Abu Hanifah

Menteri Pendidikan RI Masa Jabatan 20 Desember 1949 – 6 September 1950

Dr. Abu Hanifah Dt. Marajo Emas atau Dt. Marajo Ameh, yang lebih dikenal dengan nama panggilan
Abu Hanifah, merupakan salah satu menteri Kabinet Hatta pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS),
yang menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (PP&K). Jabatan itu berakhir setelah
RIS dinyatakan bubar. Dengan demikian ia menjadi Menteri PP&K pertama dan terakhir pada era RIS,
yang dijabat sejak tanggal 19 Desember 1949 sampai dengan 6 September 1950. Masa jabatan itu relatif
lama jika dibandingkan dengan umumnya masa jabatan para menteri PP&K sebelumnya. Nama Abu Hanifah lebih akrab atau dikenal sebagai dokter yang aktif dalam politik pergerakan kebangsaan dan rajin
menuliskan buah pikiran dan pengalamannya, baik berupa buku maupun artikel­ artikel pendek yang dimuat dalam berbagai media, seperti majalah Soematranen Bond, Pemuda Indonesia , dan Indonesia Raya. Abu Hanifah dilahirkan pada tanggal 6 Januari 1906, yang bertepatan dengan tahun 1327 Hijrah (H),
di Padang Panjang, suatu kota kecil yang terletak di daerah perbukitan antara kota Padang dan kota
Bukittinggi, di antara dua gunung yang menjulang tinggi ke angkasa, yaitu Gunung Merapi dan Gunung
Singgalang, Sumatera Barat. Menurut penuturan masyarakat, Padang Panjang merupakan daerah darek
alam Minangkabau, yang berarti ‘daerah asal pusat kebudayaan Minangkabau yang terletak di daerah
pedalaman’. Ayahnya bernama Ismail gelar Datuk Manggung, seorang guru bahasa Melayu. Ia paman
Prof. Dr. Moh. Ali Hanifah, yang dikenal sebagai pembina palang merah Indonesia, sedangkan ibunya
bernama Fatimah Zahra. Abu Hanifah merupakan anak pertama dari perkawinan Ismail gelar Datuk Manggung dengan Fatimah Zahra.
Ia mempunyai lima orang adik, yaitu Nursiah Dahlan, Ahmad Munandar, Kartini, Siti Nuraini , dan Usmar
Ismail. Adik bungsunya ini kemudian dikenal masyarakat Indonesia sebagai aktivis dan pembina perfilman Indonesia.
Sebagai seorang guru pada Opleiding School tot voor lnlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Bukittinggi,
Ismail , ayah Abu Hanifah , merupakan orang terpandang di lingkungan masyarakatnya pada waktu itu. Ia
seorang datuk yang menjadi penghulu negeri. Sebagai guru ia sering berpindah-pindah tempat, sehingga
anak-anaknya-termasuk Abu Hanifah-terpaksa pula sering berpindah-pindah sekolah sesuai dengan tempat penugasan ayahnya, misalnya bertugas di Makassar. Oleh karena jabatan ayahnya ia dapat
masuk menjadi murid pada Europeesche Lagere School (ELS) di kota Makasar, tetapi baru berhasil
menyelesaikan sekolah ELS-nya di Bandung pada masa ayahnya ditempatkan di kota itu-yang pada
waktu itu dikenal sebagai “kota kembang”. ELS pada dasarnya diperuntukkan bagi orang-orang Eropa
dan yang dipersamakan dengan orang Eropa. Setamat dari ELS Abu Hanifah meneruskan pendidikan formal ke School tot Opleiding Voor lnlandsche Artsen (STOVIA/Sekolah Pendidikan Kedokteran Untuk Kaum Pribumi). Pada bulan-bulan awal masa pendidikannya di sekolah kedokteran itu ia mengalami masa “penggojlogan” mental dari para seniornya, mirip dengan masa prabakti (Mapras) pada awal pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Mapram di perguruan tinggi pada awal Orde Baru. Alasannya agar para calon dokter mempunyai ketahanan fisik dan kematangan mental yang sangat diperlukan oleh seorang dokter. Para pelajar STOVIA sering dipanggil dengan sebutan “cleve”. Entah karena salah dengar atau sulit mengucapkan kata tersebut, sebutan kepada para calon dokter Jawa ini berubah menjadi “klepek”. Lama Pendidikan di STOVIA 10 tahun, yang dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan masa persiapan, yang disebut voorbreidende afdeling (VA), dengan lama pendidikan tiga tahun. Tahap kedua khusus kedokteran, yang disebut geneeskundige afdeling (GA), berlangsung selama 7-8 tahun. Selama menjalani masa pendidikan semua mur id STOVIA diasramakan. Setiap murid diatur penempatan
kamarnya sejak tahun pertama sampai dengan kelulusan. Ada semacam rotasi berkala dalam hal kamar,
sehingga para murid pernah merasakan tidur di kamar yang berada di ruang A, B, C, dan D. Ada
aturan dan pengawas yang mengawasi pelaksanaan tata tertib di asrama, yang dinilai ketat oleh para
murid STOVIA. Tujuan pengawasan tiada lain agar para murid tidak melakukan hal-hal yang dapat
mengganggu kelancaran dan ketepatan waktu belajar di sekolah kedokteran tersebut.
Walaupun demikian tidak berarti semua murid menaati semua aturan. Ada saja di antara mereka
yang melanggar dengan berbagai alasan dan cara, misalnya banyak murid yang “membongkar” genteng
kamar kecil atau toilet agar dapat keluar asrama untuk membeli makanan atau kopi yang tidak dapat
diperoleh di asrama atau di luar jam makan. Abu Hanifah merupakan salah seorang siswa yang juga
pernah melakukan kenakalan demikian. Yang masih di kenangnya sampai ia menjadi seorang dokter dan
politisi adalah sewaktu menerobos ke luar asrama hanya sekedar membeli kopi ekstra dari Bang Amat
dan tahu Long yang mangkal di daerah Senen. Di STOVIA terdapat beberapa organisasi sekolah yang sedikit banyak memberi kebebasan kepada para murid untuk berekspresi atau menyalurkan bakat. Ada beberapa perkumpulan di sekolah yang dibentuk dan diurus oleh para murid STOVIA, misalnya perkumpulan senam dan anggar, perkumpulan sepak bola, perkumpulan tenis, perkumpulan musik, perkumpulan tari Jawa, perkumpulan catur dan dam, perkumpulan pencak Sumatera, dan perkumpulan musik Hawaii. Dari sekian banyak perkumpulan itu beberapa di antara menjadi tempat Abu Hanifah mengembangkan hobi, yakni sepak bola (perkumpulan sepak bola), musik (perkumpulan musik), dan pencak Sumatera. Salah satu alat musik yang menjadi favoritnya dan sering dimainkannya dalam latihan bersama adalah biola.
Ia mempunyai biola warisan dari ayahnya. Hobi lain yang sering dilakukan oleh Abu Hanifah adalah menulis, melukis, dan memancing. Kegiatan ekstra kurikuler seperti inilah yang mengantarnya
berkenalan dengan murid-murid lain yang ber asal dari berbagai daerah yang berbeda adat istiadat
dengan kampungnya. Dari sekian banyak temannya, beberapa di antaranya menjadi tokoh terkenal,
baik pada masa pergerakan nasional maupun pada masa sesudahnya, antara lain Sutomo, Cipto
Mangunkusumo, Gunawan, dan Bahder Djohan.
Pada tahun terakhir masa pendidikannya di STOVIA Abu Hanifah memutuskan keluar asrama. Ia
memilih tinggal di lndonesische Clubgebaouw (IC), sebuah asrama atau tempat kontrakan di daerah
Jalan Kramat Raya, yang menjadi tempat favorit para aktivis pelajar kaum pribumi. Dari nama
gedungnya, IC , sudah menyiratkan warna politis para pelajar yang menjadi penghuninya. Tentu
bukan sekadar kaum pribumi semata, apalagi orang Belanda, melainkan hanya kaum pribumi yang
berani mengaku diri sebagai orang Indonesia (pada masa itu pengakuan demikian mengandung
risiko, yakni sewaktu-waktu bisa masuk penjara). Kenyataan itu sekaligus menunjukkan jati diri
Abu Hanifah sebagai seorang pelajar pemberani, yang berani menunjukan keberpihakannya kepada
kaum pergerakan nasional yang sedang berupaya memerdekakan kaumnya dari belenggu penjajahan
Belanda. Semangat para pemuda pelajar semakin besar, terutama sejak Kongres Pemuda yang
akhirnya menghasilkan Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Dalam
renungannya tentang Sumpah Pemuda, Abu Hanifah mengatakan bahwa Sumpah Pemuda lahir
sebagai letusan semangat yang membakar jiwa raga dan hati nurani pemuda-pemudi Indonesia.
Satu-satunya jalan untuk mempersatukan pemuda-pemudi bangsa yang terserak di seluruh
Nusantara, tanpa mengetahui dan sadar bahwa pada hakikatnya mereka satu bangsa, yang satu
nasib dan satu penanggungan, karena menderita dijajah bangsa lain yang negaranya jauh ribuan
mil dari lndonesia. Sebagai catatan, di IC inilah Abu Hanifah bertemu dengan pemuda aktivis pergerakan nasional yang telah lebih dahulu tinggal di situ, seperti Moh. Yamin, Amir Syarifuddin, dan Asa’at Abbas.

Setamat dari STOVIA Abu Hanifah kembali ke kampung halamannya. Selain untuk melepas rindu
terhadap kampung halamannya, ia juga mau minta doa restu kedua orang tuanya untuk tugasnya
sebagai dokter yang baru diterimanya, serta mau minta pertimbangan tentang niatnya untuk berumah tangga.
Abu Hanifah tidak lama tinggal di kampung halaman karena harus segera pergi ke Medan untuk
bekerja sebagai asisten Prof. Heineman di Rumah Sakit Tanjung Morawa, Medan (1932-1934). Ia
cukup beruntung menjadi asisten Prof. Heineman dalam bidang penyakit dalam dan kandungan.
Perkenalan dengan Prof. Heineman ini merupakan keberuntungan tersendiri bagi Abu Hanifah, karena
Prof. Heineman-lah yang memungkinkan dirinya dapat mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa harus kehilangan pekerjaan. Ia dapat melanjutkan pendidikan di Geneeskundige Hogeschool, Jakarta (Batavia) .

KEPALA RUMAH TANGGA YANG BAlK

Seperti telah disinggung di atas, setelah selesai pendidikan di STOVIA pada tahun 1932 Abu Hanifah
pulang ke kampungnya di Padang Panjang dengan tujuan meminta pertimbangan sekaligus izin dari orang tuanya untuk menikah. Ia merasa lega karena, seperti yang diharapkan, kedua orang tuanya menyetujui. Oleh karena itu pada tahun itu juga, tepatnya pada tanggal 19 Oktober 1932, ia melangsungkan perkawinan dengan buah hatinya, Hafni Zahra Thaib, putri pasangan Moh. Samin
Thaib dan Siti Ara Dati. Abu Hanifah mengenal anak gadis itu bukan karena dipertemukan oleh orang tuanya ataupun orang tua Hafni , melainkan karena aktivitasnya dalam organisasi pemuda, yaitu Pemuda Indonesia. Hafni merupakan salah seorang gadis yang aktif sebagai anggota Indonesia Muda. Sebagai catatan, pada mulanya Hafni tinggal dan bersekolah di kota Medan, namun karena aktivitasnya di Indonesia Muda dikeluarkan dari sekolahnya, bahkan setengah dipaksa harus meninggalkan kota tersebut.
Dengan pertimbangan tertentu ia memilih kota Jakarta (Batavia) sebagai tempat tinggal barunya.
Dari perkawinan itu Abu Hanifah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Elsam (lahir di Medan pada II
September 1934), Chalid (lahir di Kuantan pada 23 Oktober 1937), dan Siti Nurhati (lahir di Jakarta
pada 20 Desember 1952). Abu Hanifah sangat mencintai ketiga anaknya dan membesarkan mereka
dengan penuh kasih sayang. Karena kasih sayang itu ia menerapkan nilai kedisiplinan kepada ketiga
anaknya serta memberi pengertian tentang hak dan kewajiban anak terhadap orang tuanya. Keberhasilan Abu Hanifah dan istrinya mendidik dan membesarkan anak-anaknya membuat keluarganya sering dijadikan contoh tauladan oleh masyarakat sekitar, terutama saudara-saudaranya di Padang Panjang atau Batusangkar. Karena sifat kepemimpinannya akhirnya ia dipilih menjadi kepala suku Pisang (salah satu suku Minangkabau). Di dalam suku Pisang terdapat empat rumpun keluarga, yang masing-masing diwakili oleh seorang datuk. Keempat datuk ini bersama tetua-tetua kampung melakukan musyawarah memilih Abu Hanifah menjadi kepala suku Pisang. Oleh karena itu, berdasarkan permusyawaratan adat dalam suku Pisang, pada tahun 1936 Abu Hanifah dijemput ke Kuantan. Ia dipilih menjadi “Datuk Maharaja Amah” atau “Datuk Maharaja Emas”. Dengan “jabatan” itu dirinya diserahi tanggung jawab sebagai kepala suku.

TERJUN KE DUNIA POLITIK

Selama belajar di STOVIA Abu Hanifah sering bertemu dan berdiskusi dengan beberapa pelajar
progresif yang kritis terhadap lingkungannya, terutama terhadap nasib bangsanya, seperti Sutomo,
M. Suradji, Gunawan Mangunkusumo, dan Moh. Saleh. Pembicaraan dan diskusi itulah yang membuat
Abu Hanifah semakin tertarik pada perjuangan atau politik pergerakan kebangsaan. Ia mengagumi
bagaimana Sutomo, Gunawan, dan yang lain begitu cepat menangkap ide-ide dr. Wahidin Sudirohusono
yang mengunjungi para pelajar STOVIA dalam perjalanan keliling untuk membentuk studie fond. Seperti
sudah banyak dipublikasikan dalam beberapa karya sejarah, studie fond kelak akan digunakan untuk
membantu kaum muda yang berbakat penerima bantuan itu agar dapat menuntut ilmu-yang hasilnya
kelak-menjadi pemimpin yang mampu “memerintah diri dan bangsanya sendiri”. Ide Wahidin ini
kemudian mendorong para pemuda pelajar STOVIA mendirikan organisasi Boedi Oetomo (BO). Ia
merasa bangga karena semasa belajar di STOVIA dapat bertemu dengan para pendiri BO. Semasa di
STOVIA pula ia mendengar perjuangan Sari kat Islam (SI) dan lndische Partij (IP) yang jajaran pimpinannya
merupakan pendiri BO, yakni Gunawan Mangunkusumo (SI) dan Cipto Mangunkusumo (IP).
Ketertarikannya terhadap pergerakan kebangsaan membuat Abu Hanifah lebih mudah bergaul dengan
para pemuda pelajar lain yang telah menjadi aktivis pergerakan kebangsaan. Akhirnya ia ikut bergabung
menjadi anggota Jong Sumatranen Bond (JSB), yang setelah Kongres Pemuda pertama berubah nama
menjadi “Pemuda Sumatera”. Dalam organisasi ini ia bertemu kembali dengan teman satu daerah,
seperti Moh. Yamin dan Bahder Djohan. Bersama-sama mereka pula, kalau pulang liburan ke kampung
atau daerah masing-masing, menyempatkan diri mempropagandakan organisasinya kepada kalangan
pemuda setempat, sekaligus menjelaskan tujuan perjuangan. Aktivitas mereka seperti itu terbukti berdampak positif di kalangan pemuda setempat. Kesadaran pemuda setempat tentang pentingnya
belajar dan tentang pergerakan demi kemajuan bangsa semakin meluas di kalangan pemuda pribumi.
Oleh karena itu pula sewaktu pada tahun 1926 digagas penyelenggaraan Kongres Pemuda yang pertama
kali kalangan pemuda menyambut luar biasa; bahkan dikatakan selangkah lebih maju dibandingkan
dengan kaum pergerakan nasional yang lebih senior yang bergabung dalam organisasi sosial-politik,
seperti BO, Sl , Al-lrsyad, PKI, dan Muhammadiyah.

Baca juga : Profil Ki Hajar Dewantara

Kerapatan Besar Pemuda, yang lebih dikenal dengan sebutan Kongres Pemuda, pertama kali diselenggarakan pada tanggal 30 April-2 Mei 1926 di Gedung Setan (Kimia Farma), Vrijmetse Laar (sekarang Jl. Budi Utomo No. 1) . Meskipun Kongres tidak berhasil menyatukan seluruh organisasi pemuda seperti yang diharapkan, namun kongres berhasil merumuskan “lkrar Pemuda” yang kelak dibacakan pada Kongres Pemuda kedua pada 28 Oktober 1928. Satu hal perlu dicatat dan tidak banyak diketahui bahwa Kongres Pemuda inilah yang sebenarnya menggodok kelahiran “Bahasa Indonesia”. Pada waktu-waktu sebelumnya masyarakat memang tidak mengenal Bahasa Indonesia. Yang mereka kenai adalah Bahasa Melayu. Karena itu dalam draf pertama ” lkrar Pemuda” yang disusun Moh. Yamin susunannya sebagai berikut:

Tabrani tidak setuju dengan urutan yang ketiga karena dinilai tidak elok. Pada bagian pertama dan
kedua yang menyangkut tanah tumpah darah dan bangsa dengan ikrar “Indonesia”. Mengapa giliran
yang ketiga yang menyangkut bahasa, bunyi ikrarnya ” Melayu”? Mohammad Yamin sempat memberikan
alasan mengapa menggunakan ” Melayu” pada ikrar ketiga: realitasnya pada waktu itu belum ada bahasa
Indonesia, dan berdasarkan hasil perbincangan yang berpotensi menjadi bahasa persatuan adalah
bahasa Melayu. Terhadap argumentasi Yamin, Tabrani kembali bertanya, apakah realita waktu itu sudah
ada bangsa Indonesia dan tanah air Indonesia? Kalau bangsa dan tanah air Indonesia bisa diciptakan,
mengapa bahasa Indonesia tidak. Kita adakan bahasa Indonesia yang basisnya bahasa Melayu, yang
kelak akan berkembang dan terus berkembang melalui penyerapan kosa kata dari berbagai bahasa suku
bangsa yang ada di Indonesia. Sementara bahasa Melayu tetap berkembang sebagai bahasa Melayu.
Kemudian kedua orang ini meminta pendapat dari dua orang yang juga dikenal sebagai orang-orang
yang paham dalam hal kebahasaan. Pertama, Djamaloeddin, yang ternyata condong kepada pendapat
Yamin. Kedua, Sanusi Pane, yang ternyata setelah berpikir sependapat dengan Tabrani, sehingga
dengan pendapat ini skor menjadi seimbang. Akhirnya mereka sepakat masalah ikrar pemuda itu
dibawa ke kongres berikutnya agar Yamin-yang mereka kenai sebagai ahli bahasa-lebih leluasa
mempelajarinya. Ternyata dalam Kongres Pemuda ke II yang diketuai oleh Sugondo Joyopuspito konsep
ikrar pemuda langsung dibawa ke sidang pleno dan secara aklamasi diterima. Susunannya seperti yang
telah diperdebatkan dalam Kongres Pemuda yang ke I sebagai berikut:

Hanya judulnya bukan lagi “lkrar Pemuda” melainkan ” Sumpah Pemuda”. Sebagai catatan tambahan,
Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pada bulan Desember 1939 mengakui pula secara resmi bahwa
bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Karena itu dalam rangka menghormati perjuangan para
pemuda ini sudah sepatutnya jika tanggal 2 Mei diperingati sebagai hari lahirnya Bahasa Indonesia.
Abu Hanifah baru ikut terlibat dalam Kongres Pemuda pada tanggal 27-28 Oktober 1928, walaupun
pada waktu itu ketokohannya tidak setenar rekan-rekan sedaerahnya seperti Moh. Yamin atau Sanusi
Pane. Dalam kongres itu ia menjadi wakil Pemuda Sumatera dengan jabatan Sekretaris Umum Pemuda
Sumatera, sekaligus menjadi redaktur bulletin Jong Sumatranen Bond (1923-1926). Melalui buletinnya
itu ia banyak menulis tentang gerakan pemuda beserta ide-ide perjuangannya. Setelah terbentuk
oraganisasi Pemuda Indonesia yang merupakan hasil fusi seluruh organisasi pemuda kedaerahan,
Abu Hanifah pun ikut pindah menjadi anggotanya sekaligus menjadi pimpinan redaksi buletin Pemuda
Indonesia. Sebagai tambahan, Abu Hanifah juga aktif sebagai anggota kepanduan, yaitu dalam organisasi
lndische Padvinders Organisatie. Setelah itu ia pindah menjadi pelatih pada Pandu Indonesia. Menjelang penyelenggaraan Kongres Pemuda kedua tahun 1928, Abu Hanifah pindah dari asrama STOVIA
ke lndonesische Clubhuis (IC) yang beralamat di Jalan Kramat 126. Menurut apa yang didengar dan
dilihatnya, inisiatif penyelenggaraan kongres datang dari para pemuda yang tergabung dalam Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI), yang didirikan pada bulan September 1926. Mereka mendapat dukungan kuat dari anggota Perhimpunan Indonesia (PI) dari negeri Belanda, baik yang masih belajar dan berdomisili di negeri Belanda maupun yang telah kembali ke Indonesia. Selain itu dukungan juga datang dari beberapa anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Seperti sudah banyak ditulis oleh beberapa pakar sejarah dan politik, Kongres Pemuda kedua yang diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928 tersebut berhasil mengeluarkan suatu keputusan yang sangat monumental, yaitu “Sumpah Pemuda”. Sekitar empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1932, Abu Hanifah berhasil menyelesaikan
studinya di STOVIA. Tak lama setelah itu ia kembali ke kampung halamannya, Batusangkar, Sumatera
Barat. Selain untuk “melaporkan” tentang keberhasilannya. Ia pun ingin melepaskan rindu terhadap
kedua orang tuanya sekaligus kampung halamannya. Beruntung baginya karena kedua orang tuanya
telah kembali ke kampung halaman setelah pensiun dari jabatannya sebagai guru bahasa.
Selain untuk melepas rindu dan silaturahmi kepada kedua orang tuanya ia sekaligus mau mohon pamit
dan doa restu karena ia ditugaskan sebagai seorang dokter di Landschap Tanjung Morawa, Medan.
Jabatan atau statusnya asisten Prof. Heineman, seorang dokter keturunan Jerman. Sambi! bekerja Abu
Hanifah mendapat kesempatan memperdalam pengetahuan di bidang penyakit dalam dan kandungan
di bawah bimbingan Prof. Heineman yang mempunyai keahlian di bidang itu. Setelah itu ia bekerja
sebagai Direktur Dinas Kesehatan lndragiri dan kemudian Scheepsart KPM. Semasa memegang jabatan
ini perang meletus di negeri Belanda. Ia ikut dimiliterisir dan menjadi Officer van Gezondheid le K/asse poda K.M. Allied Forces, yang secara berturut-turut ditempatkan di Bombay, Singapura, dan Konvoi
(1940, 1941, dan 1942). Ketika ditempatkan di Jatipetamburan sebagai Direktur Rumah Sakit Marine
ia ditangkap polisi militer Jepang. Oleh pemerintahan Jepang kemudian ia ditempatkan sebagai dokter
di Rumah Sakit Pusat Jakarta (CBZ). Tak lama setelah itu ia diangkat menjadi Kepala Rumah Sakit St.
Lidwina (milik zending Katholik), yang sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Mr. Syamsuddin.
Ketika bertugas sebagai asisten Prof. Heinenmann di Tanjung Morawa, Abu Hanifah melihat kesehatan
para kuli perkebunan sedemikian buruk dan semua buruh yang dilihatnya itu sebangsa dengannya. Pada
dasarnya pemerintah pun memperhatikan masalah kesehatan para buruh, namun dengan motivasi
berbeda, yaitu ekonomi.
Pemerintah takut apabila kesehatan para buruh dibiarkan terus memburuk akan berdampak pada produksi. Hasil produksi akan merosot atau berkurang. Sebagai sesama kaum pribumi, Abu Hanifah me rasa tersentuh melihat nasib kaumnya dengan standar kesehatan sangat buruk.
Oleh karena itu ia tidak sekadar ikut mengobati penyakit, melainkan juga berupaya meningkatkan
kesadaran para buruh terkait dengan pentingnya meningkatkan kesehatan dan kebugaran mereka.
Dengan kata lain, meskipun statusnya hanya sekadar dokter perkebunan, batinnya adalah kaum
pergerakan kebangsaan yang ingin memajukan kaum pribumi supaya lebih bermartabat.
Pada waktu Jepang masuk dan menduduki Hindia Belanda (Indonesia) Abu Hanifah aktif sebagai anggota
Barisan Pemuda Asia Raya. Selain itu ia diangkat menjadi Wakil Pemimpin Harian barisan Seinendan
untuk wilayah Keresidenan Jakarta, bahkan sempat pula dicalonkan sebagai anggota Pasukan Pembela
Tanah Air (Peta) dengan jabatan sebagai daidancho atau Komanda Batalyon. Namun karena sesuatu
sebab ia tidak jadi masuk Peta, sebaliknya menjelang akhir Pendudukan Jepang ia pindah ke Sukabumi
dan bertugas pada ruamah sakit kota Sukabumi.
Di kota inilah pada awal kemerdekaan Indonesia ia menjadi salah seorang pimpinan barisan Hizbullah yang merupakan onderbouw Partai Masyumi. Tidak lama berada di Sukabumi, ia pindah ke Boger dan menjabat sebagai Dewan Pimpinan Daerah Keresidenan Boger (1945-1946), sekaligus merangkap menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Keresiden Boger (KNID Boger). Sewaktu Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk Abu Hanifah diangkat menjadi ketuanya. Jabatan ketua dipegang sampai terjadi perubahan pada organisasi itu . Karena situasi politik dan adanya tuntutan rakyat agar Republik
Indonesia (RI) membentuk tentara kebangsaan bukan sekedar organisasi semi militer seperti BKR, Presiden Soekarno menerbitkan maklumat untuk mengubah BKR menjadi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebagai tokoh Dewan Pimpinan Daerah Keresiden Boger ia menjadi target penculikan kelompok Ki Nariya yang melakukan aksi daulat di daerah Boger, namun beruntung ia lolos. Sementara itu Ki Nariya beserta kelompoknya melarikan diri ke Leuwiliang dan petualangannya berakhir setelah ditangkap oleh Lasykar Leuwiliang pimpinan Soleh Iskandar. Pada tahun 1947 Abu Hanifah menjadi anggota Masyumi dan kemudian mewakili partai itu menjadi anggota KNID sebagai Ketua Fraksi Masyumi.
Sebagai Ketua Barisan Hizbullah, Abu Hanifah pernah memimpin pasukannya dalam beberapa kontak
senjata melawan tentara Sekutu dan NICA. Salah satu pertempuran yang melibatkan pasukannya adalah
pertempuran melawan tentara Sekutu (lnggris), yang kemudian diketahuinya merupakan kesatuan
Gurkha dari Divisi ke-23 . Sewaktu menghadapi Belanda dalam Agresi I ia tertangkap, lalu dijebloskan
ke penjara Tangerang pada bulan Agustus 1947. Setelah dibebaskan pada bulan Februari 1948 ia diusir
dari daerah pendudukan oleh pihak Belanda. Ia pergi ke Yogyakarta, kembali ke barisan Hizbullah dan
Masyumi. Ketika Kabinet Hatta dibentuk menggantikan Kabinet Amir Syarifuddin, ia diangkat sebagai
penasihat kabinet. Pada waktu terjadi Agresi Militer II Abu Hanifah kembali tertangkap oleh pasukan KNIL. Ia bersama tahanan lain dibebaskan setelah tercapai kesepakatan antara pihak Rl dan Belanda untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang akan diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Ia duduk sebagai salah satu anggota delegasi Rl yang diketuai oleh Mr. Susanto. Sewaktu Moh. Hatta menbentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) Abu Hanifah dipercayai sebagai salah satu menteri, yaitu Menteri PP&K.
Salah satu program kerja Kementrian PP&K pada masa kepemimpinannya antara lain melakukan
pembenahan terhadap Balai Pustaka yang pada waktu itu ditempatkan di bawah PP&K. Tujuan
pembenahan itu antara lain agar lembaga tersebut dapat segera menerbitkan buku-buku berkualitas
dan bermutu, yang dapat dijadikan bacaan oleh para remaja Indonesia. Semasa kepemimpinannya, Kementrian PP&K merencanakan melakukan perubahan terhadap sistem pendidikan yang sedang
berjalan, yang masih menggunakan sistem pendidikan dan kurikulum warisan kolonial. Untuk tujuan itu ia memimpin delegasi Rl ke Konferensi UNESCO di Florence, ltalia, yang diselenggarakan pada bulan Mei 1950. Tak lama setelah itu ia kembali memimpin delegasi Rl ke Missi Goodwill ke negeri Belanda. Masukan-masukan yang diperoleh dari kedua forum internasional tersebut kemudian dijadikan bahan perbaikan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Sistem pendidikan nasional itu berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sehingga mewajibkan ada pelajaran agama di tiap jenjang pendidikan.
Setelah RIS bubar dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ia ditunjuk sebagai
advisor general pada Kementrian Luar Negeri dengan pangkat Duta Besar Keliling. Jabatan ini sekaligus menjadi awal karier luar negerinya. Dalam masa jabatannya itu ia diangkat sebagai anggota delegasi Rl
ke Konferensi UNICEF di New York. Kemudian pada bulan Oktober 1951 ia bersama dengan Ahmad
Subardjo ikut menghadiri Konferensi Perdamaian di San Fransisco, Amerika Serikat. Pada tahun itu
juga Abu Hanifah diangkat menjadi penasihat delegasi Indonesia ke Goodwill Mission Indonesia di
Canberra, Australia. Pada tahun 1953 ia kembali menjadi anggota delegasi Rl ke Perserikatan Bangsa­
bangsa dan menjadi ketua delegasi sampai dengan tahun 1957. Jabatan itu , jika dibandingkan dengan
masa kini , sama dengan Duta Besar Indonesia untuk PBB.
Selepas dari jabatannya sebagai Duta Besar Indonesia di PBB, Abu Hanifah beberapa kali masih terpilih
menjadi anggota atau ketua delegasi Rl ke beberapa forum internasional, sampai akhirnya pada tahun
1958 ia dipanggil ke istana oleh Presiden Soekarno. Dalam pertemuan itu ia mendapat tugas sebagai
Duta Besar di ltalia, yang dijalaninya sampai dengan tahun 1960. Selama menjabat sebagai Duta Besar
Rl untuk ltalia ia masih diberi tugas tambahan, seperti menjadi delegasi Rl ke negara-negara yang baru
merdeka di benua Afrika bagian barat dan Selatan; menjadi wakil pemerintah Rl dalam membicarakan
permasalahan dunia-seperti pemberontakan rakyat Hongaria terhadap Perdana Menteri Kadar,
beberapa pemberontakan di Afrika seperti di Tunisia, Maroko, dan Aljazair; dan bahkan juga menjadi
anggota delegasi di PBB dalam pembicaraan Irian Barat.
Selama kariernya ia mendapat banyak penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri , misalnya
bintang kehormatan dari Vatikan dan pemerintah ltalia atas jasanya menyelamatkan gereja-gereja
Katholik di Sukabumi pad a masa pendudukan Jepang, yaitu Medal of the Italian Navy dan Medal of Merit, Holy See, yang diserahkan oleh Paus Yohannes XXIII di Roma.
Pada tahun 1961 ia kembali diangkat menjadi Duta Besar Rl untuk Brazil. Masyarakat Brazil pada
waktu itu umumnya belum mengenal Indonesia. Oleh karena itu , sebagai Duta Besar, ia be r upaya
memperkenalkan negara dan bangsa Indonesia kepada rakyat Brazil dalam berbagai kesempatan, antara
lain dengan menghadiri dan berbicara dalam berbagai konferensi internasional di Chilie, Argentina, dan
Guatamala. Selain itu ia juga sering menyelenggarakan gelar budaya Indonesia. Dengan bantuan staf
kedutaan ia juga mengadakan bazar dan pameran hasil-hasil kerajinan Indonesia. Di samping itu ia
menulis buku dengan judul/ndonesia My Country, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis (bahasa
resmi Brazil) dengan judul lndonesie Meu Paese. Buku ini memuat sejarah singkat terbentuknya Negara
Indonesia, perjuangannya, pemerintahannya, serta pembangunannya sampai sekitar tahun 1962. Upaya
membina hubungan baik antara Indonesia dan Amerika Latin tidak hanya dengan Brazil saja, tetapi
juga dengan negara-negara lain . Pada tahun 1963, misalnya, ia memimpin delegasi Rl ke negara-negara
Amerika Latin dan Amerika Tengah. Atas jasa-jasanya mengembangkan pershabatan itu ia memperoleh
bintang kehormatan Grant Cross – Cruseire de Sui dari pemerintah Brazil. Sementara pemerintahan Rl
pada tahun 1966 menganugerahkan bintang Satya Lencana Karya Satya.

Baca Juga : Profil Ali Sastroamidjojo

KARYATULIS

Sebagai seorang dokter Abu Hanifah beruntung karen a mewarisi bakat ayahnya sebagai seorang pemusik dan penulis. Bakatnya sebagai pemusik, khususnya sebagai pemain biola, pernah “dikembangkan” semasa menjadi pelajar STOVIA. Seperti telah disinggung di atas, STOVIA terkenal dengan organisasi­ organisasi kesenian, seperti musik, wayang, dan gamelan, dan Abu Hanifah aktif di perkumpulan musik. Keahliannya dalam memainkan biola pernah menjadi solusi mengatasi masalah dana pendidikannya, yang berkali-kali menimpa karena wesel orang tuanya datang terkambat. Pada dasarnya keterlambatan seperti itu umum terjadi karena infrastruktur dan transportasi pada masa itu relatif masih sederhana jika di bandingkan masa kini. Untuk mengatasi masalah kekurangan dana itulah ia sering manggung dengan biolanya. Adapun bakatnya dalam bidang tulis-menulis mulai dikembangkan sejak tahun 1926, tepatnya sejak aktif sebagai pemimpin redaksi (Pemred) buletin jong /slamieten Bond, yang kemudian dilanjutkan menjadi Pemred majalah Pemuda Indonesia. Selain menulis dalam buletin dan majalahnya sendiri ia juga mengirimkan tulisannya ke majalah lain, misalnya mingguan Indonesia Raya. Selain tulisan-tulisan populer dan ringan, kadangkala ia menulis artikel yang serius berisi kritikan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya sesekali ia harus berurusan dengan Politie lnlichten Dienst (PID).Tulisan­ tulisannya yang dimuat pada tahun 1939-1940, terutama yang dimuat dalam majalah Panji Islam Medan, membuat dirinya terkenal atau dikenal para pembaca.
Ia juga menulis banyak artikel yang bersifat akademik dan dimuat oleh berbagai majalah berbahasa
Belanda, lnggris, dan Jerman. Salah satu karya ilmiah itu adalah “Strumma Endemica in de Koeantan
Districten (Midden-Sumatra)”, yang merupakan hasil penelitiannya di bidang kedokteran pada
masyarakat di Sumatera Tengah. Dari penelitian itu ia menemukan adanya penyebaran penyakit gondok
di kalangan masyarakat di daerah-daerah pedesaan.
Tulisan lain di bidang kedokteran yang telah dibukukan antara lain /bu dan Anak, yang berisi cara-cara
pemeliharaan dan penjagaan kesehatan ibu yang sedang hamil dan bayinya sejak masih dalam kandungan sampai melahirkan. Buku ini dicetak untuk pertama kali pada tahun 1936. Pada dasarnya karya itu ditujukan untuk masyarakat Indonesia di daerah Sumatera Barat tempat ia pernah bertugas. Jadi
semacam rasa terima kasih kepada masyarakat daerah itu. Buku tersebut sudah mengalami cetak ulang
yang disertai perbaikan isinya. Pada tahun 1979, misalnya, buku ini dicetak kembali untuk kedelapan
kalinya dengan mendapat tambahan satu bab, yaitu bab tentang keluarga berencana.
Buku-buku nonfiksi lain karya Abu Hanifah antara lain Perang, Damai, dan Ko/onialisme; Rintisan Filsafat
Jilid I dan II; Cita-cita Perdjoangan; Agama dan Republik lndonesaia; Pahlawan-pahlawan Islam Abad 16 dan 17; dan Renungan Perjuangan Bangsa Dulu dan Sekarang. Karya yang disebut terakhir, yang diterbitkan oleh Yayasan ldayu tahun 1978, merupakan ceramah ilmiahnya pada 6 Nopember 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. lsi ceramah itu menguraikan tumbuh kembang pergerakan nasional sejak Budi Utomo berdiri sampai dengan terbentuknya RIS sebagai hasil kesepakatan KMB. Sebagai sebuah renungan, pada bagian akhir tulisannya ia mengajak untuk merenungi bagaimana upaya para pendahulu dalam menegakkan negara dan bangsa Indonesia. “Kalau dilihat dari kaca mata sekarang Kabinet RIS ini penuh dengan teknokrat-teknokrat. Tetapi sebenarnya mereka juga sekaligus pemimpin-pemimpin rakyat yang berjuang benar-benar untuk kemerdekaan Bangsa dan Negara. Bukan
teknokrat tok. Tetapi tidak dapat diingkari bahwa kabinet terpaksa bekerja keras. Bayangkan, mempunyai hutang jutaan gulden, tidak ada satu sen simpanan, segala ekonomi masih kucar kacir, dan ongkos-ongkos negara amat besar.
Hal ini sering dilupakan benar.” Hal ini juga patut direnungkan oleh yang menamakan dirinya Orde Baru, kata Abu Hanifah. Abu Hanifah juga menuliskan buah pikirannya dalam bahasa lnggris dan diterbitkan di luar negeri, antara lain Indonesia My Country (val. I dan II) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis dengan judul Indonesia Meu Oase. Buku ini diterbitkan pada tahun 1961 sewaktu ia menjabat sebagai duta besar Rl untuk Brazil. Ia juga menerbitkan Conflict in the Pasiftc dan Tales of Revolution. Buku yang disebutkan terakhir ditulis sebagai reaksi terhadap buku biografi Soekarno karya Cindy Adams. Sebab, menurut pendapatnya, banyak isi cerita yang ditulis oleh Cindy Adams tidak benar, banyak mengandung kebohongan di dalamnya. Oleh karena itu, selain ada yang memujinya, tidak sedikit pulayang mengkritik dengan keras. Mereka menilai Abu Hanifah “kurang jantan” karena berani mengkritik
karya Cindy Adams setelah Bung Karno yang menjadi tokohnya meninggal dunia. Salah seorang reviewer
atau kritikus yang cukup netral dan relatif objektif terhadap buku Tales of a Revolution karya Abu Hanifah
adalah Achdiat Kartamihardja. Menu rut pendapat Achdiat, karya tersebut merupakan karya yang lebih
mengikat, lebih bagus daripada karya-karya sastra yang pernah ditulis oleh Abu Hanifah, walaupun harus diakui pula bahwa banyak kesalahan dan kecerobohan yang tidak sengaja di dalamnya, misalnya
salah menuliskan kepanjangan NICA. Abu Hanifah mengatakan NICA merupakan kependekan dari
Netherlands Indies Civil Affairs, padahal yang benar adalah Netherlands Indies Civil Administration. Menu rut Achdiat, dengan “Tales” itu Abu Hanifah termasuk salah seorang Indonesia yang beruntung mampu
membukukan dongeng-dongengnya di samping Sutan Syahrir dengan Renungan lndonesia-nya , T.B.
Simatupang dengan Laporan dari Banaran-nya, dan Moh. Bondan dengan Genderang Prok/amasi-nya.
Beberapa buku fiksi juga lahir dari tangan Abu Hanifah . Berbeda dengan buku-buku kedokteran
yang selalu menggunakan nama aslinya, dalam menulis cerita fiksi ia menggunakan nama samaran, El
Hakim. Karya-karya itu antara lain Dewi Reni, Mambang Lout, Taufan di atas Asia , lnsan Komi/, Rokayah,
dan Dokter Rimbu. Dua karyanya yang disebut pertama, yang ditulis sebelum kemerdekaan, pernah
dipentaskan oleh kelompok Sandiwara Maya pada masa Pendudukan Jepang. Dokter Rimbu berkisah
tentang kehidupan seorang dokter bernama Hakam yang mengabdikan dirinya pada perkerjaan
sebagai seorang dokter pada masyarakat “Rimbu” yang jauh dari kota dalam kondisi yang relatif miskin
sehingga tidak mampu menyisihkan uang untuk memelihara kesehatannya, ditambah lagi dengan adat
istiadat yang kolot yang masih dipegang terus oleh masyarakat tersebut. Kisah itu pada dasarnya
merupakan sebagian dari pengalamannya sewaktu bertugas sebagai dokter.
Buku ini ditulis pada tahun 1949 sewaktu terjadi konflik bersenjata antara kaum republikein dan kaum kolonialis Belanda beserta antek-anteknya mulai mereda dan diakhiri dengan KMB.
Karya-karya lain buah tangannya pada masa “pensiun” dari tugas-tugas negara berupa artikel yang
disampaikannya pada acara diskusi dan di berbagai intansi. Beberapa ceramahnya diterbitkan sebagai buku kecil oleh Yayasan Gunung Agung, di antaranya Renungan Perjuangan Bangsa Dulu dan Sekarang (1977), Indonesia do/am Pergeseran Peta Politik lnternasiona/ (1975), dan Pemuda Tidak Bo/eh Pernah Puas (1979). Abu Hanifah meninggal dunia pada hari Jum’at pukul 3.34 subuh bertepatan dengan tanggal 4 Januari Menurut keterangan keluarga ia meninggal setelah cukup lama menderita penyakit lever dan
komplikasi dari pembengkakan pembuluh darah (trombosit) yang dideritanya sejak tujuh bulan
terakhir. Sebelum dimakamkan di pemakaman umum Karet, jenazahnya disembahyangi di masjid AI­
Azhar, Kebayoran Baru. Dalam acara pemakamannya, Prof. Mochtar Kusumaatmadja menyampaikan
sambutannya mewakili pemerintah Orde Baru.

Sumber : Buku ” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 ” Penerbit Direktorat Sejarah, Direktorat Jendaral Kebudayaan Kemdikbud Tahun 2018

One thought on “Abu Hanifah”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *