Affandi dilahirkan pada tahun 1907 di Cirebon. Ia adalah salah seorang dari anak keluarga Kusuma. Ayah Affandi adalah pegawai sebuah pabrik gula di Cirebon yang bertugas sebagai juru gambar peta tanah yang akan ditanami tebu. Affandi anak bungsu dari tujuh bersaudara.
Pada waktu Affandi masih kecil, di daerahnya terserang wabah penyakit cacar. Affandi bersaudara juga terserag penyakit cacar. Satu per satu saudara kandung Affandi direnggut maut. Empat saudaranya meninggal berturut-turut dalam waktu singkat , yang selamat tinggal Affandi dan dua orang kakaya, yaitu Mohammad Sabur dan Abu Bakar.
Sejak kecil Affandi senang menggambar wayang. Ia sangat pandai menggambar tokoh-tokoh wayang yang diperhatikannya sewaktu duduk di belakang sang dalang. Affandi seringkali terlalu banyak membuang waktunya untuk menggambar wayang. Terkandang Affandi diam saja dan menyingkir atau bersembunyi di tempat yang sepi. Di tempat inilah Affandi mulai lagi bereaksi menggambar. Ternyata kesenangan Affandi akan wayang kulit sangat mempengaruhi seni lukis Affandi. Garis-garis
dalam Iukisan Affandi tidak lurus, tetapi bergelung-gelung seperti wayang kulit.
Pada tahun 1928, Kusurna ayah Affandi meninggal dunia. Pada waktu itu Affandi duduk di kelas tiga Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sehingga biaya sekolahnya dialihkan kepada kakaknya, Mohammad Sabur. Lulus dari MULO tahun 1928, atas saran kakaknya Affandi melanjutkan pendidikannya ke Aligemene Middelbare School (AMS) bagian B di Jakarta
Setelah belajar di Jakarta, Afandi mulai merasakan sekolahnya makin mundur. Kesenangannya menggambar makin berkobar, bahkan seorang diri . Ia belajar dengan pensil konte dan arang. Kecuali itu ia juga mempelajari garis, bentuk, warna, dan komposisi. Hebatnya ialah bahwa ada guru yang mengajar Afandi menggambar. Ia cukup mengunjungi pameran-pameran lukisan atau membaca buku-buku seni
lukis, itulah gurunya.
Selama belajar di Jakarta, ia menumpang pada keluarga pelukis Judha Kusuma di Jalan Cideng, Jakarta. Sebagai pemuda pada waktu itu Afandi sangat sederhana dalam segalanya. Kalau sekolah pun ia
naik sepeda jelek yang setiap dikayuh pasti mengeluarkan suara. Pada tahun 1931 , Afandi menempuh ujian akhir AMS, tetapi mengalami kegagalan. Sejak itu Afandi terlepas dari tanggungan lr. Mohammad
Subur, kakaknya. Tekadnya sudah bulat,dan dalam hati Afandi, yakin bahwa cita-citanya untuk menjadi pelukis akan terwujud. Meskipun demikian, perkembangan Afandi sebagai pelukis, tidaklah mudah,
karena terbentur juga untuk mencapai kebutuhan hidupnya. Akhirnya Afandi bekerja sebagai guru
di HIS merde Qur’ an. Disini Afandi diserahi tugas mengajar membaca dan menulis huruf latin. Sekolah
diadakan pada malam hari, sehingga pada siang hari Afandi dapat berlatih melukis. Di sinilah Afandi bertemu dengan Maryati (salah seorang muridnya) yang akhirnya dinikahi menjadi istrinya pada tahun
1933. Setelah itu Afandi pindah ke Bandung, untuk meneruskan bakatnya melukis, tetapi tidak ada jalan lain, Afandi terpaksa bekerja sebagai tukang cat papan nama toko, pintu dan menggambar reklame
bioskop. Pada malam hari, Afandi masih bekerja sebagai portir Bioskop zelisa di alun-alun Bandung. Afandi merasa senang bekerja di situ, karena dapat melukis dan melihat film, suatu hal yang sangat
disenanginya hingga sekarang. Bagi Afandi tidak malu bekerja sebagai buruh cat dan portir bioskop, padahal pendidikannya cukup tinggi. Karena dirasanya pekerjaan tersebut merupakan pengalaman yang
berharga sebagai pelukis. Pekerjaan kotor seperti itu merupakan pelajaran dan latihan baginya.
Pada tahun 1934 Maryati istrinya melahirkan seorang bayi perempuan yang mungil dan montok. Kelahiran bayi perempuan ini disambut dengan gembira oleh Affandi maupun Maryati, yang kemudian
diberi nama Kartika. Setelah dewasa ia juga mengikuti jejak ayahnya sebagai pelukis. Karena hanya memiliki satu putri, maka atas saran istrinya, Affandi menikah lagi. Istri kedua Affandi, yang juga dipilih dan dicarikan oleh Maryati, bernama Rubiyem. Kehidupan Rubiyem sebagai istri Affandi, sehari-hari diatur oleh Maryati. Hasil perkawinannya dengan Rubiyem dikarunia tiga orang anak. Kenyataan hidup tidak seperti. yang dibayangkan, karena justru kehidupannya semakin mengalami kesulitan. Dari sinilah Affandi
kemudian bekerja keras hingga akhimya ia mempunyai sebuah gubuk di Desa Papringan, yang letaknya tepat di sebelah barat Kali Gajah Wong tepatnya di depan gedung Fakultas Ushuludin Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang kemudian dijadikan museum. Bangunan rumah itu hampir semuanya terbuat dari kayu jati kelas satu. Tiang-tiangnya diukir dengan ukiran halus oleh I Cokot dan anaknya, pemahat terkenal dari Bali. Lukisan tiang tersebut menggambarkan burung garuda yaksa yang perkasa.
Di dalam bangunan ini tergantung lukisan-lukisan Affandi, dari permulaan karirnya hingga meninggalnya, yaitu dari lukisan pensil hingga perkembangannya dengan cat minyak. Kecuali itu di dalam museum
terdapat juga ruang studio lukis, tetapi ruang tersebut tidak pemah digunakan, sebab Affandi selalu melukis di luar rumah Museum Affandi dibangun sejak tahun 1961 dan peresmiannya baru dilaksanakan pada 15 Desember 1973 oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, sekedar sebagai ternan sewaktu di India. Museum ini diresmikan agar dapat dimanfaatkan sebagai tolok ukur perkembangan seni lukis Indonesia. Para seniman dapat melihat dan mempelajari, serta rnengambil manfaatnya.
Hingga akhir hayatnya, Affandi yang tidak pernah merasa puas dan tidak merasa terlalu tua untuk meneruskan karyanya, hidupnya diabdikan untuk seni . Pada tahap perrnulaan melukis, karya-karya
Affandi adalah realisme fotografis. Sebuah karya lukis yang memperhatikan motif bagaimana mata melihat ujud fisiknya. Affandi belum banyak mengungkapkan faktor kejiwaan dalam karya-karya
lukisannya. Sebagai contoh, karya lukis awalnya adalah “Potret Diri” (1928), “Istriku” (1928), “Ibu” (1938) dan “Affandi” dan “Kartika” (1939). Karya-karya tersebut lebih cenderung pada unsur teknik. Pada
perkembangan berikutnya, karya-karya Affandi di samping realisme yang menunjukan kecermatan penguasaan teknik, terdapat realisme dengan sapuan yang ritmis. Seperti karyanya “Potret Diri” (1944), “Ibu Dalam Kamar” (1944), “Belajar Anatomi” (1948) dan “Cucu Pertama” (1953) yang semuanya menggunakan cat minyak. Pada empat karya terakhir, Affandi mulai melampiaskan emosi pribadi
melalui objeknya.
Baca Juga : Daftar Menteri Pendidikan Indonesia
Ketika itu kesenilukisan Afandi bukan hanya dikuasai oleh imaji subjektif, melainkan juga dipengaruhi oleh pengalaman estestis,harkat kemanusiaan, dan cita artistik. Afandi mulai menggeluti dunia
ekspresionisme dalam ungkapan karya lukisnya. Aktivitas seninya didominasi oleh emosi atau gelombang kalbu. garis-garisnya lebih liar, kadang-kadang bentuknya diabaikan, sehingga kesan ruang hilang menjadi dwi matra, namun struktur bentuk masih dapat dikenali.
Dalam dunia ekspresionisme seni lukisnya, Afandi adalah seorang humanisme. Misi sosial-kemanusiaan dalam jiwa seninya terungkap nyata rnelalui karya-karya lukisnya, antara lain Pengemis ( 1944), Kampung Ikan di India Selatan ( 1951 ), Bandung di Waktu Malam (1950), Korban Lava Gunung Agung (1963), Pengemis Tidur (1964), Pondok Tua, Gubuk Rusak, Tukang Puntung, Nelayan Tua, dan lain-lain. Afandi lebih tertarik pada kehidupan sosial dari pada keindahan salon yang pantastis dan berbau klise, sehingga nampak terungkap fungsi sosial dalam karya seninya. Goresan tangannya merupakan kritik terhadap kehidupan sosial, seraya mengingatk.an realita kehidupan yang menyentuh rasa kemanusiaan.
Kecenderungan Afandi kepada kemanusiaan ini, mengakibatkan Afandi lebih banyak memilih objek manusia dari pada benda-benda pemandangan, binatang, perahu, dan lain-lain, oleh karena itu dalam
aktivitas seni lukisnya Afandi lebih banyak di luar rumah, bergaul dengan lingkungan yang menjadi sumber inspirasinya. Hasil interaksi jiwanya dengan lingkungan alam, Afandi melukis Burung Mati Di
Tanganku ( 1945), suatu ungkapan jiwa akan kepeduliannya terhadap hasrat hidup burung yang terganggu. Karya-karya lain yang merupakan basil interaksinya dengan lingkungan alam sekitar antara lain adalah Matahari, Gerhana I, Gerhana II , dan banyak lagi.
Afandi adalah seorang pelukis yang sangat produktif. Dia mempunyai daya rekam sensitif, dan mampu menyelesaikan setiap objeknya dengan kekhasan gaya dan dalam waktu yang sangat cepat. Dua jam, adalah batas terberat bagi sebuah karya. Apabila dalam waktu dua jam tidak selesai, maka gagallah usaha untuk membuat suatu karya, karena itu wajar kalau ia tidak ingat lagi jumlah basil karyanya. Rata
rata setiap bulannya Afandi menghasilkan tiga buah lukisan. Karya karyanya lebih banyak tersebar di luar negeri dari pada di negerinya sendiri . Afandi merupakan pelukis Indonesia yang paling banyak
mengadakan pameran di luar negeri. Walau begitu ia tidak banyak dipengaruhi oleh unsur kebudayaan asing dalam kreativitas seni lukisnya.
Bagi Afandi, melukis adalah kepuasan diri . Mengenai pandangannya tentang kesenian, ” dasar kesenian adalah perikemanusiaan” . Melukis bagi Afandi diperuntukkan bagi kepentingan kemanusiaan dan tidak untuk kepentingan seni. Oleh karena itu Afandi Mengaku bukan seniman, hanya seorang manusia biasa.
Prinsip hidupnya dalam berkarya, ia tidak senang terhadap masa lalu dan tidak peduli akan masa datang. Baginya, yang penting adalah masa sekarang. Menurut Afandi, mengingat masa lalu membuatnya
·temah dan rnalas dan memikirkan masa yang akan datang sarna halnya dengan membuang-buang waktu.
Baca Juga : Agung Wicaksono, S.Pd. M.Pd
Apapun pandangan dan prinsip hidup Afandi, yang pasti Afandi adalah pelukis besar Indonesia. Karya-karyanya yang tak terhitung jumlahnya, dan kualitas seninya yang telah mendapat pengakuan dari
masyarakat internasional merupakan kekayaan yang tak ternilai bagi khasanah budaya Indonesia.
Sumber Buku : Ensiklopedia Tokoh Kebudayaan Tahun 1994 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (dikdasmen.go.id)