirnya
tidak dideklarasikan pada akhir kongres itu untuk memberi kesempatan kepada Muhammad
Yamin mempelajarinya dan dibicarakan dalam kongres pemuda yang akan datang.
Pada tanggal 12 November 1927 Barder Djohan dapat membuktikan bahwa aktivitasnya dalam
organisasi pemuda dan pergerakan nasional tidak mengganggu masa pendidikannya di STOVIA. Pada
tanggal itu ia menerima gelar lndische Arts sebagai bukti berakhirnya masa pendidikan di STOVIA
dengan baik.

MENJADI PEGAWAI PEMERINTAH

Setelah menjadi dokter, Bahder Djohan diterima bekerja sebagai pegawai pemerintah dan ditempatkan
di rumah umum sakit pusat (RSUP), Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ). Rumah sakit itu tidak asing baginya karena banyak praktik klinis semasa sekolah dilakukan di rumah sakit itu; apalagi letak
gedungnya tidak jauh dari tempatnya menuntut ilmu. CBZ sekarang lebih dikenal dengan nama Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Selama bekerja di rumah sakit itu ia menjumpai kenyataan bahwa
bagaimana pun tinggi pendidikan kaum pribumi, nilainya di kalangan orang Belanda hanya setengah dari
orang Belanda. Hal ini terbukti dari gaji yang diterimanya per bulan hanya 250 gulden, sementara itu
ternan sekelasnya yang orang Belanda menerima gaji 500 gulden per bulan.
Perlakuan diskriminatif ini secara langsung semakin memperteguh semangat Bahder Djohan untuk
memperjuangkan kemerdekaan lndonesia. Apalagi selama bekerja di rumah sakit itu ia sering
diejek oleh rekan-rekan sekerjanya yang orang Belanda. Tentu saja ia pun mengalami hal-hal yang
menyenangkan, antara lain pujian-pujian yang disampaikan oleh Prof. De Langen atas hasil kerjanya
yang baik. Setelah Kongres Pemuda II mendeklarasikan Sumpah Pemuda maka sebutan untuk lndische Arts berubah menjadi lndonesische Arts. Demikian pula perkumpulan para dokter kaum pribumi ikut
berubah namanya menjadi Vereeniging van lndonesische Geneeskundigen (VIG). Bahder Djohan
termasuk salah satu aktivis VIG dan sejak tahun 1929 terpilih menjadi sekretaris, yang dijabatnya
.Meskipun ia bekerja di lembaga pemerintah, namun hal itu tidak menjadi halangan baginya untuk tetap memperjuangan nasib bangsanya, antara lain melalui VIG. Melalui organisasi itu ia menuntut persamaan dan perlakuan antara dokter bangsa Indonesia dan bangsa Belanda atas dasar kompetensi yang tertuang
dalam diploma dan pengalaman yang dimilikinya. Hal tersebut diperjuangkan bukan karena
jumlah uangnya, tapi sikap diskriminatif dinilainya sebagai satu penghinaan yang sangat merendahkan derajat bangsa Indonesia.
Perjuangan VIG tidak hanya dalam masalah gaji , tetapi juga dalam perlakuan lain yang juga dinilai
diskriminatif. Pada waktu itu dunia kedokteran menerbitkan majalah kedokteran bernama Geneeskundige Tijdschrijt van Nederlandsch lndie. Dokter Indonesia boleh berlangganan hanya sebagai anggota
luar biasa. Peraturan ini dinilai diskriminatif oleh Bahder Djohan. Sebagai sekretaris VIG ia menuntut agar peraturan itu dicabut dengan catatan kalau tuntutan itu tidak dikabulkan maka para dokter bangsa Indonesia akan mengundurkan diri secara serentak dari keanggotaan dan keterikatannya dengan
majalah tersebut. Akhirnya pemerintah mengabulkan tuntutan itu dan mencabut peraturan diskriminatif itu.
Sebagai mantan aktivis kongres pemuda, Bahder Djohan berupaya menyosialisasikan penggunaan
bahasa Indonesia di lingkungan para dokter bangsa Indonesia. Upaya itu akhirnya menunjukkan hasil
sebagaimana terungkap, antara lain, dalam Kongres Perkumpulan dokter Indonesia yang diselenggarakan
pada tahun 1939 di Surakarta. Dokter Gularso menyampaikan prasarannya dalam bahasa Indonesia.
Kejadian in i mendorong banyak dokter Indonesia yang menjadi anggota perkumpulan itu mulai
menggunakan bahasa Indonesia di bidang kedokteran. Karena kesibukan di dunia kedokteran sekaligus dunia politik mungkin membuat Bahder Djohan tidak sempat memikirkan masalah pernikahan. Baru setelah umur menginjak 28 tahun, dan merasa sudah memiliki sedikit tabungan, ia mengutarakan keinginannya untuk hidup berumah tangga. Ia memilih sendiri calon istrinya. Gadis pilihannya masih berasal dari suku Minangkabau, namun tidak berasal dari kampung ayahnya ataupun kampung ibunya,
melainkan dari kampung yang relatif jauh dari Padang atau Koto Gadang, yaitu dari Talawi, Sawahlunto, yang terkenal dengan tambang batubaranya. Gadis pilihannya bernama Siti Zairi Yaman, yang bekerja sebagai guru di Padang, yang ternyata keponakan Muhammad Yamin. Pernikahan diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1930 di Padang. Setelah menikah ia mendapat gelar “Marah Besar”. Tak lama setelah itu ia memboyong istrinya ke Jakarta. Dari perkawinannya ia dikaruniai seorang putri yang diberi nama llya Waleida dengan panggilan ‘ ‘Tita”. Setelah berumah tangga kariernya sebagai dokter terus menanjak. Pengetahuannya pun semakin dalam dan luas. Pada tahun 1941 Bahder Djohan dipindahkan tugas ke Semarang. Ia diangkat menjadi Kepala Bagian Wanita dan Anak. Pada waktu itu ia sedang menyusun disertasi dan siap mempromosikannya untuk mencapai gelar akademik tertinggi. Akan tetapi niat itu tidak kesampaian karena Jepang masuk ke Indonesia dan membekukan semua kegitan sekolah seperti halnya membubarkan organisasi­ organisasi politik dan masyarakat yang ada pada waktu itu. Namun karena kebutuhan tenaga medis guna mendukung politik perang Jepang pada tanggal I April 1943 sekolah kedokteran diaktifkan kembali dengan nama lka Daigaku. Bahder Djohan ditarik menjadi salah seorang tenaga pengajar dengan pangkat Asisten Professor.
Walaupun menjadi asisten professor bukan berarti ia mendapat keistimewaan dari pemerintah
pendudukan Jepang. Ia bersama beberapa tenaga dosen lain bahkan dicurigai oleh pemerintah
pendudukan Jepang sebagai orang yang menghasut para mahasiswa, sehingga ia sempat ditangkap.
Setelah diinterogasi secara intensif, akhirnya ia dibebaskan. Sebagai aktivis pergerakan nasionallndonesia ia mempunyai perhatian tersendiri kepada bangsa Jepang, antara lain “jasanya” dalam membantu menyosialisasikan atau menyebarluaskan penggunaan bahasa Indonesia. Pemerintah Pendudukan Jepang melarang penggunaan bahasa lain selain bahasa Indonesia dan bahasa Jepang sebagai bahasa resmi di Indonesia. Dengan demikian bahasa Indonesia yang dicita­ citakan menjadi bahasa persatuan bisa terwujud lebih cepat dari yang diperkirakannya.
Dalam situasi seperti itu beberapa tokoh Indonesia mendesak untuk mendirikan suatu komisi penyempurnaan bahasa Indonesia. Pihak Jepang terpaksa memfasilitasi hasrat bangsa Indonesia untuk
menyempurnakan dan memngembangkan bahasa persatuannya. Akhirnya pada 20 Oktober 1943
didirikan Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia. Tugas pokok komisi ini menentukan terminologi
atau peristilahan serta menyusun tata bahasa normatif dan menentukan kata yang umum bagi bahasa
Indonesia. Komisi ini dipimpin oleh Kepala Kantor Pengajaran Jepang yang mendapat bantuan dari
beberapa tokoh politik dan sastra, seperti Soekarno, Hatta, Suwandi, St. Takdir Alisjahbana, dan Abas
St Pamuntjak. Komisi kemudian memberi kesempatan kepada setiap disiplin ilmu untuk mengumpulkan
istilah Indonesia dalam bidang ilmu bersangkutan. Para dokter Indonesia juga membentuk kepanitiaan
guna mengumpulkan istilah-istilah kesehatan/kedokteran. Panitia ini diketuai oleh dr. Aulia, Bahder
Djohan sebagai wakil ketua, serta dr. Ahmad Ramali dan Abas St. Pamuntjak (ahli bahasa) sebagai
anggota. Bahder Djohan berhasil mengumpulkan 3.000 istilah kedokteran dalam bahasa lndonesia.
Dalam kasus bahasa Indonesia, Jepang memang terbukti membantu perkembangan dan perluasan
pemakaiannya. Akan tetapi dalam dunia kedokteran, pemerintah pendudukan Jepang mengorbankan
para ahli kedokteran Indonesia akibat kelalaian seorang dokter Jepang dalam kasus pemberantasan
penyakit tetanus yang pada tahun 1944 menyerang lebih dari 1.000 orang romusha. Dari hasil uji
labolatorium terungkap bahwa sebelum terjangkit penyakit tetanus para romusha disuntik dengan
vaksin kolera, tipus, dan disentri yang mengandung toksin tetanus. Polisi militer Jepang menangkap
hampir
seluruh karyawan Labolatorium Eijkman, Jakarta. Dari sekian banyak orang yang ditangkap
tersebut di antaranya Prof. Dr. Ahmad Muchtar (direktur Lab. Eijkman) dan tiga dokter lainnya, yaitu
Juhana Wiradikarta, MA Hanafiah, dan Sutarman. Prof. Ahmad Muchtar ditetapkan sebagai orang yang
harus bertanggung jawab atas epidemi tetanus yang menyerang para romusha. Bahder Djohan mengetahui banyak mengenai kasus itu karena sebelumnya ia diperintahkan oleh Prof. Dr. Tamija (orang Jepang), yang waktu itu menjabat sebagai Direktur CBZ, untuk memeriksa keadaan perkampungan romusha di Klender. Pada waktu itu diperkirakan puluhan orang romusha mengidap penyakit meningitis (radang selaput otak). Untuk memastikan kebenarannya, Bahder Djohan meminta bantuan pihak Labolatorium Eijkman mengetes “fungsi lumbal” (tusukan tulang belakang). Rombongan dokter Bahder Djohan diperkuat oleh dokter Aulia dan seorang dokter tentara Jepang, Kapten dr. Hirosato Nakamura. Berdasarkan hasil penelitian dan uji laboratorium disimpulkan bahwa para romusha itu tidak mengidap penyakit meningitis melainkan penyakit tetanus. Mereka diketahui bahwa seminggu sebelumnya mendapat suntikan vaksin tipus-kolera-disentri produk lnstitut Pasteur. Ketika Bahder Djohan meminta agar bekas botol vaksin kolera-disentri-tipus dikirimkan kepadanya, pemerintah Jepang menolak. Akhirnya upaya penyelamatan jiwa para romusha mengalami kegagalan. Sekitar 90 romusha menemui ajal.
Untuk memastikan penyebab kematian itu tetanus, Bahder Djohan melakukan sayatan pada bekas
luka suntikan vaksin pada beberapa mayat romusha, lalu dikirim ke Labolatorium Eijkman pimpinan
Prof. Dr. Ahmad Muchtar. Beberapa hari kemudian Prof. Ahmad Muchtar ditangkap dan akhirnya
dihukum mati dengan tuduhan memberikan vaksin tercemar tetanus kepada para romusha. Bahder
Djohan mengetahui bahwa kapten Jepang yang memperkuat timnya keliru mengadakan percobaan,
menambahkan tetanus anektosin ke dalam vaksin kolera-tipus dan disentri, yang kemudian disuntikan
kepada para romusha tersebut.
Pemerintah pendudukan Jepang sengaja mengorbankan para dokter Indonesia demi menjaga dunia
kedokteran Jepang di dunia internasional. Pihak Jepang juga berupaya membentuk opini agar masyarakat
Indonesia yakin bahwa Prof. Ahmad Muchtar memang patut dihukum mati. Selain telah menjadi agen
musuh (Sekutu) ia membunuh ribuan romusha yang nota bene adalah bangsa Indonesia. Beberapa tokoh
nasional, antara lain lr. Soekarno, juga ikut terpengaruh sehingga sempat mengatakan bahwa Ahmad
Muchtar memang harus dihukum mati karena telah membunuh ribuan orang Indonesia.

MEMBANTU PEJUANG KEMERDEKAAN INDONESIA

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat, bangsa Indonesia memanfaatkan peluang yang
ada untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahder Djohan ikut
hadir dalam pembacaan proklamasi kemerdekaan yang sangat bersejarah itu . Sewaktu Soekarno­
Hatta membentuk kabinet, yang kemudian dikenal dengan sebutan ” Kabinet Buche”, Bahder Djohan
tidak termasuk di dalamnya. Ia tidak masuk dalam pemerintahan, namun tidak berarti ia lepas begitu
saja dari pergolakan politik yang memuncak pasca proklamasi kemerdekaan. Sejak awal September
1945 Bahder Djohan bersama beberapa dokter lain sibuk membantu Menteri Kesehatan (Menkes)
dr. Boentaran membentuk Palang Merah Indonesia (PMI). Pembentukan PMI itu merupakan perintah
langsung Presiden Rl Soekarno kepada Menkes dr. Boentaran. Ide pembentukan PMI pada dasarnya sudah muncul pada tahun 1932 sewaktu wilayah Indonesia disebut Hindia Belanda. Pelopornya adalah Dr. R.C.L. Senduk dan Dr. Bahder Djohan. Mereka menyusun rancangan pembentukan PMI, yang kemudian diajukan ke dalam sidang Konferensi Nederlandsche Roode Kruis Afdeeling lndie (NERKAI-Palang Merah Hindia Belanda) pada tahun 1940. Namun usulan itu ditolak. Kemudian sewaktu wilayah kepulauan Indonesia diduduki Jepang, Dr. Senduk dan Dr. Bahder Djohan kembali mengajukan rancangan pembentukan PMI kepada pemerintah pendudukan Jepang.
Rancangan itu juga ditolak. Rancangan itu kembali dipelajari sewaktu mereka dimasukkan ke dalam Tim
pembentukan PMI oleh Menkes dr. Boentaran. Tim Pembentukan PMI itu antara lain Dr. R.C.L. Senduk
sebagai ketua, Dr. Bahder Djohan sebagai sekretaris (penulis), serta dr. R. M. Djoehana Wiradikarta, dr.
Marzuki, dan dr. Sitanala sebagai anggota. Tepat sebulan sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia,
yaitu pada 17 September 1945, PMI resmi berdiri. Tanggal pendirian PMI tersebut kemudian diperingati
oleh bangsa Indonesia sebagai hari PMI.
Sejak diresmikan PMI langsung menjalankan fungsi dan tugas, yakni merawat dan mengobati para
korban peperangan, yang sebagian besar bangsa Indonesia. Dalam waktu tiga bulan saja sudah ada sekitar 400 orang pasien korban konflik bersenjata antara pihak Rl (republikein) dan pihak Sekutu/
NICA yang dirawat CBZ. Bangsal tempat merawat korban peperangan itu kemudian dinamai “bangsal
pahlawan”. Sewaktu pusat pemerintahan Rl dipindahkan ke Yogyakarta pada bulan Januari 1946, Bahder
Djohan sebagai pimpinan PMI Pusat tetap tinggal di Jakarta; bahkan kemudian ia diangkat menjadi
Ketua PMI Jakarta. Sesuai dengan konvensi Jenewa Tahun 1949, Palang Merah (baik internasional
maupun nasional) merupakan lembaga kemanusiaan yang netral dan tak boleh diserang oleh
kekuatan-kekuatan militer yang sedang berkonflik. Oleh karena itu Pemerintah NICA juga
memberikan bantuan dan fasilitas kepada PMI. Hal ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Bahder
Djohan untuk kepentingan perjuangan bangsa Indonesia, antara lain dengan melatih tenaga-tenaga
Indonesia menjadi perawat atau para medis untuk membantu PMI serta mengirimkan obat-obatan
dan sekaligus perawat-perawat yang sudah dilatihnya ke wilayah Rl untuk membantu kesehatan
para pejuang Indonesia.
Sewaktu tantara NICA melancarkan agresi pada tahun 1947 dan menduduki kantor PMI Jakarta Bahder
Djohan harus berjuang memindahkan kantor PMI ke RSUP yang pada waktu itu pimpinannya dijabat
oleh Bahder Djohan. Sementara itu Fakultas Kedokteran-Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia
terpaksa memindahkan sebagian kegiatannya ke Klaten, sedangkan sisanya-yang karena sesuatu hal
tidak dapat ikut pindah-melakukan kegiatan perkuliahan di beberapa rumah dosen sesuai dengan
jenis mata kuliahnya, tetapi pusat administrasinya ditempatkan di rumah Bahder Djohan di Jalan
Kimia No.9, Jakarta Pusat. Sementara itu gedung Fakultas Kedokteran yang diambil alih pemerintah NICA diserahkan kepada Universiteit van lndonesie (Uvl) yang membawahi beberapa fakultas, yaitu Kedokteran, Hukum, Ekonomi, dan Sastra & Filsafat. Ketika tentara NICA kembali melancarkan agresi pada bulan Desember 1948 Bahder Djohan mendapat kabar bahwa Belanda/NICA akan mengambil alih RSUP. Ia berusaha memindahkan alat­ alat penting ke rumahnya. Dalam tempo tiga jam ia berhasil memindahkan alat-alat kedokteran, obat-obatan, alat kantor, dan para pasien yang umumnya bangsa Indonesia korban peperangan ke rumahnya. Demikian pula kantor PMI Jakarta ikut pindah ke rumahnya.


MENJADI MENTERI PP&K

Pasca perang kemerdekaan, tepatnya pada masa pemerintahan Perdana Menteri Mohammad Natsir,
Bahder Djohan ditunjuk sebagai Menteri PP&K. Pada kabinet sebelumnya, yakni kabinet yang dipimpin
Moh. Hatta, jabatan Menteri PP&K dipercayakan kepada Sarmidi Mangunsarkoro. Kabinet Natsir
dibentuk pada tanggal 6 September 1950, yang sekaligus merupakan awal kerja Bahder Djohan sebagai
Menteri PP&K. Sebagai catatan, ia masuk ke dalam kabinet sebagai orang tidak berpartai atau nonpartai.
Program umum yang penting dalam Kabinet Natsir adalah I) menggiatkan usaha mendapat keamanan
dan ketenteraman, 2) melakukan konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan, 3)
menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan bekas anggota tentara dan gerilya ke
dalam masyarakat, 4)memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat, dan 5) mengembangkan dan
memperkuat ekonomi rakyat sebagai dasar bagi melaksanakan ekonomi nasional. Dari kelima program
itu terlihat masalah pendidikan dan kebudayaan tidak mendapat tempat yang khusus atau istimewa.
Bahder Djohan selaku Menteri PP&K melihat program konsolidasi dan penyempurnaan susunan
pemerintahan masih relevan untuk dijadikan program kementeriannya. Hal itulah yang dilakukannya,
yaitu memperbaiki susunan organisasi dengan memanfaatkan tokoh-tokoh pendidikan dan kebudayaan
yang ahli di bidang masing-masing Terkait dengan pendidikan dan pengajaran pada masa Menteri Bahder Djohan pada dasarnya masih bertumpu pada Surat Keputusan Menteri PP&K tanggal II November 1947 No.l54, yang kemudian disempurnakan oleh Undang-undang No. 4. Tahun 1950 yang dinamai Undang-undang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Undang-undang itu menyebutkan kewajiban belajar, bahwa anak-anak yang sudah berumur enam tahun berhak untuk belajar di sekolah, sedikitnya enam tahun lamanya. Adapun untuk pendidikan agama telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama. Dalam Keputusan Menteri awal tahun 1951 disebutkan ruang lingkup pekerjaan Kementrian PP&K antara lain sebagai berikut:
a. Menentukan corak, macam, serta isi pendidikan dan pengajaran kepada warganegara baik
di dalam maupun di luar sekolah, kecuali hal-hal yang mengenai agama dan hal-hal yang
diserahkan kepada kementrian atau instansi-instansi negara lainnya.
b. Menyelenggarakan, memimpin, menyokong, serta mengamat-amati semua macam pendidikan
dan pengajaran yang disebutkan pada butir “a”.
c. Mengamat-amati pendidikan dan pengajaran bahasa asing.
d. Menyelidiki menurut syarat-syarat ilmu pengetahuan soal-soal pendidikan dan pengajaran.
e. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi mengenai pendidikan dan pengajaran.
f. Mengikuti serta membantu perkembangan gerakan pemuda.
g. Menyelenggarakan bermacam-macam perpustakaan guna pendidikan dan untuk kepentingan
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Seperti diakui Bahder Djohan bahwa dasar-dasar pendidikan dan pengajaran sebenarnya telah disusun
oleh dua pendahulunya, yaitu Menteri PP&K Suwandi yang dilanjutkan oleh Menteri PP&K Abu Hanifah.
Menteri Bahder Djohan hanya menyempurnakan dasar yang telah dipersiapkan oleh dua pendahulunya
itu sesuai dengan kemampuan dan dana yang tersedia. Dalam kunjungannya ke berbagai daerah Bahder
Djohan menyaksikan keadaan pendidikan yang realitanya masih jauh dari memuaskan. Masih banyak
yang harus diperbaiki, baik sarana maupun prasarananya, namun hal-hal tersebut tidak bisa diselesaikan
seuai dengan rencana karena kekurangan dana. Dana yang ada pada Kementerian PP&K pada waktu itu
hanya dikeluarkan untuk hal-hal yang sangat perlu dan mendesak sifatnya.
Pada masa itu keamanan belum sepenuhnya dapat dicapai, sehingga membuat tugas kabinet (pemerintah) cukup berat. Ada dua masalah politik yang cukup berat dan harus diselesaikan oleh Kabinet Natsir.
Pertama masalah Aceh. Daerah ini, yang selama perang kemerdekaan tidak diduduki oleh Sekutu atau
NICA serta tetap mendukung pemerintahan Rl selama masa peperangan tersebut, merasa kecewa
oleh keputusan pemerintahan pusat menetapkan status wilayah ini hanya setingkat keresidenan di
bawah Sumatera Utara. Aceh di bawah Gubernur militer Tengku Muhammad Daud Syah Beureu’eh
tidak dapat menerima keputusan itu. Aceh menuntut untuk tetap menjadi satu provinsi. Masalah kedua
adalah masalah Irian Barat, yang dalam keputusan KMB disebutkan akan diserahkan kepada Indonesia
setahun kemudian, terhitung diakunya kedaulatan RIS oleh pemerintah Belanda. Hal ini menjadi
tugas sekaligus beban bagi Kabinet Natsir, apalagi dalam perundingan-perundingan yang berlangsung
pemerintah Belanda menunjukkan keengganannya menyerahkan Irian Barat ke tangan Indonesia.
Kabinet mendapat mosi tidak percaya dari Hadikusumo, salah satu wakil Partai Nasional Indonesia
(PNI).
Akibat mosi tidak percaya itu akhirnya pada tanggal 21 Maret 1951 Perdana Menteri Natsir
mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Dengan sendirinya Bahder Djohan yang
merupakan bagian dari Kabinet Natsir terpaksa harus ikut mundur pula. Dalam waktu hanya enam
bulan kementerian di bawah kepemimpinannya belum dapat berbuat banyak. Jabatan Menteri PP&K
kemudian diserahkan kepada Mr. Wongsonegoro, yang dipilih Perdana Menteri Sukiman menggantikan
Kabinet Natsir sejak 26 April 1951 . Lebih kurang setahun kemudian Bahder Djohan terpilih kembali menjadi Menteri PP&K dalam Kabinet Wilopo. Kabinet ini dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 April 1952. Program Kabinet Wilopo mempersiapkan Pemilihan Umum, kemakmuran pendidikan rakyat, dan keamanan, sedangkan program luar negeri terutama menyelesaikan masalah Irian Barat serta menjalankan politik bebas aktif.
Jika masalah pendidikan dalam program umum Kabinet Natsir tidak begitu jelas, masalah pendidikan
dalam Kabinet Wilopo mendapat perhatian relatif lebih besar dengan adanya program memakmurkan
pendidikan. Bahder Djohan, yang sebelumnya pernah menjadi Menteri PP&K, sangat memahami tantangan yang harus dihadapi dalam upaya melaksanan program kabinet di bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu ia tidak membuat perubahan dalam program, struktur, dan personalia, sebab yang menjadi tantangan dan memerlukan perhatian adalah dalam masalah pelaksanaan serta dana yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan program. Upaya yang demikian gigih dilakukan oleh Bahder Djohan beserta para pembantunya mengatasi pelbagai permasalahan yang menghambat menyelenggaraan pendidikan yang baik untuk anak-anak serta tercukupinya guru yang kompeten di bidangnya akhirnya harus menyerah dengan satu kenyataan ekonomi dan politik yang melanda Indonesia pada masa itu.
Pada masa jabatannya yang kedua ada satu peristiwa cukup penting terkait dengan pendidikan dan
pengajaran, yaitu masalah bahasa pengantar dalam pembelajaran, terutama di perguruan tinggi.
Persoalan bahasa pengantar sebenarnya sudah muncul pada masa Menteri PP&K Wongsonegoro.
Pada bulan Desember 1951 muncul surat dari Majlis Pendidikan Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru
Islam Indonesia (PGII) yang mengusulkan agar bahasa pengantar dalam perkuliahan di perguruan
tinggi yang semula bahasa Belanda diganti dengan bahasa lnggris, sebab banyak mahasiswa mengalami
kesulitan mengikuti perkuliahan dalam bahasa Belanda. Demikian pula dalam membaca buku-buku
wajib berbahasa Belanda. Sementara itu, jika menggunakan bahasa lnggris sebagai pengantar jauh lebih
mudah mengingat sejak SMP dan SMA para siswa telah belajar bahasa lnggris. Sebelum pemerintah menanggapi permohonan PB PGII, pada bulan Januari giliran lkatan Pemuda Pelajar Indonesia
(IPPI) mengirimkan resolusi kepada pemerintah Rl. lsinya antara lain menuntut agar pemerintah secara resmi menghapuskan kewajiban menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar
di perguruan tinggi, sebab kewajiban menggunakan bahasa Belanda mengakibatkan kemunduran pendidikan nasional. Secara tegas IPPI menuntut agar perkuliahan menggunakan bahasa
Indonesia sebagai pengantar, melarang penggunaan bahasa Belanda di kantor-kantor, serta melarang
mengajarkan bahasa Belanda di sekolah-sekolah SMA dan yang sederajat dengan SMA. Selain itu IPPI menuntut agar pemerintah menyediakan buku-buku dalam bahasa Indonesia di perguruan tinggi serta
mendirikan “Panitia Penilikan isi-isi buku pelajaran” yang diterjemahkan dari bahasa Belanda serta
tidak mengangkat guru besar yang tidak dapat berbahasa lndonesia. Masalah ini tidak sempat dibahas oleh Kementrian PP&K masa Menteri Wongsonegoro karena Kabinet Sukiman tidak lama berkuasa akibat mosi tidak percaya dari DPR. Dengan demikian masalah bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di perguruan tinggi menjadi “pekerjaan rumah” Menteri Bahder Djohan. Akhirnya Bahder Djohan mengundang para mantan Menteri PP&K dan para ahli pendidikan, bahasa, dan sastra untuk berkumpul membahas dan mendiskusikan permasalahan bahasa Belanda sebagai pengantar di perguruan tinggi.
Setelah terjadi pembicaraan dan diskusi, pertemuan itu akhirnya mengajukan tiga rekomendasi kepada
menteri. Pertama, pada masa kolonial, penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar mulai
dari HIS/ELS, MULO, sampai tingkat perguruan tinggi, juga digunakan sebagai bahasa percakapan setiap
hari, sehingga para pelajar praktis fasih berbahasa Belanda. Namun dalam kenyataannya masih ada
mahasiswa yang tidak lulus ujian. Jika bahasa Belanda terus dipertahankan sebagai bahasa pengantar
di perguruan tinggi, akan muncul kesukaran karena bahasa pada masa kini tidak lagi menjadi bahasa
percakapan sehari-hari. Kedua, buku-buku teks dalam bahasa Belanda umumnya merupakan terbitan
sebelum perang dunia. Oleh karena itu sebaiknya yang akan dijadikan buku-buku teks atau acuan yang
akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah buku-buku yang lebih mutakhir sepeti yang
diterbitkan di lnggris atau Amerika Serikat. Ketiga, untuk sementara waktu, boleh saja bahasa lnggris
digunakan sebagai bahasa pengantar karena bahasa lnggris praktis lebih luas penggunanya dan juga
lebih mudah dipelajari daripada bahasa Belanda. Namun untuk jangka panjang sebaiknya digunakan
bahasa Indonesia yang merupakan bahasa perjuangan dan bahasa persatuan. Kalau perlu, seluruh
pegawai diwajibkan bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, yang akan berpengaruh positif pula pada
perkembangan kebudayaan lndonesia.
Kabinet Wilopo relatif berkuasa lebih lama dibandingkan dengan kabinet-kabinet parlementer pendahulunya. Walaupun begitu, kurun waktu yang kurang 30% dari yang seharusnya membuat kabinet
ini pun tidak mampu menyelesaikan program kerjanya secara baik, termasuk program kerja kementerian
PP&K. Pada tanggal 2 Juni 1953 muncul mosi tidak percaya dari DPR sebagai buntut peristiwa Tanjung
Morawa. Perdana Menteri Wilopo akhirnya mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno.
Setelah berhenti dari jabatan Menteri PP&K pada masa Kabinet Natsir, Bahder Djohan meneruskan
hobi dalam bidang kebudayaan. Telah disebutkan di atas bahwa hobi ini sudah digemarinya semenjak ia a aktif di JSB. Mungkin karena perhatiannya terhadap kebudayaan cukup tinggi, maka ia kemudian
dipilih menjadi ketua Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) . Pada masa kepemimpinannya, LKI
menyelenggarakan Kongres Kebudayaan ke-2 pada tanggal 6-11 Oktober 1951, yang dihadiri oleh
Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri PP&K Mr. Wongsonegoro.
Dalam pidato selaku Ketua LKI, Bahder Djohan mengatakan bahwa keinsyafan atas harga diri menjadi
titik pangkal perjuangan kemerdekaan bangsa selama 40 tahun, pun tidak luput menjelma dalam lapangan kebudayaan. Semenjak zaman penjajahan telah timbul kesadaran dalam kepribadian manusia Indonesia.
Pada Kongres Kebudayaan ke-1, kebudayaan telah ditempatkan sebagai bagian dari pembangunan
negara dan masyarakat. Selanjutnya Bahder Djohan mengatakan bahwa kebudayaan adalah masalah
antara hubungan manusia dan alam, antara adab dan kodrat, antara kultur dan natur, antara akal dan
budi. Dalam masyarakat, peradaban merupakan penjelmaan kebudayaan. Dalam kebudayaan Indonesia
masa lalu , banyak tempat yang kelihatan kabur, tetapi ada pula puncak yang disinari cahaya gemilang.
Oleh karena itu LKI harus menunjukkan perhatiannya pada soal yang konkret yang ditemui oleh
masyarakat Indonesia dalam perkembangan ke segala jurusan hidup. Masalah itu adalah hak pengarang,
kritik seni, dan sensor film . Keputusan Kongres Kebudayaan ke-2 ternyata tidak jauh berbeda dengan
isi pidato pembukaan yang disampaikan oleh Ketua LKI Bahder Djohan, yaitu: I. mengenai hak pengarang,mengenai sensor film , dan mengenai organisasi kebudayaan. Setelah berhenti sebagai Menteri PP&K pada Kabinet Wilopo, Bahder Djohan kembali ke profesi semula di bidang kesehatan. Pada tahun 1953 ia diangkat menjadi Direktur RSUP. Di samping itu ia juga diangkat sebagai guru besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Pada tahun berikutnya dia diangkat menjadi Presiden (Rektor) Ul , sehingga jabatan direktur pada RSUP dilepasnya. Kedudukan sebagai Presiden Ul diemban tidak sampai masa jabatan berakhir. Ia melepaskan jabatan itu sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan konflik PRRI/Permesta. Ia menolak penyelesaian secara militer. Ia berusaha menemui para pejabat yang berwenang dalam masalah itu , seperti Jenderal A.H. Nasution, bahkan juga Presiden Soekarno. Namun upaya untuk bertemu tidak pernah tercapai. Karena pemerintah tetap melaksanakan penyelesaian PRRI/Permesta secara militer, maka pada bulan Februari 1958 Prof. Dr. Bahder Djohan meletakkan jabatan sebagai Presiden/Rektor Ul.

Tak lama setelah meletakkan jabatan sebagai rektor, Bahder Djohan mengajukan permohonan pensiun
sebagai pegawai negeri sipil. Tindakan ini mengejutkan berbagai pihak. Banyak yang tidak menyangka
Bahder Djohan berani bertindak tegas memperjuangkan prinsip hidupnya. Hal ini antara lain tercermin
dari beberapa komentar beberapa surat kabar, baik yang terbit di ibukota maupun di daerah. Tentu
saja komentar setiap koran berbeda-beda, tergantung kekuatan politik yang ikut mewarnainya.

PENGABDIAN SETELAH PENSIUN

Sesudah pensiun dan hidup sebagai warga biasa, ia pun tidak bersedia membuka praktik dokter di
rumahnya seperti umumnya para dokter waktu itu. Meskipun demikian, kalau ada orang sakit yang
datang ke rumahnya meminta bantuan, dengan senang hati ia membantu. Untuk pertolongan semacam
itu ia tidak mau dibayar. Sampai dengan akhir masa “Demokrasi Terpimpin” Bahder Djohan praktis
hidup sederhana dengan uang pensiunnya. Baru pada tahun 1966 perusahaan Panca Niaga, yang
berkantor Gedung CTC di Jalan Kramat Raya, memintanya berpraktik sebagai dokter perusahaan.
Tawaran itu pun diter ima dengan senang hati.
Pada akhir tahun 1968 pimpinan Universitas lbnu Khaldun (UIK) menghubungi Bahder Djohan dan
memohon kesediaannya menjadi Rektor UIK, karena rektor lama, yaitu Prof. Nasrun S.H., meninggal
dunia. Setelah membicarakannya dengan seksama, Bahder Djohan menerima tawaran itu sehingga sejak
tanggal 10 Maret 1969 Prof. Dr. Bahder Djohan resmi menjadi Rektor UIK. Salah satu motivasi yang
mendorong ia menerima tawaran itu karena melihat kondisi perguruan tinggi Islam umumnya tertinggal
oleh perguruan tinggi swasta lain. Salah satu faktor penyebabnya antara lain umumnya para pengusaha
atau saudagar muslim enggan menginvestasikan atau menyedekahkan hartanya di bidang pendidikan.
Untuk mengubah hal ini memerlukan waktu dan tekad yang kuat. Upaya yang dilakukan oleh Bahder Djohan memajukan UIK selama kepemimpinannya memang tidak sia-sia. Walaupun perkembangannya tidak secepat universitas swasta Kristen atau Katholik, namun perubahan yang ada, membuat fakultas-fakultas di lingkungan UIK, kecuali fakultas kedokteran, diakui oleh Kopertis wilayah II.
Selain mengabdi di dunia pendidikan masih banyak kegiatan yang dilakukan dalam mengisi masa
pensiunnya, seperti membantu Centre for Minangkabau Studies pimpinan Muchtar Nairn M.A., serta
menjadi Steering Committee Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau. Sampai akhirnya pada
8 Maret 1981 Bahder Djohan meninggal dunia di Jakarta dalam usia 78 tahun karena penyakit jantung.

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018

One thought on “Bahder Djohan”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *