Garam dan telaga

Di suatu negeri yang damai, hiduplah seorang tua yang dikenal karena kebijaksanaannya. Suatu hari, datanglah seorang anak muda yang tampak cemas dan penuh masalah. Masalah-masalahnya begitu banyak, mulai dari pekerjaan, asmara, hingga kuliah, semuanya tampak menimpa hidupnya sekaligus. Langkahnya gontai, dan air muka yang terlihat ruwet menunjukkan betapa berat beban yang dia rasakan.

Melihat anak muda itu, sang pak tua mengundangnya duduk di sampingnya dan mendengarkan keluh kesahnya. Tanpa membuang waktu, anak muda itu langsung menceritakan semua masalah yang dihadapinya. Pak tua yang bijak mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk-angguk, tapi tetap tenang. Setelah beberapa waktu, akhirnya anak muda itu selesai mencurahkan segala keluhannya.

Baca Juga : Alasan di balik Kegagalan

Pak tua itu tersenyum lembut, lalu bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju dapur, mengambil segenggam garam, dan kembali ke depan anak muda itu. “Sekarang, ambil segelas air dari sana,” kata sang pak tua sambil menunjuk ke arah meja. Si anak muda pun segera mengikuti perintahnya, mengambil segelas air dan memberikannya kepada pak tua.

Pak tua itu lalu menaburkan garam ke dalam gelas berisi air, kemudian mengaduknya perlahan. “Coba minum ini, anak muda, dan katakan bagaimana rasanya,” ujar pak tua sambil mengulurkan gelas itu.

Anak muda itu meneguk air garam itu dan langsung meludah ke samping. “Pahit, pahit sekali,” jawabnya dengan wajah yang mengernyit, merasa tak nyaman dengan rasa yang ada di mulutnya.

Pak tua itu hanya tersenyum kecil, tidak terkejut dengan reaksi tersebut. “Baiklah,” kata pak tua, “Ayo ikut aku, kita berjalan ke tepi telaga yang ada di hutan dekat sini.”

Anak muda itu pun mengikuti langkah pak tua. Mereka berjalan bersama menuju telaga yang tenang, sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dan penuh kedamaian. Sesampainya di tepi telaga, pak tua itu kembali mengambil segenggam garam dan menaburkannya ke dalam air telaga yang jernih. Kemudian, dengan sepotong kayu, ia mengaduk-aduk air telaga tersebut, menciptakan riak-riak kecil yang menyentuh permukaan air. “Sekarang coba ambil air dari telaga ini dan minumlah,” perintah pak tua dengan lembut.

Anak muda itu segera mengikuti dan mengambil air telaga itu dengan telapak tangannya. Setelah meneguknya, ia terkejut dan berkata, “Segar sekali!”

Pak tua pun tersenyum dan bertanya lagi, “Apakah kamu merasakan garam dalam air itu?”

Anak muda itu menggelengkan kepala. “Tidak,” jawabnya.

Pak tua itu menepuk-nepuk punggung anak muda itu dengan bijak dan berkata, “Anak muda, kehidupan itu seperti segenggam garam yang aku taburkan tadi. Jumlah rasa pahit itu tidak berubah, tetap sama. Namun, kepahitan yang kamu rasakan sangat bergantung pada wadah tempat kamu menampungnya. Jika kamu menampungnya dalam hati yang sempit, rasa pahit itu akan terasa semakin berat. Namun, jika hatimu lapang, segala kepahitan itu akan terasa lebih ringan.”

Pak tua itu melanjutkan, “Hatimu adalah wadahnya. Perasaanmu adalah tempatnya. Jangan biarkan hatimu menjadi seperti gelas kecil yang mudah penuh dengan kepahitan. Jadikanlah hatimu seperti telaga yang luas, yang mampu meredam segala gelombang dan mengubah setiap rasa pahit menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Dengan penuh pemahaman, anak muda itu merenung mendengarkan kata-kata bijak sang pak tua. Dia merasa lebih tenang, dan hatinya mulai lapang. Setelah beberapa saat, mereka pun kembali berjalan pulang. Mereka berdua telah belajar banyak hari itu, dan anak muda itu merasa lebih siap menghadapi segala tantangan hidup.

Pak tua itu kembali menyimpan segenggam garam, untuk diberikan pada anak muda lain yang datang padanya dengan keresahan jiwa, mengingatkan mereka bahwa kehidupan yang pahit bisa diubah jika kita memiliki hati yang lapang. Garam dan telaga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *