Menteri Pendidikan Masa Jabatan 27 Agustus 1964 – 21 Februari 1966
DINAMIKA KEHIDUPAN
Ny. Artati Marzuki-Sudirdjo (Ny. Artati) merupakan perempuan pertama dan satu-satunya dalam
sejarah pemerintahan Republik Indonesia (RI) sampai saat ini yang menjadi Menteri Pendidikan Dasar
dan Kebudayaan (P dan K). Sebelum menjabat sebagai menteri ia mengawali karier di berbagai instansi
pemerintahan, yang sebagian besar berhubungan dengan hukum sesuai dengan pendidikannya.
Ny. Artati merupakan perempuan yang cerdas dan menguasai banyak bahasa asing secara aktif, di
antaranya bahasa-bahasa lnggris, Belanda, Perancis, dan ltalia . Bahasa lain yang dikuasai secara pasif
adalah bahasa Jerman dan bahasa Jepang. Ia juga memiliki andil besar atas terjalinnya hubungan Rl
dengan negara-negara lain . Atas jasa-jasanya tersebut ia mendapat banyak penghargaan, baik dari
dalam negeri maupun dari luar negeri, di antaranya ltalia, Belanda, dan Belgia.
Ny. Artati lahir di Bringin, Salatiga, tanggal IS Juni 1921, lulus Faculteit der Rechtsgeleerdheid ‘Fakultas
Hukum’, Jakarta, pad a tanggal 9 Agustus 1941. Ia menikah dengan J. Marzuki, sehingga dari suaminyalah
ia mendapat nama Marzuki. Dari pernikahan tersebut ia dikaruniai dua orang anak.
Baca juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia
KARIER DAN KARYA
Ny. Artati memulai karier di pemerintahan sejak tahun 1942 dengan bekerja sebagai penerjemah di Kantor Gubernur Jawa Barat di Bandung. Tahun berikutnya ia pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai Buitengewoon Substituut Griffter (BS Griffier) atau Panitera Kantor Pengadilan Kepolisian . Pada bulan Februari 1944 ia pindah ke kantor Pusat Kehakiman sebagai pegawai pada Bagian Urusan Umum. Di sini ia bekerja sekitar tujuh bulan sebelum kembali ke Bandung pada bulan November 1944 untuk bekerja sebagai panitera di kantor Pengadilan Negeri Bandung dan Sumedang sampai bulan Oktober 1946.
Ny. Artati kemudian menjadi diplomat. Karier di bidang diplomasi bermula dari pekerjaannya sebagai
pegawai pada Bagian Politik dan Konsuler Kementerian Luar Negeri Rl. Sampai bulan Desember tahun
1949 ia ditempatkan di Kementerian Luar Negeri Rl yang berkantor di Yogyakarta dan pada awal tahun
1950 dipindahkan ke Sekretariat Jenderal Kementerian Luar Negeri di Jakarta.
Pada bulan April tahun 1950 Ny. Artati mengawali karier sebagai seorang diplomat yang ditugaskan
sebagai Kepala Bagian Sosial, Humaniter, dan Kebudayaan pada Perwakilan Tetap Republik Indonesia
di markas besar PBB, New York, Amerika Serikat. Tahun 1955 ia menjadi anggota delegasi dalam
Konferensi Asia Afrika di Ban dung pada bagian sekretariat. Semasa menjalani karier sebagai diplomat Ny. Artati sangat aktif mengikuti berbagai seminar, konferensi, serta rapat internasional. Pada tahun 1950 ia diangkat sebagai Penasihat Delegasi Indonesia pada Konferensi Bantuan Teknik di New York dan pada tahun 1950-1952 menjadi wakil Indonesia dalam penyusunan buku tahunan PBB tentang hak asasi manusia (HAM). Ia aktif menghadiri General Assembly (Sidang Umum/SU) PBB sebagai anggota delegasi Rl sejak SU ke-5 tahun 1950 hingga sidang ke-9 tahun 1952.
Di samping itu ia juga hadir dalam sidang-sidang umum ke-11 tahun 1956, ke-22, 24, 25, serta ke-28,
dan sidang-sidang selanjutnya yang diadakan setiap tahun. Tahun 1951 hingga 1952 dan tahun 1957 ia
menjadi anggota Badan Eksekutif Dana Bantuan Darurat PBB untuk Anak-anak (UNICEF). Tahun 1953
hingga 1954 ia bertugas sebagai anggota Komite Permasalahan Kependudukan PBB. Tahun 1953 ia hadir
sebagai Peninjau pada Konferensi PBB tentang Pembatasan Produksi Candu di New York. Tahun 1955 ia
diangkat menjadi Penasihat Delegasi Rl ke Sidang Komisi PBB untuk Asia Jauh (ECAFE) di Tokyo.
DINAMIKA SELAMA MENJABAT SEBAGAI MENTERI
Selama masa jabatannya Ny. Artati harus berhadapan dengan situasi politik yang tidak stabil. Persaingan
antara berbagai macam ideologi di Indonesia, yang kala itu masih berumur sangat muda, terjadi tidak
hanya di permukaan saja. Di dalam badan-badan internal pemerintahan, persaingan dan perebutan
hegemoni terjadi begitu sengit; di sisi lain pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu unsur
penting dalam persaingan ideologis. Yang paling terasa tentu saja persaingan antara paham komunis
dan paham-paham lain.
Sebagai akibat situasi politik yang tidak stabil itu, sejak awal enampuluhan, terbentuk dua kelompok
pekerja di internal Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Salah satu kelompok adalah
organisasi Serikat Sekerja Pendidikan (SSP) yang merupakan gabungan pejabat dan pegawai yang
berideologi komunisme. Kelompok yang lain merupakan gabungan dari pejabat dan pegawai yang
berideologi marhaenisme dan anggota partai yang berideologi agama, tergabung dalam Serikat Sekerja
Pendidikan dan Kebudayaan (SSPK).
Carut-marut kondisi ini diperparah oleh persaingan ideologis dalam bentuk sistem pendidikan nasional. Secara resmi pemerintah menerapkan suatu sistem bernama Sistem Pendidikan Panca-Wardhana; di sisi lain-golongan kiri-menyerukan sistem tandingan bernama Panca Cinta, walaupun dalam pidato-pidato mereka mengklaim bahwa Panca Cinta tidak bertentangan dengan Panca Wardhana.
Selain itu ada pula persaingan antara Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan PGRI NonÂ
Vaksentral yang merupakan salah satu organisasi mantel Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai
akibat dari persaingan dan perselisihan internal 27 orang pegawai Kementerian Pendidikan Dasar
dan Kebudayaan mengirim surat ke Menteri Prijono. Tujuan awal surat tersebut adalah meredakan
persaingan dan menyelaraskan keadaan internal Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan,
namun ke-27 orang pegawai tersebut malah diberhentikan oleh Menteri Priyono dengan alasan “atas
dasar permintaan sendiri”.
Permasalahan tersebut tidak kunjung selesai hingga akhir masa jabatan Menteri Priyono, sehingga pada akhirnya menjadi masalah yang diturunkan kepada Ny. Artati sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan pengganti Prof. Prijono.
Pemberhentian ke-27 pegawai menimbulkan masalah baru yang ditanggapi serius oleh berbagai ormas
dan partai. Kalangan marhaenis dan agama tidak setuju, sedang golongan kiri-terlebih PGRI NonÂ
vaksentral-mendukung pemberhentian 27 pegawai tersebut. Begitu genting masalah tersebut sampai
Presiden Soekarno harus turun tangan dan menanganinya sendiri. Ketika Ny. Artati menjadi Menteri
Pendidikan Dasar dan Kebudayaan ke-27 orang pegawai yang dipecat Menteri Priyono mengirim telegram kepada Ny. Artati, tetapi Ny. Artati tidak dapat menjawab karena permasalahan sudah
diambil alih oleh Presiden.
Pada akhirnya, dengan bantuan pihak Angkatan Darat, Ny. Artati mampu menyelesaikan masalah
dan mengembalikan kondisi internal Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Duapuluh
empat orang yang diberhentikan dipekerjakan sementara di Markas Besar Angkatan Darat di bawah
koordinasi Letnal Kolonel Amir Murtono, sedang tiga orang yang lain diterima bekerja di Departemen
Dalam Negeri. Meskpun demikian mereka tidak menerima kejelasan dari Departemen Pendidikan
Dasar dan Kebudayaan.
Pada bulan September 1964 Presiden Soekarno membentuk Panitya Negara Penjempurnaan
Pendidikan Panca-Wardhana yang bertugas untuk (I) menyempurnakan dan mengembangkan
Sistim Pendidikan Panca-Wardhana dan (2) menyampaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya usul
pertimbangan mengenai persoalan pemberhentian 27 orang pegawai Departemen Pendidikan Dasar
dan Kebudayaan.
Panitia bentukan Presiden Soekarno kemudian menyatakan bahwa seluruh pegawai yang diberhentikan
tidak bersalah, sehingga melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 313 Tahun 1964 13
orang pegawai kembali bekerja di Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dan sisanya
tetap bekerja di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Mabes TNI AD) dan
Departemen Dalam Negeri.
Ny. Artati seorang anti-komunis dan anti-gestapu, namun kapasitasnya sebagai menteri dalam
Kabinet Dwikora yang bernafas NASAKOM mampu menjalankan roda kerja Departemen
Pendidikan Dasar dan Kebudayaan sebagaimana diinstruksikan oleh Presiden Soekarno. Pada tanggal
1 Januari 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan perintah wajib belajar kepada seluruh warga negara
Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, dalam kelompok usia 8-14 tahun. Atas perintah tersebut
Ny. Artati sebagai menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan segera melakukan persiapan untuk
melaksanakan nya. Ny. Artati menyusun sejumlah garis besar Program Departemen Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan sebagai berikut:
1. Dasar
a. Undang-undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Bab XIII pasal 31.
b. TAP MPRS No. 1/MPRS/1960, terutama Keputusan DPA No. /Kpts/SD/11/59 (sebagai lampiran), khususnya mengenai Usaha-usaha Pokok (Program Umum), D. Bidang Mental dan Kebudayaan. TAP MPRS No. 11/MPRS/1960, terutama Bab II pasal 2, Bidang Mental/ Agama/Kerohanian/Penelitian, dan Resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1965, beserta lampiran-lampirannya.
c. Program Kerja Kabinet Dwikora (Tri Program Pemerintah).
d. Pedoman Kerja Pelaksanaan Revolusi dalam tahapan perjuangan TAVIP, terutama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.
2. Program Pokok
a. Bidang pendidikan kebudayaan
I) Mengintensifkan penanaman ideologi negara dengan melaksanakan Manifesto Politik di
bidang pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh swadaya
swasta rakyat, atas:
a) Dasar dan moral pendidikan nasional Pancasila dengan haluan Manipoi/USDEK;
b) Dengan sistem pendidikan nasional Panca Wardhana, dengan pengkhususan Nasakom
untuk sekolah-sekolah swasta.
2) Mengintensifkan usaha pelaksanaan Ketetapan-ketetapan MPRS di bidang pendidikan,
terutama:
a) Menyempurnakan pelaksanaan perimbangan pendidikan kejuruan dan umum 7 : 3
(baik pemerintah maupun swadaya rakyat);
b) Menyempumakan pelaksanaan kewajiban belajar;
c) Melanjutkan penyelesaian pemberantasan buta huruf, serta melanjutkan pelaksanaan
fol/ow-up-nya.
d) Mengintensifkan pelaksanaan Manifesto Politik di bidang kebudayaan dan mengganyang segala unsur-unsur kebudayaan yang menyimpang dari ideologi negara dan melemahkan Revolusi (antara lain Manikebu).
e) Mengenal kebudayaan serta kepribadian sendiri guna membina kebudayaan nasional yang progresif revolusioner serta menolak/memberantas pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing.
b. Bidang organisasi dan tata kerja
I) Mengadakan regrouping aparatur departemen secara menyeluruh (integral).
2) Menyempurnakan hubungan kerja antar aparatur Departemen PO dan K, baik di pusat maupun di daerah, atas dasar prinsip dekonsentrasi kewenangan dan penyelenggaraan.
Meski sudah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan kesibukan menjadi delegasi
rupanya masih mengikuti Ny. Artati. Pada bulan Agustus 1965 ia bersama tujuh orang lain diutus
oleh Presiden Soekarno mengunjungi Republik Rakyat Demokrasi Korea selama dua minggu untuk
mempelajari pengintegrasian gerakan Pramuka dalam pendidikan.
Satu bulan kemudian ia dan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Jenderal Hamengku Buwono IX mengeluarkan keputusan bersama yang ditujukan kepada para pimpinan sekolah, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, agar menganjurkan siswanya masuk menjadi anggota Pramuka.
Pada bulan Oktober tahun 1965, datang undangan dari Uni Soviet, Hungaria, dan Republik Demokrasi
Jerman. Ny. Artati, sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, kembali dikirim o leh Presiden
Soekarno guna mempelajari sistem pendidikan dan kebudayaan di negara-negar a tersebut. Saat itu
hubungan Indonesia dengan negara-negara komunis sedang sangat dekat. Kunjungan tersebut memakan
waktu cukup lama, hampir sebulan lamanya, meliputi 14 hari di Uni Soviet, tujuh hari di Hungaria, dan
tujuh hari di Republik Demokrasi Jerman.
Salah satu tugas sebagai seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan-selain mengurusi pendidikan nasional-menjadi ujung tombak hubungan kebudayaan Indonesia dengan negara lain . Oleh karena itu apabila ada utusan kebudayaan dari negara lain menjadi tugas Ny. Artati mendampingi presiden menerima kunjungan utusan kebudayaan bersangkutan. Pada beberapa kesempatan, apabila presiden berhalangan hadir, Menteri Pendidikan dan Kebudayaanlah yang bertugas menerima utusan-utusan tersebut.
Selain mendukung dan menganjurkan Gerakan Pramuka, Ny. Artati juga mendukung penuh pendirian
organisasi persatuan pelajar di Indonesia. Oleh karena itu ia mengesahkan berdirinya Persatuan
Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) dan Korps Peladjar Serba Guna (KODJARSENA).
Ny. Artati seorang yang memiliki kemampuan beradaptasi luar biasa, terbukti ia menjadi seorang
pengambil keputusan yang tepat. Dalam salah satu pidatonya ia berpesan bahwa seluruh rakyat Indonesia, baik buruh, tani, karyawan, maupun pemuda-pelajar, harus benar-benar bersatu untuk mencapai tujuan revolusi lndonesia.
Ny. Artati juga merupakan seorang yang sadar pentingnya arti sejarah bangsa bagi pembentukan karakter. Hampir dalam setiap pidato dan ceramah ia selalu mengawalinya dengan berbicara
tentang sejarah bangsaY Ia seorang pancasilais dan anti-kolonial tulen. Oleh karena itu ia menyalahkan
sistem pendidikan kolonial yang membuat rakyat Indonesia susah menjadi progresif dan revolusioner
Ny. Artati seorang humanitarian dan sosialis. Ia percaya bahwa pendidikan merupakan hak semua
anak tanpa membedakan faktor sosial dan ekonomi orang tua anak. Pada prinsipnya pendidikan dasar
haruslah bebas dari biaya apa pun dan baru pada pendidikan lanjutan boleh dipungut biaya sesuai
kemampuan orang tua anak. Pendidikan haruslah bertujuan pada terbentuknya tenaga-tenaga yang
dapat memberikan sumbangan untuk terciptanya masyarakat Indonesia yang sosialis.
Dalam suasana yang penuh semangat revolusi, Ny. Artati berpendapat bahwa untuk menunjang
revolusi dan demokrasi terpimpin perlu dilakukan pembenahan di bidang pendidikan. Yang pertama
perlu dilakukan adalah pembangunan mental dengan cara mengharuskan pembelajaran lagu-lagu wajib.
Ia percaya bahwa lagu-lagu wajib mampu memupuk rasa cinta tanah air dan jiwa revolusi. Sejalan
dengan jiwa Kabinet Dwikora, yaitu pembenahan sandang pangan, ia menyarankan “usaha halaman”
pada tiap-tiap sekolah, yang dapat membangkitkan kesadaran anak didik dalam menghargai pekerjaan
tangan dan keterampilan. Ia menyalahkan sistem pendidikan kolonial yang membuat anak didik tidak
terampil dan tidak “hidup tangannya” sehingga menghambat kemajuan pendidikan teknik dan kejuruan.
Ia juga sangat menyarankan menabung dan membangun koperasi. Dalam pandangan Ny. Artati, guru
merupakan faktor utama dalam pendidikan anak. Guru merupakan patriot, sebab guru berdiri di garis
depan melawan penjajahan pendidikan dan melawan kebodohan.
Dalam mendukung Indonesia menjadi negara yang kuat secara kelautan Ny. Artati menetapkan buku
Sang Saka Me/anglang Djagad sebagai buku bacaan untuk SLTP/SLTA. Ia bersama Presiden Soekarno,
Menke Roeslan Abdulgani, Menhankam/Pangab Jenderal A.H. Nasution, KASAL Laksamana R.E.
Martadinata, Kepala Puspenal Kolonel Laut R.M. Ambardy, dan Komandan KRI Dewa Ruci Letkol Laut
H. Sumantri memberi kata sambutan dalam buku tersebut Presiden Soekarno melakukan reshuffle Kabinet Dwikora pada tahun 1966. Ny. Artati termasuk ke dalam jajaran menteri yang diberhentikan dari kabinet yang disempurnakan itu. Pencopotan beberapa menteri, termasuk Ny. Artati, menyulut amarah beberapa kalangan. Soe Hok Gie menyebut bahwa Ny. Artati orang yang anti-gestapu, sehingga pencopotannya merupakan indikator semakin dekatnya Presiden Soekarno dengan paham komunis;
bahkan seakan menjadi katalis kekecewaan rakyat pengganti Ny. Artati, Sumardjo, didukung penuh oleh golongan kiri.
Setelah selesai menjabat sebagai menteri, Ny. Artati tidak berhenti berkarier di pemerintahan. Ia
berbakti kepada negara dalam bidang yang dicintainya: diplomasi internasional. Rasa cinta tanah air dan
cinta pada kebudayaan bangsa membuat ia tetap berkecimpung dalam pelestarian budaya di Indonesia,
walaupun sudah tidak lagi menjabat sebagai menteri. Pada tahun 1968 ia terpilih sebagai Wakil Ketua I
Panitia Nasional Perbaikan Candi Borobudur. Ia juga merupakan salah satu tokoh di balik penggalangan
dana untuk perbaikan Candi Borobudur. Kariernya terakhirnya dalam pemerintahan adalah sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Rl untuk Swiss dan Austria.
Baca Juga : Profil Ki Hajar Dewantara
PENUTUP
Ny. Artati seorang perempuan yang cerdas dan berani. Ia mampu beradaptasi dengan keadaan dan
pekerjaan yang berganti-ganti. Ia juga mampu bertahan di antara tekanan perebutan ideologis antara
golongan kiri dan kanan. Sebagai seorang profesional yang dianggap anti-gestapu dan anti-komunis ia
mampu bekerja di bawah Menteri Koordinator Prijono yang seorang komunis dan mampu menjalankan
tugas-tugasnya sebagai menteri dengan baik. Walaupun pada akhirnya ia diberhentikan akibat pergulatan ideologis dalam pemerintahan, namun baktinya sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan tetap membentuk sejarah bangsa ini. Ia terus berkarya dan mewujudkan rasa cintanya pada budaya bangsa.
Ia merupakan inspirasi tiada henti bagi anak bangsa, terutama bagi kaum perempuan. Ia seorang
menteri, diplomat, budayawan, dan negosiator ulung, sekaligus seorang ibu dan istri. Keberadaan
Ny. Artati dalam sejarah jabatan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan merupakan contoh nyata
bahwa Indonesia merupakan negara egaliter yang memberikan kesempatan sama bagi semua rakyatnya
yang bekerja keras, bertanggung jawab, dan memiliki watak profesional.
Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018
[…] Artati Marzuki Sudirdjo (27 Agustus 1964 – 21 Februari 1966) […]